BENARKAH DHO'IF ?
Hadits “Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi”
-----
Ditulis Oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
-------
DAFTAR ISI :
- BENARKAH DHOIF ? Hadits “Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi”
- PENDAHULUAN.
- PEMBAHASAN PERTAMA: HADITS “TIDAK SAH NIKAH KECUALI DENGAN WALI” – DARI SISI RIWAYAT.
- PEMBAHASAN KEDUA:
- HADITS ((TIDAK ADA NIKAH KECUALI DENGAN WALI DAN DUA SAKSI)) DARI SEGI DIROYAH.
- PEMBAHASAN KETIGA : KESIMPULAN HASIL DIROYAT :
- PEMBAHASAN KE EMPAT : PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG SYARAT ADANYA SAKSI DALAM AKAD NIKAH
- RINCIAN DALIL MASING-MASING PENDAPAT :
- ANALISA DAN PERTIMBANGAN:
- HAKIKAT SAKSI DALAM AKAD NIKAH
- SAKSI TERHADAP IJAB, KABUL, DAN MAHAR:
- SAKSI TERHADAP KERIDHOAN CALON ISTRI UNTUK DINIKAHKAN:
- ATSAR PROSES PERNIKAHAN UMAR DENGAN PUTRI ALI radhiyallahu ‘anhuma:
===***====
BENARKAH DHO’IF ? HADITS :
«لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ»
“Tidak sah nikah kecuali dengan
wali dan dua orang saksi”.
===
PENDAHULUAN
Ada sebagian para ahli hadits yang menghukumi dho’if, hadits
: “Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi”.
Diantara mereka adalah sbb :
A] – Imam Ahmad rahimahullah (wafat
241 H) dalam riwayat Al-Maimuni berkata:
"لَمْ
يَثْبُتْ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ فِي الشَّاهِدَيْنِ شَيْءٌ"
“Tidak ada -sama sekali- hadits yang sahih dari Nabi ﷺ tentang dua orang saksi dalam akad nikah .” (Syarh Az-Zarkasyi
5/23 dan Lam’aat at-Tanqiih karya Abdul Haqq ad-Dihlawi 6/39 )
B] – Ibnu Al-Mundzir (wafat 318 H) berkata:
"لَا
يَثْبُتُ فِي الشَّاهِدَيْنِ فِي النِّكَاحِ خَبَرٌ"
“Tidak ada riwayat yang sahih tentang dua orang saksi
dalam pernikahan.” (Dinukil darinya oleh sejumlah ulama seperti Ibnu Qudamah
dalam Al-Mughni 9/347 dan lainnya)
Dan Ibnu al-Mundzir juga berkata :
وَلَيْسَ يَثْبُتُ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ فِي إِثْبَاتِ الشَّاهِدَيْنِ فِي النِّكَاحِ
خَبَرٌ، إِلَّا حَدِيثٌ مُرْسَلٌ عَنِ الحَسَنِ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ فِي إِثْبَاتِ الشَّاهِدَيْنِ
لَا تَقُومُ بِهِ الحُجَّةُ، وَلَمْ يَرْفَعْهُ أَكْثَرُهُمْ.
“Tidak ada hadits yang shahih dari Nabi ﷺ mengenai penetapan dua saksi dalam nikah, kecuali sebuah hadits
mursal dari Al-Hasan al-Bashri dari Nabi ﷺ tentang
penetapan dua saksi, dan hadits mursal itu tidak bisa menjadi hujjah, serta
kebanyakan perawi tidak menyambungkan hadits tersebut sampai kepada Nabi ﷺ.” [[Al-Awsath karya Ibnu al-Mundzir, 8/317, Cet. Dar Al-Falah. Lihat
pula: at-Tanbiih ‘Alaa Musykilat al-Hidayah oleh Ibnu Abi al-‘Izz al-Hanafi
3/1181 dan Fadhlu Robbil Bariyyah oleh Abu al-Hasan ar-Ramly hal. 297].
C] – Ibnu Abdil Barr (wafat 463 H) berkata:
وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ
عَدْلَيْنِ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ وحديث ابْنِ عَبَّاسٍ وَحَدِيثِ أَبِي
هُرَيْرَةَ وَحَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ إِلَّا أَنَّ فِي نَقَلَةِ ذَلِكَ ضَعْفًا
فَلِذَلِكَ لَمْ أَذْكُرْهُ
“Dan telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ: “Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang
adil,” dari hadits Ibnu Abbas, hadits Abu Hurairah, dan hadits Ibnu Umar, hanya
saja pada para perawi hadits tersebut terdapat kelemahan, oleh sebab itu aku
tidak mau menyebutkannya.” (At-Tamhid 19/89)
D] – Az-Zaila’i (wafat 762 H) berkata:
"وَالْأَحَادِيثُ
كُلُّهَا مَدْخُولَةٌ"
“Semua haditsnya cacat.” (Nashbu Ar-Rayah 3/167)
E] – Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (wafat 728 H) berkata:
"وَلَيْسَ
فِي اشْتِرَاطِ الشَّهَادَةِ فِي النِّكَاحِ حَدِيثٌ ثَابِتٌ، لَا فِي الصِّحَاحِ
وَلَا فِي السُّنَنِ وَلَا فِي الْمَسَانِيدِ"
“Tidak ada hadits yang sahih tentang disyaratkannya
kesaksian dalam akad nikah, baik dalam kitab-kitab hadits Shahih, Sunan, maupun
Musnad.” (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam 32/35)
F]- Kata-kata bijak al-Imam
Asy-Syafi’i rahimahullah (wafat 204 H) dalam al-Umm 5/180 berkata:
هَذَا وَإِنْ كَانَ مُنْقَطِعًا دُونَ النَّبِيِّ ﷺ فَإِنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ
الْعِلْمِ يَقُولُ بِهِ، وَيَقُولُ: هُوَ الْفَرْقُ بَيْنَ النِّكَاحِ
وَالسِّفَاحِ.
“Hadits ini meskipun sanadnya terputus dari Nabi ﷺ, namun kebanyakan ulama berpendapat demikian, dan mengatakan:
inilah yang membedakan antara pernikahan dan perzinaan.” (Lihat pula : As-Sunan
Al-Kubra 7/125 oleh al-Baihaqi dan Mukhtashar Khilafiyyat Al-Baihaqi 4/125).
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (9/347. Tahqiq at-Turkiy)
berkata:
وَعَن أَحْمَدَ أَنَّهُ يَصِحُّ بِغَيْرِ شُهُودٍ. فَعَلَهُ ابْنُ عُمَرَ، وَالحَسَنُ
بْنُ عَلِيٍّ، وَابْنُ الزُّبَيْرِ، وَسَالِمٌ وَحَمْزَةُ ابْنَا ابْنِ عُمَرَ. وَبِهِ
قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ إِدْرِيسَ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، وَيَزِيدُ
بْنُ هَارُونَ، وَالعَنْبَرِيُّ، وَأَبُو ثَوْرٍ، وَابْنُ المُنْذِرِ. وَهُوَ قَوْلُ
الزُّهْرِيِّ، وَمَالِكٍ، إِذَا أَعْلَنُوهُ. قَالَ ابْنُ المُنْذِرِ: لَا يَثْبُتُ
فِي الشَّاهِدَيْنِ فِي النِّكَاحِ خَبَرٌ.
Dan riwayat dari Imam Ahmad, bahwa nikah itu sah tanpa
saksi. Begitu juga praktik Umar bin Khaththab, Al-Hasan bin Ali, Ibnu Zubair,
Salim, Hamzah bin Ibnu Umar. Pendapat ini juga dipegang oleh Abdullah bin Idris,
Abdurrahman bin Mahdi, Yazid bin Harun, Al-Anbari, Abu Tsur, dan Ibnu Mundzir.
Ini juga merupakan pendapat Az-Zuhri dan Malik jika
diumumkan.
Ibnu Mundzir berkata: “Tidak ada hadits yang sahih tentang
keharusan dua saksi dalam nikah.” [SELESAI]
*****
BENARKAH SEMUA ITU ?
Mayoritas ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, dan para
imam mujtahid berpendapat bahwa wanita tidak memiliki hak untuk menikahkan
dirinya sendiri, dan harus ada wali atau orang yang mendapat izin dari wali
untuk melangsungkan akad nikah.
Namun sebagian kecil ulama berpendapat bahwa hal itu
diperbolehkan jika ia menikahkan dirinya dengan lelaki yang sekufu, namun hal
itu tidak dianjurkan.
Begitu juga dengan syarat adanya dua saksi saat akad nikah. Ada
sebagian para ulama yang menyatakan bahwa saksi bukan syarat sah dalam akad
nikah.
Akan tetapi, bukankah telah datang hadits dari Rasulullah ﷺ yang bersabda:
«لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ»
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali”?
Namun apakah sanadnya sahih dan benar penisbatannya?
Penulis akan membagi pembahasan ini dalam beberapa
pembahasan, yaitu sbb :
Pertama, dari sisi riwayat dengan
mengumpulkan jalur-jalurnya dan meneliti sanad-sanadnya.
Kedua, dari sisi diroyat, yakni; pemahaman dengan mempelajari sanad-sanad yang banyak tersebut untuk mengetahui mana yang sahih sanadnya.
Ketiga : pemaparan kesimpulan hasil diroyat, Disertai dengan analisa dan kritikan terhadap Imam Ath-Thahawi rahimahullah dalam berdalil dengan hadits ini, serta penjelasan tentang kuatnya pemahaman yang diambil oleh mayoritas ulama darinya.
Keempat : Perbedaan pendapat para ulama tentang syarat adanya dua saksi dalam akad nikah.
PERHATIAN :
Yang perlu di baca dari artikel ini adalah sbb :
[*] PENDAHULUAN.
[*] PEMBAHASAN KE TIGA :
[*] PEMBAHASAN KE EMPAT.
Adapun “PEMBAHASAN KE SATU” dan “PEMBAHASAN KE DUA”, maka itu khusus untuk orang-orang yang menguasai “ilmu riwayat dan diroyat” serta “ilmu jarh wa ta’dil”.
===***====
PEMBAHASAN PERTAMA:
HADITS “TIDAK SAH NIKAH KECUALI DENGAN WALI” – DARI SISI
RIWAYAT
Hadits ini diriwayatkan dari Nabi ﷺ melalui sekelompok sahabat, di antaranya Abu Musa Al-Asy’ari,
Abdullah bin Mas’ud, Imran bin Hushain, Jabir bin Abdullah, Abdullah bin Abbas,
Abu Hurairah, Aisyah, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Umar, Abdullah bin Amr,
Anas bin Malik, Abu Umamah, Samurah bin Jundub, radhiyallahu ‘anhum.
=====
HADITS ABU MUSA AL-‘ASY’ARY RADHIYALLAHU ‘ANHU
Adapun hadits Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu,
diriwayatkan melalui beberapa jalur sbb :
Ke 1 : jalur Isra’il bin Yunus
bin Abi Ishaq As-Sabi’i
(Musnad Imam Ahmad 4/394, 413; Mushannaf Ibnu Abi Syaibah
4/131, 14/168-169; Sunan Ad-Darimi 2/575; Sunan Abi Dawud 2/568; Sunan
At-Tirmidzi 3/407; Musnad Abi Ya’la 13/195; Syarh Ma’ani Al-Atsar karya
Ath-Thahawi 3/8; Shahih Ibnu Hibban 9/395; Sunan Ad-Daruquthni 3/219;
Al-Mustadrak karya Al-Hakim 2/170; At-Tamhid karya Ibnu Abdil Barr 19/88. Dan
memiliki sekitar sepuluh jalur melalui Isra’il bin Yunus).
Ke 2 : Melalui jalur Yunus bin
Abi Ishaq As-Sabi’i.
(Sunan At-Tirmidzi 3/407; Musnad Al-Bazzar 8/113-114;
Al-Mustadrak karya Al-Hakim 2/17; Sunan Al-Baihaqi 7/109).
Ke 3 : Syuraik bin Abdullah
An-Nakha’i.
(Sunan At-Tirmidzi 3/407; Sunan Ad-Darimi 2/575; Musnad
Al-Bazzar 8/112, 115; Shahih Ibnu Hibban 9/391, 400; Al-Mu’jam Al-Awsath karya
Ath-Thabrani 1/391, 8/438; Sunan Al-Baihaqi 7/108; Tarikh Baghdad karya
Al-Khatib Al-Baghdadi 6/41).
Ke 4 : Abu ‘Awanah Al-Waddah bin
Abdullah.
(Musnad Abi Dawud Ath-Thayalisi hlm. 71; Sunan Sa’id bin
Manshur 3/1/148; Sunan At-Tirmidzi 3/407; Sunan Ibnu Majah 1/605; Syarh Ma’ani
Al-Atsar karya Ath-Thahawi 3/9; Al-Mustadrak karya Al-Hakim 2/171; Sunan
Al-Baihaqi 7/107; At-Tamhid karya Ibnu Abdil Barr 19/88).
Ke 5 : Zuhair bin Mu’awiyah .
(Shahih Ibnu Hibban 9/389; Al-Muntaqa karya Ibnu Al-Jarud
hlm. 268; Al-Mustadrak karya Al-Hakim 2/171; Sunan Al-Baihaqi 7/107).
Ke 6 : Qais bin Ar-Rabi’ .
(Musnad Al-Bazzar 8/113; Syarh Ma’ani Al-Atsar karya
Ath-Thahawi 3/9; Sunan Al-Baihaqi 7/108).
Ke 7 : Abdul Hamid bin Al-Hasan
Al-Hilali.
(Musnad Al-Bazzar 8/114; Al-Kamil karya Ibnu ‘Adi 5/1958).
Ke 8 : Abu Hanifah An-Nu’man.
(Jami’ Masanid Abi Hanifah 2/102; dan Al-Hakim dalam
Al-Mustadrak 2/17 menyinggung riwayat ini).
Ke 8 : Raqabah bin Mashqalah
Al-‘Abdi.
(Al-Hakim dalam Al-Mustadrak 2/171 menyebutkan riwayatnya,
demikian pula disebutkan adanya penguat dari perawi lain).
Kesemuanya itu meriwayatkan dari : Abi Ishaq As-Sabi’i,
dari Abi Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari, dari ayahnya Abu Musa Al-Asy’ari, dari
Rasulullah ﷺ, bahwa beliau bersabda:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ))
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali.”
Dan juga diriwayatkan
melalui jalur
Sufyan Ats-Tsauri.
[Musnad Al-Bazzar 8/110, Al-Mustadrak karya Al-Hakim
2/169, Tarikh Baghdad 2/214].
Dan Syu’bah bin Al-Hajjaj
[Musnad Al-Bazzar 8/112, Al-Mustadrak karya Al-Hakim
2/169, Tarikh Baghdad 2/214, 13/86] dari Abu Ishaq As-Sabi’i dengan sanad
tersebut.
Dan diriwayatkan melalui jalur Sufyan Ats-Tsauri
[Mushannaf Abdur Razzaq 6/196, Musnad Al-Bazzar 8/109,
Syarh Ma’ani Al-Atsar karya Ath-Thahawi 3/9, At-Tamhid karya Ibnu Abdil Barr
19/88].
Dan Syu’bah bin Al-Hajjaj [Musnad Al-Bazzar 8/111,
Syarh Ma’ani Al-Atsar karya Ath-Thahawi 3/9].
Dan Abu Al-Ahwas Salam bin Sulaim [Mushannaf Ibnu
Abi Syaibah 4/131, 14/168].
Ketiganya dari Abu Ishaq
As-Sabi’i dari Abu Burdah dari Nabi (diriwayatkan secara mursal, mereka tidak
menyebutkan dari Abu Musa Al-Asy’ari).
Maka jelas dari sini bahwa terdapat perbedaan dalam sanad hadits
ini dari Abu Ishaq, ada yang menyambungkannya dan ada yang memutusnya.
Adapun selain jalur Abu Ishaq, maka diriwayatkan
melalui jalur Yunus bin Abi Ishaq
[Musnad Imam Ahmad 4/413, 418, Sunan Abi Dawud 2/568,
Al-Mustadrak karya Al-Hakim 2/171, Sunan Al-Baihaqi 7/109].
Dan Abu Hushain Utsman bin Ashim [Al-Mustadrak
karya Al-Hakim 2/172].
Keduanya dari Abu Burdah dari Abu Musa
secara bersambung.
HADITS IBNU MAS’UD RADHIYALLAHU ‘ANHU :
Adapun hadits Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu: maka diriwayatkan melalui jalur Bakr bin Bakkar dari
Abdullah bin Muharrar dari Qatadah dari Al-Hasan dari Imran bin Hushain dari
Ibnu Mas’ud dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَي عَدْلٍ))
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang
adil”. [Sunan Ad-Daraquthni 3/225, Al-Kamil karya Ibnu ‘Adiy 4/1453].
====
HADITS IMRAN BIN HUSHAIN RADHIYALLAHU ‘ANHU :
Adapun hadits Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu:
diriwayatkan oleh Abdur Razzaq, dan diriwayatkan melalui jalur Abu Nu’aim
Al-Fadhl bin Dukain, keduanya dari Abdullah bin Muharrar, dari Qatadah, dari
Al-Hasan, dari Imran bin Hushain dari Nabi ﷺ dengan lafaz hadits
Ibnu Mas’ud. [Mushannaf Abdur Razzaq 6/196, Sunan Al-Baihaqi 7/125]
Dan diriwayatkan melalui jalur Abdullah bin Amr Al-Waqi’i,
ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Aban bin Yazid Al-‘Attar, dari
Qatadah, dari Al-Hasan, dari Imran bin Hushain dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ))
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali.”
