HUKUM SHALAT SUNAH SETELAH ADZAN SHUBUH LEBIH DARI DUA RAKAAT.
BENARKAH ITU HARAM DAN BID’AH SESAT?
DAN PELAKUNYA KELAK DI ADZAB, KARENA
MENYELISIHI SUNNAH ?
====
Ditulis Oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
===
DAFTAR ISI :
- KEUTAMAAN SHALAT SUNNAH 2 RAKAAT FAJAR
- KENAPA RASULULLAH ﷺ SENANTIASA SHALAT SUNNAH FAJAR HANYA 2 RAKAAT?
- APAKAH SHALAT SUNNAH SETELAH ADZAN FAJAR TIDAK BOLEH LEBIH DARI 2 RAKAAT?
- PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG SHALAT SUNNAH FAJAR LEBIH DARI 2 RAKAAT:
- PENDAPAT PERTAMA : BOLEH (MUBAH):
- PENDAPAT KEDUA : MAKRUH
- PENDAPAT KE TIGA : HARAM, BID’AH SESAT DAN TERANCAM ADZAB NERAKA. Dan ini adalah pendapat Sa’id bin al-Musayyib dan Syeikh al-Albani.
- TARJIH :
- HADITS BOLEH QODHO SHALAT SUNNAH FAJR SETELAH SHALAT SHUBUH.
****
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
KEUTAMAAN SHALAT SUNNAH DUA RAKAAT FAJAR
Di
antara hal-hal yang dianjurkan oleh sunnah yang suci dan sangat ditekankan di
banyak tempat adalah dua rakaat fajar, yaitu sunnahnya. Dalam sunnah yang mulia
disebutkan bahwa dua rakaat fajar lebih baik daripada perhiasan dunia, dan
bahwa keduanya termasuk amalan terbaik yang dapat mendekatkan seorang muslim
kepada Allah subhanahu wa ta'ala. Karena itu Rasulullah ﷺ tidak pernah
meninggalkannya, baik dalam safar maupun ketika mukim.
Dari
Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ الدُّنْيَا
وَمَا فِيهَا»
“Dua
rakaat fajar lebih baik daripada dunia dan seisinya.” [HR. Muslim no. 725]
Dan
dari beliau juga radhiyallahu 'anha :
أنَّ النَّبِيَّ ﷺ قَالَ فِي شَأْنِ
الرَّكْعَتَيْنِ عِنْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ: «لَهُمَا أَحَبُّ إِلَيَّ مِنَ
الدُّنْيَا جَمِيعًا»
Bahwa
Nabi ﷺ bersabda
tentang dua rakaat ketika terbit fajar: “Keduanya lebih aku cintai daripada
seluruh dunia.” [HR. Muslim no. 725]
Imam
an-Nawawi dalam Syarh Muslim (6/5, Dar Ihya at-Turats al-Arabi) berkata:
[«رَكْعَتَا الْفَجْرِ خَيْرٌ مِنَ
الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا» أَيْ: مِنْ مَتَاعِ الدُّنْيَا] اهـ.
“Dua
rakaat fajar lebih baik daripada dunia dan seisinya” maksudnya lebih baik
daripada perhiasan dunia.
Diriwayatkan
pula dari Ummul Mukminin Aisyah radhiyallahu 'anha, ia berkata:
«لَمْ يَكُنِ النَّبِيُّ ﷺ عَلَى شَيْءٍ مِنَ
النَّوَافِلِ أَشَدَّ مِنْهُ تَعَاهُدًا عَلَى رَكْعَتَي الْفَجْرِ».
“Tidak ada
sunnah yang lebih dijaga oleh Nabi ﷺ selain dua rakaat fajar.” Muttafaq ‘alaih.
Syaikh
Ibnu Qayyim dalam Zad al-Ma‘ad (1/305, Mu’assasah ar-Risalah) berkata:
وَكَانَ تَعَاهُدُهُ وَمُحَافَظَتُهُ عَلَى
سُنَّةِ الْفَجْرِ أَشَدَّ مِنْ جَمِيعِ النَّوَافِلِ، وَلِذَلِكَ لَمْ يَكُنْ يَدَعُهَا
هِيَ وَالْوِتْرَ سَفَرًا وَحَضَرًا، وَكَانَ فِي السَّفَرِ يُوَاظِبُ عَلَى سُنَّةِ
الْفَجْرِ وَالْوِتْرِ أَشَدَّ مِنْ جَمِيعِ النَّوَافِلِ دُونَ سَائِرِ السُّنَنِ،
وَلَمْ يُنْقَلْ عَنْهُ فِي السَّفَرِ أَنَّهُ ﷺ صَلَّى سُنَّةً رَاتِبَةً غَيْرَهُمَا
Beliau
ﷺ lebih menjaga
sunnah fajar dibandingkan semua sunnah lainnya. Karena itu, beliau tidak pernah
meninggalkannya beserta witir, baik dalam safar maupun ketika mukim. Dalam
safar, beliau lebih rutin melaksanakan sunnah fajar dan witir dibandingkan
sunnah-sunnah lainnya, dan tidak diriwayatkan dari beliau ﷺ bahwa beliau
mengerjakan sunnah rawatib selain keduanya ketika safar.
Dari
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: «لَا
تَدَعُوا رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ، وَإِنْ طَرَدَتْكُمُ الْخَيْلُ»
“Janganlah
kalian meninggalkan dua rakaat fajar, sekalipun kuda-kuda menyeruduk kalian.”
[Diriwayatkan
oleh Abu Dawud (1258), dan Ahmad (9253) dengan lafaz darinya. Di nilai dho’if
sanadnya oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Takhrij al-Musnad no. 9253].
Pada
hukum asalnya, dua rakaat sunnah fajar dikerjakan sebelum sholat fardhu,
sebagaimana diriwayatkan dari Ummu Habibah radhiyallahu 'anha bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
«مَنْ صَلَّى فِي يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ
ثِنْتَيْ عَشْرَةَ رَكْعَةً بُنِيَ لَهُ بَيْتٌ فِي الجَنَّةِ: أَرْبَعًا قَبْلَ
الظُّهْرِ، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَهَا، وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ المَغْرِبِ،
وَرَكْعَتَيْنِ بَعْدَ العِشَاءِ، وَرَكْعَتَيْنِ قَبْلَ صَلَاةِ الْفَجْرِ
صَلَاةِ الْغَدَاةِ»
“Barang siapa
dalam sehari semalam mengerjakan dua belas rakaat, dibangunkan untuknya sebuah
rumah di surga: empat rakaat sebelum Zuhur, dua rakaat setelahnya, dua rakaat
setelah Magrib, dua rakaat setelah Isya, dan dua rakaat sebelum sholat fajar.”
[Diriwayatkan
oleh at-Tirmidzi (no. 415) dan ia berkata: “Hadis ini hasan sahih.”
Juga
oleh Muslim no. 728, Ibnu Majah (1141), an-Nasa’i dalam al-Kubra (2/182 no.
1478 & 1493), Ahmad (4/413, 6/326), at-Thabarani dalam al-Kabiir no. 449. Dinilai
Shahih oleh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzy 2/274 no. 415].
Tentang
keutamaan shalat sunnah 2 rakaat Fajar ini telah ditegaskan oleh para imam dan
fuqaha dari mazhab-mazhab yang diikuti, sebagaimana dalam Bada’i‘ ash-Shana’i‘
karya Alauddin al-Kasani al-Hanafi (1/284, Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah), Mawahib
al-Jalil karya Imam al-Haththab al-Maliki (2/66–67, Dar al-Fikr), al-Majmu‘
karya Imam an-Nawawi asy-Syafi‘i (4/7, Dar al-Fikr), dan al-Mughni karya Imam
Ibnu Qudamah al-Hanbali (2/93, Maktabah al-Qahirah).
===***===
KENAPA RASULULLAH ﷺ SENANTIASA SHALAT SUNNAH FAJAR HANYA 2 RAKAAT?
Rasulullah
ﷺ senantiasa melakukan
shalat sunnah Fajar tidak lebih dari 2 rakaat, sebagaimana disebutkan dalam
hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu :
أنَّ رَسولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ
كانَ إذَا اعْتَكَفَ المُؤَذِّنُ لِلصُّبْحِ، وبَدَا الصُّبْحُ، صَلَّى رَكْعَتَيْنِ
خَفِيفَتَيْنِ قَبْلَ أنْ تُقَامَ الصَّلَاةُ.
