LANGKAH DAN TAHAPAN MENGHADAPI ISTRI DURHAKA. SERTA CONTOH PERILAKU DURHAKA ISTRI TERHADAP SUAMI
( NUSYUZ / نُشُوْزٌ )
Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhri
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
===
====
DAFTAR ISI :
- PENDAHULUAN
- MAKNA NUSYUZ (نُشُوْزٌ)
- BAGAIMANA HUKUM NUSYUZ ???
- LANGKAH DAN TAHAPAN MENGHADAPI ISTRI NUSYUZ (DURHAKA)
- CONTOH-CONTOH PERILAKU DURHAKA ISTRI TERHADAP SUAMI
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيمِ
===***===
PENDAHULUAN
Allah SWT berfirman :
﴿الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا
فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ ۚ
فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ ۚ وَاللَّاتِي
تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ
ۖ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ
عَلِيًّا كَبِيرًا﴾
Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum
wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas
sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan
sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang saleh, ialah yang taat
kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah
telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka
nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah
mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar. [QS. An-Nisa:
34]
Standar isitri shalihah :
Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata :
قَوْلُهُ: {فَالصَّالِحَاتُ}
أَيْ: مِنَ النِّسَاءِ {قانِتَاتٌ} قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ وَغَيْرُ وَاحِدٍ: يَعْنِي
مُطِيعَاتٌ لِأَزْوَاجِهِنَّ {حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ} .
قَالَ السُّدِّيُّ
وَغَيْرُهُ: أَيْ تَحْفَظُ زَوْجَهَا فِي غَيْبَتِهِ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهِ.
وَقَوْلُهُ: {بِمَا
حَفِظَ اللَّهُ} أَيِ: الْمَحْفُوظُ مِنْ حِفْظِهِ.
قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ:
حَدَّثَنِي الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا أَبُو صَالِحٍ، حَدَّثَنَا أَبُو مَعْشَر، حَدَّثَنَا
سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ الْمقبري، عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:
"خَيرُ النساءِ امرأةٌ إِذَا نَظَرْتَ إِلَيْهَا
سَرَّتْكَ وَإِذَا أمَرْتَها أطاعتكَ وَإِذَا غِبْتَ عَنْهَا حَفِظتْكَ فِي نَفْسِها
ومالِكَ".
قَالَ: ثُمَّ قَرَأَ
رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذِهِ الْآيَةَ: {الرِّجَالُ قَوَّامُونَ
عَلَى النِّسَاءِ} إِلَى آخِرِهَا
Firman-Nya: “Maka wanita-wanita yang
saleh” maksudnya dari kalangan wanita, “adalah yang taat,”
Ibnu ‘Abbas dan selainnya berkata: maksudnya
wanita-wanita yang taat kepada suami-suami mereka.
Firman-Nya : “Yang menjaga (kehormatan
diri) di saat tidak terlihat.” As-Suddi dan lainnya berkata: maksudnya,
mereka menjaga suaminya ketika suami tidak hadir, baik dalam urusan diri mereka
maupun hartanya.
Firman-Nya: “Dengan penjagaan Allah”
maksudnya: mereka terjaga karena penjagaan dari Allah.
Ibnu Jarir berkata: Telah menceritakan
kepadaku al-Mutsanna, telah menceritakan kepada kami Abu Shalih, telah
menceritakan kepada kami Abu Ma’syar, telah menceritakan kepada kami Sa’id bin
Abi Sa’id al-Maqburi, dari Abu Hurairah, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sebaik-baik wanita adalah wanita yang jika
engkau memandangnya, ia menyenangkanmu; jika engkau memerintahnya, ia menaati
perintahmu; dan jika engkau tidak ada bersamanya, ia menjaga kehormatan dirinya
dan hartamu.”
Kemudian Rasulullah ﷺ membaca ayat ini: “Kaum
laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita,” hingga akhir ayat. [Baca : Tafsir
Ibnu Katsir 2/293].
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata:
Rasulullah ﷺ bersabda:
إذا صلَّتِ المرأةُ
خَمْسَها ، و صامَت شهرَها ، و حصَّنَتْ فرجَها ، وأطاعَت زوجَها ، قيلَ لها : ادخُلي
الجنَّةَ مِن أيِّ أبوابِ الجنَّةِ شِئتِ
Apabila seorang wanita melaksanakan salat
lima waktunya, berpuasa di bulannya (Ramadan), menjaga kemaluannya, dan taat
kepada suaminya, maka akan dikatakan kepadanya: Masuklah ke dalam surga dari
pintu mana saja yang engkau kehendaki.
[Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban (4163), dan
ath-Thabrani dalam *al-Mu'jam al-Awsath* (4715). Di nilai shahih oleh al-Albani
dalam Shahih al-Jami’ no. 660].
Dan diriwayatkan pula dari Abdurrahman bin
‘Auf radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
"إِذَا صَلَّت الْمَرْأَةُ خَمسها، وَصَامَتْ
شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَها؛ وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا: ادخُلِي الْجَنَّةَ
مِنْ أيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ"
“Apabila seorang wanita melaksanakan salat
lima waktunya, berpuasa di bulan (Ramadan)-nya, menjaga kemaluannya, dan taat
kepada suaminya, maka akan dikatakan kepadanya: Masuklah ke dalam surga dari
pintu mana saja yang engkau kehendaki.”
[Diriwayatkan oleh Ahmad (1661) dengan lafaz
ini, dan ath-Thabrani dalam *al-Mu'jam al-Awsath* (8805). Dan dinilai hasan
oleh as-Sakhowi dalam al-Buldaniyaat 161].
===***===
MAKNA NUSYUZ (نُشُوْزٌ)
Nusyuz secara bahasa berarti tempat yang
tinggi (menonjol).
Sedangkan secara istilah nusyuz berarti istri
durhaka kepada suami dalam perkara ketaatan pada suami yang Allah wajibkan, dan
pembangkangan ini telah menonjol.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata :
الْمَرْأَةُ النَّاشِزُ
هِيَ الْمُرْتَفِعَةُ عَلَى زَوْجِهَا، التَّارِكَةُ لِأَمْرِهِ، المُعْرِضَة عَنْهُ،
المُبْغِضَة لَهُ
Perempuan yang nusyuz adalah yang meninggi
terhadap suaminya, tidak mentaati perintahnya, berpaling darinya, dan menanam
kebencian baginya.