[Tarikh Jurjan karya As-Sahmi hlm. 490-491,
dan diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy melalui jalur Al-Waqi’i dengan sanad ini,
Al-Kamil 4/1569]
===
HADITS JABIR BIN ABDULLAH RADHIYALLAHU ‘ANHU :
Adapun hadits Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhuma: maka
telah diriwayatkan melalui jalur Amr bin Utsman Ar-Raqqi, ia berkata:
Telah menceritakan kepada kami Isa bin Yunus, dari Al-A’masy, dari Abu Sufyan (Thalhah
bin Nafi’), dari Jabir, dari Nabi ﷺ bahwa beliau
bersabda:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ، فَإِنِ اشْتَجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ
لَا وَلِيَّ لَهُ))
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali, jika
mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki
wali.” . [Al-Mu’jam Al-Awsath karya Ath-Thabrani 4/551]
Dan diriwayatkan melalui jalur
Yahya bin Ghailan, dari Abdullah bin Bazi’, dari Hisyam bin Hassan Al-Qardusi,
dari Atha’, dari Jabir, dari Nabi ﷺ bahwa beliau
bersabda:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ، وَأَيُّمَا امْرَأَةٍ تَزَوَّجَتْ
بِغَيْرِ وَلِيٍّ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ))
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali, dan wanita mana pun
yang menikah tanpa wali maka nikahnya batal.”
[Al-Mu’jam Al-Awsath karya Ath-Thabrani
5/247-248, dan diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dari jalur ini dengan lafaz :
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ))
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali.” Al-Kamil 4/1567]
Dan diriwayatkan melalui jalur
Qathan bin Nusayr Adz-Dzari’, dari Amr bin An-Nu’man Al-Bahili, ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdul Malik, dari Abu Az-Zubair, dari
Jabir, dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَي عَدْلٍ))
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan
dua saksi yang adil.” [Al-Mu’jam Al-Awsath karya Ath-Thabrani 6/263]
Dan diriwayatkan melalui jalur
Muhammad bin Ubaidillah Al-Arzami, dari Abu Az-Zubair dengan sanad tersebut dengan lafaz
yang sama. [Al-Kamil karya Ibnu ‘Adiy 6/2113]
Dan Ibnu ‘Adiy meriwayatkan dari
Abu Ya’la Al-Mawsili, dari Muhammad bin Al-Minhhal, dari Abu Bakr Al-Hanafi
(Abdul Kabir bin Abdul Majid), dari Ibnu Abi Dzi’b, dari Atha’, dari Jabir,
dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَلَا طَلَاقَ قَبْلَ نِكَاحٍ))
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali, dan tidak ada talak
sebelum terjadi nikah.”
Kemudian Ibnu ‘Adiy berkomentar: Abu Ya’la berkata kepada
kami: Di dalam kitabku ada dua tempat, pada satu tempat tidak terdapat lafaz :
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ))
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali,”
Dan pada tempat lain terdapat lafaz :
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ))
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali.”
Dan Ibnu ‘Adiy memberikan
komentar terhadap hal ini dengan perkataannya:
وَهَذَا إِنَّمَا هُوَ لَا طَلَاقَ قَبْلَ نِكَاحٍ بِهَذَا الْإِسْنَادِ
“Ini hanyalah lafaz ‘Tidak ada talak
sebelum nikah’ dengan sanad ini.” [Al-Kamil karya Ibnu ‘Adiy 6/2043].
===
HADITS ABDULLAH BIN ABBAS RADHIYALLAHU ‘ANHU :
Adapun hadits Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
maka diriwayatkan darinya melalui jalur Sa’id bin Jubair, Ikrimah, dan Atha’
bin Abi Rabah.
Adapun jalur Sa’id bin Jubair, maka diriwayatkan melalui
jalur ‘Adi bin Al-Fadhl, dari Abdullah bin Utsman bin Khutsaim, dari Sa’id
bin Jubair, dari Ibnu Abbas, dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَي عَدْلٍ، وَأَيُّمَا امْرَأَةٍ أَنْكَحَهَا
وَلِيٌّ مَسْخُوطٌ عَلَيْهِ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ))
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan
dua saksi yang adil. Dan wanita mana saja yang dinikahkan oleh wali yang
dimurkai (tidak sah kewaliannya), maka nikahnya batal.”
[Sunan Ad-Daraquthni 3/221-222. Dan ia
berkata: Lafaz marfu’ ini hanya diriwayatkan oleh ‘Adi bin Al-Fadhl, tidak ada
yang meriwayatkannya marfu’ selain dia. Sunan Al-Baihaqi 7/124 dan ia berkata:
‘Adi bin Al-Fadhl meriwayatkannya seperti ini, dan ia lemah, yang shahih adalah
mauquf].
Dan diriwayatkan oleh
Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Awsath dari Ahmad bin Al-Qasim, ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Ubaidullah bin Umar Al-Qawariri, ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Abdullah bin Dawud, Bisyr bin Al-Mufadhal, dan
Abdurrahman bin Mahdi, dari Sufyan Ats-Tsauri, dari Ibnu Khutsaim dengan sanad
tersebut, dan lafaznya:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِإِذْنِ وَلِيٍّ مُرْشِدٍ أَوْ سُلْطَانٍ))
“Tidak ada nikah kecuali dengan izin wali
yang bijak atau penguasa.” [Al-Mu’jam Al-Awsath karya Ath-Thabrani 1/318].
Dan diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir
dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dari Al-Qawariri dengan sanad tersebut
secara marfu’, dan lafaznya:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ))
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali.”
[Al-Mu’jam Al-Kabir karya Ath-Thabrani
12/64, dan terhapus darinya nama Abdullah bin Dawud].
Dan diriwayatkan melalui jalur
Mu’adz bin Al-Mutsanna, dari Ubaidullah bin Umar Al-Qawariri dengan sanad tersebut,
namun di dalamnya terdapat lafaz :
(عَنِ النَّبِيِّ ﷺ: إِنْ شَاءَ اللَّهُ)
“dari Nabi ﷺ: insya Allah”.
Dan lafaznya sama dengan riwayat Ahmad bin Al-Qasim dari
Al-Qawariri. [Sunan Al-Baihaqi 7/124].
Dan dalam sanadnya disebutkan Bisyr bin Manshur, bukan
Bisyr bin Al-Mufadhal. Keduanya tsiqah dan disebutkan bersama dua orang tsiqah
lainnya.
Al-Baihaqi memberikan komentar:
"كَذَا قَالَ مُعَاذُ بْنُ الْمُثَنَّى، وَرَوَاهُ غَيْرُهُ عَنْ
عُبَيْدِ اللَّهِ الْقَوَارِيرِيِّ فَقَالَ (قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ) مِنْ غَيْرِ
اسْتِثْنَاءٍ، تَفَرَّدَ بِهِ الْقَوَارِيرِيُّ مَرْفُوعًا، وَالْقَوَارِيرِيُّ ثِقَةٌ،
إِلَّا أَنَّ الْمَشْهُورَ بِهَذَا الْإِسْنَادِ مَوْقُوفٌ عَلَى ابْنِ عَبَّاسٍ".
“Demikianlah yang disebutkan oleh Mu’adz bin Al-Mutsanna,
sementara selainnya meriwayatkan dari Ubaidullah Al-Qawariri dengan lafaz
(Rasulullah ﷺ bersabda) tanpa ada pengecualian. Hanya Al-Qawariri yang
meriwayatkannya secara marfu’, dan ia tsiqah. Akan tetapi yang masyhur dengan
sanad ini adalah mauquf pada Ibnu Abbas”. [Sunan Al-Baihaqi 7/124.
Adapun jalur Ikrimah dari Ibnu
Abbas,
maka diriwayatkan oleh Mu’ammar bin Sulaiman Ar-Raqqi dan Makhsyi bin
Mu’awiyah, dari Al-Hajjaj bin Arthaah, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, dari Nabi
ﷺ bahwa beliau bersabda:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ
لَهُ))
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali, dan penguasa adalah
wali bagi yang tidak memiliki wali.” [Musnad Imam Ahmad 1/250, At-Tarikh
Al-Kabir karya Al-Bukhari 8/71].
Dan diriwayatkan oleh Abu Kuraib, dari Abdullah bin
Al-Mubarak, dari Al-Hajjaj bin Arthaah dengan sanad tersebut, dan lafaznya:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ))
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali.” [Sunan Ibnu Majah
1/605, Musnad Abi Ya’la 4/386].
Dan diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam
Al-Kabir dari Al-Husain bin Ishaq At-Tustari, dari Sahl bin Utsman, dari Ibnu
Al-Mubarak dengan sanad tersebut, hanya saja di dalamnya terdapat (dari Khalid
Al-Hazza) sebagai ganti (dari Al-Hajjaj bin Arthaah). [Al-Mu’jam Al-Kabir karya
Ath-Thabrani 11/340].
Dan diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam
Al-Awsath dengan sanad yang sama, dan di dalamnya digabungkan keduanya (dari
Khalid Al-Hazza dari Al-Hajjaj bin Arthaah), dan lafaznya:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ
لَهُ))
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali, dan penguasa adalah
wali bagi yang tidak memiliki wali.” [Al-Mu’jam Al-Awsath karya Ath-Thabrani
4/282].
Dan diriwayatkan oleh Al-Baihaqi melalui jalur Sa’id bin
Utsman Al-Ahwazi, dari Sahl bin Utsman, dan di dalamnya terdapat (dari
Al-Hajjaj bin Arthaah). [Sunan Al-Baihaqi 7/109-110].
Adapun jalur Atho bin Abī Rabāḥ dari Ibnu ‘Abbās, maka diriwayatkan melalui an-Nahhās bin Qahm dari Atho dengannya, dan lafaznya:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ))
((Tidak ada nikah kecuali dengan wali)) [al-Mu‘jam al-Awsaṭ karya Ṭabarānī 7/97-98].
====
HADITS ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ‘ANHU :
Adapun hadits Abū
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, diriwayatkan melalui jalur ‘Umar bin Qays dari Atho
dari Abū Hurairah dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ))
((Tidak ada nikah kecuali dengan wali)) [al-Mu‘jam al-Awsaṭ karya Ṭabarānī 6/262].
Dan diriwayatkan melalui jalur Sulaimān bin Arqam, dari az-Zuhrī, dari Sa‘īd bin al-Musayyib, dari
Abū Hurairah, dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَي عَدْلٍ))
((Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang
adil))
[al-Mu‘jam al-Awsaṭ karya
Ṭabarānī 7/191, al-Kāmil karya Ibnu ‘Adī
3/1101].
Dan diriwayatkan melalui jalur al-Mughīrah bin Mūsā, dari Hishām bin Ḥassān, dari Ibnu Sīrīn, dari Abū Hurairah, dari Nabi ﷺ bahwa beliau
bersabda:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَخَاطِبٍ وَشَاهِدَي عَدْلٍ))
((Tidak ada nikah kecuali dengan wali, pelamar, dan dua
saksi yang adil))
[al-Kāmil karya Ibnu ‘Adī 6/2356, Sunan al-Bayhaqī 7/125, Tārīkh Baghdād 3/244].
Dan diriwayatkan melalui jalur Abū ‘Āmir al-Khazzāz Ṣāliḥ bin Rustum, dari Muḥammad
bin Sīrīn dengannya, dan lafaznya:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ))
((Tidak ada nikah kecuali dengan wali)) [Ṣaḥīḥ Ibnu Ḥibbān 9/387-388].
Dan diriwayatkan melalui jalur Muḥammad bin ‘Ubaydillāh
al-‘Arzamī dari ayahnya dari Abū Hurairah dari Nabi ﷺ bahwa beliau
bersabda:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَي عَدْلٍ، فَمَا كَانَ عَلَى
غَيْرِ ذَلِكَ فَبَاطِلٌ مَرْدُودٌ))
((Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang
adil, maka apa yang terjadi di luar ketentuan itu adalah batil dan tertolak))
[al-Kāmil karya Ibnu ‘Adī 6/2113].
===
HADITS ‘AISYAH RADHIYALLAHU ‘ANHA :
Adapun hadits ‘Āisyah radhiyallahu
‘anha, diriwayatkan melalui jalur az-Zuhrī dari
‘Urwah darinya, dan melalui jalur Hishām bin
‘Urwah dari ayahnya darinya.
Adapun jalur az-Zuhrī,
diriwayatkan melalui Sa‘īd bin Yaḥyā bin Sa‘īd al-Umawī, ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Ḥafṣ bin Ghiyāth, dari Ibnu Jurayj,
dari Sulaimān bin Mūsā, dari az-Zuhrī, dari ‘Urwah, dari ‘Āisyah radhiyallahu ‘anha, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَي عَدْلٍ، وَمَا كَانَ مِنْ
نِكَاحٍ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بَاطِلٌ، فَإِنْ تَشَاجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ
مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ))
((Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang
adil, dan apa yang terjadi di luar ketentuan itu adalah batil, maka jika mereka
berselisih, penguasa adalah wali bagi siapa yang tidak memiliki wali)). [Ṣaḥīḥ Ibnu Ḥibbān (al-Ihsan) 9/386 no.
4075].
Dan diriwayatkan melalui jalur Muḥammad bin Hārūn al-Ḥaḍramī, ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Sulaimān bin ‘Umar ar-Raqqī, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yaḥyā bin Sa‘īd al-Umawī, ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Ibnu Jurayj dengannya, dengan lafaz :
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَي عَدْلٍ)).
((Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan
dua saksi yang adil)). [Sunan al-Bayhaqī
7/125].
Dan diriwayatkan melalui jalur ‘Īsā bin Yūnus, dari Ibnu Jurayj dengannya, dengan lafaz:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَي عَدْلٍ، فَإِنْ تَشَاجَرُوا
فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ))
((Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang
adil, jika mereka berselisih maka penguasa adalah wali bagi siapa yang tidak
memiliki wali))
[Sunan ad-Dāraqutnī 3/225-227, Sunan al-Bayhaqī 7/125.
Dan ad-Dāraqutnī berkomentar: Demikian juga diriwayatkan oleh Sa‘īd bin Khālid bin ‘Abdillāh bin ‘Amr bin ‘Uthmān, Yazīd bin Sinān, Nūḥ bin Darrāj, dan ‘Abdullāh bin Ḥakīm Abū Bakr, dari Hishām bin ‘Urwah dari ayahnya dari ‘Āisyah, mereka semua menyebutkan : (dua saksi yang adil),
dan demikian juga diriwayatkan oleh Ibnu Abī Mulaykah dari ‘Āisyah].
Dan diriwayatkan dari beberapa jalur dari al-Ḥajjāj bin Arṭāh, dari az-Zuhrī
dengannya, dengan lafaz:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ، وَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ
لَهُ))
((Tidak ada nikah kecuali dengan wali, dan penguasa adalah
wali bagi siapa yang tidak memiliki wali))
[Musnad Aḥmad 1/250, 6/260, al-Muṣannaf karya Ibnu Abī
Shaybah 4/130, Sunan Sa‘īd bin Manṣūr 3/1/150, Sunan Ibnu Mājah 1/605, Musnad Abī Ya‘lā 4/387, at-Tamhīd
karya Ibnu ‘Abdil Barr 19/87].
Dan diriwayatkan melalui jalur ‘Uthmān bin ‘Abdirraḥmān al-Waqqāṣī, dari az-Zuhrī dengannya, dengan lafaz:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَي عَدْلٍ))
((Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang
adil)) \[al-Mu‘jam al-Awsaṭ karya Ṭabarānī 10/135].
Dan diriwayatkan melalui jalur ‘Abdullāh bin Farrūkh al-Khurāsānī dari Ayyūb bin Mūsā dari az-Zuhrī. [al-Kāmil karya Ibnu ‘Adī 4/1516].
Adapun jalur Hishām bin
‘Urwah, diriwayatkan melalui Muḥammad bin Yazīd bin Sinān, ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami ayahku, dari Hishām bin ‘Urwah, dari ‘Urwah dengannya . [Sunan ad-Dāraqutnī 3/227].
Dan diriwayatkan melalui jalur Nūḥ bin Darrāj, dari Hishām bin ‘Urwah dengannya, dengan lafaz :
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَي عَدْلٍ))
((Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang
adil)). [Tārīkh Baghdād karya al-Khaṭhīb al-Baghdādī 12/157].
Dan telah diriwayatkan melalui jalur Mandal bin ‘Ali
al-‘Anazi dari Hisyam bin ‘Urwah dengan lafaz:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ، وَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ
لَهُ))
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali, dan penguasa adalah
wali bagi orang yang tidak memiliki wali”.