“ Bahwa
Rasulullah ﷺ ketika
beriktikaf, apabila muazin mengumandangkan adzan subuh dan fajar telah tampak,
beliau sholat dua rakaat ringan sebelum iqamah sholat shubuh ditegakkan”. [Diriwayatkan
oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya no. 618]
Dan
diriwayatkan pula oleh Imam Muslim dari Ibnu Umar dari Hafshah (radhiyallahu ‘anhum)
dengan lafadz :
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ
لَا يُصَلِّي إِلَّا رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ
“Apabila
fajar telah terbit, Rasulullah ﷺ tidak sholat kecuali dua rakaat yang
ringan.” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 723].
Dan
lafadz an-Nasa’i mirip dengan lafadz Bukhori, namun singkat :
أنَّ رسولَ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ
كانَ يصلِّي رَكْعتَينِ ، إذا طلعَ الفجرُ
“Bahwa
Rasulullah ﷺ biasa sholat
dua rakaat ketika fajar terbit”. [Sunan An-Nasa’i no. 1774. Dinilai Shahih oleh
al-Albani].
Imam
An-Nawawi dalam “Syarah Shahih Muslim” 6/2, ketika menjelaskan hadits Ibnu Umar
radhiyallahu 'anhu diatas Ia berkata:
وَلَيْسَ فِي هَذَا الْحَدِيث دَلِيل
ظَاهِر عَلَى الْكَرَاهَة إِنَّمَا فِيهِ الْإِخْبَار بِأَنَّهُ كَانَ ﷺ لَا
يُصَلِّي غَيْر رَكْعَتَيْ السُّنَّة وَلَمْ يَنْهَ عَنْ غَيْرهَا. اهـ.
“Dalam
hadits ini tidak ada dalil yang jelas tentang makruhnya (shalat sunnah Fajar
lebih dari 2 rakaat), yang ada hanyalah pemberitahuan bahwa beliau ﷺ tidak sholat
selain dua rakaat sunnah, namun demikian beliau tidak melarang sholat selainnya”.
(Selesai).
Dan
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :
وَالْإِنْسَانُ قَدْ لَا يَقُومُ مِنْ
اللَّيْلِ فَيُرِيدُ أَنْ يُصَلِّيَ فِي هَذَا الْوَقْتِ، وَقَدْ اسْتَحَبَّ
السَّلَفُ لَهُ قَضَاءَ وِتْرِهِ بَلْ وَقِيَامَهُ مِنْ اللَّيْلِ فِي هَذَا
الْوَقْتِ وَذَلِكَ عِنْدَهُمْ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يُؤَخِّرَهُ إلَى الضُّحَى.اهـ.
Dan
terkadang ada seseorang tidak sempat bangun pada malam hari (untuk shalat tahajjud),
sehingga ia ingin shalat pada waktu ini (setelah adzan fajar). Maka para salaf
menganjurkan baginya untuk mengqadha witirnya bahkan juga sholat malamnya pada
waktu ini. Dan hal itu menurut mereka lebih baik daripada mengakhirkannya
hingga waktu dhuha”. (Selesai). [Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 23/205]
JAWABAN :
Adapun kenapa Rasulullah ﷺ senantiasa shalat sunnah setelah dua rakaat, tidak lebih dari itu? Maka jawabannya -wallahu a’lam- berkemungkinan sebagai berikut: karena Rasulullah ﷺ senantiasa menghabiskan waktu malam harinya untuk shalat tahajjud atau qiyamul lail, sebagaimana diisyaratkan dalam firman Allah SWT :
﴿إِنَّ رَبَّكَ يَعْلَمُ أَنَّكَ تَقُومُ أَدْنَىٰ
مِن ثُلُثَيِ اللَّيْلِ وَنِصْفَهُ وَثُلُثَهُ وَطَائِفَةٌ مِّنَ الَّذِينَ مَعَكَ.
وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ ۚ عَلِمَ أَن لَّن تُحْصُوهُ فَتَابَ عَلَيْكُمْ
ۖ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ ۚ عَلِمَ أَن سَيَكُونُ مِنكُم مَّرْضَىٰ
ۙ وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللَّهِ ۙ وَآخَرُونَ
يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ ۖ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ ۚ وَأَقِيمُوا
الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَقْرِضُوا اللَّهَ قَرْضًا حَسَنًا ۚ وَمَا تُقَدِّمُوا
لِأَنفُسِكُم مِّنْ خَيْرٍ تَجِدُوهُ عِندَ اللَّهِ هُوَ خَيْرًا وَأَعْظَمَ أَجْرًا
ۚ وَاسْتَغْفِرُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَّحِيمٌ﴾
“Sesungguhnya
Tuhanmu mengetahui bahwasanya kamu berdiri (shalat malam) kurang dari dua
pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula)
segolongan dari orang-orang yang bersama kamu.
Dan
Allah menetapkan ukuran malam dan siang.
Allah
mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas
waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah apa
yang mudah (bagimu) dari Al Quran.
Dia
mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang
yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang
lain lagi berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari
Al Quran dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman
kepada Allah pinjaman yang baik.
Dan
kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh
(balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling
besar pahalanya.
Dan
mohonlah ampunan kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang”. [QS. al-Muzammil: 20]
Al-Hafidz
berkata ketika menafsiri ayat diatas :
Yakni
adakalanya kurang dari dua pertiga, dan adakalanya kurang dari seperduanya,
demikianlah seterusnya tanpa kamu sengaja. Tetapi memang kamu tidak mampu
menunaikan qiyamul lail yang diperintahkan kepadamu dengan sepenuhnya,
mengingat pelaksanaannya terasa berat olehmu. Untuk itulah maka disebutkan
dalam firman berikutnya:
﴿وَاللَّهُ يُقَدِّرُ اللَّيْلَ وَالنَّهَارَ﴾
“Dan
Allah menetapkan ukuran malam dan siang”. (Al-Muzzammil: 20)
Yaitu
adakalanya antara siang dan malam hari sama panjangnya, dan adakalanya malam
hari mengambil sebagian waktu siang hari sehingga lebih panjang daripada siang
hari. Demikian pula sebaliknya, terkadang siang lebih panjang daripada malam
hari karena sebagian waktunya diambil oleh siang hari.
﴿عَلِمَ أَنْ لَنْ تُحْصُوهُ﴾
“Allah
mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu
itu”. (Al-Muzzammil: 20)
Yakni
tidak dapat menentukan batas waktu kefarduan yang diwajibkan oleh Allah
kepadamu dalam qiyamul lail.
﴿فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ﴾
“Karena
itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an”. (Al-Muzzammil: 20)
Maksudnya,
tanpa batasan waktu. Tetapi kerjakanlah sholat malam (tahajjud) sesuai
kemampuanmu dan yang mudah olehmu untuk dikerjakan. Dalam ayat ini sholat
diungkapkan dengan kata-kata bacaan Al-Qur'an, yang berarti sholatlah apa yang
mudah bagimu untuk dikerjakan tanpa batasan. [Kutipan Selesai].
===***===
APAKAH SHALAT SUNNAH SETELAH ADZAN FAJAR TIDAK BOLEH LEBIH DARI 2 RAKAAT?
Ada sebuah yang status sanad-nya dhoif sekali, yang melarang sholat sunnah fajar lebih dari 2 rakaat, yaitu
sbb :
Dari
Yasar, maula Ibnu Umar, ia berkata:
رَآنِي ابْنُ عُمَرَ وَأَنَا أُصَلِّي بَعْدَ
طُلُوعِ الْفَجْرِ، فَقَالَ: يَا يَسَارُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ خَرَجَ عَلَيْنَا
وَنَحْنُ نُصَلِّي هَذِهِ الصَّلَاةَ فَقَالَ: "لِيُبَلِّغِ شَاهِدُكُمْ غَائِبَكُمْ،
لَا تُصَلُّوا بَعْدَ الْفَجْرِ إِلَّا سَجْدَتَيْنِ".
Ibnu
Umar melihatku sedang sholat setelah terbit fajar, lalu ia berkata: Wahai
Yasar, sesungguhnya Rasulullah ﷺ keluar menemui kami sementara kami sholat ini,
maka beliau bersabda: “Hendaklah yang hadir di antara kalian menyampaikan
kepada yang tidak hadir, janganlah kalian sholat setelah fajar kecuali dua
sujud (dua rakaat).”