(Baca ; Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim 2/294).
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa yang
dimaksud nusyuz adalah wanita keluar dari rumah suaminya tanpa ada alasan yang
benar.
Sedangkan ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan
Hanabilah berpendapat bahwa nusyuz adalah keluarnya wanita dari ketaatan yang
wajib kepada suami. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 40: 284).
Ringkasnya, nusyuz adalah istri tidak lagi
menjalankan kewajiban-kewajibannya.
===***===
BAGAIMANA HUKUM NUSYUZ ???
Nusyuz wanita pada suami adalah HARAM .
Karena wanita nusyuz yang tidak lagi mempedulikan nasehat, maka suami boleh memberikan
hukuman.
Dan tidaklah hukuman ini diberikan melainkan
karena melakukan yang haram atau meninggalkan yang wajib.
Mengenai hukuman yang dimaksud disebutkan
dalam ayat,
﴿وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ
وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا
عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا﴾
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur
mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar” (QS. An Nisa’: 34).
Maka ketika tampak padanya tanda-tanda
nusyuz, hendaknya ia menasihatinya dan menakutinya dengan siksa Allah karena
durhaka kepada-Nya. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan hak suami atasnya dan
ketaatan kepadanya, serta mengharamkan untuk mendurhakainya karena kedudukan
dan keutamaan yang dimiliki suami atasnya.
Rasulullah ﷺ bersabda:
"لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجد
لِأَحَدٍ لأمرتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا، مِنْ عِظَم حَقِّه عَلَيْهَا"
“Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang
untuk sujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan wanita untuk sujud
kepada suaminya, karena besarnya hak suami atasnya.”
[Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 1159 dari
Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu, dan oleh Ahmad dalam Musnad 6/76 dari Aisyah
radhiyallahu 'anha. Dan Abu Daud meriwayatkan nya dari Qois bin Sa’ad dalam
Sunannya no. 2140.
Dan hadits ini diriwayatkan pula dari Mu’adz
Bin Jabal dan Buraidah al-Asslami. Dan nilai shahih oleh al-Albani dalam Shahih
al-Jami’ no. 5294 dan Shahih Abu Daud no. 2140].
Al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah
radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
"إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امرَأتَهُ إِلَى
فِرَاشِه فأبَتْ عَلَيْهِ، لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِح"
“Apabila seorang suami mengajak istrinya ke
tempat tidurnya lalu ia menolaknya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi.”
(Shahih al-Bukhari no. 3237)
Dan diriwayatkan oleh Muslim dengan lafaz:
"إِذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ هَاجرة فِراش
زَوْجِها، لَعْنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصبِح"
“Apabila seorang wanita bermalam dalam
keadaan meninggalkan ranjang suaminya, maka malaikat melaknatnya hingga pagi.”
(Shahih Muslim no. 1436)
Karena itu Allah Ta'ala berfirman:
﴿وَاللاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ﴾
{Wanita-wanita yang kalian khawatirkan
nusyuznya, maka nasihatilah mereka} [QS. An-Nisaa : 34]
===***===
LANGKAH DAN TAHAPAN MENGHADAPI ISTRI NUSYUZ (DURHAKA)
Jika wanita terus bermuka masam di hadapan
suami, padahal suami sudah berusaha berwajah seri .
Atau berkata dengan kata kasar, padahal suami
sudah berusaha untuk lemah lembut.
Atau ada nusyuz yang lebih terang-terangan
seperti selalu enggan jika diajak ke ranjang, keluar dari rumah tanpa izin
suami, menolak bersafar bersama suami, maka hendaklah suami menyelesaikan
permasalahan ini dengan jalan yang telah dituntukan oleh Allah Ta’ala
sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas.
Urutan dan tahapan- tahapannya dimulai dari
hal berikut ini:
***
TAHAPAN PERTAMA : MEMBERI NASIHAT.
Hendaklah suami menasehati istri dengan lemah
lembut.
Suami menasehati istri dengan mengingatkan
bagaimana kewajiban Allah padanya yaitu untuk taat pada suami dan tidak
menyelisihinya.
Ia pun mendorong istri untuk taat pada suami
dan memotivasi dengan menyebutkan pahala besar di dalamnya.
Wanita yang baik adalah wanita sholehah, yang
taat, menjaga diri meski di saat suami tidak ada di sisinya.
Kemudian suami juga hendaknya menasehati
istri dengan menyebutkan ancaman Allah bagi wanita yang mendurhakai suami.
Ancaman-ancaman mengenai istri yang durhaka
telah disebutkan dalam bahasan kewajiban istri.
Jika istri telah menerima nasehat tersebut
dan telah berubah, maka tidak boleh suami menempuh langkah selanjutnya. Karena
Allah Ta’ala berfirman,
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ
فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا
“Kemudian jika mereka mentaatimu, maka
janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya” (QS. An Nisa’: 34).
Namun jika nasehat belum mendapatkan hasil,
maka langkah berikutnya yang ditempuh, yaitu hajr.
***
TAHAPAN KE DUA : MELAKUKAN TINDAKAN
HAJER (هَجْرٌ).
Hajer artinya memboikot istri dalam rangka memberi pelajaran agar tidak lagi berbuat nusyuz.
Langkah inilah yang disebutkan dalam lanjutan
ayat :
وَاهْجُرُوهُنَّ
فِي الْمَضَاجِعِ
“Dan hajarlah mereka di tempat tidur mereka”
(QS. An Nisa’: 34).
Mengenai cara menghajer, para ulama
memberikan pilihan dari beberapa cara sebagaimana diterangkan oleh Ibnul Jauzi:
- Tidak berhubungan intim terutama pada saat
istri butuh
- Tidak mengajak berbicara, namun masih tetap
berhubungan intim
- Mengeluarkan kata-kata yang menyakiti istri
ketika diranjang
- Pisah ranjang
(Lihat Zaadul Masiir, 2: 76).