(Musnad Abi Ya’la 8/191. Dan juga diriwayatkan dari Mandal
dari Laits dari Abdurrahman bin al-Qasim dari ayahnya dari ‘Aisyah, dalam
Al-Kamil karya Ibnu ‘Adi 6/2448).*
Dan diriwayatkan melalui jalur ‘Ali bin Jamil ar-Raqqi, ia
berkata: Telah menceritakan kepada kami Husain bin ‘Ayyasy, dari Ja’far bin
Burqan, dari Hisyam bin ‘Urwah, dengan lafaz:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَي عَدْلٍ))
“Tidak sah nikah
kecuali dengan wali dan dua orang saksi.” *(\[Al-Mu’jam al-Awsath] karya
ath-Thabrani 7/469–470).*
Dan diriwayatkan melalui jalur Mutharrif bin Mazin
ash-Shan’ani dari Ibnu Juraij dari Hisyam bin ‘Urwah *(Al-Kamil karya Ibnu ‘Adi
6/2374).*
Dan diriwayatkan melalui jalur al-Husain bin ‘Alwan
al-Kalbi dari Hisyam bin ‘Urwah *(Al-Kamil karya Ibnu ‘Adi 2/770).*
====
HADITS ALI BIN ABI THALIB RADHIYALLAHU ‘ANHU :
Adapun hadits dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, maka telah
diriwayatkan melalui jalur Syabib bin al-Fadhl, ia berkata: Telah menceritakan
kepada kami ‘Abdullah bin Abi Ja’far, dari Qais bin ar-Rabi’, dari Abu Ishaq,
dari al-Harits, dari ‘Ali, dari Nabi ﷺ, beliau
bersabda:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ))
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali.” *(Al-Kamil karya
Ibnu ‘Adi 4/1532; Tarikh Jurjan karya as-Sahmi hlm. 297).*
Dan diriwayatkan melalui jalur ‘Abbad bin al-‘Awwam, dari
al-Hajjaj (bin Arthaah), dari Hushain (bin ‘Abdirrahman al-Haritsi), dari
asy-Sya’bi, dari al-Harits (bin ‘Abdillah al-A’war), dari ‘Ali, dengan lafaz:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ، وَلَا نِكَاحَ إِلَّا بِشُهُودٍ))
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali, dan tidak sah nikah
kecuali dengan saksi-saksi.” *(Tarikh Baghdad 2/224).*
Dan diriwayatkan melalui jalur Husain bin ‘Abdillah bin
Dhumairah, dari ayahnya, dari kakeknya, dari ‘Ali, dengan lafaz:
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi.”
*(Tarikh Baghdad 8/7).*
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ))
Dan diriwayatkan melalui jalur Imam Abu Hanifah, dari
Khushaif, dari Jabir bin ‘Aqil, dari ‘Ali radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ، مَنْ نَكَحَ بِغَيْرِ
وَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ فَنِكَاحُهُ بَاطِلٌ))
“Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi.
Barang siapa menikah tanpa wali dan dua orang saksi maka nikahnya batal.”
*(Jami’ Masanid al-Imam Abi Hanifah 2/102; Al-Kamil karya Ibnu ‘Adi 1/197).*
===
HADITS ABDULLAH BIN UMAR RADHIYALLAHU ‘ANHUMA :
Adapun hadits Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, maka
diriwayatkan melalui jalur Tsabit bin Zuhair, dari Nafi’, dari Ibnu Umar, dari
Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَي عَدْلٍ))
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi
yang adil” [Sunan ad-Daraquthni 3/225, al-Kamil Ibnu ‘Adi 2/521-522].
Dan diriwayatkan melalui jalur Ayyub bin ‘Urwah, dari Abu
Malik al-Janbi (Amr bin Hashim), dari Ubaidullah, dari Nafi’, dengan lafaz:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ))
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali”
[Al-Kamil Ibnu ‘Adi 1/356]. Diriwayatkan juga oleh
al-‘Uqaili dari jalur Ayyub bin ‘Urwah, namun tanpa kepastian marfu’, karena
perawi berkata: (dari Ibnu Umar, saya kira marfu’), dan lafaznya:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَي عَدْلٍ))
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi”
(ad-Dhu’afa al-Kabir 3/294).
====
HADITS ABDULLAH BIN ‘AMR RADHIYALLAHU ‘ANHU :
Adapun hadits Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu:
diriwayatkan oleh Muhammad bin Ubaidullah al-‘Arzami dari Amr bin Syu’aib dari
ayahnya dari kakeknya dari Nabi ﷺ bahwa beliau
bersabda:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ))
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali” [al-Kamil Ibnu
‘Adi 6/2113].
===
HADITS ANAS BIN MALIK RADHIYALLAHU ‘ANHU :
Adapun hadits Anas radhiyallahu ‘anhu: diriwayatkan oleh
Hisyam bin Salman al-Mujasyi’i dari Yazid ar-Raqasyi dari Anas dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَي عَدْلٍ))
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali dan dua saksi
yang adil” [al-Kamil Ibnu ‘Adi 7/2566, 1/318].
Dan diriwayatkan oleh Muhammad bin Ali bin Sahl – guru
Ibnu ‘Adi – dengan sanadnya dari Yazid ar-Raqasyi dengan lafaz tersebut. [al-Kamil
Ibnu ‘Adi 6/2298].
Dan diriwayatkan oleh Dinar bin Abdullah dari Anas dari
Rasulullah ﷺ bahwa beliau bersabda:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ))
“Tidak ada pernikahan kecuali dengan wali”. [al-Kamil Ibnu
‘Adi 3/979].
Dan diriwayatkan oleh Ismail bin Saif al-Bashri dari hadits
Anas. [al-Kamil Ibnu ‘Adi 1/318].
====
HADITS ABU UMAMAH AL-BAHILY RADHIYALLAHU ‘ANHU :
Adapun hadits Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu: diriwayatkan
oleh Umar bin Musa dari Abu Ghalib dari Abu Umamah dari Nabi ﷺ bahwa beliau bersabda:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ))
“Tidak ada
pernikahan kecuali dengan wali” [al-Kamil Ibnu ‘Adi 6/2298].
Dan diriwayatkan dari hadits Samurah radhiyallahu ‘anhu:
Al-Fadhl bin Muhammad bin Abdullah Al-Bahili – guru Ibnu ‘Adiy –
meriwayatkannya dengan sanadnya dari Mak-hul, dari Samurah, dari Nabi bahwa
beliau bersabda:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَإِذَا أَنْكَحَ الْمَرْأَةَ وَلِيَّانِ
فَالْأَوَّلُ أَحَقُّ بِالنِّكَاحِ))
((Tidak ada nikah kecuali dengan wali, dan apabila dua
orang wali menikahkan seorang wanita, maka yang pertama lebih berhak atas
pernikahan itu)) (Al-Kamil li Ibni ‘Adi 6/2043–2044).
===***====
PEMBAHASAN KEDUA:
HADITS (TIDAK ADA NIKAH KECUALI
DENGAN WALI DAN DUA SAKSI) DARI SEGI DIROYAT.
Maksud pembahasan dari sisi diroyat, yakni; pemahaman dengan mempelajari sanad-sanad yang banyak tersebut untuk mengetahui mana yang sahih sanadnya.
===
DIROYAT SANAD RIWAYAT ABU MUSA AL-ASY’ARY RADHIYALLAHU ‘ANHU :
Adapun hadits Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu maka
telah diriwayatkan oleh sekelompok perawi dari Israil bin Yunus bin Abi Ishaq
As-Sabi’i, dari kakeknya Abu Ishaq, dari Abu Burdah bin Abi Musa Al-Asy’ari,
dari ayahnya Abu Musa, dari Nabi. Dan berikut kajian ringkas tentang sanad ini:
[*] Israil bin Yunus:
Dia ditashihkan (dinyatakan tsiqah) oleh Ahmad, Al-‘Ajli,
Abu Hatim, Muhammad bin Abdullah bin Numair, dan lainnya.
Ya’qub bin Syaibah berkata: dalam haditsnya ada kelemahan.
Israil berkata: Aku menghafal hadits Abu Ishaq seperti aku
menghafal satu surat dari Al-Qur’an.
Sebagian orang berkata kepada Yunus bin Abi Ishaq: Bacakan
kepadaku hadits ayahmu. Maka ia berkata:
Tulislah dari anakku Israil, karena ayahku telah
mendiktekan kepadanya. Ia lahir tahun 100 H dan wafat sekitar tahun 161 H.
(Tahdzib At-Tahdzib 1/261–263. Tahdzib Al-Kamal wa
Hasyiyatuhu 2/515–524 khususnya halaman 523).
[*] Abu Ishaq As-Sabi’i ‘Amr bin Abdullah:
Mereka sepakat menyatakannya tsiqah. Ibnu Ma’in, Abu
Hatim, An-Nasa’i, dan lainnya menilainya tsiqah. Ahmad dan Ibnu Ma’in memberi
isyarat bahwa hafalannya berubah (menjadi buruk) di akhir hayatnya.
Al-Karabisi, Ibnu Hibban, dan Abu Ja’far Ath-Thabari menisbatkannya sebagai
mudallis. Ia lahir dua tahun sebelum berakhirnya kekhalifahan Utsman dan wafat
sekitar tahun 127 H. (Tahdzib At-Tahdzib 8/63–67).
[*] Abu Burdah bin Abi Musa
Al-Asy’ari:
Mereka sepakat menyatakannya tsiqah. Ibnu Sa’d, Al-‘Ajli,
Ibnu Kharrasy, dan lainnya menilainya tsiqah. Ia lahir tahun 22 H dan wafat
sekitar tahun 104 H (Tahdzib At-Tahdzib 12/18–19). Ayahnya, Abu Musa Al-Asy’ari
wafat ketika Abu Burdah berusia antara 20 sampai 31 tahun (Tahdzib At-Tahdzib
5/362–363).
Mungkin ada yang mengatakan: “Israil bin Yunus dalam haditsnya
ada kelemahan, Abu Ishaq As-Sabi’i hafalannya berubah (kurang akurat) di akhir
hayatnya, ia juga dinisbatkan sebagai mudallis, dan tiga perawi yang
meriwayatkan dari Abu Ishaq meriwayatkan hadits ini secara mursal”.
Maka ada empat kritikan terhadap sanad hadits ini.
Adapun perkataan tentang kelemahan dalam hadits Israil,
maka hal itu gugur dengan adanya mutaba’ah (penguatan) dari sekelompok perawi
tsiqah lainnya.
Adapun perkataan bahwa hafalan Abu Ishaq berubah (kurang
akurat) di akhir hayatnya, maka hal ini tidak berlaku di sini, karena hadits
ini diriwayatkan darinya oleh cucunya, Israil bin Yunus, dan oleh anaknya,
Yunus. Ayah Israil meriwayatkannya darinya di masa awal, demikian juga
diriwayatkan oleh Syarik bin Abdullah, dan Imam Ahmad menegaskan bahwa ia
mendengarnya pada masa awal (Tahdzib At-Tahdzib 4/334).
Adapun tuduhan bahwa Abu Ishaq As-Sabi’i melakukan tadlis,
maka Sufyan Ats-Tsauri bertanya kepadanya: Apakah engkau mendengar hadits ini
dari Abu Burdah? Ia menjawab: Ya (Sunan At-Tirmidzi 3/409).
Kemudian hadits ini juga diriwayatkan melalui dua jalur
lain dari Abu Burdah, yaitu dari Yunus bin Abi Ishaq As-Sabi’i dan dari Abu
Hushain Utsman bin Ashim Ats-Tsaqafi.
Adapun jalur Yunus dari Abu Burdah, maka diriwayatkan
darinya melalui beberapa jalur (Musnad Imam Ahmad 4/413, 418, Sunan Abu Dawud
2/568, Al-Mustadrak lil Hakim 2/171. Sunan Al-Baihaqi 7/109).
Tetapi hadits ini juga diriwayatkan melalui jalur darinya,
dari ayahnya, dari Abu Burdah, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya dalam
jalur hadits dari ayahnya, Abu Ishaq As-Sabi’i.
Dan tidak ada satu pun jalur yang saya temukan yang
menyebutkan: “Aku mendengar dari Abu Burdah”, sehingga kemungkinan ia
mendengarnya dari ayahnya, dari Abu Burdah, sehingga jalur ini kembali kepada
jalur Abu Ishaq.
Adapun jalur Abu Hushain telah diriwayatkan oleh Al-Hakim
dalam kitab Al-Mustadrak, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Ali
Al-Hafizh, ia berkata: Telah mengabarkan kepada kami Abu Yusuf Ya’qub bin
Khalifah bin Hassan Al-Ayli dan Shalih bin Ahmad bin Yunus dan Abu Al-Abbas
Al-Azhari, mereka berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Syaibah bin Abu
Bakar bin Abu Syaibah, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Khalid bin
Yazid At-Thabib, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin
‘Ayyasy, dari Abu Hushain, dari Abu Burdah, dari Abu Musa Al-Asy’ari bahwa ia
berkata:
Rasulullah ﷺ bersabda:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ))
((Tidak ada nikah kecuali dengan wali)) (Al-Mustadrak
2/172).
Adapun hal terpenting yang dikritik dalam sanad hadits ini
adalah terjadi perbedaan pendapat tentang riwayat ini dari Abu Ishaq, apakah
bersambung atau mursal (terputus), sehingga timbul kemungkinan adanya cacat.
Maka harus diperhatikan siapa yang meriwayatkannya secara mursal dan siapa yang
meriwayatkannya secara bersambung.
Adapun yang meriwayatkannya
secara mursal adalah Sufyan Ats-Tsauri, Syu’bah, dan Abu Al-Ahwash Salam bin Sulaim,
sedangkan Sufyan dan Syu’bah adalah dua gunung dalam hal hafalan.
Adapun yang meriwayatkannya
secara bersambung adalah Israil bin Yunus, Yunus bin Abi Ishaq, Syarik bin
Abdullah, Zuhair bin Mu’awiyah, Qais bin Ar-Rabi’, Abdurrahim bin Hasan
Al-Hilali, Abu Hanifah dan lainnya. Israil menghafal hadits kakeknya
sebagaimana ia menghafal satu surat dari Al-Qur’an, maka ia dan seluruh perawi
lainnya yang meriwayatkan hadits ini dari Abu Ishaq As-Sabi’i tidak mungkin
sepakat salah menambahkan nama (Abu Musa Al-Asy’ari) dan bersepakat atasnya.
Jika dikatakan: Bukankah Sufyan
Ats-Tsauri dan Syu’bah dua gunung dalam hafalan dan mereka meriwayatkannya
secara mursal?!
Jawabannya: Benar, tetapi hal itu
telah dijelaskan oleh Imam At-Tirmidzi, ia berkata: Syu’bah dan Ats-Tsauri
mendengar hadits ini dari Abu Ishaq dalam satu majelis, dan yang menunjukkan
hal itu adalah sebagaimana yang diceritakan kepada kami oleh Mahmud bin
Ghailan, ia berkata:
Telah mengabarkan kepada kami Abu Dawud, ia berkata: Telah
mengabarkan kepada kami Syu’bah, ia berkata: Aku mendengar Sufyan Ats-Tsauri
bertanya kepada Abu Ishaq: Apakah engkau mendengar Abu Burdah berkata:
Rasulullah bersabda:
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ))
(Tidak ada nikah kecuali dengan wali)?
Ia menjawab: Ya (Sunan At-Tirmidzi 3/409).
Dan Mahmud bin Ghailan disepakati ke-tsiqah-annya (Tahdzib
At-Tahdzib 10/64-65), sedangkan Abu Dawud adalah Imam Hafizh Abu Dawud
Ath-Thayalisi, pemilik kitab Musnad.
Dan tampak dari riwayat ini bahwa riwayat Syu’bah dan
Ats-Tsauri bukan hanya diambil dari Abu Ishaq dalam satu majelis saja, bahkan
tidak diambil darinya dalam majelis pengajaran, melainkan datang sebagai
jawaban atas pertanyaan Sufyan yang ingin mengetahui apakah Abu Ishaq mendengar
hadits ini dari Abu Burdah secara langsung.
Catatan: Imam At-Tirmidzi menyebutkan
orang-orang yang meriwayatkan hadits ini dari Abu Ishaq secara bersambung,
mereka adalah Israil, Syarik bin Abdullah, Abu ‘Awanah, Zuhair bin Mu’awiyah,
dan Qais bin Ar-Rabi’. Dan Abu ‘Awanah adalah Al-Wadhdhah bin Abdullah Al-Yasykuri.
Saya sengaja tidak menyebut Abu ‘Awanah, karena ia tidak
mendengar hadits ini dari Abu Ishaq meskipun ia meriwayatkannya darinya,
melainkan ia mendengarnya dari Israil dari Abu Ishaq. Hal ini telah
diriwayatkan oleh Imam Ath-Thahawi melalui dua jalur, kemudian ia berkata: Maka
kembalilah hadits Abu ‘Awanah kepada hadits Israil (Syarh Ma’ani Al-Atsar 3/9).
Dan yang menguatkan hal ini adalah bahwa Ahmad bin ‘Abdah
berkata: Kemudian Abu ‘Awanah berkata suatu hari: Aku tidak mendengarnya
kecuali dari Israil dari Abu Ishaq.
Maka Abu Hatim dan Abu Zur’ah Ar-Razi bertanya kepadanya:
Apakah engkau mendengar Abu ‘Awanah menyebut hal ini?
Ia menjawab: Aku mendengar Yahya bin Hamad menyebutkannya
dari Abu ‘Awanah (Al-‘Ilal Ibnu Abi Hatim 2/406).
Dalam cetakan tertulis: Aku tidak mendengar dari
Israil, dan ini merupakan kesalahan. Ahmad bin ‘Abdah adalah tsiqah, dan Yahya
bin Hamad juga tsiqah, ia adalah menantu Abu ‘Awanah.
Dan apabila gugur empat bantahan terhadap sanad hadits
ini, maka jelas bahwa sanadnya sahih dari Abu Musa Al-Asy’ari radhiyallahu
‘anhu dari Nabi ﷺ.
Hadits ini telah dinyatakan sahih oleh guru Imam
Al-Bukhari, yaitu Imam Ali bin Al-Madini (Siyar A’lam An-Nubala 11/46), begitu
juga oleh Abdurrahman bin Mahdi dan Abu Al-Walid Ath-Thayalisi (Al-Mustadrak
2/170).