Diriwayatkan
oleh Ahmad (5811), Abu Dawud (1278), At-Tirmidzi (419), Ibnu Majah (235),
Ad-Daruquthni (1/419), dan Al-Baihaqi (2/465) dari hadits Qudamah bin Musa dari
Ayyub bin Hushain dari Abu Alqamah dari Yasar maula Ibnu Umar, ia berkata: Ibnu
Umar melihatku sedang sholat setelah terbit fajar, … hingga akhir hadits.
Dan
redaksi ini adalah milik Ad-Daruquthni! Tidak ada yang meriwayatkannya dengan
lafaz yang disebutkan oleh penulis selain Ad-Daruquthni.
Hadits
dengan sanad dan lafadz ini Hadits ini telah dianggap lemah oleh sejumlah imam
dan ahli hadits, dan Ibnu Hazm menegaskan bahwa hadits ini adalah dusta.
Karena
dalam sanad terdapat “Ayyub bin Hushain”. Dan ada yang mengatakan : “Muhammad
bin Hushain”. Al-Hafizh berkata dalam kitab “At-Taqrib”:
مَجْهُولٌ، وَبَاقِي رِجَالِهِ ثِقَاتٌ
“Dia
itu majhul (tidak dikenal), sedangkan perawi lainnya tsiqat (terpercaya)”.
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata:
إِنَّ الْحَدِيثَ
ضَعِيفٌ
“Sesungguhnya hadits tersebut lemah”. [“Asy-Syarh
Al-Mumti’” (4/51)]
Syu’aib
al-Arna’uth dalam Tahqiq Sunan Abu Daud 2/455 berkata :
هَذَا
إِسْنَادٌ ضَعِيفٌ. أَيُّوبُ بْنُ الْحُصَيْنِ، - وَعِنْدَ التِّرْمِذِيِّ: مُحَمَّدُ
بْنُ الْحُصَيْنِ، وَهُوَ الْأَصَحُّ - قَالَ الدَّارَقُطْنِيُّ: مَجْهُولٌ. وَهُيْبٌ:
هُوَ ابْنُ خَالِدِ بْنِ عَجْلَانَ، وَأَبُو عَلْقَمَةَ: هُوَ الْفَارِسِيُّ مَوْلَى
ابْنِ عَبَّاسٍ.
“Ini
adalah sanad yang lemah. Ayyub bin Al-Hushain – dan menurut At-Tirmidzi:
Muhammad bin Al-Hushain, dan itu yang lebih sahih – Ad-Daruquthni berkata:
majhul (tidak dikenal). Wahib adalah Ibnu Khalid bin ‘Ajlan, dan Abu Alqamah
adalah Al-Farisi, maula Ibnu Abbas”.
Abdul
al-Isybily dalam al-Ahlamul Kubra 2/394 berkata :
وَقَالَ: أَيُّوبُ بْنُ حُصَيْنٍ. قَالَ ابْنُ
أَبِي حَاتِمٍ: وَمُحَمَّدُ بْنُ حُصَيْنٍ أَصَحُّ، وَمُحَمَّدٌ رَوَى عَنْهُ قُدَامَةُ،
وَسُلَيْمَانُ بْنُ بِلَالٍ، وَالدَّرَاوَرْدِيُّ، وَعُمَرُ بْنُ عَلِيٍّ بْنِ مُقَدَّمٍ،
وَلَا يَصِحُّ حَدِيثُهُ فِي هَذَا الْبَابِ.
“Dan
ia berkata: Ayyub bin Hushain. Ibnu Abi Hatim berkata: Muhammad bin Hushain
lebih shahih, dan Muhammad diriwayatkan darinya oleh Qudamah, Sulaiman bin
Bilal, Ad-Darawardi, dan Umar bin Ali bin Muqaddam, namun haditsnya dalam bab
ini tidak sahih”.
Dan
Al-Mundziri dalam Mukhtashar Abi Daud 1/370 no. 1278 berkata :
وَأَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ (٤١٩) وَابْنُ
مَاجَةَ (٢٣٥) مُخْتَصَرًا. وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ: حَدِيثٌ غَرِيبٌ، لَا نَعْرِفُهُ
إِلَّا مِنْ حَدِيثِ قُدَامَةَ بْنِ مُوسَى. وَذَكَرَهُ الْبُخَارِيُّ فِي التَّارِيخِ
الْكَبِيرِ، وَسَاقَ اخْتِلَافَ الرُّوَاةِ فِيهِ.
“Dan
At-Tirmidzi (419) serta Ibnu Majah (235) meriwayatkannya secara ringkas. At-Tirmidzi
berkata: Hadits ini gharib, kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits
Qudamah bin Musa. Al-Bukhari menyebutkannya dalam “At-Tarikh Al-Kabir” dan
mengemukakan perbedaan para perawi dalam riwayat ini”.
Hadits
ini memiliki syahid dari hadits Abdullah bin Amr yang diriwayatkan oleh
Al-Baihaqi (2/465) dan Ad-Daruquthni (6/419) melalui jalur Abdurrahman bin
Ziyad bin An'um dari Abdullah bin Yazid darinya secara marfu’:
"لَا صَلَاةَ بَعْدَ الْفَجْرِ إِلَّا رَكْعَتَيْنِ"
“Tidak
ada sholat setelah fajar kecuali dua rakaat.”
Al-Baihaqi
berkata:
"فِي إِسْنَادِهِ مَنْ لَا يُحْتَجُّ بِهِ"
“Dalam
sanadnya terdapat orang yang tidak bisa dijadikan hujjah.”
Yang
dimaksud adalah Abdurrahman bin Ziyad bin An'um yang lemah dalam hafalannya
sebagaimana disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam “At-Taqrib”.
===***===
PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG SHALAT SUNNAH FAJAR LEBIH DARI 2 RAKAAT:
Shalat
rawatib fajar adalah dua rakaat, namun para ulama berbeda pendapat tentang
hukum sholat setelah terbit fajar selain dua rakaat ini.
****
PENDAPAT PERTAMA : BOLEH (MUBAH):
Ini
adalah pendapat yang shahih dalam madzhab Imam asy-Syafi’i, Imam Malik, Imam al-Awza’i
dan salah satu riwayat dari pendapat Imam Ahmad.
Dan
ini adalah yang dipilih oleh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, Syeikh al-Utsaimin,
Syeikh Lu’ai Ali dan lain-nya .
Di
antara ulama yang merinci permasalahan ini adalah Imam An-Nawawi dalam “Syarah
Shahih Muslim” 6/2 . Ia berkata ketika menjelaskan hadits Hafshah radhiyallahu
'anha:
قَوْلُهُ : (رَكَعَ رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ)
فِيهِ أَنَّهُ يُسَنُّ تَخْفِيفُ سُنَّةِ الصُّبْحِ وَأَنَّهُمَا رَكْعَتَانِ قَوْلُهُ
: كَانَ إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ لَا يُصَلِّي إِلَّا رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ".
قَدْ يَسْتَدِلُّ بِهِ مَنْ يَقُولُ تُكْرَهُ الصَّلَاةُ مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ
إِلَّا سُنَّةُ الصُّبْحِ وَمَا لَهُ سَبَبٌ.
وَلِأَصْحَابِنَا فِي الْمَسْأَلَةِ ثَلَاثَةُ
أَوْجُهٍ :
أَحَدهَا: هَذَا، وَنَقَلَهُ الْقَاضِي
عَنْ مَالِك وَالْجُمْهُور.
وَالثَّانِي: لَا تَدْخُل الْكَرَاهَة
حَتَّى يُصَلِّي سُنَّة الصُّبْح .
وَالثَّالِث: لَا تَدْخُل الْكَرَاهَة
حَتَّى يُصَلِّي فَرِيضَة الصُّبْح, وَهَذَا هُوَ الصَّحِيح عِنْد أَصْحَابنَا،
وَلَيْسَ فِي هَذَا الْحَدِيث دَلِيل ظَاهِر عَلَى الْكَرَاهَة إِنَّمَا فِيهِ
الْإِخْبَار بِأَنَّهُ كَانَ ﷺ لَا يُصَلِّي غَيْر رَكْعَتَيْ السُّنَّة وَلَمْ
يَنْهَ عَنْ غَيْرهَا. اهـ.