Ibnu Abbas radhiyallahu 'anhuma berkata:
هُوَ أَنْ يُوَلِّيَهَا
ظَهْرَهُ عَلَى الْفِرَاشِ، وَلَا يُكَلِّمَهَا
Maksudnya adalah membelakanginya di tempat tidur
dan tidak berbicara dengannya.
Asy-Sya'bi dan Mujahid berkata:
هُوَ أَنْ يَهْجُرَ
مُضَاجَعَتَهَا، ثُمَّ الضَّرْبُ غَيْرُ الْمُبَرِّحِ
Maksudnya adalah tidak berhubungan intim dengannya. Kemudian, pukulan itu haruslah bukan pukulan yang menyakitkan.
[Baca : al-Kaba’ir karya adz-Dzahabi hal. 172 dan Tafsir al-Washith karya al-Wahidi 2/46].
Cara manakah yang kita pilih?
Yang terbaik adalah cara yang sesuai dan
lebih bermanfaat bagi istri ketika hajer.
Namun catatan penting yang perlu
diperhatikan, tidak boleh seorang suami memboikot istri melainkan di rumahnya.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ ketika beliau ditanya mengenai kewajiban suami pada istri oleh
Mu’awiyah Al Qusyairi,
وَلاَ تَضْرِبِ
الْوَجْهَ وَلاَ تُقَبِّحْ وَلاَ تَهْجُرْ إِلاَّ فِى الْبَيْتِ
“Dan janganlah engkau memukul istrimu di
wajahnya, dan jangan pula menjelek-jelekkannya serta jangan melakukan hajr
selain di rumah”
(HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
Karena jika seorang suami melakukan hajer di
hadapan orang lain, maka si wanita akan malu dan terhinakan, bisa jadi ia malah
bertambah nusyuz.
Namun jika melakukan hajer untuk istri di
luar rumah itu terdapat maslahat, maka silakan dilakukan karena Nabi ﷺ pernah melakukan hajer terhadap istri-istri beliau di luar rumah
selama sebulan.
Juga perlu diperhatikan bahwa hajr di sini
jangan ditampakkan di hadapan anak-anak karena hal itu akan sangat berpengaruh
terhadap mereka, bisa jadi mereka akan ikut jelek .
MASA HAJER ISTRI NUSYUZ .
Ulama Malikiyah berpendapat bahwa masa hajr
maksimal adalah empat bulan.
Namun yang lebih tepat adalah pendapat jumhur
(mayoritas) ulama dari kalangan Hanafiyah, Syafi’iyah, Hanabilah bahwa masa
hajr adalah sampai waktu istri kembali taat (tidak nusyuz lagi). Karena dalam
ayat Al-Quran hanya disebutkan secara mutlak, maka kita pun mengamalkannya
secara mutlak dan tidak dibatasi.
Namun jumhur ulama berpandangan bahwa jika
hajer yang dilakukan adalah dengan tidak berbicara pada istri, maka maksimal
hajr adalah tiga hari, meskipun istri masih terus-terusan nusyuz karena suami
bisa melakukan cara hajr yang lain.
Dari Anas bin Malik, Nabi ﷺ bersabda,
وَلاَ يَحِلُّ لِمُسْلِمٍ
أَنْ يَهْجُرَ أَخَاهُ فَوْقَ ثَلاَثِ لَيَالٍ
“Tidak halal bagi seorang muslim melakukan
hajr (boikot dengan tidak mengajak bicara) lebih dari tiga hari”
(HR. Bukhari no. 6076 dan Muslim no. 2558).
Jika tidak lagi bermanfaat cara kedua ini,
maka ada langkah berikutnya.
****
TAHAPAN KE TIGA : MEMUKUL ISTRI
Memukul istri yang nusyuz dalam hal ini
dibolehkan ketika nasehat dan hajr tidak lagi bermanfaat.
Namun hendaklah seorang suami memperhatikan
aturan Islam yang mengajarkan bagaimanakah adab dalam memukul istri:
A]. Memukul dengan pukulan yang tidak
membekas
Sebagaimana nasehat Nabi ﷺ ketika haji wada’:
"وَلَكُمْ عَلَيْهِنَّ أَلَّا يُوطِئْنَ
فُرُشكم أَحَدًا تَكْرَهُونَهُ، فَإِنْ فَعَلْن فَاضْرِبُوهُنَّ ضَرْبا غَيْرَ مُبَرِّح،
وَلَهُنَّ رزْقُهنَّ وكِسْوتهن بِالْمَعْرُوفِ"
“Kewajiban istri bagi kalian adalah tidak
boleh permadani kalian ditempati oleh seorang pun yang kalian tidak sukai. Jika
mereka melakukan demikian, pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membekas. Dan
mereka berhak mendapatkan nafkah dan pakaian dengan cara yang baik dari kalian.”
(HR. Muslim no. 1218).
B]. Tidak boleh lebih dari sepuluh pukulan,
sebagaimana pendapat madzhab Hambali.
Dalilnya disebutkan dalam hadits Abu Burdah
Al Anshori, ia mendengar Nabi ﷺ bersabda,
لاَ تَجْلِدُوا
فَوْقَ عَشْرَةِ أَسْوَاطٍ إِلاَّ فِى حَدٍّ مِنْ حُدُودِ اللَّهِ
“Janganlah mencabuk lebih dari sepuluh
cambukan kecuali dalam had dari aturan Allah”
(HR. Bukhari no. 6850 dan Muslim no. 1708).
C]. Tidak boleh memukul istri di wajah.
Sebagaimana sabda Nabi ﷺ :
وَلاَ تَضْرِبِ
الْوَجْهَ
“Dan janganlah engkau memukul istrimu di
wajahnya”
(HR. Abu Daud no. 2142. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa hadits ini hasan shahih).
‘Aisyah menceritahkan mengenai
Rasulullah ﷺ :
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ
اللَّهِ ﷺ ضَرَبَ خَادِماً لَهُ قَطُّ وَلاَ امْرَأَةً لَهُ قَطُّ وَلاَ ضَرَبَ بِيَدِهِ
شَيْئاً قَطُّ إِلاَّ أَنْ يُجَاهِدَ فِى سَبِيلِ اللَّهِ
“Aku tidaklah pernah sama sekali melihat
Rasulullah ﷺ memukul pembantu, begitu pula memukul istrinya. Beliau tidaklah pernah
memukul sesuatu dengan tangannya kecuali dalam jihad (berperang) di jalan
Allah”.