===
DIROYAT SANAD RIWAYAT IBNU MAS’UD RADHIYALLAHU ‘ANHU :
Adapun hadits Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, dalam
sanadnya terdapat Abdullah bin Muharrar, yang dikatakan oleh Amr bin Ali, Abu
Hatim, Ad-Daraquthni, dan lainnya: Matrukul hadits (ditinggalkan haditsnya)
(Tahdzib At-Tahdzib 5/389-390).
====
SANAD RIWAYAT IMRAN BIN HUSHAIN RADHIYALLAHU ‘ANHU :
Adapun hadits Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu, pada
jalur pertamanya terdapat Abdullah bin Muharrar, yang telah disebutkan
sebelumnya bahwa ia matruk al-hadits (ditinggalkan haditsnya).
Pada jalur keduanya terdapat Abdullah bin Amr (bin Hassan)
al-Waqi’i. Ali bin al-Madini berkata: “Ia biasa membuat hadits palsu.” Abu
Zur’ah berkata: “Ia tidak dapat dipercaya” (Lisan al-Mizan 3/320).
===
SANAD RIWAYAT JABIR BIN ABDULLAH RADHIYALLAHU ‘ANHU :
Adapun hadits Jabir radhiyallahu ‘anhu, pada jalur
pertamanya terdapat Amr bin Utsman bin Siyar al-Kilabi ar-Raqqi, Abu Hatim
berkata tentangnya: “Ia meriwayatkan kepada manusia dari hafalannya hadits-hadits
yang munkar.” An-Nasa’i dan al-Azdi berkata: “Matruk al-hadits” (Tahdzib
at-Tahdzib 8/76–78).
Pada jalur keduanya terdapat Abdullah bin Bazi’,
Ad-Daraquthni berkata tentangnya: “Bukan termasuk matruk,” tetapi as-Saji
berkata: “Ia bukan hujjah, ia meriwayatkan dari Yahya bin Ghailan hadits-hadits
munkar.” Ibnu ‘Adiy berkata: “Mayoritas haditsnya tidak terjaga” (Lisan
al-Mizan 3/263).
Pada jalur ketiganya terdapat Qathn bin Nusayr, Abu Zur’ah
mencelanya. Ibnu ‘Adiy berkata: “Ia mencuri hadits” (Tahdzib at-Tahdzib
8/382–383).
Dalam sanad ini juga terdapat Muhammad bin Abdul Malik,
Imam Ahmad dan Abu Hatim berkata tentangnya: “Ia biasa membuat hadits palsu.”
Asy-Syafi’i, Al-Bukhari, Muslim, dan An-Nasa’i berkata: “Haditsnya
munkar” (al-Jarh wa at-Ta’dil 8/4; Lisan al-Mizan 5/265–266; al-Kamil
6/2166–2170).
Pada jalur keempat terdapat Muhammad bin Ubaidillah bin
Abi Sulaiman al-Arzami, ia disepakati kelemahannya, dan sejumlah imam berkata
tentangnya: “Matruk al-hadits” (Tahdzib at-Tahdzib 9/322–324).
Adapun jalur kelima, secara lahiriah sanadnya sahih,
karena sanadnya bersambung dan semua perawinya tsiqah, tidak ada cela pada
seorang pun di antara mereka, tetapi sanad ini memiliki ‘illah.
‘Illah-nya adalah bahwa Abu Ya’la mendapatkan hadits ini
tertulis di sisinya dalam dua tempat. Redaksinya dalam salah satunya adalah:
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan tidak ada talak sebelum nikah.”
Sedangkan redaksi pada tempat yang lain: “Tidak ada talak sebelum nikah.”
Seakan-akan Abu Ya’la ragu terhadap redaksi yang ia dengar, sehingga ia tidak
memastikan. Jika terjadi keraguan dalam menetapkan lafaz atau menolaknya, maka
tidak boleh menetapkannya dengan keraguan.
Dan yang menguatkan bahwa kalimat *“Tidak ada nikah
kecuali dengan wali”* bukan bagian asli dari hadits adalah tidak adanya
lafaz tersebut dalam riwayat perawi lain yang meriwayatkan hadits ini melalui
jalur yang sama. Di antaranya adalah bahwa Muhammad bin Sinan al-Qazzaz
meriwayatkannya dari Abu Bakar al-Hanafi tanpa tambahan ini.
(Sunan al-Bayhaqi 7/319), dan Waki’ bin al-Jarrah serta
Abu Dawud ath-Thayalisi juga meriwayatkannya dari Ibnu Abi Dzi’b tanpa tambahan
ini (al-Mustadrak 2/420; Sunan al-Bayhaqi 7/319).
Hal ini menjelaskan komentar Ibnu ‘Adiy rahimahullah
ketika berkata: “Hadits ini hanyalah *‘Tidak ada talak sebelum nikah’*
dengan sanad ini.”
====
SANAD RIWAYAT IBNU ABBAS RADHIYALLAHU ‘ANHUMA :
Adapun hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu melalui jalur
Sa’id bin Jubair darinya, maka pada jalur pertamanya terdapat ‘Adi bin al-Fadl.
Para ulama sepakat melemahkannya. An-Nasa’i dan Ibnu Ma’in dalam satu riwayat
berkata: “Ia bukan orang yang terpercaya.” Abu Hatim berkata: “Matruk
al-hadits.” Ad-Daraquthni berkata: “Matruk” (Tahdzib at-Tahdzib 7/169–170).
Ia berbeda pendapat dalam meriwayatkan hadits ini secara
marfu’ dari Ibnu Khuthaym; Sufyan ats-Tsauri meriwayatkannya dari jalur yang
terjaga darinya, begitu juga Ibnu Juraij dan Ja’far bin al-Harits sebagaimana
akan disebutkan.
Adapun jalur keduanya, maka ia memiliki ‘illah. Hadits ini
diriwayatkan oleh Ubaidullah bin Umar al-Qawariri, yang disepakati tsiqah
(Tahdzib at-Tahdzib 7/40–41), dari sejumlah perawi tsiqah, dari Sufyan
ats-Tsauri, dari Abdullah bin Utsman bin Khuthaym, dari Sa’id bin Jubair, dari
Ibnu Abbas secara marfu’.
Dua orang meriwayatkannya darinya dengan memastikan
marfu’, sementara seorang ketiga meriwayatkannya dengan ragu dalam kemarfuan hadits
ini.
Tampaknya ia mengalami keraguan setelah sebelumnya yakin
bahwa hadits ini marfu’. Ia berbeda pendapat dalam meriwayatkan hadits ini dari
Sufyan ats-Tsauri, yaitu Waki’ dan Abdurrazzaq, sebagaimana akan disebutkan.
Karena itu al-Bayhaqi rahimahullah berkata: “Hadits ini
hanya diriwayatkan secara marfu’ oleh al-Qawariri. Ia tsiqah, tetapi yang
masyhur dengan sanad ini adalah mauquf pada Ibnu Abbas” (Sunan al-Bayhaqi
7/124).
Dan riwayat dua orang perawi tsiqah yang meriwayatkan hadits
secara mauquf lebih didahulukan daripada riwayat satu orang tsiqah yang
meriwayatkannya secara marfu’, terlebih lagi jika ia terkadang ragu dalam
memarfu’kannya. Kemudian, jika kita naik satu tingkat dalam rantai sanad, kita
dapati bahwa Ibnu Juraij dan Ja’far bin al-Harits meriwayatkan hadits ini dari
Ibnu Khuthaym secara mauquf. Hal ini menguatkan kebenaran riwayat dua orang
perawi tsiqah tersebut, dan menunjukkan bahwa yang ketiga keliru.
Adapun jalur Ikrimah dari Ibnu Abbas, di dalamnya terdapat
al-Hajjaj bin Artha’ah. Ahmad dan al-Bazzar menyifatinya sebagai penghafal
(hafizh), namun Ibnu Sa’d melemahkannya, dan para kritikus hadits lainnya
melembekkannya, serta menyebutnya sebagai mudallis.
Abu Hatim berkata: “Ia melakukan tadlis dari
perawi-perawi lemah.” Ibnu al-Mubarak mengisyaratkan bahwa ia melakukan
tadlis dari perawi-perawi yang matruk.
Ad-Daraquthni berkata: “Ia banyak salah” (Tahdzib
at-Tahdzib 2/196–198; al-‘Ilal karya ad-Daraquthni 6/123). Selain kelemahannya,
ia juga tidak menegaskan bahwa ia mendengar hadits ini secara langsung.
Adapun jalur yang tidak terdapat al-Hajjaj bin Artha’ah,
melainkan Khalid al-Haddza’ sebagai gantinya, maka jalur ini tidak dapat
dijadikan pegangan, karena ia memiliki ‘illah. ‘Illah-nya adalah bahwa Sahl bin
Utsman, perawi yang meriwayatkan hadits ini dari Ibnu al-Mubarak, terjadi
perbedaan riwayat darinya.
Ia terkadang berkata: “dari al-Hajjaj bin Artha’ah,” dan
terkadang berkata: “dari Khalid al-Haddza’.”
Karena Abu Kurayb meriwayatkannya dari Ibnu al-Mubarak
melalui jalur (Ibnu Artha’ah), maka jelas bahwa riwayat inilah yang terjaga,
dan bahwa Abdullah bin al-Mubarak tidak meriwayatkan hadits ini kecuali dari
al-Hajjaj bin Artha’ah. Maka jalur yang menyebut selain itu adalah kesalahan
(lihat penjelasan Ibnu ‘Adiy dalam al-Kamil 3/1139).
Adapun jalur Atha’ dari Ibnu Abbas, di dalamnya terdapat
al-Nahhas bin Qahm, yang disepakati kelemahannya. Ibnu Ma’in dan Abu Hatim
berkata: “Ia tidak ada apa-apanya” (Tahdzib at-Tahdzib 10/478).
====
SANAD RIWAYAT ABU HURAIRAH RADHIYALLAHU ‘ANHU :
Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
Pada jalur pertamanya terdapat Umar bin Qais al-Makki,
yang disepakati kelemahannya. Amr bin Ali, Abu Hatim, dan an-Nasa’i berkata: “Matruk
al-hadits” (Tahdzib at-Tahdzib 7/490–493).
Pada jalur keduanya terdapat Sulaiman bin Arqam. Ibnu
Ma’in berkata tentangnya: “Tidak ada apa-apanya, tidak bernilai satu fulus
pun.” Abu Hatim, at-Tirmidzi, Abu Ahmad al-Hakim dan lainnya berkata: “Matruk
al-hadits” (Tahdzib at-Tahdzib 4/168–169).
Pada jalur ketiganya terdapat al-Mughirah bin Musa.
Sebagian besar para kritikus melemahkannya, dan al-Bukhari berkata: “Haditsnya
munkar” (Lisan al-Mizan 6/79–80).
Pada jalur keempatnya terdapat Abu Amir al-Khazzaz, yaitu
Shalih bin Rustum. Ia dinyatakan tsiqah oleh Abu Dawud ath-Thayalisi, Abu Dawud
as-Sijistani, al-Bazzar, dan Muhammad bin Waddah. Ibnu Hibban juga
mencantumkannya dalam ats-Tsiqat.
Ahmad berkata: “Haditsnya shalih.”
Al-Ajli berkata: “Haditsnya boleh.”
Namun Ibnu Ma’in melemahkannya, dan Abu Hatim berkata: “Haditsnya
ditulis, tapi tidak dijadikan hujjah.”
Abu Ahmad al-Hakim dan ad-Daraquthni berkata: “Ia bukan
perawi yang kuat.” Ibnu ‘Adiy berkata: “Menurut saya tidak mengapa, saya tidak
melihat padanya hadits yang sangat munkar” (Tahdzib at-Tahdzib 4/391).
Maka perawi ini jujur dan adil, tetapi banyak memiliki
kesalahan dan kekeliruan. Dari dua sifat ini muncul pernyataan para ulama yang
memuji dan yang mencela. Menurut saya, memarfu’kan hadits ini termasuk
kesalahannya. Ia telah diselisihi oleh Ayyub as-Sakhtiyani, yang meriwayatkan
dari Ibnu Sirin secara mauquf, sebagaimana akan disebutkan.
====
SANAD RIWAYAT ‘AISYAH RADHIYALLAHU ‘ANHA :
Hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Dari jalur az-Zuhri, yang diriwayatkan oleh Ibnu Juraij
dari Sulaiman bin Musa darinya, pada jalur pertamanya terdapat Hafsh bin
Ghiyats dari Ibnu Juraij. Hafsh termasuk perawi tsiqah, tetapi hafalannya
memburuk setelah ia menjadi qadhi, dan Ahmad serta Ibnu Sa’d menisbatkannya
kepada tadlis (Tahdzib at-Tahdzib 2/415–418). Ia tidak menegaskan mendengar hadits
ini dari Ibnu Juraij, sehingga dalam sanadnya terdapat kemungkinan terputus.
Pada jalur kedua terdapat kesalahan dalam sanad, di mana
disebutkan melalui jalur Abu al-‘Abbas ‘Ism bin al-‘Abbas ad-Dhabi, ia berkata:
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Harun
al-Hadhrami, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Sulaiman bin ‘Umar
ar-Raqqi, ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Sa’id al-Umawi,
ia berkata: Telah menceritakan kepada kami Ibnu Juraij.”
Adapun ad-Daraquthni meriwayatkannya – sebagaimana pada
jalur setelah ini – ia berkata:
“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Harun
al-Hadhrami” dengan sanad yang sama, tetapi di sisinya terdapat (Isa bin Yunus)
sebagai pengganti (Yahya bin Sa’id al-Umawi).
Ad-Daraquthni adalah seorang imam, tsiqah, hafizh, dan
penulis kitab, maka riwayatnya yang terjaga. Dengan demikian, jalur ini kembali
kepada jalur yang sesudahnya.
Pada jalur ketiga terdapat perbedaan dalam matan. Di sini
disebutkan dengan lafaz ini, sementara Abu Yusuf ar-Raqqi Muhammad bin Ahmad
bin al-Hajjaj meriwayatkannya dari Isa bin Yunus dari Ibnu Juraij dengan lafaz:
((أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا وَشَاهِدَيْ
عَدْلٍ فَنِكَاحُهَا بَاطِلٌ))
“Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin walinya dan dua
saksi yang adil, maka nikahnya batal”.
(Sunan al-Bayhaqi 7/124–125, dan al-Bayhaqi menukil dari
al-Hafizh Abu ‘Ali an-Naisaburi bahwa Abu Yusuf ar-Raqqi termasuk para
penghafal hadits yang kuat dari penduduk al-Jazirah).
Maka harus dilakukan tarjih antara dua lafaz tersebut, dan
tampaknya yang lebih kuat adalah yang diriwayatkan oleh Abu Yusuf ar-Raqqi,
sebagaimana dibuktikan oleh paragraf berikutnya.
Kemudian, bagaimana mungkin sebuah riwayat yang terdapat
perbedaan pada penamaan perawi dalam sanad atau terdapat perbedaan lafaz matan,
atau diriwayatkan melalui jalur perawi mudallis yang tidak menegaskan mendengar
hadits, dapat mengalahkan riwayat yang disampaikan oleh tiga belas perawi – di
antaranya as-Sufyanan, Ibnu al-Mubarak, dan Ibnu Wahb – semuanya dari Ibnu
Juraij dengan sanad yang sama tanpa lafaz tersebut?! Mereka meriwayatkannya
dengan lafaz:
((أَيُّمَا امْرَأَةٍ نُكِحَتْ بِغَيْرِ إِذْنِ وَلِيِّهَا فَنِكَاحُهَا
بَاطِلٌ))
“Siapa saja wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka
nikahnya batal.”
Ini adalah lafaz yang terjaga dari Ibnu Juraij sebagaimana
akan disebutkan, sedangkan lafaz
((لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ))
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali”, dengan sanad
ini adalah riwayat yang cacat.
Pada jalur kedua dari az-Zuhri, terdapat al-Hajjaj bin
Artha’ah darinya. Telah disebutkan sebelumnya bahwa ia banyak salah dan
melakukan tadlis dari perawi lemah dan matruk. Ditambahkan di sini bahwa ia
telah menegaskan bahwa ia tidak pernah bertemu dengan az-Zuhri, sehingga
sanadnya lemah karena terputus, di samping banyaknya kesalahan perawi ini.
Pada jalur ketiga dari az-Zuhri, terdapat Utsman bin
Abdurrahman al-Waqasi darinya. Para ulama sepakat melemahkannya. Sejumlah
kritikus hadits berkata: “Matruk al-hadits.” Ibnu Ma’in bahkan menuduhnya
berdusta (Tahdzib al-Tahdzib 7/133–134).
Adapun jalur Hisyam bin Urwah:
[*] Pada jalur pertama terdapat
Muhammad bin Yazid bin Sinan dari ayahnya darinya. Muhammad bin Yazid bin Sinan
disebut oleh Ibnu Hibban dalam **ats-Tsiqat** dan dinyatakan tsiqah oleh
al-Hakim, namun mayoritas kritikus (النُّقَّاد) melemahkannya
karena lalai dan meriwayatkan hadits-hadits mungkar. Ayahnya, Yazid bin Sinan,
disepakati para kritikus sebagai perawi lemah, banyak meriwayatkan hadits
mungkar, haditsnya munkar, dan matruk al-hadits (Tahdzib al-Tahdzib 9/524–525;
11/335–336).