Perkataan-nya:
“Bahwa beliau ﷺ jika telah terbit fajar tidak sholat kecuali dua rakaat
yang ringan.” Hal ini dapat
dijadikan dalil oleh orang yang mengatakan: dimakruhkan sholat sejak terbit
fajar kecuali sholat sunnah subuh dan sholat yang memiliki sebab.
Bagi
para ulama kami (mazhab Syafi’i) dalam masalah ini ada tiga pendapat:
Pertama: pendapat ini, dan hal ini dinukil oleh Al-Qadhi dari
Malik dan jumhur.
Kedua: larangan (makruh) tidak berlaku sampai ia melaksanakan sholat
sunnah subuh.
Ketiga: larangan (makruh) tidak berlaku sampai ia melaksanakan sholat
fardu subuh.
Inilah
pendapat yang shahih menurut para ulama kami.
Dalam
hadits ini tidak ada dalil yang jelas tentang makruhnya, yang ada hanyalah
pemberitahuan bahwa beliau ﷺ tidak sholat selain dua rakaat sunnah, dan
beliau tidak melarang sholat lainnya. (Selesai).
Dari
sini tampak bahwa An-Nawawi menguatkan pendapat yang mengatakan tidak makruh.
Al-‘Amrani, salah satu ulama fikih dari
kalangan Syafi’iyah, berkata dalam kitab “Al-Bayan” (2/357-358):
وَهَلْ يُكْرَهُ
التَّنَفُّلُ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ بِغَيْرِ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ؟ اخْتَلَفَ أَصْحَابُنَا
فِيهِ:
فَقَالَ الشَّيْخُ
أَبُو إِسْحَاقَ: وَهَلْ يُكْرَهُ ذَلِكَ صَلَّى رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ، فِيهِ وَجْهَانِ:
أَحَدُهُمَا: يُكْرَهُ؛
لِمَا رَوَى ابْنُ عُمَرَ: أَنَّ النَّبِيَّ - ﷺ - قَالَ: «لِيُبَلِّغِ الشَّاهِدُ
الْغَائِبَ، أَلَا لَا تُصَلُّوا بَعْدَ الْفَجْرِ إِلَّا سَجْدَتَيْنِ».
وَالثَّانِي: لَا
يُكْرَهُ؛ لِـ: (أَنَّ النَّبِيَّ - ﷺ - لَمْ يَنْهَ إِلَّا بَعْدَ الصُّبْحِ، حَتَّى
تَطْلُعَ الشَّمْسُ).
وَظَاهِرُ كَلَامِ
الشَّيْخِ أَبِي إِسْحَاقَ: أَنَّهُ لَا يُكْرَهُ التَّنَفُّلُ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ
لِمَنْ لَمْ يُصَلِّ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ.
وَذَكَرَ ابْنُ
الصَّبَّاغِ: أَنَّ الْوَجْهَيْنِ فِي كَرَاهَةِ التَّنَفُّلِ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ
مِنْ غَيْرِ تَفْصِيلٍ:
أَحَدُهُمَا - وَهُوَ
ظَاهِرُ مَذْهَبِ الشَّافِعِيِّ -: أَنَّهُ يُكْرَهُ، وَبِهِ قَالَ ابْنُ عُمَرَ، وَعَبْدُ
اللَّهِ بْنُ عُمَرَ، وَابْنُ الْمُسَيِّبِ، وَالنَّخَعِيُّ، وَأَبُو حَنِيفَةَ.
[وَالثَّانِي]: قَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا: لَا
يُكْرَهُ. وَبِهِ قَالَ مَالِكٌ، وَالْأَوْزَاعِيُّ.
Apakah makruh melakukan sholat sunnah setelah terbit fajar
selain dua rakaat sunnah fajar? Para ulama kami berbeda pendapat dalam hal ini:
Asy-Syaikh Abu Ishaq berkata: Apakah makruh
hal itu jika telah sholat dua rakaat sunnah fajar? Dalam hal ini ada dua
pendapat:
Pertama: Makruh, berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar bahwa
Nabi ﷺ bersabda: “Hendaklah yang hadir menyampaikan kepada yang tidak
hadir. Ketahuilah, janganlah kalian sholat setelah fajar kecuali dua sujud (dua
rakaat).”
Kedua: Tidak makruh, karena Nabi ﷺ tidak melarang kecuali
setelah sholat Subuh hingga matahari terbit.
Dan lahir dari perkataan Asy-Syaikh Abu Ishaq: tidak makruh sholat sunnah setelah
terbit fajar bagi orang yang belum sholat dua rakaat sunnah fajar.
Ibnu Ash-Sobbagh menyebutkan : bahwa dua
pendapat ini dalam masalah kemakruhan sholat sunnah setelah terbit fajar tanpa
perincian:
Pertama : dan ini yang tampak dari mazhab Asy-Syafi’i:
bahwa hukumnya makruh, dan pendapat ini dipegang oleh Ibnu Umar, Abdullah bin
Umar, Ibnu Al-Musayyib, An-Nakha’i, dan Abu Hanifah.
Kedua: Sebagian ulama kami berkata: tidak makruh.
Dan ini adalah pendapat Malik dan Al-Auza’i. [SELESAI]
===
RIWAYAT DARI IMAM AHMAD
Dan dari Imam Ahmad terdapat riwayat lain yang
sejalan dengan mazhab Syafi’i, bahwa larangan tersebut terkait dengan sholat
setelah shalat shubuh. Maka apabila seseorang telah seleisai sholat Subuh, maka
ia harus menahan diri dari sholat, berdasarkan riwayat Abu Sa’id bahwa Nabi ﷺ bersabda:
«لَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاةِ الْعَصْرِ حَتَّى
تَغْرُبَ الشَّمْسُ، وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ صَلَاةِ الْفَجْرِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ»
““Tidak ada sholat setelah sholat Asar hingga
matahari terbenam, dan tidak ada sholat setelah sholat Subuh hingga matahari
terbit.”“ (HR. Muslim, no. 827)
Dan dalam hadits Amr bin Abasah, Nabi ﷺ bersabda:
«صَلِّ صَلَاةَ الصُّبْحِ، ثُمَّ أَقْصِرْ
عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ
حِينَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ،
ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ
بِالرُّمْحِ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ، فَإِنَّ حِينَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ،
فَإِذَا أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ، فَإِنَّ الصَّلَاةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُورَةٌ حَتَّى
تُصَلِّيَ الْعَصْرَ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلَاةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا
تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِينَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ»
“Laksanakanlah sholat Subuh, kemudian berhentilah dari sholat hingga matahari terbit dan naik (setinggi tombak), karena sesungguhnya matahari terbit di antara dua tanduk setan, dan pada saat itu orang-orang kafir bersujud kepadanya.
Setelah itu sholatlah, karena sholat pada waktu tersebut disaksikan (oleh para malaikat) dan dihadiri, hingga bayangan condong seukuran tombak (tanda masuk waktu Zuhur).
Kemudian berhentilah dari sholat, karena pada saat itu neraka Jahannam sedang dinyalakan.
Jika bayangan telah condong (setelah Zuhur) maka sholatlah, karena sholat pada waktu itu disaksikan dan dihadiri, hingga engkau melaksanakan sholat 'Ashar.
Kemudian
berhentilah dari sholat hingga matahari terbenam, karena sesungguhnya ia
terbenam di antara dua tanduk setan, dan pada saat itu orang-orang kafir
bersujud kepadanya.”.”“ (HR. Muslim, no. 832)
Makna hadits ini menunjukkan bahwa waktu
larangan dimulai setelah pelaksanaan sholat Subuh, bukan sejak terbit fajar.
Lihat: “Al-Majmu’” (4/76), “Al-Mughni”
(1/428), dan “Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah” (7/183).
====
FATWA SYEIKHUL ISLAM IBNU TAIMIYAH
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata :
فَهَذَا فِيهِ إبَاحَةُ
الصَّلَاةِ بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ ....
فَإِذَا قِيلَ: لَا سُنَّةَ بَعْدَ طُلُوعِ
الْفَجْرِ إلَّا رَكْعَتَانِ فَهَذَا صَحِيحٌ وَأَمَّا النَّهْيُ الْعَامُّ فَلَا.