(HR. Ahmad 6/229. Syaikh Syu’aib Al Arnauth
mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat
Bukhari-Muslim)
D]. Yakin bahwa dengan memukul istri itu akan
bermanfaat untuk membuatnya tidak berbuat nusyuz lagi. Jika tidak demikian,
maka tidak boleh dilakukan.
E]. Jika istri telah mentaati suami, maka
tidak boleh suami memukulnya lagi. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَاضْرِبُوهُنَّ
فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا
كَبِيرًا
“Dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar”. (QS. An Nisa’: 34).
Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata :
وَقَوْلُهُ: {فَإِنْ
أَطَعْنَكُمْ فَلا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلا} أَيْ: فَإِذَا أَطَاعَتِ الْمَرْأَةُ
زَوْجَهَا فِي جَمِيعِ مَا يُرِيدُ مِنْهَا، مِمَّا أَبَاحَهُ اللَّهُ لَهُ مِنْهَا،
فَلَا سَبِيلَ لَهُ عَلَيْهَا بَعْدَ ذَلِكَ، وَلَيْسَ لَهُ ضربها ولا هجرانها
وَقَوْلُهُ: {إِنَّ
اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا} تَهْدِيدٌ لِلرِّجَالِ إِذَا بَغَوْا عَلَى النِّسَاءِ
مِنْ غَيْرِ سَبَبٍ، فَإِنَّ اللَّهَ الْعَلِيَّ الْكَبِيرَ وَلِيُّهُنَّ وَهُوَ مُنْتَقِمٌ
مِمَّنْ ظَلَمَهُنَّ وَبَغَى عَلَيْهِنَّ
Firman-Nya: {Maka jika mereka telah menaatimu,
maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkan mereka} maksudnya:
apabila seorang wanita telah menaati suaminya dalam semua hal yang
diinginkannya darinya, selama hal itu dibolehkan oleh Allah, maka tidak ada
lagi jalan baginya untuk menyusahkannya setelah itu, dan tidak boleh lagi
memukul atau menjauhinya.
Firman-Nya: {Sesungguhnya Allah Maha
Tinggi lagi Maha Besar} merupakan ancaman bagi para laki-laki apabila
mereka berbuat sewenang-wenang terhadap para wanita tanpa alasan yang benar.
Karena sesungguhnya Allah yang Maha Tinggi dan Maha Besar adalah pelindung
mereka, dan Dia akan membalas siapa saja yang menzalimi mereka dan berbuat
aniaya terhadap mereka. [Tafsir Ibnu Katsir 2/295-296].
***
TAHAPAN KE EMPAT : MENGHADIRKAN PENENGAH (HAKAM) DARI KELUARGA MASING-MASING .
Allah swt berfirmam :
وَإِنْ خِفْتُمْ
شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا إِنْ
يُرِيدَا إِصْلَاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا خَبِيرًا (35)
Dan jika kalian khawatirkan ada persengketaan
antara keduanya, maka kirimlah seorang hakam ( penengah ) dari keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakam itu
bermaksud mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri
itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. An-Nisaa ; 35)
Dalam ayat sebelumnya disebutkan bilamana
nusyuz dan membangkang timbul dari pihak istri, kemudian dalam ayat berikutnya
disebutkan bilamana nusyuz timbul dari kedua belah pihak.
Untuk itu Allah Swt. berfirman:
﴿وَإِنْ خِفْتُمْ شِقَاقَ بَيْنِهِمَا فَابْعَثُوا
حَكَمًا مِنْ أَهْلِهِ وَحَكَمًا مِنْ أَهْلِهَا﴾
“Dan jika kalian khawatirkan ada
persengketaan antara keduanya, maka kirimkanlah seorang hakam dari keluarga
laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan”. (QS. An-Nisa: 35)
Ulama fiqih mengatakan, apabila terjadi
persengketaan di antara sepasang suami istri, maka hakimlah yang melerai
keduanya sebagai pihak penengah yang mempertimbangkan perkara keduanya dan
mencegah orang yang aniaya dari keduanya melakukan perbuatan aniayanya.
Jika perkara keduanya bertentangan juga dan
persengketaan bertambah panjang, maka pihak hakim memanggil seorang yang
dipercaya dari keluarga si perempuan dan seorang yang dipercaya dari kaum
laki-laki, lalu keduanya berkumpul untuk mempertimbangkan perkara kedua
pasangan yang sedang bersengketa itu.
Kemudian keduanya melakukan hal yang lebih
maslahat baginya menurut pandangan keduanya, antara berpisah atau tetap bersatu
sebagai suami istri.
Akan tetapi, imbauan syariat menganjurkan
untuk tetap utuh sebagai suami istri. Karena itulah disebutkan di dalam
firman-Nya:
﴿إِنْ يُرِيدَا إِصْلاحًا يُوَفِّقِ اللَّهُ بَيْنَهُمَا﴾
Jika kedua orang hakam itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami istri itu. (QS.
An-Nisa: 35)
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu
Abbas, bahwa Allah memerintahkan agar mereka mengundang seorang lelaki yang
saleh dari kalangan keluarga laki-laki, dan seorang lelaki lain yang semisal
dari kalangan keluarga si perempuan.
Lalu keduanya melakukan penyelidikan untuk
mencari fakta, siapa di antara keduanya yang berbuat buruk.
Apabila ternyata pihak yang berbuat buruk
adalah pihak laki-laki, maka pihak suami mereka halang-halangi dari istrinya,
dan mereka mengenakan sanksi kepada pihak suami untuk tetap memberi nafkah.
Jika yang berbuat buruk adalah pihak
perempuan. maka mereka para hakam mengenakan sanksi terhadapnya untuk tetap di
bawah naungan suaminya, tetapi mereka mencegahnya untuk mendapat nafkah.