[*] Pada jalur kedua terdapat Nuh
bin Darraj darinya. Ia dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Numair, namun mayoritas
kritikus (النُّقَّاد) melemahkannya, bahkan menuduhnya berdusta dan memalsukan hadits
serta meriwayatkan hadits-hadits palsu dari perawi tsiqah (Tahdzib al-Tahdzib
10/482–484).
[*] Pada jalur ketiga terdapat
Mandal bin Ali al-‘Anazi darinya. Ibnu Ma’in berkata dalam satu riwayat: “Tidak
mengapa dengannya,” begitu juga Abu Hatim dalam satu riwayat, tetapi mayoritas
kritikus (النُّقَّاد) melemahkannya karena mengangkat hadits mursal menjadi musnad,
menyandarkan hadits mauquf menjadi marfu’, dan meriwayatkan hadits-hadits
mungkar (Tahdzib al-Tahdzib 10/298–299).
[*] Pada jalur keempat terdapat Ali
bin Jamil ar-Raqqi. Ibnu Hibban berkata: **“Ia memalsukan hadits.” Seluruh
kritikus melemahkannya (Kitab al-Majruhin 2/116; Lisan al-Mizan 4/209–210).
[*] Pada jalur kelima terdapat
Mutharrif bin Mazin ash-Shan’ani, yang disepakati kelemahannya (Lisan al-Mizan
6/47–48).
[*] Pada jalur keenam terdapat
al-Husain bin ‘Alwan al-Kalbi, yang dituduh berdusta dan memalsukan hadits
(Lisan al-Mizan 2/299–300).
====
SANAD RIWAYAT ALI BIN ABI THALIB RADHIYALLAHU ‘ANHU :
Adapun hadits Ali radhiyallahu
‘anhu:
Pada jalur pertama terdapat Abdullah bin
Abi Ja’far ar-Razi, yang statusnya diperselisihkan. Dalam jalur ini juga
terdapat Qais bin ar-Rabi’, yang statusnya juga diperselisihkan; sebagian ulama
sezamannya memuji dan men-tatsiq-kannya, sementara yang lain mendhaifkannya karena
meriwayatkan hadits-hadits munkar. Ali bin al-Madini, Ibnu Numair, Abu Dawud
ath-Thayalisi, dan Ibnu Hibban menyebutkan bahwa sebab kelemahannya berasal
dari anaknya yang memasukkan ke dalam kitab-kitabnya hadits-hadits yang bukan
darinya, lalu ia meriwayatkannya tanpa sadar.
Dalam jalur ini juga ada al-Harits bin Abdullah al-A’war,
yang statusnya juga diperselisihkan, namun mayoritas mendhaifkannya dan
sebagian menuduhnya berdusta (Tahdzib at-Tahdzib 5/176–177; 8/391–395;
2/145–147).
Pada jalur kedua terdapat Hajjaj bin
Arthaah, yang telah disebutkan sebelumnya bahwa mayoritas kritikus
melemahkannya karena banyak kesalahannya, selain itu ia juga seorang mudallis
dan tidak menegaskan mendengar (sima’). Dalam jalur ini juga terdapat Hushain
[bin Abdurrahman al-Haritsi], dan Abu Hatim menukil dari Imam Ahmad bahwa hadits-haditsnya
munkar, sehingga penyebutan Ibnu Hibban dalam ats-Tsiqat tidak bermanfaat
baginya. Dalam jalur ini juga terdapat al-A’war yang keadaannya telah
dijelaskan sebelumnya. (Tahdzib at-Tahdzib 2/383).
Pada jalur ketiga terdapat Husain bin
Abdullah bin Dhamirah, yang telah didustakan oleh Malik, Abu Hatim, dan Ibnu
Jarud. Selain itu, yang lainnya mengatakan: matruk al-hadits (ditinggalkan haditsnya).
(Mizan al-I’tidal 2/293; Lisan al-Mizan 2/289–290).
Pada jalur keempat terdapat Khushaif [bin
Abdurrahman al-Jazari], yang statusnya diperselisihkan. Ibnu Hibban berkata:
“Sekelompok imam kami meninggalkannya, sementara yang lain menggunakannya
sebagai hujjah. Ia adalah seorang syaikh yang faqih dan ahli ibadah, hanya saja
ia banyak salah dalam riwayatnya.” (Tahdzib at-Tahdzib 3/143–144)
Dalam jalur ini juga terdapat Jabir bin Aqil, yang tidak
saya temukan biografinya, sehingga kemungkinan ia termasuk majhul (tidak
dikenal).
===
SANAD RIWAYAT ABDULLAH BIN UMAR RADHIYALLAHU ‘ANHUMA :
Adapun hadits Ibnu Umar
radhiyallahu ‘anhuma:
Pada jalur pertama terdapat Tsabit bin
Zuhair, yang para kritikus sepakat melemahkannya. Al-Bukhari, as-Saji, dan
ad-Daraquthni berkata: “Haditsnya munkar.” Abu Hatim berkata: “Haditsnya dhaif,
tidak layak diperhatikan.” (Lisan al-Mizan 2/76–77)
Pada jalur kedua terdapat Amr bin Hashim Abu Malik
al-Janabi, yang dilemahkan oleh mayoritas kritikus. Ibnu Ma’in berkata: “Tidak
mengapa dengannya.”
Al-Bukhari berkata: “Fihi nazhar (padanya terdapat
masalah).” Muslim dan lainnya mendhaifkannya.
Ibnu Hibban berkata: “Ia sering membolak-balik sanad dan
meriwayatkan dari para tsiqah hal-hal yang tidak menyerupai hadits orang-orang
yang kokoh, sehingga tidak boleh berhujjah dengan riwayatnya.” (Tahdzib at-Tahdzib
8/111–112)
====
SANAD RIWAYAT ABDULLAH BIN ‘AMR RADHIYALLAHU ‘ANHUMA :
Adapun hadits Abdullah bin Amr
radhiyallahu ‘anhuma:
Dalam jalurnya terdapat Muhammad bin Ubaidullah bin Abi
Sulaiman al-‘Arzami, yang sebelumnya telah dijelaskan bahwa ia matruk al-hadits
(ditinggalkan haditsnya).
Adapun hadits Anas radhiyallahu
‘anhu:
Pada jalur pertama terdapat Hisyam bin
Salman al-Mujasyi’i, yang dhaif. (Lisan al-Mizan 6/194–195; al-Jarh wa
at-Ta’dil li Ibnu Abi Hatim 9/62).
Dan juga terdapat Yazid bin Aban ar-Raqasyi, yang dhaif
dan matruk al-hadits. (Tahdzib at-Tahdzib 11/309–311).
Pada jalur kedua terdapat Muhammad bin
Ali bin Sahl al-Anshari al-Marwazi. Al-Isma’ili berkata tentangnya: “Ia tidak
sebagaimana mestinya.”
Adz-Dzahabi menuduhnya dengan salah satu riwayat mungkar
dan berkata: “Menurutku sumber kelemahannya darinya.”
As-Sibt Ibnu al-‘Ajami memasukkannya ke dalam daftar orang
yang dituduh memalsukan hadits (Mizan al-I’tidal 6/264; Lisan al-Mizan 5/295;
al-Kasyf al-Hathiith li man rumi bi wada’ al-hadits li Subt Ibnu al-‘Ajami hal.
241).
Dalam jalur ini juga terdapat Yazid ar-Raqasyi, yang telah
dijelaskan sebelumnya bahwa ia dhaif dan matruk al-hadits.
Pada jalur ketiga terdapat Dinar, maula
Anas, yang meriwayatkan hadits-hadits secara lancang (وَقَاحَة) sekitar tahun 240 H, dan ia termasuk orang yang dikatakan: “Ia
meriwayatkan hadits-hadits maudhu’ (palsu)”. (Lisan al-Mizan 2/434–435).
Pada jalur keempat terdapat Ismail bin Saif
al-Bashri, yang disebutkan oleh Ibnu Hibban dalam ats-Tsiqat, tetapi dilemahkan
oleh al-Bazzar, Abu Ya’la, dan Abdan al-Ahwazi. Ibnu ‘Adiy berkata tentangnya:
“Ia mencuri hadits.” (Sumber sebelumnya 1/409)
====
SANAD RIWAYAT HADITS ABU UMAMAH RADHIYALLAHU ‘ANHU :
Adapun hadits Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu, di dalamnya
terdapat Umar bin Musa al-Wajihi yang termasuk salah seorang perawi yang sering
memalsukan hadits. [Sumber sebelumnya 4 / 332 – 334].
====
SANAD RIWAYAT HADITS SAMURAH RADHIYALLAHU ‘ANHU :
Adapun hadits Samrah radhiyallahu ‘anhu, di dalamnya
terdapat al-Fadl bin Muhammad bin Abdullah al-Antaki al-Ahadab, yang dituduh
berdusta dan memalsukan hadits. [Sumber sebelumnya 4 / 448].
====***====
PEMBAHASAN KE TIGA :
KESIMPULAN HASIL DIROYAT.
===
KESIMPULAN KE [1] : STATUS KESAHIHAN HADITS:
(لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ)
“Tidak ada nikah kecuali dengan
wali”
Tanpa ada tambahan : ( وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ / Dan dua saksi yang adil)
Pertama : Jalur Abu Musa al-Asy’ari
:
Hadits Abu Musa al-Asy’ary dengan lafadz ini dinyatakan
sahih oleh Al-Bukhari, Ahmad bin Hanbal, Yahya bin Ma'in, Ali bin Al-Madini,
Adz-Dzahli, Ibnu Hibban, Al-Hakim, dan yang lainnya. Hadits ini sesuai dengan
syarat Al-Bukhari dan Muslim. [al-Maktabah asy-Syamilah al-Haditsah 35/343]
Kedua : jalur para sahabat lainnya,
selain Abu Musa al-Asy’ari.
DR. Sholahud Din bin Ahmad al-Idlibi berkata:
حَدِيثٌ صَحِيحٌ ثَابِتٌ مِنْ رِوَايَةِ أَبِي مُوسَى الْأَشْعَرِيِّ رَضِيَ اللهُ
عَنْهُ عَنْ رَسُولِ اللهِ ﷺ. لَمْ يَصِحَّ هَذَا الْحَدِيثُ مِنْ طَرِيقِ أَيِّ صَحَابِيٍّ
آخَرَ، فَلَمْ تَخْلُ أَسَانِيدُ تِلْكَ الطُّرُقِ مِنْ رَاوٍ مُتَّهَمٍ أَوْ شَدِيدِ
الضَّعْفِ.
Hadits ini adalah hadits sahih dan tsabit dari riwayat Abu
Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah ﷺ.
Namun hadits ini tidak ada yang sahih dari jalur sahabat
lain manapun (selain riwayat Abu Musa al-Asy’ari), karena sanad dari
jalur-jalur tersebut mengandung perawi yang bermasalah atau sangat lemah.
[Majallah Jami’ah Ummul Quro 19-24 (al-Maktabah
asy-Syamilah 10/148)]
----
KRITIKAN TERHADAP AL-IMAM ATH-THOHAWI
Munaqosyah Imam ath-Thohawi dalam menggunakan hadits “Tidak sah nikah kecuali dengan wali” sebagai dalil:
Imam ath-Thohawi rahimahullah condong kepada pendapat bahwa hadits: “Tidak sah nikah kecuali dengan wali” adalah hadits mursal, karena diriwayatkan melalui jalur Sufyan al-Thawri dan Syu’bah bin al-Hajjaj dari Abu Ishaq al-Siba’i dari Abu Burdah dari Nabi, tetapi secara mursal, tidak disebutkan Abu Musa al-Asy’ari. [Lihat Syarh Ma’ani al-Atsar karya ath-Thohawi: 3/8-9].
Sedangkan diriwayatkan dari jalur Isra’il bin Yunus, Qais bin al-Rabi’, dan Abu Awanah, semuanya dari Abu Ishaq dari Abu Burdah dari Abu Musa dari Nabi ﷺ secara muttashil.
Dan dari sebagian jalur Abu Awanah dari Isra’il dari Abu Ishaq, sehingga jalur Abu Awanah kembali kepada Isra’il, sehingga yang tersisa adalah riwayat Sufyan dan Syu’bah secara mursal, dan riwayat Isra’il dan Qais bin al-Rabi’ secara muttashil.
Sufyan dan Syu’bah lebih kuat daripada keduanya, sehingga riwayat mursal lebih unggul, dan menurut para ahli hadits, hadits mursal tidak bisa dijadikan hujjah. [Syarah Ma’ani al-Atsar ath-Thohawi: 3/8-9].
Jawabannya:
Yang paling menguatkan riwayat muttashil adalah bahwa para perawi yang meriwayatkan hadits ini secara muttashil tidak berdiri sendiri, tetapi diikuti oleh Yunas bin Abu Ishaq as-Subai’i, Syarik bin Abdullah al-Nakha’i, Zuhair bin Mu’awiyah, Abd al-Hamid bin al-Hasan al-Hilali, dan Imam Abu Hanifah, sehingga orang yang menelaah jalur-jalur ini dapat memastikan keabsahan dan kesahihan riwayat muttashil dan bahwa riwayat tersebut bukan hasil dugaan semata.
[Dan sebelumnya telah disebutkan tanda-tanda lain dan banyak riwayat hadits yang menegaskan keshahihan dan keabsahannya ketika berbicara mengenai hadits ini dari segi ilmu periwayatan].
---
Imam ath-Thohawi rahimahullah menekankan bahwa kemungkinan adanya keabsahan hadits dan sanadnya dari cacat mursal tetap bisa dijadikan pertimbangan dengan mengemukakan beberapa kemungkinan dalam memahami hadits ini, sehingga menghindarkannya dari dijadikan hujjah secara mutlak menurut pendapat jumhur.
Ath-Thohawi berkata:
"إِنَّهُ لَوْ ثَبَتَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ قَالَ: «لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ» لَمْ يَكُنْ فِيهِ حُجَّةٌ لِمَا قَالَ الَّذِينَ احْتَجُّوا بِهِ لِقَوْلِهِمْ فِي هَذَا الْبَابِ ; لِأَنَّهُ قَدْ يَحْتَمِلُ مَعَانِيَ. فَيَحْتَمِلُ مَا قَالَ هَذَا الْمُخَالِفُ لَنَا أَنَّ ذَلِكَ الْوَلِيَّ هُوَ أَقْرَبُ الْعَصَبَةِ إِلَى الْمَرْأَةِ. وَيَحْتَمِلُ أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ الْوَلِيُّ مَنْ تُوَلِّيهِ الْمَرْأَةُ مِنَ الرِّجَالِ ، قَرِيبًا كَانَ مِنْهَا أَوْ بَعِيدًا ...
وَيَحْتَمِلُ أَيْضًا قَوْلُهُ: «لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ» أَنْ يَكُونَ الْوَلِيُّ هُوَ الَّذِي إِلَيْهِ وِلَايَةُ الْبُضْعِ مِنْ وَالِدِ الصَّغِيرَةِ ، أَوْ مَوْلَى الْأَمَةِ أَوْ بَالِغَةٍ حُرَّةٍ لِنَفْسِهَا. فَيَكُونُ ذَلِكَ عَلَى أَنَّهُ لَيْسَ لِأَحَدٍ أَنْ يَعْقِدَ نِكَاحًا عَلَى بُضْعِ الْأُولَى ، ذَلِكَ الْبُضْعِ ، وَهَذَا جَائِزٌ فِي اللُّغَةِ، قَالَ اللهُ تَعَالَى: {فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ} [البقرة: 282] . فَقَالَ قَوْمٌ: وَلِيُّ الْحَقِّ ، هُوَ الَّذِي لَهُ الْحَقُّ".
“Jika hadits dari Nabi: “Tidak sah nikah kecuali dengan wali” terbukti, maka tidak ada hujjah bagi yang menggunakan hadits ini, karena bisa jadi maksudnya: wali yang dimaksud adalah kerabat terdekat dari wanita tersebut, bisa jadi wali itu adalah orang yang mengurusi wanita dari kalangan laki-laki dekat atau jauh .....
Dan bisa jadi wali itu adalah yang memiliki hak atas kemaluan wanita, baik dari ayah wanita kecil, atau pemilik budak, atau wanita merdeka dewasa, sehingga maksudnya adalah tidak ada yang berhak mengadakan akad nikah tanpa wali yang sah. Hal ini sesuai dengan bahasa, sebagaimana firman Allah: “Maka hendaklah wali wanita itu bertindak dengan adil”, maka dikatakan: wali yang benar adalah yang memiliki hak “ [Syarh Ma’ani al-Atsar ath-Thohawi: 3/9,10].
Seakan-akan Imam ath-Thohawi rahimahullah mengatakan:
مَا تَطَرَّقَ إِلَيْهِ الْاِحْتِمَالُ بَطُلَ بِهِ الْاِسْتِدْلَالُ
“Apa yang bisa dimungkinkan tidak membatalkan dalil”.
Jawabannya:
Tidak semua kemungkinan itu bisa membatalkan dalil, karena jika diterima mentah-mentah, maka hampir tidak ada dalil yang selamat dari kemungkinan. Oleh karena itu, harus dibedakan antara kemungkinan kuat, lemah, dan tipis, yang membedakan adalah tanda-tanda atau indikator pendukung (الْقَرِيْنَةُ).
Tidak diragukan bahwa salah satu indikator (الْقَرِيْنَةُ) terkuat untuk memahami makna hadits adalah makna yang langsung dipahami oleh akal, khususnya akal para sahabat dan tabi’in.