وَالْإِنْسَانُ
قَدْ لَا يَقُومُ مِنْ اللَّيْلِ فَيُرِيدُ أَنْ يُصَلِّيَ فِي هَذَا الْوَقْتِ، وَقَدْ
اسْتَحَبَّ السَّلَفُ لَهُ قَضَاءَ وِتْرِهِ بَلْ وَقِيَامَهُ مِنْ اللَّيْلِ فِي هَذَا
الْوَقْتِ وَذَلِكَ عِنْدَهُمْ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يُؤَخِّرَهُ إلَى الضُّحَى.اهـ.
“Hadits ini menunjukkan bolehnya sholat antara dua adzan .....
Apabila
ada yang berkata : ‘tidak ada sunnah setelah terbit fajar kecuali dua rakaat’,
maka itu benar, sedangkan larangan umum, maka itu tidak berlaku (tidak ada
larangan).
Dan terkadang ada seseorang yang tidak bangun
di malam hari (untuk shalat tahajjud) sehingga ia ingin melakukan shalatnya
pada waktu ini (setelah adzan Fajar). Maka para salaf menganjurkan baginya
untuk mengqodho witirnya bahkan juga sholat malamnya pada waktu ini (stelah
adzan fajar), dan hal itu menurut mereka lebih baik daripada mengakhirkannya
hingga waktu dhuha.” (Selesai). [Majmu’ Al-Fatawa 23/205 :]
===
FATWA SYEIKH AL-‘UTSAIMIN :
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah lebih
memilih pendapat ini, yaitu bahwa setelah sholat Subuh hingga matahari terbit
adalah waktu larangan.
Sedangkan sebelum sholat Subuh, bukan waktu
larangan, tetapi tidak dianjurkan di dalamnya kecuali dua rakaat sunnah fajar.
Syaikh Al-‘Utsaimin pernah ditanya :
Apakah antara terbit fajar kedua (fajar
shadiq) dan shalat Subuh ada shalat lain selain dua rakaat sunnah fajar? Dan
apakah orang yang shalat antara terbit fajar dan shalat Subuh lebih dari sunnah
fajar berdosa atau tidak?
Jawaban: Syaikh menjawab:
الصَّحِيحُ أَنَّ
مَنْ صَلَّى بَيْنَ طُلُوعِ الْفَجْرِ وَصَلَاةِ الْفَجْرِ صَلَاةً سِوَى سُنَّةِ الْفَجْرِ
فَإِنَّهُ لَا يَأْثَمُ؛ لِأَنَّ وَقْتَ النَّهْيِ لَا يَدْخُلُ إِلَّا بَعْدَ صَلَاةِ
الصُّبْحِ كَمَا ثَبَتَ ذَلِكَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُقَيَّدًا
بِهَا، وَلَكِنْ لَيْسَ مِنَ السُّنَّةِ أَنْ يُصَلِّيَ أَكْثَرَ مِنْ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ؛
لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ لَا يُصَلِّي إِذَا طَلَعَ
الْفَجْرُ إِلَّا رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ وَهُمَا رَاتِبَةُ الْفَجْرِ إِلَّا أَنْ
يَكُونَ لِذَلِكَ سَبَبٌ كَمَا لَوْ صَلَّى الْإِنْسَانُ رَاتِبَةَ الْفَجْرِ فِي بَيْتِهِ
ثُمَّ جَاءَ إِلَى الْمَسْجِدِ قَبْلَ الْإِقَامَةِ فَإِنَّهُ لَا يَجْلِسُ حَتَّى
يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ تَحِيَّةَ الْمَسْجِدِ، فَإِذَا صَلَّاهُمَا جَلَسَ يَنْتَظِرُ
إِقَامَةَ الصَّلَاةِ.
Pendapat yang benar adalah bahwa orang yang
shalat antara terbit fajar dan shalat Subuh dengan shalat selain sunnah fajar, maka
dia tidak berdosa; karena waktu larangan (shalat) tidak dimulai kecuali
setelah shalat Subuh, sebagaimana hal itu telah tetap dari Nabi ﷺ yang menegaskannya.
Akan tetapi, bukan termasuk sunnah untuk
shalat lebih dari dua rakaat sunnah fajar; karena Nabi ﷺ tidak pernah shalat ketika
fajar telah terbit kecuali dua rakaat ringan, yaitu sunnah rawatib fajar,
kecuali jika ada sebab, seperti seseorang yang shalat sunnah fajar di rumahnya
kemudian datang ke masjid sebelum iqamah, maka dia tidak boleh duduk sampai
shalat dua rakaat tahiyatul masjid. Jika dia telah shalatnya, maka dia duduk
menunggu iqamah shalat.
[Sumber : Al-Allamah Ibnu ‘Utsaimin
rahimahullah. Nama seri: “Fatawa Nur ‘ala ad-Darb” > Kaset nomor 35. Klasifikasi
fikih: Shalat].
Dan Syeikh al-Utsaimin juga menyatakan :
وَلَكِنِ الْقَوْلُ
الصَّحِيحُ: أَنَّ النَّهْيَ يَتَعَلَّقُ بِصَلَاةِ الْفَجْرِ نَفْسِهَا، وَأَمَّا
مَا بَيْنَ الْأَذَانِ وَالْإِقَامَةِ فَلَيْسَ وَقْتًا، لَكِنْ لَا يُشْرَعُ فِيهِ
سِوَى رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ... فَإِذَا كَانَ هَذَا هُوَ الْقَوْلَ الصَّحِيحَ؛ فَمَا
الْجَوَابُ عَنِ الْحَدِيثِ الَّذِي اسْتَدَلَّ بِهِ الْمُؤَلِّفُ؟
الْجَوَابُ عَنْ
ذَلِكَ مِنْ وَجْهَيْنِ:
أَحَدُهُمَا: أَنَّ
الْحَدِيثَ ضَعِيفٌ.
الثَّانِي: عَلَى
تَقْدِيرِ أَنَّ الْحَدِيثَ صَحِيحٌ؛ يُحْمَلُ قَوْلُهُ: «لَا صَلَاةَ بَعْدَ طُلُوعِ
الْفَجْرِ» عَلَى نَفْيِ الْمَشْرُوعِيَّةِ، أَيْ: لَا يُشْرَعُ لِلْإِنْسَانِ أَنْ
يَتَطَوَّعَ بِنَافِلَةٍ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ إِلَّا رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ، وَهَذَا
حَقٌّ؛ فَإِنَّهُ لَا يَنْبَغِي لِلْإِنْسَانِ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ أَنْ يَتَطَوَّعَ
بِغَيْرِ رَكْعَتَيِ الْفَجْرِ، فَلَوْ دَخَلْتَ الْمَسْجِدَ وَصَلَّيْتَ رَكْعَتَيِ
الْفَجْرِ، وَلَمْ يَحِنْ وَقْتُ الصَّلَاةِ وَقُلْتَ: سَأَتَطَوَّعُ؟ قُلْنَا لَكَ:
لَا تَفْعَلْ؛ لِأَنَّ هَذَا غَيْرُ مَشْرُوعٍ، لَكِنْ لَوْ فَعَلْتَ لَمْ تَأْثَمْ،
وَإِنَّمَا قُلْنَا: غَيْرُ مَشْرُوعٍ؛ لِأَنَّ الرَّسُولَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
إِنَّمَا كَانَ يُصَلِّي رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ. وَهِيَ
سُنَّةُ الْفَجْرِ فَقَطْ، يَعْنِي: بَلْ حَتَّى تَطْوِيلُ الرَّكْعَتَيْنِ لَيْسَ
بِمَشْرُوعٍ. اِنْتَهَى.
“Akan tetapi pendapat yang benar adalah bahwa
larangan itu terkait dengan sholat Subuh itu sendiri, sedangkan waktu antara adzan
dan iqamah bukanlah waktu larangan, tetapi tidak disyariatkan di dalamnya
kecuali dua rakaat sunnah fajar... Jika ini adalah pendapat yang benar,
bagaimana menjawab hadits yang dijadikan dalil oleh penulis?
Jawabannya ada dua:
Pertama: hadits tersebut lemah.