Jika kedua hakam sepakat memisahkan atau
mengumpulkannya kembali dalam naungan suatu rumah tangga sebagai suami istri,
hal tersebut boleh dilakukan keduanya. Tetapi jika kedua hakam berpendapat
sebaiknya pasangan tersebut dikumpulkan kembali, sedangkan salah seorang dari
suami istri yang bersangkutan rela dan yang lainnya tidak; kemudian salah
seorangnya meninggal dunia, maka pihak yang rela dapat mewarisi pihak yang
tidak rela, dan pihak yang tidak rela tidak dapat mewarisi pihak yang rela.
Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim dan Ibnu Jarir. [Lihat Tafsir Ibnu Katsir 2/296].
Abdur Razzaq mengatakan, telah menceritakan
kepada kami Ma'mar, dari Ibnu Tawus, dari Ikrimah ibnu Khalid, dari Ibnu Abbas
yang mengatakan :
بُعِثْتُ أَنَا
وَمُعَاوِيَةُ حَكَمَيْنِ
"Aku dan Mu'awiyah pernah diutus sebagai
hakam."
Ma'mar melanjutkan kisahnya :
بَلَغَنِي أَنَّ
عُثْمَانَ بَعَثَهُمَا، وَقَالَ لَهُمَا: إِنْ رَأَيْتُمَا أَنْ تُجْمَعا جُمِعْتُما،
وَإِنْ رَأَيْتُمَا أَنْ تُفَرَّقا فُرَّقْتما
Bahwa yang mengutus kedua-ya adalah Khalifah
Usman. Khalifah Usman berkata kepada keduanya, "Jika kamu berdua
berpendapat sebaiknya pasangan suami istri itu dikumpulkan kembali, kamu berdua
boleh menghimpunnya kembali.
Jika kamu berdua berpendapat sebaiknya
keduanya dipisahkan, maka kamu berdua boleh memisahkan keduanya." [Lihat
Tafsir Ibnu Katsir 2/296].
Demikian beberapa solusi yang ditawarkan oleh
Islam. Jika solusi yang ditawarkan di atas tidaklah bermanfaat, maka perceraian
bisa jadi sebagai jalan terakhir.
===***===
CONTOH-CONTOH PERILAKU DURHAKA ISTRI TERHADAP SUAMI
Contoh Ke 1. Mengabaikan wewenang suami.
Dalam suatu hadits disebutkan:
Dari ‘Aisyah ra, sesungguhnya nabi saw.
bersabda:
« لو أمَرْتُ أحَدًا
أن يَسجُدَ لأحدٍ لأمَرْتُ المرأةَ أن تَسجُدَ لزَوجِها، ولو أنَّ رَجُلًا أمَرَ امرأةً
أن تَنقُلَ مِن جَبَلٍ أحمَرَ إلى جَبَلٍ أسوَدَ، ومِن جَبَلٍ أسوَدَ إلى جَبَلٍ أحمَرَ،
لكان نَولُها أن تَفعَلَ»
“Sekiranya aku memerintahkan seseorang
bersujud kepada orang lain, niscaya aku akan perintahkan seorang istri bersujud
kepada suaminya. Sekiranya seorang suami menyuruh istrinya memindahkan bukit
merah ke bukit putih dan dari bukit putih ke bukit merah, tentu kewajibannya
adalah melaksanakan (perintahnya) itu.”
(Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1852) dengan
lafaz ini, dan Ahmad (24471).
Ar-Riba’iy dalam Fathul Ghoffaar 3/1489 berkata
:
وَرَدَ مِنْ رِوَايَةِ
عَلِيِّ بْنِ زَيْدِ بْنِ جُدْعَانَ، وَبَقِيَّةُ رُوَاتِهِ مُحْتَجٌّ بِهِمْ فِي الصَّحِيحِ.
“Diriwayatkan dari Ali bin Zaid bin Jud’an,
dan para perawi lainnya dijadikan hujah dalam kitab shahih”].
Sepanjang tidak melanggar perintah agama,
istri harus menuruti suaminya.
Contoh Ke 2. Menentang perintah suami.
Dalam suatu hadits disebutkan:
Dari Abdullah bin Abu Aufa, ia berkata:
قَدِمَ مُعاذٌ اليَمنَ
-أو قال: الشَّامَ-، فرَأى النَّصارى تَسجُدُ لبَطارِقتِها وأساقِفتِها، فرَوَّى في
نَفْسِه أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ أحقُّ أنْ يُعظَّمَ، فلمَّا قَدِمَ،
قال: يا رسولَ اللهِ، رَأَيتُ النَّصارى تَسجُدُ لبَطارِقتِها وأساقِفتِها، فرَوَّأتُ
في نَفْسي أنَّكَ أحقُّ أنْ تُعظَّمَ، فقال: «لو كنتُ آمُرُ أحَدًا أنْ يَسجُدَ لأحَدٍ،
لأمَرتُ المرأةَ أنْ تَسجُدَ لزَوجِها، ولا تُؤدِّي المرأةُ حَقَّ اللهِ عزَّ وجلَّ
عليها كلَّه، حتى تُؤدِّيَ حَقَّ زَوجِها عليها كلَّه، حتى لو سَأَلَها نَفْسَها وهي
على ظَهرِ قَتَبٍ لأعطَتْه إيَّاه»
Mu’adz datang ke Yaman – atau beliau berkata:
ke Syam –, lalu ia melihat orang-orang Nasrani bersujud kepada para pembesar
dan uskup-uskup mereka. Maka ia pun membatin dalam dirinya bahwa Rasulullah ﷺ lebih berhak untuk dimuliakan. Ketika ia kembali, ia berkata:
“Wahai Rasulullah, aku melihat orang-orang Nasrani bersujud kepada para
pembesar dan uskup mereka, maka aku membatin dalam diriku bahwa engkau lebih
berhak untuk dimuliakan.” Maka beliau bersabda: “Seandainya aku boleh
memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada orang lain, niscaya aku akan
perintahkan seorang istri untuk bersujud kepada suaminya. Dan seorang istri
tidak akan mampu menunaikan seluruh hak Allah ﷻ atas dirinya, hingga ia
menunaikan seluruh hak suaminya atas dirinya, bahkan jika suaminya memintanya
(berhubungan) sementara ia berada di atas pelana unta, maka ia harus
memenuhinya.”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Majah (1853), dan
Ahmad (19403) dengan redaksi darinya (Ahmad). Sanadnya dinilai baik (jayyid)
oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Takhrij al-Musnad no. 19403].