Adapun kemungkinan terakhir yang dikemukakan beliau adalah pengosongan makna dari faedahnya, hal ini lemah. Karena menurut kemungkinan ini, maknanya adalah:
لَا يَصِحُّ عَقْدٌ عَلَى بُضْعٍ إِلَّا بِأَنْ يَعْقِدَهُ وَلِيُّ ذَلِكَ الْبُضْعِ
“tidak sah akad pada kemaluan wanita kecuali dilakukan oleh wali dari kemaluan tersebut.
Maka ini sudah jelas, berbeda jika hadits dipahami seperti yang difahami jumhur sahabat dan tabi’in, yaitu:
أَنَّهُ لَا يَصِحُّ عَقْدُ نِكَاحِ الْمَرْأَةِ إِلَّا بِأَنْ يَعْقِدَهُ لَهَا وَلِيُّهَا الَّذِي لَهُ عَلَيْهَا وِلَايَةُ التَّزْوِيجِ
“Tidak sah mengadakan akad nikah pada wanita kecuali dilakukan oleh wali yang memiliki hak atasnya untuk menikahkan”.
Pernyataan ini memberikan makna yang bisa dipetik dari nash, lebih tepat daripada memahaminya secara literal sebagai hal yang sudah jelas secara akal sebelum adanya nash, yaitu:
أَنَّهُ لَا يَصِحُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَعْقِدَ عَلَى شَيْءٍ إِلَّا مَنْ لَهُ الْحَقُّ فِي الْعَقْدِ عَلَيْهِ
“Tidak sah bagi siapa pun mengadakan akad atas sesuatu kecuali bagi yang memiliki hak”.
Bisa dikatakan bahwa maksud hadits ini adalah menafikan kesahihan akad secara mutlak tanpa wali, bukan menafikan kesempurnaannya.
Kata “Tidak (لَا)” dalam “ (لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ) Tidak ada nikah kecuali dengan wali” menunjukkan penafian umum, sehingga maknanya adalah menafikan keabsahan dan kesahihan. Memahaminya sebagai penafian kesempurnaan bertentangan dengan kaidah dan hanya bisa diterima dengan adanya indikator pendukung.
Salah satu yang paling menegaskan bahwa wanita tidak bisa menikahkan dirinya sendiri tanpa wali adalah kesepakatan riwayat para sahabat dan jumhur tabi’in bahwa :
(لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ)
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali”
Termasuk Umar, Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas, Abu Hurairah, serta Jaber bin Zaid, al-Hasan al-Bashri, Syarhih, Ibnu Sirin, Sa’id bin al-Musayyib, Bakr bin Abdullah al-Muzani, Umar bin Abdul Aziz, Ibrahim al-Nakha’i, Makhuul, dan lainnya dari kalangan tabi’in.
[Referensi : lihat: al-Muwatha Imam Malik: 2 / 525. al-Umm al-Shafi’i 5 / 13, 19, 22. Musannaf Abdul Razzaq 6 / 196 – 200, 202. Musannaf Ibn Abi Syaibah 4 / 129 – 132, 135. Sunan Sa’id bin Mansur 3 / 1/ 149 – 151, 154, 158. al-Awsat Ibn al-Mundzir 3/ 187 b, 190 b. Akhbar al-Qudhat li Waki’ 2 / 249, 255, 296. Sunan al-Daraqutni 3 / 225, 227 – 229. Sunan al-Baihaqi 7 / 110 – 113, 124 – 127. Ma’rifat al-Sunan wa al-Athar al-Baihaqi 5/ 236 – 237. Syarh al-Sunnah al-Baghawi 9 / 45.
Dan sebagian besar sanad riwayat ini baik (جَيِّد).
=====
KESIMPULAN KE [2] : STATUS TAMBAHAN LAFADZ “Dan Dua Saksi”.
«وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ» أَوْ «وَشَاهِدَيْنِ»
“Dan dua saksi yang adil” atau “ dan
dua saksi”.
PARA ULAMA YANG MENDHA’IFKAN :
Tambahan ini dinilai dho’if oleh banyak ulama hadits, diantaranya
adalah : al-Imam Ahmad, Ibnu Al-Mundzir, Ibnu Abdil Barr, az-Zayla’i dan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Syeikh Abu al-Hasan Ali al-Ramli berkata :
وَلَكِنَّ زِيَادَةَ: «وَشَاهِدَيْنِ» أَوْ «وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ» لَا تَصِحُّ،
وَالصَّحِيحُ أَنَّهَا ضَعِيفَةٌ، الصَّحِيحُ فَقَطْ: «لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ».
Namun tambahan “dan dua saksi” atau “dan dua saksi adil”
tidak sahih, yang sahih adalah hanya: “tidak ada nikah kecuali dengan wali”. [Nomor
Fatwa: 4633. Judul Fatwa: Saksi dalam Akad Nikah]
PARA ULAMA YANG MENSHAHIHKAN :
Akan tetapi Ibnu Hibban, Ibnu Mulaqqin, al-Auza’i dan Syeikh
al-Albani menghukumi shahih tambahan lafadz "dua saksi yang adil"
dalam hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu 'anha, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
((لَا نِكَاحَ
إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَي عَدْلٍ، وَمَا كَانَ مِنْ نِكَاحٍ عَلَى غَيْرِ
ذَلِكَ فَهُوَ بَاطِلٌ، فَإِنْ تَشَاجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا
وَلِيَّ لَهُ))
((Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil, dan apa
yang terjadi di luar ketentuan itu adalah batil, maka jika mereka berselisih,
penguasa adalah wali bagi siapa yang tidak memiliki wali)). [Ṣaḥīḥ Ibnu Ḥibbān (al-Ihsan
9/386 no. 4075)].
Berikut ini pernyataan mereka yang mensahihkannya :
Al-Albani
berkomentar (Dalam Irwa’ Al-Ghalil 6/259):
إِنَّ الْحَدِيثَ صَحِيحٌ بِهَذِهِ الْمُتَابَعَاتِ وَالطُّرُقِ الَّتِي
أَشَارَ إِلَيْهَا الدَّارَقْطَنِيُّ.
“Hadits ini
sahih dengan mutaba’ah dan jalur yang disebutkan oleh Ad-Daruquthni.”
Dan dinilai
hasan sanad-nya oleh Syu’aib al-Arna’uth dalam Tahqiq al-Ihsan Fii Taqriib
Shahih Ibnu Hibban 9/386].
Ibnu Hibban
berkata tentang hadits Aisyah yang pertama dia sebutkan:
وَلَا يَصِحُّ فِي ذِكْرِ الشَّاهِدَيْنِ غَيْرُ هَذَا الْخَبَرِ
“Tidak ada
yang sahih hadits yang menyebutkan ‘dua saksi’ selain hadits ini (yakni;
hadits Aisyah)”.
[Sahih Ibnu
Hibban 9/387 nom. 4075. Lihat pula : al-Ilmaam Bi Ahaadits al-Ahkam oleh Ibnu
Daqiiq al-‘Iid 1/597 no. 975 (Cet. Daar an-Nawaadir, Suriah].
Ibnu
Al-Mulaqqin berkata:
هُوَ كَمَا قَالَ وَلَهُ طُرُقٌ أُخْرَى فِيهَا ضَعْفٌ لَا حَاجَةَ إِلَيْهِا
مَعَهُ
“Seperti yang
ia katakan, dan hadits ini memiliki jalur-jalur lain yang lemah, namun tidak
diperlukan selama ada jalur ini” (Khulasah Al-Badr Al-Munir 2/176).
Al-Auza’i
berkata:
"وَهَذَا يَرُدُّ قَوْلَ ابْنِ
الْمُنْذِرِ لَا يُثْبَتُ فِي الشَّاهِدَيْنِ فِي النِّكَاحِ خَبَرٌ".
“Ini
membantah perkataan Ibnu Al-Mundzir yang mengatakan tidak ada hadits sahih
tentang saksi dalam nikah” (Faidh Al-Qadir 6/438).
BANTAHAN TERHADAP PENSAHIHAN HADITS ‘AISHAH:
Namun : Muhammad
al-Amiin berkata lain tentang sanad hadits Aisyah ini :
فِي سَنَدِهِ سُلَيْمَانُ بْنُ مُوسَى: وَثَّقَهُ
بَعْضُهُمْ، وَوَثَّقَهُ ابْنُ مَعِينٍ عَنِ الزُّهْرِيِّ. لَكِنْ قَالَ عَنْهُ
أَبُو حَاتِمٍ: «فِي حَدِيثِهِ بَعْضُ الِاضْطِرَابِ». وَقَالَ الْبُخَارِيُّ:
«عِنْدَهُ مَنَاكِيرُ». وَقَالَ النَّسَائِيُّ: «لَيْسَ بِالْقَوِيِّ فِي
الْحَدِيثِ». وَقَالَ ابْنُ حَجَرٍ: «فِيهِ لِينٌ». فَتَفَرَّدَ هَذَا
بِالرِّوَايَةِ عَنِ الزُّهْرِيِّ غَيْرُ مَقْبُولٍ أَبَدًا. فَأَيْنَ ذَهَبَ
أَصْحَابُ الزُّهْرِيِّ الثِّقَاتُ فِي حَدِيثٍ مِنْ أَهَمِّ الْأَحَادِيثِ
الَّتِي تُرْوَى فِي النِّكَاحِ وَالَّتِي يَحْتَاجُ إِلَيْهَا النَّاسُ؟ عَدَا
أَنَّ سَمَاعَهُ مِنَ الزُّهْرِيِّ – لِهَذَا الْحَدِيثِ – فِيهِ خِلَافٌ.
Dalam sanadnya terdapat Sulaiman bin Musa. Sebagian ulama menilainya
tsiqah, dan Ibnu Ma'in juga menilainya tsiqah dari Az-Zuhri. Namun Abu Hatim
berkata: “Dalam haditsnya terdapat sedikit kegoncangan (kelabilan).”
Al-Bukhari berkata: “Di sisinya ada hadits-hadits munkar.”
An-Nasa’i berkata: “Ia tidak kuat dalam hadits.”
Ibnu Hajar berkata: “Padanya ada kelemahan.”
Maka periwayatan tunggalnya dari Az-Zuhri sama sekali tidak dapat
diterima. Lalu ke mana perginya para perawi tsiqah yang meriwayatkan dari
Az-Zuhri dalam hadits yang termasuk salah satu hadits terpenting yang
diriwayatkan tentang nikah dan sangat dibutuhkan oleh manusia?
Selain itu, tentang dia mendengarnya dari Az-Zuhri – untuk hadits ini –
masih diperselisihkan. (Selesai)
[Lihat: Al-Maktabah Asy-Syamilah Al-Haditsah 35/323]
Dan Abu Hatim (wafat 277 H) berkata sebagaimana dalam kitab
"Al-‘Ilal" karya putranya (1/408):
سَأَلْتُ أَحْمَدَ بْنَ حَنْبَلٍ عَنْ حَدِيثِ
سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى عَنِ الزُّهْرِيِّ عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ عَنِ
النَّبِيِّ ﷺ قَالَ: "لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ". وَذَكَرْتُ لَهُ
حِكَايَةَ ابْنِ عَلِيَّةَ، فَقَالَ: «كَتَبَ ابْنُ جُرَيْجٍ مَدَوَّنَةً فِيهَا
أَحَادِيثُهُ مِمَّنْ حَدَّثَ عَنْهُمْ: "ثُمَّ لَقِيتُ عَطَاءً، ثُمَّ
لَقِيتُ فُلَانًا". فَلَوْ كَانَ مَحْفُوظًا عَنْهُ، لَكَانَ هَذَا فِي
كُتُبِهِ وَمُرَاجَعَاتِهِ». انْتَهَى.
وَقِيلَ إِنَّهُ لَمْ يَتَفَرَّدْ، بَلْ تَابَعَهُ
حَجَّاجُ بْنُ أَرْطَأَةَ، لَكِنَّهُ ضَعِيفٌ مُدَلِّسٌ وَلَمْ يَرَ الزُّهْرِيَّ
أَصْلًا بِاعْتِرَافِهِ، كَمَا فِي التَّهْذِيبِ. وَتَابَعَهُ جَعْفَرُ بْنُ
رَبِيعَةَ، لَكِنْ قَالَ عَنْهُ أَبُو دَاوُدَ: «لَمْ يَسْمَعْ مِنَ
الزُّهْرِيِّ». فَرَجَعَ الْحَدِيثُ إِلَى ابْنِ مُوسَى! وَلِذَلِكَ اكْتَفَى
التِّرْمِذِيُّ بِتَحْسِينِهِ، وَهَذَا دَلَالَةُ ضَعْفِ سَنَدِهِ.
Aku bertanya kepada Ahmad bin Hanbal tentang hadits Sulaiman bin Musa dari
Az-Zuhri dari Urwah dari Aisyah dari Nabi ﷺ yang
bersabda: “Tidak ada nikah kecuali dengan wali.”
Dan aku sebutkan kepadanya kisah Ibnu ‘Ulayyah, maka ia berkata: “Ibnu
Juraij menulis sebuah catatan yang di dalamnya terdapat hadits-hadits dari
orang-orang yang ia meriwayatkan dari mereka: ‘Kemudian aku bertemu Atha’,
kemudian aku bertemu si Fulan.’
Jika hadits ini benar-benar terpelihara darinya, niscaya hal ini ada dalam
kitab-kitabnya dan dalam catatan rujukannya (ternyata tidak ada).” Selesai.
Dikatakan
bahwa ia tidak sendirian, tetapi diikuti oleh Hajjaj bin Artha’ah, namun ia
lemah (dho’if), seorang mudallis (مُدَلِّسٌ), dan sama sekali
tidak pernah bertemu Az-Zuhri, sebagaimana pengakuannya sendiri, seperti yang
disebutkan dalam *At-Tahdzib*.
Ia juga
diikuti oleh Ja’far bin Rabi’ah, tetapi Abu Dawud berkata tentangnya: “Ia tidak
mendengar dari Az-Zuhri.”
Maka hadits
ini kembali kepada Ibnu Musa! Karena itu, At-Tirmidzi hanya menghukuminya
hasan, dan ini menunjukkan lemahnya sanadnya”. (Selesai)
===
KESIMPULAN KE [3]
Seorang wanita tidak boleh mengadakan akad nikah untuk
dirinya sendiri tanpa wali.
===
KESIMPULAN KE [4]
Seorang wanita wajib memiliki wali yang mengadakan akad nikah untuknya atau memberi izin kepada orang yang mengadakan akad untuknya, dan hal ini tidak menghapus keharusan meminta izin jika wanita tersebut adalah janda atau meminta persetujuan jika ia masih perawan.
====****====
PEMBAHASAN KE EMPAT :
PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG SYARAT ADANYA SAKSI DALAM AKAD
NIKAH
Para ulama berbeda pendapat mengenai asal Adanya saksi dalam akad nikah.
Batasan ruang lingkup perbedaan pendapat (titik perbedaan
pendapat):
Semua sepakat bahwa akad nikah harus ditampakkan untuk membedakan antara
wanita yang dinikahi dengan yang tidak dinikahi. Namun mereka berbeda pendapat
tentang hakikat menampakkan pernikahan.
Sebagian ulama mensyaratkan agar penampakan tersebut dilakukan dengan
menghadirkan para saksi.
Sebagian yang lain berpendapat bahwa penampakan itu terwujud dengan
mengeluarkan pernikahan dari keadaan sirri (rahasia yang tersembunyi), meskipun
tidak dihadiri seorang pun, kemudian disaksikan setelah itu.
[Lihat : Mukhtashar Ikhtilaf al-‘Ulama, jilid 2, halaman 251.]
Setelah meneliti pendapat para fuqaha, tampak bahwa perbedaan pendapat
dalam mensyaratkan Adanya saksi dalam akad nikah terbatas pada dua pendapat.
Sebab perbedaan ini kembali kepada dua hal:
Pertama: Apakah maksud dari Adanya saksi dalam nikah adalah hukum syar’i yang harus
dipatuhi dan diamalkan? ataukah hanya bertujuan untuk dokumentasi dan menutup
pintu perselisihan?
Barang siapa yang mengatakan bahwa Adanya saksi adalah hukum syar’i, maka
ia berpendapat bahwa Adanya saksi adalah syarat sah dalam akad nikah.
Dan barang siapa yang mengatakan bahwa Adanya saksi hanya untuk
dokumentasi, maka ia tidak mensyaratkannya dalam akad nikah, seperti halnya
gadai dan jaminan yang tidak disyaratkan dalam jual beli. [Bidayatul Mujtahid
2/17, Al-Isyraf karya Al-Qadhi Abdul Wahhab 2/93].
Kedua: Perbedaan dalam penilaian keabsahan hadits-hadits yang mensyaratkan
adanya adanya saksi dalam akad nikah. Barang siapa yang menilainya sahih atau
sebagian sahih, maka ia berpendapat bahwa Adanya saksi adalah syarat. Sedangkan
barang siapa yang menilainya tidak sahih, maka ia berpendapat sebaliknya.
****
PENDAPAT PERTAMA:
ADANYA SAKSI ADALAH SYARAT SAH AKAD
NIKAH
Ini adalah pendapat Imam Abu Hanifah . (Hasyiyah Ibnu Abidin 7/67,
Al-Mabsuth 6/19, Syarh Fath Al-Qadir 3/199, Mukhtashar Ikhtilaf Al-Ulama 2/251.
Pendapat Imam Syafi’i. (Al-Hawi 9/27, Al-Bayan 9/221, Al-Iqna’
lil-Syirbini 2/408, Hilyatul Ulama 6/365).
Dan pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad. (19) (Al-Mughni 9/347,
Al-Inshaf 20/244).