Kedua: seandainya hadits itu sahih, maka sabdanya “‘tidak
ada sholat setelah terbit fajar’” ditafsirkan sebagai tidak adanya kesunnahan,
maksudnya: tidak disyariatkan bagi seseorang untuk melakukan sholat sunnah
setelah terbit fajar kecuali dua rakaat sunnah fajar. Dan ini benar, karena
tidak selayaknya seseorang melakukan sholat sunnah selain dua rakaat sunnah
fajar setelah terbit fajar. Maka jika engkau masuk masjid, lalu sholat dua
rakaat sunnah fajar, kemudian belum tiba waktu iqamah, lalu engkau berkata:
‘Saya akan sholat sunnah lagi,’ maka kami katakan: jangan lakukan, karena hal
itu tidak disyariatkan. Tetapi jika engkau lakukan, engkau tidak berdosa.
Kami hanya mengatakan tidak disyariatkan
karena Rasulullah ﷺ hanya sholat dua rakaat
ringan setelah terbit fajar, yaitu sunnah fajar saja. Bahkan memperpanjang dua
rakaat tersebut pun tidak disyariatkan.” (Selesai, diringkas dari “Asy-Syarh
Al-Mumti’” (4/51)).
====
FATWA SYEIKH LU’AI ‘ALI :
Syaikh Luai ‘Ali berkata:
ثَمَانِيةُ مَعْلُومَاتٍ عَنْ
كَيْفِيَّةِ أَدَاءِ صَلَاةِ الْفَجْرِ
1. اتَّفَقَ الْعُلَمَاءُ عَلَى أَنَّ عَدَدَ
رَكَعَاتِ صَلَاةِ فَرْضِ الْفَجْرِ اثْنَتَانِ.
2. لَهَا سُنَّةٌ قَبْلِيَّةٌ عَدَدُهَا كَذَلِكَ
رَكْعَتَانِ فَقَطْ وَلَيْسَتْ لَهَا سُنَّةٌ بَعْدِيَّةٌ.
3. تُؤَدَّى صَلَاةُ الْفَجْرِ عِنْدَمَا يَطْلُعُ
الْفَجْرُ الصَّادِقُ أَيْ عِنْدَ أَذَانِ الْفَجْرِ الثَّانِي.
4. يَمْتَدُّ وَقْتُ الْفَجْرِ إِلَى شُرُوقِ
الشَّمْسِ وَهُوَ الْوَقْتُ الَّذِي يَبْدَأُ فِيهِ ضَوْءُ النَّهَارِ بِالتَّجَلِّي
وَالظُّهُورِ وَتَخْتَفِي فِيهِ ظُلْمَةُ اللَّيْلِ وَتَزُولُ.
5. صَلَاةُ الْفَجْرِ صَلَاةٌ جَهْرِيَّةٌ كُلُّهَا
فَيَجِبُ عَلَى الْمُسْلِمِ أَنْ يَجْهَرَ فِي الْقِرَاءَةِ حِينَ يُؤَدِّيهَا.
6. لِصَلَاةِ الْفَجْرِ سُنَّةٌ رَاتِبَةٌ قَبْلِيَّةٌ
فَقَطْ وَذَلِكَ بِاتِّفَاقِ الْفُقَهَاءِ، وَلَيْسَتْ لَهَا سُنَّةٌ بَعْدِيَّةٌ مُطْلَقًا.
7. لَا يَجُوزُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يُصَلِّيَ بَعْدَ
إِتْمَامِ فَرْضِ الْفَجْرِ إِلَّا إِنْ صَلَّى مَا لَهُ سَبَبٌ مَشْرُوعٌ كَأَنْ يَقْضِيَ
سُنَّةَ الْفَجْرِ الْقَبْلِيَّةَ.
8. يَجُوزُ أَنْ يُصَلِّيَ الْمُسْلِمُ قَبْلَ
أَدَاءِ فَرْضِ الْفَجْرِ رَكْعَتَيْ سُنَّةٍ، وَهِيَ السُّنَّةُ الرَّاتِبَةُ، وَيَجُوزُ
لَهُ أَنْ يَزِيدَ فَيُصَلِّيَ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَنَفُّلًا أَوْ أَكْثَرَ مِنْ ذَلِكَ،
لَكِنِ الرَّاتِبَةُ مِنْهَا رَكْعَتَانِ فَقَطْ.
"8 maklumat tentang tata cara
melaksanakan shalat Subuh":
[1]. Ulama sepakat bahwa jumlah rakaat shalat
fardhu Subuh adalah dua rakaat.
[2]. Memiliki sunnah qabliyah sebanyak dua
rakaat saja dan tidak memiliki sunnah ba’diyah.
[3]. Shalat Subuh dilaksanakan ketika terbit
fajar shadiq, yaitu pada waktu adzan fajar kedua.
[4]. Waktu Subuh berakhir sampai terbitnya
matahari, yaitu waktu ketika cahaya siang mulai tampak jelas dan hilangnya
kegelapan malam.
[5]. Shalat Subuh adalah shalat jahriyah
(dikeraskan bacaannya) seluruhnya, sehingga seorang muslim harus mengeraskan
bacaan ketika menunaikannya.
[6]. Shalat Subuh hanya memiliki sunnah
rawatib qabliyah saja, dan ini berdasarkan kesepakatan para fuqaha, serta tidak
ada sunnah ba’diyah sama sekali.
[7]. Tidak boleh bagi seorang muslim untuk
shalat setelah menyelesaikan shalat fardhu Subuh, kecuali shalat yang memiliki
sebab yang disyariatkan, seperti mengqadha’ sunnah fajar yang tertinggal.
[8]. Boleh seorang muslim shalat sebelum melaksanakan shalat fardhu Subuh dengan dua rakaat sunnah, yaitu sunnah rawatib, dan boleh dia menambah shalat empat rakaat sebagai sunnah mutlak atau lebih dari itu. Akan tetapi, sunnah rawatibnya hanya dua rakaat saja.
****
PENDAPAT KEDUA : MAKRUH
Ada
sebagian para ulama salaf yang berpendapat bahwa dimakruhkan melakukan sholat sunnah
setelah terbit fajar kecuali dua rakaat tersebut. Pendapat ini dipegang oleh
sejumlah ulama salaf.
Ibnu
Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf 2/135 no. 7372 meriwayatkan dari Ibrahim, ia
berkata:
«كَانُوا يَكْرَهُونَ إِذَا طَلَعَ الْفَجْرُ
أَنْ يُصَلُّوا، إِلَّا رَكْعَتَيْنِ»
“Mereka
(para salaf) mengangap makruh jika seseorang sholat setelah terbit
fajar kecuali dua rakaat”.
Dan Mazhab Hanbali berpendapat bahwa sholat
sunnah setelah terbit fajar dilsyari'atkan, kecuali dua rakaat shalat sunnah fajar
saja.
Disebutkan dalam “Daqā’iq
Uli an-Nuhā” (1/275):
"مِنْ طُلُوعِ الْفَجْرِ الثَّانِي إِلَى
طُلُوعِ الشَّمْسِ" اِنْتَهَى.
"Waktu-waktu larangan sholat ada lima,
salah satunya: “‘Sejak terbit fajar kedua hingga terbit matahari’”.” Selesai.
Maksudnya, apabila fajar telah terbit maka
seseorang hanya di sunnahkan sholat dua rakaat sunnah fajar saja, kemudian
menahan diri dari sholat lainnya. Hal ini berdasarkan hadits yang disebutkan
diatas, hadits riwayat Abu Dawud (1278) dari Yasar, budak Ibnu Umar, ia
berkata: Ibnu Umar melihatku sedang sholat setelah terbit fajar .. dst .
Hal ini didasarkan pada pandangan bahwa
larangan tersebut terkait dengan waktu — yaitu terbitnya fajar — bukan dengan
pelaksanaan sholat .
At-Tirmidzi
bahkan menyebutkan adanya ijma’ bahwa tidak ada sholat sunnah setelah terbit
fajar selain dua rakaat rawatib fajar. Ia berkata:
وَهُوَ مَا اجْتَمَعَ عَلَيْهِ أَهْلُ
الْعِلْمِ كَرِهُوا أَنْ يُصَلِّيَ الرَّجُلُ بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ
إِلَّا رَكْعَتَيْ الْفَجْرِ. اهـ.
“Inilah
yang disepakati secara ijma’ oleh para ulama. Mereka memakruhkan seseorang shalat
setelah terbit fajar kecuali dua rakaat fajar.” [Sunan at-Tirmidzy 2/278 no.