Dalam riwayat Qois bin Sa’ad radhiyallahu ‘anhu,
dia berkata :
أتَيتُ الحيرةَ
فرأيتُهُم يسجدونَ لمَرزبانٍ لَهُم فقلتُ : رسولُ اللَّهِ أحقُّ أن يُسجَدَ لَهُ ،
قالَ : فأتَيتُ النَّبيَّ صلَّى اللَّهُ علَيهِ وسلَّمَ ، فقلتُ : إنِّي أتَيتُ الحيرةَ
فرأيتُهُم يسجدونَ لمَرزبانٍ لَهُم فأنتَ يا رسولَ اللَّهِ أحقُّ أن نسجدَ لَكَ ، قالَ
: أرأيتَ لَو مررتَ بقَبري أَكُنتَ تسجدُ لَهُ ؟ قالَ : قلتُ : لا ، قالَ : فلا تفعَلوا
، لَو كنتُ آمرًا أحدًا أن يسجدَ لأحدٍ لأمرتُ النِّساءَ أن يسجُدنَ لأزواجِهِنَّ لما
جعلَ اللَّهُ لَهُم علَيهنَّ منَ الحقِّ
Aku datang ke Hirah dan melihat mereka sujud
kepada seorang marzban (penguasa) mereka, maka aku berkata: *Rasulullah ﷺ lebih berhak untuk disujudkan.* Lalu aku datang kepada Nabi ﷺ dan berkata: *Aku telah datang ke Hirah dan melihat mereka
sujud kepada seorang marzban mereka, maka engkau, wahai Rasulullah, lebih
berhak untuk kami sujudi.* Beliau bersabda: *Bagaimana pendapatmu jika engkau
melewati kuburku, apakah engkau akan sujud kepadanya?* Aku menjawab: *Tidak.*
Beliau bersabda: *Maka jangan kalian lakukan. Seandainya aku boleh
memerintahkan seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya aku perintahkan
para istri untuk sujud kepada suami-suami mereka karena Allah telah menjadikan
hak suami atas mereka begitu besar.*
[Diriwayatkan oleh Abu Dawud (2140). Dan dihukumi
shahih oleh al-Albani].
Jika hak suami untuk ditaati istrinya yang
sesuai dengan ketentuan Allah dilanggar oleh istrinya, ini berarti sama dengan
istri melanggar perintah Allah sendiri.
Contoh Ke 3. Menolak Memenuhi Kebutuhan Seksual Suami.
Dalam suatu hadits disebutkan:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
ujarnya: Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إلى فِرَاشِهِ
فأبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا المَلَائِكَةُ حتَّى تُصْبِحَ»
“Apabila seorang suami mengajak istrinya ke
tempat tidurnya tetapi ia menolak untuk datang, lalu suaminya tidur semalam
dalam keadaan marah kepadanya, maka wanita
itu dilaknat oleh malaikat sampai subuh.” (Bukhari no. 3237 dan Muslim
no. 1436)
Melayani kebutuhan biologis suami adalah
kewajiban pokok istri. Menolak melakukannya berarti membuka pintu laknat.
Laknat malaikat, berarti laknat Allah juga.
Contoh Ke 4. Tidak mau menemani suami tidur.
Disebutkan dalam hadits berikut:
إذَا بَاتَتِ الْمَرْأَةُ
هَاجِرَةً فِرَاشَ زَوْجِهَا، لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“ ... Bila seorang istri semalaman tidur
berpisah dari ranjang suaminya, maka malaikat melaknatnya sampai subuh.” (HR.
Bukhari no. 5194 dan Muslim no. 1436)
Juga dalam hadits berikut:
Dari Abu Umamah al-Bahily radhiyallahu ‘anhu,
bahwa Nabi ﷺ bersabda :
ثلاثةٌ لا تجاوِزُ
صلاتُهُم آذانَهُم : العبدُ الآبقُ حتَّى يرجِعَ ، وامرأةٌ باتت وزوجُها عليها ساخِطٌ
، وإمامُ قومٍ وَهُم لَه كارِهونَ
“Tiga golongan yang salatnya tidak melewati
telinganya: budak yang melarikan diri hingga ia kembali, wanita yang tidur
semalaman sementara suaminya marah kepadanya, dan imam suatu kaum yang mereka
tidak menyukainya”.
[Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (360) dan
lafaznya miliknya, serta oleh Ibnu Abi Syaibah dalam *al-Mushannaf* (17423),
dan oleh ath-Thabarani (8/341) (8090) dengan sedikit perbedaan. Di nilai hasan
oleh al-Albani dalam Shahih at-Tirmidzy no. 360].
Dan dari Ibn ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bahwa
Nabi ﷺ bersabda:
ثَلَاثَةٌ لَا تُرْفَعُ صَلَاتُهُمْ فَوْقَ رُءُوسِهِمْ شِبْرًا: رَجُلٌ أَمَّ
قَوْمًا وَهُمْ لَهُ كَارِهُونَ، وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ،
وَأَخَوَانِ مُتَصَارِمَانِ.
“Tiga golongan yang shalatnya tidak akan
melebihi sejengkal di atas kepalanya, yaitu seorang laki-laki yang mengimami
shalat suatu kaum, tetapi kaum itu sendiri tidak senang kepadanya, seorang
wanita yang semalaman tidur sendirian, sedang suaminya marah kepadanya, dan dua
orang bersaudara yang saling bermusuhan.”
(HR. Ibnu Majah dan Ibnu Hibban, dan lafadz
hadits ini ada pada Ibnu Hibban. Di nilai dho’if oleh al-Albani dalam Dho’if at-Targhib
no. 257]
Istri diperlukan oleh suaminya, antara lain
untuk menjadi teman tidurnya baik suaminya memintanya untuk bersebadan atau
tidak. Umumnya menemani tidur adalah pada malam hari. Di dalam hadits tersebut Rasulullah
menggunakan kata-kata dalam bahasa Arab dengan lafadz baatat, artinya tidur
pada malam hari.