Pendapat ini juga dikatakan oleh para sahabat, yaitu Amirul Mukminin Umar
dan Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhum. (Mukhtashar Khilafiyat Al-Baihaqi
4/126, Al-Kamil Ibnu ‘Adiy 3/1101, Tarikh Baghdad 3/344), Ali (21) (As-Sunan
Al-Kubra lil-Baihaqi 7/111)
Dari kalangan tabi’in: Sa’id bin Al-Musayyib, Jabir bin Zaid, Al-Hasan,
An-Nakha’i, Qatadah, Ats-Tsauri, dan Al-Auza’i. (23) (Al-Hawi 9/57-58,
Al-Mughni 9/347).
Ini juga merupakan pilihan Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah.
(Fatawa wa Rasail Asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahim 10/114).
Ibnu Rusyd berkata:
وَكَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ
رَأَى هَذَا دَاخِلًا فِي بَابِ الْإِجْمَاعِ وَهُوَ ضَعِيفٌ
“Banyak orang yang menganggap hal ini termasuk dalam bab ijma’, tetapi itu
lemah” (Bidayatul Mujtahid 2/17).
Ibnu Qudamah dalam *Al-Mughni* (9/347-348. Tahqiq
at-Turkiy) berkata:
"إِنَّ النِّكَاحَ لا يَنْعَقِدُ إِلَّا بِشَاهِدَيْنِ. هَذَا
المَشْهُورُ عَن أَحْمَدَ. وَرُوِيَ ذَلِكَ عَن عُمَرَ، وَعَلِيٍّ، وَهُوَ قَوْلُ ابْنِ
عَبَّاسٍ، وَسَعِيدِ بْنِ المُسَيَّبِ، وَجَابِرِ بْنِ زَيْدٍ، وَالحَسَنِ، وَالنَّخَعِيِّ،
وَقَتَادَةَ، وَالثَّوْرِيِّ، وَالأَوْزَاعِيِّ، وَالشَّافِعِيِّ، وَأَصْحَابِ الرَّأْيِ
....
فَاشْتَرَطَ أَصْحَابُ الرَّأْيِ الشَّهَادَةَ لِلنِّكَاحِ، وَلَمْ يَشْتَرِطُوهَا
لِلْبَيْعِ. وَوَجْهُ الأَوْلَى أَنَّهُ قَدْ رُوِيَ عَن النَّبِيِّ ﷺ أَنَّهُ قَالَ:
"لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ مُرْشِدٍ، وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ". رَوَاهُ الخَلَّالُ
بِإِسْنَادِهِ. وَرَوَى الدَّارَقُطْنِيُّ، عَن عَائِشَةَ، عَن النَّبِيِّ ﷺ، أَنَّهُ
قَالَ: "لَا بُدَّ فِي النِّكَاحِ مِنْ أَرْبَعَةٍ؛ الوَلِيُّ، وَالزَّوْجُ، وَالشَّاهِدَانِ".
وَلِأَنَّهُ يَتَعَلَّقُ بِهِ حَقُّ غَيْرِ المُتَعَاقِدَيْنِ، وَهُوَ الوَلَدُ، فَاشْتُرِطَتِ
الشَّهَادَةُ فِيهِ، لِئَلَّا يَجْحَدَهُ أَبُوهُ، فَيَضِيعَ نَسَبُهُ، بِخِلَافِ البَيْعِ.
فَأَمَّا نِكَاحُ النَّبِيِّ ﷺ بِغَيْرِ وَلِيٍّ وَغَيْرِ شُهُودٍ، فَمِن خَصَائِصِهِ
فِي النِّكَاحِ، فَلَا يُلْحَقُ بِهِ غَيْرُهُ".
“Nikah tidak sah kecuali dengan dua saksi.
Ini adalah pendapat yang masyhur dari Ahmad, dan juga diriwayatkan dari Umar,
Ali, serta pendapat Ibnu Abbas, Sa’id bin Al-Musayyib, Jabir bin Zaid,
Al-Hasan, Al-Nakha’i, Qatadah, Al-Thawri, Al-Awza’i, Asy-Syafi’i, dan para ahli
ijtihad (أَصْحَابُ الرَّأْيِ / madzhab Hanafi). ....
Maka para ahli ijtihad (أَصْحَابُ الرَّأْيِ/ madzhab Hanafi)
mensyaratkan saksi untuk nikah, tapi tidak untuk jual beli. Alasan utama mereka
adalah bahwa telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ:
“Tidak sah nikah kecuali dengan
wali yang membimbing dan dua saksi adil.”
Riwayat ini diriwayatkan oleh Al-Khallal dengan sanadnya.
Al-Daraqutni meriwayatkan dari Aisyah radhiyallahu 'anha bahwa Nabi ﷺ bersabda:
“Dalam nikah ada empat hal yang
wajib: wali, suami, dan dua saksi.”
Karena hak yang terkait bukan hanya bagi yang menikah,
tetapi juga bagi anak yang lahir, maka saksi diperlukan agar ayah tidak
mengingkarinya dan sehingga garis keturunan tidak hilang, berbeda dengan jual
beli.
Adapun nikah Nabi ﷺ tanpa wali dan
tanpa saksi adalah keistimewaannya sendiri dalam pernikahan, dan tidak berlaku
bagi orang lain.”
****
PENDAPAT KEDUA:
TANPA SAKSI AKAD NIKAH TETAP SAH
Ini diriwayatkan dari pendapat Imam Ahmad. Dan ini adalah yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab, Al-Hasan bin Ali, Ibn Zubair, Salim, Hamzah bin Ibn Umar.
Pendapat ini juga dipegang oleh Abdullah bin Idris,
Abdurrahman bin Mahdi, Yazid bin Harun, Al-Anbari, Abu Tsur, dan Ibnu Mundzir.
Ini juga merupakan pendapat Az-Zuhri jika
diumumkan.
Dan Ini adalah pendapat Imam Malik. Namun Imam Malik mensyaratkan adanya
saksi ketika hendak dukhul (menggauli-nya), dengan cara mengumumkan nikah agar
tidak menjadi nikah sirri. [(Al-Isyraf 2/93, Al-Qawanin Al-Fiqhiyyah hal. 200.]
Ibnu Al-Qasim berkata dari Malik:
لَوْ زَوَّجَ بِبَيِّنَةٍ
وَأَمَرَهُمْ أَنْ يَكْتُمُوا ذَلِكَ لَمْ يَجُزِ النِّكَاحُ؛ لِأَنَّهُ سِرٌّ، وَإِنْ
تَزَوَّجَ بِبَيِّنَةٍ مِنْ غَيْرِ اسْتِسْرَارٍ جَازَ وَأَشْهَدَا فِيمَا يَسْتَقْبِلَانِ.
Jika menikah dengan dua saksi lalu memerintahkan mereka untuk
merahasiakannya, maka nikah itu tidak sah karena termasuk sirri. Jika menikah
dengan saksi tanpa kesepakatan merahasiakan maka sah, dan kedua saksi tersebut
akan menjadi saksi suami istri itu di masa mendatang.
[Dzakhirah Al-Qarafi 4/398, Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an Al-Qurthubi 3/79,
Syarh Az-Zarqani ‘ala Muwaththa’ Malik 3/188), Daud Az-Zhahiri (27) (Al-Hawi
9/57, Al-Bayan 9/221, Hilyatul Ulama 6/365), dan salah satu riwayat dari Imam
Ahmad (28) (Al-Mughni 9/347, Syarh Az-Zarkasyi 5/22)].
Hal ini juga dilakukan oleh Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, dan dikatakan
oleh sebagian tabi’in seperti: Al-Hasan bin Ali, Ibnu Az-Zubair, Salim dan
Hamzah (dua anak Abdullah bin Umar), Abdullah bin Idris, Abdurrahman bin Mahdi,
Yazid bin Harun, Al-Anbari, Abu Tsaur, dan Ibnu Al-Mundzir .
(Baca : Al-Mughni 9/347, Hilyatul Ulama 6/365), serta Al-Laits (30)
(Mukhtashar Ikhtilaf Al-Ulama 2/251). Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah (31) (Majmu’ Al-Fatawa 32/35).
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni (9/347-348. Tahqiq
at-Turkiy) berkata:
وَعَن أَحْمَدَ أَنَّهُ يَصِحُّ بِغَيْرِ شُهُودٍ. فَعَلَهُ ابْنُ عُمَرَ، وَالحَسَنُ
بْنُ عَلِيٍّ، وَابْنُ الزُّبَيْرِ، وَسَالِمٌ وَحَمْزَةُ ابْنَا ابْنِ عُمَرَ. وَبِهِ
قَالَ عَبْدُ اللهِ بْنُ إِدْرِيسَ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ مَهْدِيٍّ، وَيَزِيدُ
بْنُ هَارُونَ، وَالعَنْبَرِيُّ، وَأَبُو ثَوْرٍ، وَابْنُ المُنْذِرِ. وَهُوَ قَوْلُ
الزُّهْرِيِّ، وَمَالِكٍ، إِذَا أَعْلَنُوهُ. قَالَ ابْنُ المُنْذِرِ: لَا يَثْبُتُ
فِي الشَّاهِدَيْنِ فِي النِّكَاحِ خَبَرٌ. وَقَالَ ابْنُ عَبْدِ البَرِّ: وَقَدْ رُوِيَ
عَن النَّبِيِّ ﷺ: "لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ عَدْلَيْنِ"
مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَأَبِي هُرَيْرَةَ وَابْنِ عُمَرَ، إِلَّا أَنَّ فِي
نَقْلِهِ ذَلِكَ ضَعْفًا، فَلَمْ أَذْكُرْهُ. قَالَ ابْنُ المُنْذِرِ: وَقَدْ أَعْتَقَ
النَّبِيُّ ﷺ صَفِيَّةَ بِنْتَ حُيَىٍّ وَتَزَوَّجَهَا بِغَيْرِ شُهُودٍ.
قَالَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ: اشْتَرَى رَسُولُ اللهِ ﷺ جَارِيَةً
بِسَبْعَةِ أَرْؤُسٍ، فَقَالَ النَّاسُ: مَا نَدْرِي أَتَزَوَّجَهَا رَسُولُ اللهِ
ﷺ أَم جَعَلَهَا أُمَّ وَلَدٍ؟ فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَبَ حَجَبَهَا، فَعَلِمُوا
أَنَّهُ تَزَوَّجَهَا. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ.
قَالَ: فَاسْتَدَلُّوا عَلَى تَزْوِيجِهَا بِالحِجَابِ. وَقَالَ يَزِيدُ بْنُ
هَارُونَ: أَمَرَ اللهُ تَعَالَى بِالإشْهَادِ فِي البَيْعِ دُونَ النِّكَاحِ.
Dan riwayat dari Ahmad menyatakan, bahwa nikah itu sah
tanpa saksi. Begitu juga praktik yang pernah dilakukan oleh Umar bin Khattab,
Al-Hasan bin Ali, Ibn Zubair, Salim, Hamzah bin Ibn Umar. Pendapat ini juga
dipegang oleh Abdullah bin Idris, Abdurrahman bin Mahdi, Yazid bin Harun,
Al-Anbari, Abu Tsur, dan Ibnu Mundzir.
Ini juga merupakan pendapat Az-Zuhri dan Malik jika
diumumkan.
Ibnu Mundzir berkata: “Tidak ada hadits yang sahih tentang
keharusan dua saksi dalam nikah.”
Ibnu Abdul Barr berkata: “Diriwayatkan dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersabda : ‘Tidak sah nikah kecuali dengan wali
dan dua saksi adil’. Hadits ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Abu Hurairah, dan
Ibn Umar, namun riwayat tersebut lemah (dhoif), sehingga di sini saya tidak
menyebutkannya.”
Ibnu Mundzir berkata: “Nabi ﷺ membebaskan Shofiyah binti Huyay, lalu menikahinya tanpa saksi.
Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu berkata: ‘Rasulullah ﷺ membeli seorang budak perempuan seharga tujuh dirham, lalu
orang-orang berkata: “Kami tidak tahu, apakah Rasulullah menikahinya atau
menjadikannya umm walad?” Ketika beliau hendak menghijabinya (dengan mengenakan
cadar), mereka pun mengetahui bahwa beliau menikahinya.’ (Hadits ini muta’faq
‘alaih).”
Mereka menjadikan ini sebagai dalil bolehnya kesaksian nikah
melalui isyarat memakaikan hijab pada istrinya. Yazid bin Harun berkata: “
Dalam al-Qur’an, Allah memerintahkan untuk menghadirkan saksi dalam akad jual
beli, tapi tidak dalam akad nikah”.
Abdul Haqq ad-Dihlawi dalam Lam’aat at-Tanqiih 6/39
berkata :
صَفِيَّةُ وَتَزَوَّجَهَا بِغَيْرِ شُهُودٍ، وَقَالَ لِلَّذِي تَزَوَّجَ
الْمَوْهُوبَةَ: (زَوَّجْتُكَهَا بِمَا مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ)، وَلَمْ يَقُلْ
إِنَّهُ أَشْهَدَ، وَاحْتَجَّ بِأَنَّ ابْنَ عُمَرَ تَزَوَّجَ بِلَا شُهُودٍ،
وَيُرْوَى ذَلِكَ عَنِ ابْنِ الزُّبَيْرِ وَالْحَسَنِ بْنِ عَلِيٍّ، وَلِأَنَّهُ
عَقْدُ مُعَاوَضَةٍ أَشْبَهَ الْبَيْعَ، وَقَدْ قَالَ أَحْمَدُ فِي رِوَايَةِ
الْمَيْمُونِي: لَمْ يَثْبُتْ عَنِ النَّبِيِّ -ﷺ- فِي الشَّاهِدَيْنِ شَيْءٌ،
وَكَذَلِكَ قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ.
وَقَالَ فِي (سَفَرِ السَّعَادَةِ): لَمْ يَثْبُتْ فِي بَابِ (لَا نِكَاحَ
إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ) شَيْءٌ، وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
Shafiyyah, dan Nabi ﷺ menikahinya
tanpa saksi.
Dan kepada orang yang menikahi wanita yang menghadiahkan
dirinya, beliau ﷺ bersabda:
“Aku nikahkan engkau dengannya
dengan (mahar) yang ada padamu dari Al-Qur’an”.
Dan beliau ﷺ tidak
mengatakan bahwa beliau menghadirkan saksi.
Dan mereka juga berdalil bahwa Ibnu Umar menikah tanpa
saksi.
Dan hal itu juga diriwayatkan dari Ibnu Zubair dan Hasan
bin Ali.
Karena akad nikah itu adalah akad mu’awadhoh (pertukaran)
yang mirip dengan jual beli.
Dan Imam Ahmad berkata dalam riwayat Al-Maimuni: “Tidak
ada yang sahih dari Nabi ﷺ tentang dua orang saksi,” demikian pula
yang dikatakan oleh Ibnu Al-Mundzir.
Dan dalam kitab *Safar As-Sa‘adah* disebutkan:
“Tidak ada hadits yang sahih dalam bab (tidak sah nikah kecuali dengan wali dan
dua saksi yang adil)”. Wallahu ‘alam.
Dan Syeikh Hasan al-Jawaahiry mengatakan :
الْقُرْآنُ لَمْ يَذْكُرْ بِوُجُوبِ الشُّهُودِ عِنْدَ الزَّوَاجِ، وَلَكِنْ
ذَكَرَ بِوُجُوبِ الشُّهُودِ عِنْدَ الطَّلَاقِ، كَمَا فِي قَوْلِهِ تَعَالَى:
﴿فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ فَارِقُوهُنَّ
بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنكُمْ وَأَقِيمُوا الشَّهَادَةَ
لِلَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَن كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ
الْآخِرِ ۚ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا﴾ [الطَّلَاق: 2].
فَقَدْ ذَكَرَتْ هَذِهِ الْآيَةُ وُجُوبَ الشُّهُودِ فِي الطَّلَاقِ
بِرَجُلَيْنِ عَادِلَيْنِ، وَذَكَرَتِ الْآيَةُ أَنَّ الْإِعْرَاضَ عَنْ هَذِهِ
الْأَحْكَامِ هُوَ خُرُوجٌ عَنِ الْإِيمَانِ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ.
Al-Qur’an tidak menyebutkan kewajiban adanya saksi ketika
menikah, tetapi menyebutkan kewajiban adanya saksi ketika terjadi perceraian,
sebagaimana dalam firman Allah Ta’ala:
﴿فَإِذَا بَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ
فَارِقُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَأَشْهِدُوا ذَوَيْ عَدْلٍ مِّنكُمْ وَأَقِيمُوا
الشَّهَادَةَ لِلَّهِ ۚ ذَٰلِكُمْ يُوعَظُ بِهِ مَن كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ
وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَمَن يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَل لَّهُ مَخْرَجًا﴾
“Apabila mereka telah mendekati akhir iddah
thalaknya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan
baik dan *persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil* di antara
kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu karena Allah. Demikianlah diberi
pengajaran dengan itu orang yang beriman kepada Allah dan hari akhirat.
Barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan
keluar”. (QS. Ath-Thalaq: 2).
Ayat ini menyebutkan kewajiban adanya saksi dalam
perceraian dengan dua orang laki-laki yang adil. Dan ayat ini juga menyebutkan
bahwa berpaling dari hukum-hukum ini adalah keluar dari keimanan kepada Allah
dan hari akhir”. [Selesai].