419]
BANTAHAN
:
Al-Hafizh Ibnu Hajar membantah klaim ijma’ at-Tirmidzy ini dalam kitab at-Talkhish al-Habir 1/483 (Cet. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah). Ia berkata:
دَعْوَى التِّرْمِذِيِّ الْإِجْمَاعَ عَلَى
الْكَرَاهَةِ لِذَلِكَ عَجِيبٌ فَإِنَّ الْخِلَافَ فِيهِ مَشْهُورٌ حَكَاهُ ابْنُ
الْمُنْذِرِ وَغَيْرُهُ
“Klaim
at-Tirmidzi tentang adanya ijma’ atas kemakruhan hal tersebut adalah hal yang
mengherankan, karena perselisihan dalam masalah ini sangat masyhur, sebagaimana
yang disebutkan oleh Ibnu al-Mundzir dan selainnya.”
****
PENDAPAT KE TIGA : HARAM, BID’AH SESAT DAN TERANCAM ADZAB NERAKA:
Ini adalah pendapat seorang ulama dari
kalangan tabi’in senior, yang bernama Sa’id bin Al-Musayyib -rahimahullah- (wafat
94 H).
Dan inilah yang dijadikan pegangan dan
rujukan oleh Syeikh al-Albani rahimahullah.
Telah diriwayatkan dari Sa’id bin Al-Musayyib:
أَنَّهُ رَأَى رَجُلًا
يُصَلِّي بَعْدَ طُلُوعِ الْفَجْرِ أَكْثَرَ مِنْ رَكْعَتَيْنِ يُكْثِرُ فِيهَا
الرُّكُوعَ، وَالسُّجُودَ فَنَهَاهُ، فَقَالَ: يَا أَبَا مُحَمَّدٍ يُعَذِّبُنِي اللهُ
عَلَى الصَّلَاةِ؟ قَالَ: " لَا وَلَكِنْ يُعَذِّبُكَ عَلَى خِلَافِ السُّنَّةِ
"
“Bahwa ia melihat seorang laki-laki shalat
setelah terbit fajar lebih dari dua rakaat dengan banyak ruku’ dan sujud, maka
ia melarangnya. Laki-laki itu berkata:
“Wahai Abu Muhammad! Apakah Allah akan
menyiksa-ku (meng-adzab-ku) karena shalat?”
Ia menjawab: “Tidak, tetapi Allah akan
menyiksamu karena menyelisihi sunnah.”
[Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq (4755)
melalui jalur Sufyan, juga oleh Al-Marwazi dalam “Mukhtashar Qiyam al-Lail”
halaman 80, dan Al-Baihaqi dalam “As-Sunan al-Kubra” 5/238 nomor 4505. Lihat
juga “Al-Ma’rifah” 2/282 setelah (1333).
Adz-Dzahabi berkata dalam “Al-Muhadzdzab fi
Ikhtishar As-Sunan al-Kubra” 2/897 nomor 3936: Sanadnya kuat (إِسْنَادُهُ قَوِيٌّ)”.
Dan dinilai shahih sanadnya oleh al-Albani
dalam “Irwa’ul Ghalil” 2/236.
Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata:
وَهٰذَا مِنْ بَدَائِعِ
أَجْوِبَةِ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى، وَهُوَ سِلَاحٌ قَوِيٌّ
عَلَى الْمُبْتَدِعَةِ الَّذِينَ يَسْتَحْسِنُونَ كَثِيرًا مِنَ الْبِدَعِ بِاسْمِ
أَنَّهَا ذِكْرٌ وَصَلَاةٌ، ثُمَّ يُنْكِرُونَ عَلَى أَهْلِ السُّنَّةِ إِنْكَارَ ذٰلِكَ
عَلَيْهِمْ وَيَتَّهِمُونَهُمْ بِأَنَّهُمْ يُنْكِرُونَ الذِّكْرَ وَالصَّلَاةَ! وَهُمْ
فِي الْحَقِيقَةِ إِنَّمَا يُنْكِرُونَ خِلَافَهُمْ لِلسُّنَّةِ فِي الذِّكْرِ وَالصَّلَاةِ
وَنَحْوِ ذٰلِكَ. اِنْتَهَى.
“Ini termasuk jawaban indah dari Sa’id bin
Al-Musayyib rahimahullah, dan merupakan senjata yang kuat terhadap para ahli
bid’ah yang menganggap baik banyak bid’ah dengan nama dzikir dan shalat, lalu
mereka mengingkari Ahlus Sunnah ketika Ahlus Sunnah mengingkari hal itu kepada
mereka dan menuduh mereka (Ahlus Sunnah) bahwa mereka mengingkari dzikir dan
shalat!! Padahal sebenarnya mereka (Ahlus Sunnah) hanya mengingkari perbuatan
yang menyelisihi sunnah dalam dzikir, shalat, dan semisalnya.” (Selesai dari “Irwa’ul
Ghalil” 2/236).
Al-Albani juga berkata:
أَمَّا أَنْ يُصَلِّيَ
نَفْلًا مُطْلَقًا فَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُصَلِّيَ بَعْدَ أَذَانِ الْفَجْرِ إِلَّا رَكْعَتَيِ
الْفَجْرِ
“Adapun shalat sunnah mutlak, maka tidak
boleh (haram) dilakukan setelah adzan fajar kecuali dua rakaat sunnah fajar.”
[Sumber: “Ahlul Hadits wal Atsar – Fatawa
Jeddah” no. 24].
===***===
TARJIH :
Dan
pendapat yang paling adil dalam masalah ini menurut kami adalah pendapat yang
dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, yaitu :
“Bolehnya sholat setelah terbit fajar meskipun lebih dari
dua rakaat dengan syarat tidak dijadikan kebiasaan dan tidak dianggap sebagai
sunnah yang tetap.”
Ibnu
Taimiyah rahimahullah berkata dalam Majmu’ Al-Fatawa 23/205 :
فَهَذَا فِيهِ إبَاحَةُ الصَّلَاةِ بَيْنَ
كُلِّ أَذَانَيْنِ، كَمَا كَانَ الصَّحَابَةُ يُصَلُّونَ رَكْعَتَيْنِ بَيْنَ أَذَانَيْ
الْمَغْرِبِ، وَالنَّبِيُّ ﷺ يَرَاهُمْ وَيُقِرُّهُمْ عَلَى ذَلِك، فَكَذَلِكَ الصَّلَاةُ
بَيْنَ أَذَانَيْ الْعَصْرِ وَالْعِشَاءِ كَذَلِكَ بَيْنَ أَذَانَيْ الْفَجْرِ وَالظُّهْرِ،
لَكِنْ بَيْنَ أَذَانَيْ الْفَجْرِ الرَّكْعَتَانِ سُنَّةٌ بِلَا رَيْبٍ، وَمَا سِوَاهَا
يُفْعَلُ، وَلَا يُتَّخَذُ سُنَّةً؛ فَلَا يُدَاوِمُ عَلَيْهِ، وَيُؤْمَرُ بِهِ جَمِيعُ
الْمُسْلِمِينَ كَمَا هُوَ حَالُ السُّنَّةِ فَإِنَّ السُّنَّةَ تَعُمُّ الْمُسْلِمِينَ،
وَيُدَاوِمُ عَلَيْهَا كَمَا أَنَّهُمْ كُلُّهُمْ مَسْنُونٌ لَهُمْ رَكْعَتَا الْفَجْرِ
وَالْمُدَاوَمَةُ عَلَيْهَا .
فَإِذَا قِيلَ: لَا سُنَّةَ بَعْدَ طُلُوعِ
الْفَجْرِ إلَّا رَكْعَتَانِ فَهَذَا صَحِيحٌ وَأَمَّا النَّهْيُ الْعَامُّ فَلَا.
وَالْإِنْسَانُ قَدْ لَا يَقُومُ مِنْ اللَّيْلِ
فَيُرِيدُ أَنْ يُصَلِّيَ فِي هَذَا الْوَقْتِ، وَقَدْ اسْتَحَبَّ السَّلَفُ لَهُ قَضَاءَ
وِتْرِهِ بَلْ وَقِيَامَهُ مِنْ اللَّيْلِ فِي هَذَا الْوَقْتِ وَذَلِكَ عِنْدَهُمْ
خَيْرٌ مِنْ أَنْ يُؤَخِّرَهُ إلَى الضُّحَى.اهـ.