Ke 5. Menuntut Nafkah Melebihi Kemampuan Suami
Allah Ta'ala berfirman :
﴿لِيُنفِقْ ذُو سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ
عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا
إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا﴾*
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah
menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi
nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban
kepada seseorang, melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah
kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” [QS. ath-Thalāq: 7].
Istri harus obyektif melihat kemampuan
suaminya.
Ke 6. Tidak mau bersolek dan Enggan Berdandan untuk suaminya.
Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :
كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي غَزْوَةٍ، فَلَمَّا قَدِمْنَا قُلْنَا: أَنَدْخُلُ؟
قَالَ: «أمْهِلُوا حَتَّى نَدْخُلَ لَيْلًا - أَيْ عِشَاءً - لِكَيْ تَمْتَشِطَ الشَّعِثَةُ
وَتَسْتَحِدَّ المُغِيبَةُ»
Kami pernah menyertai Nabi saw dalam suatu
peperangan, kemudian tatkala kami pulang kembali ke Madinah, kami meninggalkan
tempat tersebut untuk pulang ke rumah, tetapi beliau kemudian bersabda:
“Tangguhkanlah sampai masuk malam, yaitu waktu
Isya’, supaya (istri-istri) menyisisr rambutnya yang kusut dan (istri) yang
lama ditinggal bisa mempercantik diri.” (HR. Bukhari no. 5079 dan Muslim no.
715)
Para istri diperintahkan untuk berkhidmat
kepada suaminya, termasuk di dalam mengurus dirinya sendiri sehingga dapat menyenangkan
hati suaminya dan menimbulkan gairah dalam hidup bersama dirinya.
Ke 7. Merusak kehidupan agama suami.
Dalam suatu hadits disebutkan:
Dari Tsauban radhiyallahu ‘anhu, dia berkata :
لَمَّا نَزَلَتْ:
﴿وَالَّذِينَ يَكْنِزُونَ الذَّهَبَ وَالْفِضَّةَ﴾ \[التوبة: 34]، كُنَّا مَعَ رَسُولِ
اللهِ ﷺ فِي بَعْضِ أَسْفَارِهِ، فَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِهِ: قَدْ نَزَلَتْ آيَةُ
الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ، لَوْ عَلِمْنَا أَيُّ الْمَالِ خَيْرٌ فَنَأْخُذَهُ؟ فَقَالَ:
«لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا، وَلِسَانًا ذَاكِرًا، وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً
تُعِينُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الْآخِرَةِ»
“Ketika turun (firman Allah surat Taubah ayat
34), yaitu ... dan orang-orang yang menimbun emas dan perak ...,” ujarnya:
“Kami pernah menyertai Rasulullah saw dalam beberapa kali
perjalanannya, lalu sebagian sahabatnya
berkata, ‘Telah diturunkan ayat tentang emas dan perak, maka alangkah
baiknya sekiranya kamu tahu harta apakah yang lebih baik lagi, tentu kamu akan
mengambilnya.’
Lalu sabdanya: ‘Yang lebih baik ialah lidah
yang selalu berdzikir, hati yang selalu bersyukur, dan istri beriman yang
membantu suami dalam agamanya.’” (HR. Ibnu Majah no. 1856 dan Tirmidzi no. 3094.
Abu Isa berkata : Hadits hasan)
Dalam rumah tangga, istri diperintahkan untuk
membantu suaminya dalam menegakkan kehidupan beragama, sedangkan suami
diperintahkan untuk membimbing istri menjalankan agamanya dengan baik dalam
kehidupan sehari-hari. Jika istri tidak mau membantu suami menegakkan agamanya,
apalagi merusak iman dan akhlak suami, sudah tentu ia menjerumuskan suaminya ke
dalam neraka.
Dan dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
bahwa Nabi ﷺ bersabda :
أَلَا أُخْبِرُكُمْ
بِخَيْرِ مَا يَكْنِزُ الْمَرْءُ؟ الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ، إِذَا نَظَرَ إِلَيْهَا
سَرَّتْهُ، وَإِذَا أَمَرَهَا أَطَاعَتْهُ، وَإِذَا غَابَ عَنْهَا حَفِظَتْهُ
Maukah kalian aku beritahu tentang
sebaik-baik harta simpanan seseorang? Yaitu istri yang shalihah: jika ia
memandangnya, maka ia membuatnya senang; jika ia memerintahkannya, ia
menaatinya; dan jika ia tidak berada di sisinya, ia menjaganya.
[Diriwayatkan oleh Abu Dawud (1664), Al-Hakim
(3281), dan Al-Baihaqi (7486) dengan redaksi panjang dan sedikit perbedaan. Di
nilai dho’if oleh al-Albani dalam Dho’if al-Jami’ no. 1643].
Dan dalam hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
bahwa Nabi ﷺ bersabda :
قِيلَ لِرَسُولِ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ النِّسَاءِ خَيْرٌ؟ قَالَ: الَّتِي تَسُرُّهُ
إِذَا نَظَرَ، وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ، وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا
بِمَا يَكْرَهُ.
Ditanyakan kepada Rasulullah ﷺ: "Wanita yang bagaimana yang paling baik?"
Beliau bersabda: "Yaitu yang
menyenangkan suaminya ketika dipandang, menaati jika diperintah, dan tidak
menyelisihinya pada dirinya dan hartanya dalam hal yang dibenci."
[Diriwayatkan oleh an-Nasa’i (3231) dengan lafaz
ini, dan Ahmad (7421). Di nilai hasan shahih oleh al-Albani dalam Shahih
an-Nasaa’i no. 3231].
Ke 8. Mengesampingkan kepentingan suami.
Dalam suatu hadits disebutkan:
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dia
bercertita :
سَأَلْتُ رَسُولَ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَيُّ النَّاسِ أَعْظَمُ حَقًّا عَلَى الْمَرْأَةِ؟
قَالَ: زَوْجُهَا.
قُلْتُ: فَأَيُّ
النَّاسِ أَعْظَمُ حَقًّا عَلَى الرَّجُلِ؟ قَالَ: أُمُّهُ.