“Hadits
ini menunjukkan bolehnya sholat antara dua adzan, sebagaimana para sahabat
dahulu sholat dua rakaat di antara dua adzan Magrib, dan Nabi ﷺ melihat mereka
serta membiarkan mereka melakukan itu.
Demikian
pula sholat di antara dua adzan Ashar dan Isya, begitu pula antara dua adzan
Subuh dan Zuhur.
Namun,
di antara dua adzan Subuh, dua rakaat tersebut adalah sunnah tanpa ragu,
sedangkan selainnya boleh dilakukan tetapi tidak dijadikan sebagai sunnah yang
tetap; maka jangan dilakukan terus-menerus dan jangan diperintahkan kepada
seluruh kaum muslimin sebagaimana halnya sunnah. Karena sunnah berlaku umum
untuk seluruh kaum muslimin dan dilakukan secara terus-menerus, sebagaimana dua
rakaat sebelum Subuh yang disyariatkan untuk semua dan dilakukan terus-menerus.
Apabila
ada yang berkata : ‘tidak ada sunnah setelah terbit fajar kecuali dua rakaat’,
maka itu benar, sedangkan larangan umum, maka itu tidak berlaku (tidak ada
larangan).
Dan
terkadang ada seseorang yang tidak bangun di malam hari (untuk shalat tahajjud)
sehingga ia ingin melakukan shalatnya pada waktu ini (setelah adzan Fajar). Maka
para salaf menganjurkan baginya untuk mengqodho witirnya bahkan juga sholat
malamnya pada waktu ini (stelah adzan fajar), dan hal itu menurut mereka lebih baik
daripada mengakhirkannya hingga waktu dhuha.” (Selesai).
****
HADITS BOLEH QODHO SHALAT SUNNAH FAJR SETELAH SHALAT SHUBUH.
Dari Qais bin Fahd radhiyallahu ‘anhu berkata:
رَآنِى رسولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عليه وسَلَّمَ وأنا أُصَلِّى رَكْعَتَىِ الفَجْرِ بعدَ صَلَاةِ الفَجْرِ، فقال: "ما هَاتَانِ الرَّكْعَتَانِ يا قَيْسُ؟ ". قلتُ: يا رسولَ اللهِ لم أَكُنْ صَلَّيْتُ رَكْعَتَىِ الفَجْرِ، فهما هَاتَانِ.
Rasulullah ﷺ melihatku sedang shalat dua rakaat sunnah fajar setelah shalat fardhu shubuh, maka beliau bertanya: “Dua rakaat apakah ini, wahai Qais?”
Aku menjawab: Wahai Rasulullah, aku belum sempat shalat sunnah dua rakaat fajar, maka keduanya ini sebagai gantinya.
[HR. Imam Ahmad dalam Musnad 5/447, Abu Dawud dalam Sunan Abi Dawud 1267, at-Tirmidzi no. 422, dan Ibnu Majah no. 1154. Di nilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Abu Daud no. 1128.
Dan diriwayatkan pula oleh Asy-Syafi'i* 1/149, Al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra no. 4448 dan dalam *al-Ma'rifah* (1309), , dan *al-Humaidi* (868). Dan diriwayatkan juga oleh Ibnu Khuzaimah (1116)].
Dan dari Qois bin ‘Amr bin Sahl al-Anshary radhiyallahu ‘anhu, berkata :
رأى رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ رجُلًا يصلِّي بعدَ صلاةِ الصُّبحِ فقالَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ صلاةُ الصُّبحِ ركعتان فقالَ الرَّجلُ إنِّي لم أَكن صلَّيتُ الرَّكعتينِ اللَّتينِ قبلَهما فصلَّيتُهما الآنَ فسَكتَ رسولُ اللَّهِ صلَّى اللَّهُ عليهِ وسلَّمَ
Rasulullah ﷺ melihat seorang laki-laki salat setelah salat Subuh, lalu Rasulullah ﷺ bersabda: “Salat Subuh itu dua rakaat.” Laki-laki itu berkata: “Sesungguhnya aku belum salat dua rakaat yang sebelumnya, maka aku salat keduanya sekarang.” Maka Rasulullah ﷺ pun diam.
[HR. Abu Dawud (1267) dengan lafaz ini, dan oleh At-Tirmidzi (422) dengan lafaz yang semakna, serta oleh Ibnu Majah (1154) dengan sedikit perbedaan.
Di Nilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih Abu Daud no, 1267]
FIQIH HADITS :
Ke 1 : Diamnya Nabi ﷺ menunjukkan kebolehannya.
Ke 2 : Betapa sejuk dan lembut-nya sikap Nabi ﷺ terhadap para sahabat-nya saat melihat salah satu dari mereka nampak menyelisihi sunnahnya. Beliau ﷺ tidak mengatakan :
“Allah akan menyiksamu (meng-adzab-mu) karena menyelisihi sunnah-ku”.
Padahal Rasulallah ﷺ jelas-jelas telah melarang shalat sunnah setelah shalat shubuh hingga matahari terbit, sebagaimana yang sudah ma’lum di kalangan para sahabat saat itu, dan sebagaimana telah ma’ruf dalam sabda Nabi ﷺ :
لَا صَلَاةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ، وَلَا صَلَاةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ.
“Tidak ada sholat setelah Subuh hingga matahari terbit, dan tidak ada sholat setelah Ashar hingga matahari terbenam”. [HR. Bukhori no. 1197 dan Muslim no. 827].
Berbeda dengan shalat sunnah Fajar sebelum shalat fardhu Shubuh sama sekali tidak ada larangan, kecuali dalam hadits yang sangat lemah, bahkan ada yang mengatakan-nya palsu.
Ke 3 : Rasulullah ﷺ bertabayyun terlebih dahulu, dengan bertanya: “Dua rakaat apakah ini,
wahai Qais?”.
Ke 4 : Rasulullah ﷺ tidak
mengatakan :
“Kenapa
kamu tidak bertanya dulu kepadaku? Bukan kah di sisi-mu ada utusan Allah?”.
Beliau ﷺ tidak serta merta berkata : “ Bukankah Allah SWT telah berfirman :
﴿وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا
نُّوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ﴾
“Dan Kami tidak mengutus
sebelum kalian, kecuali orang-orang lelaki yang Kami beri wahyu kepada mereka.
Maka bertanyalah kepada orang
yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui”. [QS. An-Nahl: 43].
Dan beliau ﷺ tidak langsung berkata :
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا
فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa
mengerjakan suatu amalan yang tidak ada perintahnya dari kami, maka amalan itu
tertolak”. [HR. Bukhori 2697 dan Muslim no. 1718].
Dan beliau ﷺ tidak pula berkata :
إيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ
الْأُمُورِ، فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ، زَادَ
فِي حَدِيثٍ آخَرَ: وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ.
“Jauhilah oleh kalian perkara-perkara baru (dalam
agama), karena setiap perkara baru adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah
kesesatan. Dalam hadis lain ditambahkan: dan setiap kesesatan berada di neraka”.
[HR. Ahmad no. 17185 dan Abu Daud no. 4607. Dinilai shahih
oleh al-Albani dalam Shahih Abu Daud].
Malah justru sebaliknya, Rasulullah ﷺ mengakui dan menetapkan hasil ijtihad sahabatnya ini. Dan yang demikian ini, sering terjadi, selama ijtihad para sahabatnya itu tidak memberatkan diri mereka dalam beribadah kepada Allah SWT.
Namun demikian Rasulullah ﷺ tidak mengatakan
kepada para sahabat-nya:
“Silahkan kalian semua menciptakan berbagai macam tata
cara ibadah kepada Allah sesuai dengan yang kalian mau dan silahkan menetapkan hukum
halal haram apa saja yang kalian suka, kalian tidak usah bertanya kepadaku
terlebih dahulu; karena masa tasyri’ atau masa turun-nya wahyu masih berjalan
selama aku masih hidup. Sebab Jika kalian malakukan kesalahan, maka wahyu
akan segera turun kepada-ku untuk meluruskan-nya”.
Dan Rasulullah ﷺ tidak pernah pula berkata kepada para sahabat-nya:
“Larangan bid’ah dalam ibadah itu tidak akan berlaku kecuali
setelah aku wafat; karena selama aku masih hidup, maka masa tasyri’ dan masa
turunnya wahyu belum terputus”.
0 Komentar