Saya bertanya kepada Rasulullah ﷺ, “Siapakah orang yang mempunyai hak yang paling besar terhadap
seorang wanita?” Sabdanya: “Suaminya.” Saya bertanya, “Siapakah orang yang
paling besar haknya kepada seorang lelaki?” Jawabnya: “Ibunya.”
[Diriwayatkan oleh An-Nasa’i dalam *As-Sunan
Al-Kubra* (9103), Al-Hakim (7244), dan Ibnu Abi Dunya dalam *An-Nafaqah ‘ala
Al-‘Iyal* (525), dan lafaz ini milik mereka. Dinilai hasan oleh ad-Dimyathi
dalam al-Matjar ar-Robih no. 314]
Jelaslah dari hadits ini bahwa kepentingan
suami harus lebih didahulukan oleh seorang wanita daripada kepentingan ibunya
sendiri.
Ke 9. Keluar rumah tanpa izin suami.
Dalam sebuah hadits:
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma :
أَنَّ امْرَأَةً
مِنْ خَثْعَمٍ أَتَتْ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَتْ: يَا
رَسُولَ اللهِ، أَخْبِرْنِي مَا حَقُّ الزَّوْجِ عَلَى الزَّوْجَةِ، فَإِنِّي امْرَأَةٌ
أَيِّمٌ، فَإِنِ اسْتَطَعْتُ وَإِلَّا جَلَسْتُ أَيِّمًا. قَالَ: فَإِنَّ مِنْ حَقِّ
الزَّوْجِ عَلَى زَوْجَتِهِ: إِنْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى ظَهْرِ قَتَبٍ
أَنْ لَا تَمْنَعَهُ نَفْسَهَا، وَمِنْ حَقِّ الزَّوْجِ عَلَى الزَّوْجَةِ أَنْ لَا
تَصُومَ تَطَوُّعًا إِلَّا بِإِذْنِهِ، فَإِنْ فَعَلَتْ جَاعَتْ وَعَطِشَتْ وَلَا يُقْبَلُ
مِنْهَا، وَلَا تَخْرُجَ مِنْ بَيْتِهَا إِلَّا بِإِذْنِهِ، فَإِنْ فَعَلَتْ لَعَنَتْهَا
مَلَائِكَةُ السَّمَاءِ، وَمَلَائِكَةُ الرَّحْمَةِ، وَمَلَائِكَةُ الْعَذَابِ حَتَّى
تَرْجِعَ. قَالَتْ: لَا جَرَمَ، وَلَا أَتَزَوَّجُ أَبَدًا.
Sesungguhnya seorang wanita dari suku
Khats’an datang kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, sampaikanlah kepadaku
keterangan, apa hak suami terhadap istrinya, karena aku seorang wanita janda.
Jika aku sanggup, aku akan kawin lagi; jika tidak aku akan tetap menjanda.”
Beliau ﷺ bersabda :
“Sesungguhnya hak suami kepada istrinya yaitu
jika suami menghendaki dirinya (berhubungan suami istri) sekalipun dirinya
berada di atas kendaraan, mak ia tidak mencegah dirinya untuk memenuhinya.
Dan hak suami atas istrinya yaitu, istrinya
tidak boleh puasa sunnah tanpa izin suaminya; jika ia terus melakukannya, ia
hanya mendapatkan lapar dan haus dan tidak diterima puasa yang dilakukannya itu.
Dan tidak boleh keluar dari rumah
tanpa izinnya; jika
ia terus keluar maka malaikat langit dan malaikat rahmat serta malaikat adzab
akan mengutuknya sampai ia pulang.”
Wanita itu berkata: “Tidak mengapa, tetapi
saya tidak akan kawin lagi selamanya.”
(HR. Ath-Thabarani sebagaimana disebutkan
oleh al-Mundziri dalam at-Targhib 3/58 no. 28)
Berkata Al-Haitsami dalam *Majma' Az-Zawaid*
(4/306–307):
"رَوَاهُ الْبَزَّارُ، وَفِيهِ حُسَيْنُ
بْنُ قَيْسٍ الْمَعْرُوفُ بِحَنَشٍ، وَهُوَ ضَعِيفٌ، وَقَدْ وَثَّقَهُ حُصَيْنُ بْنُ
نُمَيْرٍ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ"
"Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar.
Di dalam sanadnya terdapat Husain bin Qais yang dikenal dengan nama Hanish, dan
ia adalah perawi yang dhaif. Namun telah dianggap tsiqah oleh Hushain bin
Numair, sedangkan perawi lainnya adalah tsiqah".
Lihat: “Dha'if al-Jami'” (3/100), dan “Takhrij
Ahadits al-Ihya” no. (1442).
Ke 10. Kabur dan Melarikan diri dari rumah suami.
Dalam suatu hadits disebutkan:
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma
bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
اثْنَتَانِ لَا
تَجَاوِزُ صَلَاتُهُمَا رُءُوسَهُمَا: عَبْدٌ أَبَقَ مِنْ مَوَالِيهِ حَتَّى يَرْجِعَ،
وَامْرَأَةٌ عَصَتْ زَوْجَهَا حَتَّى تَرْجِعَ
“Dua golongan yang shalatnya tidak bermanfaat
bagi dirinya, yaitu hamba yang melarikan diri dari rumah tuannya sampai ia
pulang; dan istri yang melarikan diri dari rumah suaminya sampai ia kembali.”
[Diriwayatkan oleh ath-Thabarani dalam
*al-Mu'jam al-Awsath* (3628), dan al-Hakim (7330). Dinilai shahih oleh al-Albani
dalam Shahih at-Targhib 1888]
Rumah tangga merupakan tempat yang tidak
boleh ditinggalkan begitu saja oleh istri tanpa terlebih dulu mendapat izin dan
kerelaan suaminya.
Referensi:
Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, terbitan
Kementrian Agama Kuwait.
Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin As
Sayid Saalim, terbitan Al Maktabah At Taufiqiyah.
Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Ibnu Katsir, Tahqiq
Sami bin Muhammad Salamah, cetakan Dar Thaybah tahun 1999 M.
Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, terbitan Al
Maktab AIslami, cetakan ketiga, 1404 H
0 Komentar