Dan dalam transaski jual dan hutang piutang, Allah SWT
memerintahkan untuk menghadirkan dua saksi, namun demikian transaksi jual beli
dan hutang piutang tetap sah walaupun tanpa saksi. Sebagaimana dalam firman-Nya
:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنتُم بِدَيْنٍ
إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَاكْتُبُوهُ ۚ وَلْيَكْتُب بَّيْنَكُمْ كَاتِبٌ
بِالْعَدْلِ ۚ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَن يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ ۚ
فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ
رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا ۚ
فَإِن كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا
يَسْتَطِيعُ أَن يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ ۚ
وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِن رِّجَالِكُمْ ۖ فَإِن لَّمْ
يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ
أَن تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَىٰ ۚ وَلَا يَأْبَ
الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا ۚ
وَلَا تَسْأَمُوا أَن تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَىٰ أَجَلِهِ ۚ
ذَٰلِكُمْ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَىٰ أَلَّا
تَرْتَابُوا ۖ إِلَّا أَن تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ
فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا ۗ
وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ ۚ وَلَا يُضَارَّ
كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ ۚ وَإِن تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ ۗ
وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ ۗ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ
عَلِيمٌ﴾
Artinya : Hai orang-orang yang
beriman, apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.
Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya
dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah
mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang
itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada
Allah Tuhannya.
Dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya.
Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau
dia sendiri tidak mampu meng-imlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan
dengan jujur.
Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari
orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai,
supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil.
Dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil
maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di
sisi Allah dan lebih menguatkan Adanya saksi dan lebih dekat kepada tidak
(menimbulkan) keraguanmu.
(Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu
perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi
kamu, (jika) kamu tidak menulisnya.
Dan persaksikanlah apabila kamu
berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu
lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada
dirimu.
Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu. [QS. Al-Baqarah: 282].
-----
FATWA Syaikh Abu al-Hasan Ali al-Ramli
Judul Fatwa: Saksi dalam Akad Nikah. Nomor
Fatwa: 4633. Tanggal: 21 Sya’ban 1441
السُّؤَالُ : هَلْ وُجُودُ شَاهِدَيْنِ فِي النِّكَاحِ شَرْطٌ لِصِحَّةِ
النِّكَاحِ أَمْ لَا؟
الْإِجَابَةُ : لَا، لَيْسَ شَرْطًا وَلَا وَاجِبًا عَلَى
الصَّحِيحِ، وَإِنْ كَانَ هُوَ الأَفْضَلُ.
وَهُوَ رَاجِعٌ إِلَى صِحَّةِ الزِّيَادَةِ الْوَارِدَةِ فِي حَدِيثٍ: (لَا نِكَاحَ
إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ)، وَجَاءَ فِي بَعْضِ الرِّوَايَاتِ: «لَا نِكَاحَ
إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ»
أَخْرَجَهُ ابْنُ حِبَّانَ (4063)، وَالدَّارَقُطْنِيّ فِي «سُنَنِهِ» (3534)،
وَالْبَيْهَقِيّ فِي «الْكُبْرَى» (7/202) مِنْ حَدِيثِ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا.
وَلَهَا شَوَاهِدُ أُخْرَى؛ وَلَكِنَّهَا لَا تَصِحُّ فِي شَيْءٍ مِنْهَا، اُنْظُرْهَا
فِي «الرَّوْضِ الْبَاسِمِ بِتَرْتِيبِ وَتَخْرِيجِ فَوَائِدِ تَمَامٍ» (2/401 فَمَا
بَعْدَهُ).
وَلَكِنَّ زِيَادَةَ: «وَشَاهِدَيْنِ» أَوْ «وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ» لَا تَصِحُّ،
وَالصَّحِيحُ أَنَّهَا ضَعِيفَةٌ، الصَّحِيحُ فَقَطْ: «لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ».
وَقَدِ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي حُكْمِ الإِشْهَادِ فِي النِّكَاحِ؛ فَجَعَلَ
بَعْضُهُمْ ذَلِكَ شَرْطًا، وَبَعْضُهُمْ جَعَلَ الشَّرْطَ: الإِلَانَ وَلَيْسَ الإِشْهَادُ،
فَبِمُجَرَّدِ أَنْ يُعْلَنَ النِّكَاحُ يَكُونُ صَحِيحًا.
وَالْصَّحِيحُ مَا قَالَهُ ابْنُ الْمُنذِرِ -رَحِمَهُ اللهُ-، قَالَ: "وَلَيْسَ
يَثْبُتُ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ فِي إِثْبَاتِ الشَّاهِدَيْنِ فِي النِّكَاحِ خَبَرٌ، إِلَّا
حَدِيثٌ مُرْسَلٌ عَنِ الحَسَنِ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ فِي إِثْبَاتِ الشَّاهِدَيْنِ لَا
تَقُومُ بِهِ الحُجَّةُ، وَلَمْ يَرْفَعْهُ أَكْثَرُهُمْ".
يَعْنِي أَكْثَرُ الْمُحَدِّثِينَ أَوِ الرُّوَاةِ الَّذِينَ رَوَوْا الْحَدِيثَ
لَمْ يَرْفَعُوهُ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ.
قَالَ: "وَإِيجَابُ الشُّهُودِ فِي عَقْدِ النِّكَاحِ إِيجَابُ فَرْضٍ، وَالْفَرَائِضُ
لَا يَجُوزُ إِيجَابُهَا إِلَّا بِحُجَّةٍ، وَلَا حُجَّةَ مَعَ مَنْ أَوْجَبَ الشَّاهِدَيْنِ
عِنْدَ عَقْدِ النِّكَاحِ".
قَالَ: "وَالْدَّلِيلُ عَلَى صِحَّةِ النِّكَاحِ مِنْ غَيْرِ شُهُودٍ حَدِيثُ
أَنَسٍ قَالَ: «كُنْتُ رَدِيفَ أَبِي طَلْحَةَ يَوْمَ خَيْبَرَ قَالَ: وَوَقَعَتْ فِي
سَهْمِ دِحْيَةَ جَارِيَةٌ جَمِيلَةٌ فَاشْتَرَاهَا رَسُولُ اللهِ ﷺ مِنْ دِحْيَةَ
بِسَبْعَةِ أَرْؤُسٍ، فَجَعَلَ رَسُولُ اللهِ ﷺ وَلِيمَتَهَا التَّمْرَ وَالْأَقْطَ
وَالسَّمْنَ، وَقَالَ النَّاسُ: مَا نَدْرِي أَتَزَوَّجَهَا أَمْ جَعَلَهَا أُمَّ وَلَدٍ،
فَقَالُوا: إِنْ حَجَبَهَا فَهِيَ امْرَأَتُهُ، وَإِنْ لَمْ يُحَجِّبْهَا فَهِيَ أُمُّ
وَلَدٍ، فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَبَ حِجْبَهَا حَتَّى قَعَدَتْ عَلَى عَجْزِ الْبَعِيرِ،
قَالَ: فَعَرَفُوا أَنَّهُ تَزَوَّجَهَا »" أخرجه البخاري (5159)، وَمُسْلِم
(1365).
قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ: "فِي هَذَا الْحَدِيثِ إِذِ اسْتُدِلَّ مَنْ حَضَرَ
رَسُولَ اللهِ ﷺ عَلَى تَزْوِيجِ صَفِيَّةَ بِالْحِجَابِ دَلِيلٌ عَلَى إِجَازَةِ النِّكَاحِ
بِغَيْرِ شُهُودٍ".
أَي أَنَّهُمْ لَمْ يَعْلَمُوا أَنَّهُ تَزَوَّجَهَا إِلَّا بِالْحِجَابِ، وَلَوْ
كَانَ وُجُودُ الشُّهُودِ فِي النِّكَاحِ شَرْطًا لَأَشْهَدَ النَّبِيُّ ﷺ عَلَى زَوَاجِهِ
هَذَا، وَعَلِمُوا ذَلِكَ مِنَ الشُّهُودِ.
قَالَ: "وَفِي إِنْكَاحِ أَبِي بَكْرٍ النَّبِيَّ ﷺ عَائِشَةَ دَلِيلٌ عَلَى
ذَلِكَ، إِذْ لَا نَعْلَمُ فِي شَيْءٍ مِنَ الْأَخْبَارِ أَنَّ شَاهِدًا حَضَرَ عَقْدَ
ذَلِكَ النِّكَاحِ".
هَذَا دَلِيلٌ آخَرُ عَلَى صِحَّةِ النِّكَاحِ مِنْ غَيْرِ شُهُودٍ، وَهُوَ الَّذِي
نَمِيلُ إِلَيْهِ، أَي عَدَمُ وُجُودِ دَلِيلٍ يُثْبِتُ وُجُوبَ أَوْ شَرْطِيَّةِ شَاهِدَيْنِ،
لَا شَكَّ أَنَّ وُجُودَ الشُّهُودِ أَفْضَلُ وَأَحْسَنُ، لَكِنْ أَنْ نَجْعَلَ ذَلِكَ
شَرْطًا هَذَا يَحْتَاجُ إِلَى دَلِيلٍ قَوِيٍّ عَلَى ذَلِكَ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ هَذِهِ
خُلَاصَةُ الْفَتْوَى.
Pertanyaan:
Apakah keberadaan dua saksi dalam nikah merupakan syarat
sahnya nikah atau tidak?
Jawaban:
Tidak, itu bukan syarat dan bukan kewajiban menurut yang
sahih, meskipun kehadiran itu lebih utama.
Hal ini terkait dengan tambahan dalam hadits: “tidak ada
nikah kecuali dengan wali dan dua saksi”, dan dalam beberapa riwayat
disebutkan: “tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi adil” (Ibn
Hibban 4063, Al-Daraqutni, Sunan 3534, Al-Baihaqi, Al-Kubra 7/202) dari hadits
Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Terdapat riwayat lain, tetapi semuanya tidak sahih, lihat
dalam Al-Raudh al-Basim bi Tartib wa Takhrij Fawa’id Tamam 2/401 dan
seterusnya.
Namun tambahan “dan dua saksi” atau “dan dua saksi adil”
tidak sahih, yang sahih adalah hanya: “tidak ada nikah kecuali dengan wali”.
Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum kehadiran saksi
dalam nikah; sebagian menganggapnya sebagai syarat, sebagian lainnya
berpendapat syaratnya adalah pengumuman, bukan saksi, sehingga selama nikah
diumumkan, maka sah.
Yang benar adalah pendapat Ibn al-Mundzir – rahimahullah –
beliau berkata:
“Tidak ada dalil dari Nabi ﷺ yang menetapkan dua saksi dalam nikah, kecuali hadits mursal
dari Al-Hasan dari Nabi ﷺ tentang menetapkan dua saksi, dan itu
tidak menjadi hujjah, dan mayoritas tidak mengangkatnya kepada Nabi ﷺ.”
Artinya, mayoritas perawi yang meriwayatkan hadits
tersebut tidak marfu’ kepada Nabi ﷺ (bukan
perkataan Nabi ﷺ).
Beliau berkata: “Kewajiban saksi dalam akad nikah itu
terkait dengan kewajiban syar’i, sementara kewajiban syar’i itu tidak boleh
diwajibkan kecuali dengan hujjah, sedangkan tidak ada hujjah bagi orang yang
mewajibkan dua saksi dalam akad nikah.”
Dalil bahwa nikah sah tanpa saksi
adalah hadits Anas, beliau berkata:
“Pada saat perang Khaybar, aku membonceng di belakang tunggangan
Abu Thalhah pada hari Khaybar. Dia berkata: Ada seorang budak wanita yang
cantik menjadi bagian ghanimah sahabat Dihyah radhiyallahu ‘ahu, lalu
Rasulullah ﷺ membelinya dari Dihyah dengan harga tujuh uqiyah. Lalu
Rasulullah ﷺ menjadikan walimahnya dengan kurma, gandum yang dimasak, dan
mentega.
Orang-orang berkata: Kami tidak tahu apakah beliau
menikahinya atau menjadikannya Ummul walad (budak yang digauli).
Mereka berkata: Jika beliau menutupinya dengan hijab
(cadar), maka ia adalah istrinya, jika tidak menutupinya dengan hijab, maka ia Ummul
walad.
Ketika beliau ﷺ hendak
menunggangi untanya dengan menutupinya dengan hijab hingga ia duduk di belakang
unta, maka mereka mengetahui bahwa beliau ﷺ menikahinya”
(Al-Bukhari 5159, Muslim 1365).
Ibnu Mundzir berkata: "Dalam hadits ini,
ketika orang yang hadir bersama Rasulullah ﷺ menggunakan
dalil tentang pernikahan Shofiyah melalui hijab, hal ini menjadi petunjuk bahwa
nikah diperbolehkan tanpa saksi."
Artinya, mereka tidak mengetahui bahwa Rasulullah ﷺ menikahinya kecuali melalui hijab, dan jika kehadiran saksi
dalam nikah merupakan syarat, tentu Rasulullah ﷺ akan
menghadirkan saksi pada pernikahan ini, dan mereka mengetahuinya dari saksi
tersebut.
Ia berkata: "Dan dalam pernikahan Abu Bakar dengan
Aisyah Nabi ﷺ menjadi bukti hal tersebut, karena kami tidak mengetahui dalam
satu pun riwayat bahwa ada saksi yang hadir pada akad pernikahan itu"
[Al-Awsath, 8/317, Cet. Dar Al-Falah].
Ini merupakan bukti lain bahwa nikah itu sah tanpa saksi,
dan inilah pendapat yang kami condongkan, yaitu tidak adanya dalil yang
menetapkan kewajiban atau syarat adanya dua saksi. Tidak diragukan bahwa
kehadiran saksi lebih baik dan lebih utama, tetapi menjadikannya sebagai syarat
membutuhkan dalil yang kuat. Wallaahu a’lam”. [Selesai]
****=====****
RINCIAN DALIL MASING-MASING PENDAPAT :
******
DALIL-DALIL PENDAPAT PERTAMA:
TIDAK SAH NIKAH TANPA SAKSI
====
DALIL PERTAMA: HADITS
Mereka berdalil dengan beberapa hadits yang menunjukkan adanya syarat dua
orang saksi dalam akad nikah, di antaranya:
Ke 1 – Riwayat dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
وَشَاهِدَي عَدْلٍ، وَمَا كَانَ مِنْ نِكَاحٍ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بَاطِلٌ،
وَإِنْ تَشَاجَرُوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil, dan setiap
pernikahan yang tidak demikian maka batal, dan jika mereka berselisih maka
penguasa adalah wali bagi orang yang tidak memiliki wali”.
TAKHRIJ HADITS :
[Diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dalam Sunan-nya 3/226
nomor (23) melalui jalur Sulaiman bin Umar bin Khalid Ar-Raqqi dari Isa bin
Yunus dari Ibnu Juraij dari Sulaiman bin Musa dari Az-Zuhri dari Urwah dari
Aisyah.
Dan diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam Shahih-nya 9/386
nomor (4075) melalui jalur Hafsh bin Ghiyats dari Ibnu Juraij, dan Al-Baihaqi
dalam As-Sunan Al-Kubra 7/125 melalui jalur Ad-Daraquthni. Dan Al-Haitsami
dalam Mawarid Adh-Dham'an 1/305 nomor (1247)].
Abu Hatim berkata:
لَمْ يَقُلْ أَحَدٌ فِي خَبَرِ ابْنِ جُرَيْجٍ عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ مُوسَى عَنِ
الزُّهْرِيِّ هَذَا (شَاهِدَي عَدْلٍ) إِلَّا ثَلَاثَةُ أَنْفُسٍ: سَعِيدُ بْنُ يَحْيَى
الْأُمَوِيُّ عَنْ حَفْصِ بْنِ غِيَاثٍ، وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ عَبْدِ الْوَهَّابِ
الْحَجِّيُّ عَنْ خَالِدِ بْنِ الْحَارِثِ، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ يُونُسَ الرَّقِّيُّ
عَنْ عِيسَى بْنِ يُونُسَ، وَلَا يَصِحُّ فِي ذِكْرِ الشَّاهِدَيْنِ غَيْرُ هَذَا الْخَبَرِ.
"Tidak ada seorang pun yang mengatakan dalam riwayat Ibnu Juraij dari Sulaiman bin Musa dari Az-Zuhri ini lafadz (dua saksi adil) kecuali tiga orang: Sa'id bin Yahya Al-Umawi dari Hafsh bin Ghiyats, Abdullah bin Abdul Wahhab Al-Hajji dari Khalid bin Al-Harith, dan Abdurrahman bin Yunus Ar-Raqqi dari Isa bin Yunus. Dan tidak ada hadits sahih dalam penyebutan lafadz (dua saksi) selain hadits ini."
[Shahih Ibnu
Hibban 9/386, Nashb Ar-Rayah 3/167].
Dalam hadits ini terdapat nash yang jelas menafikan sahnya nikah kecuali
dengan dua saksi sebagaimana tidak sah kecuali dengan wali.
Ke 2 – Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِأَرْبَعَةٍ:
خَاطِبٌ وَوَلِيٌّ وَشَاهِدَانِ.
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi serta mahar, sedikit
atau banyak”.
TAKHRIJ HADITS :
[Diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu‘jam Al-Kabir 11/155 nomor
(11343) dari jalur Al-‘Abbas bin Al-Fadhl Al-Asqathi, ia berkata: Telah
menceritakan kepada kami Abdurrahman bin Al-Mubarak, telah menceritakan kepada
kami Ar-Rabi‘ bin Badr, telah menceritakan kepada kami An-Nahhas bin Fahm dari
‘Atha bin Abi Rabah dari Ibnu Abbas.
Dan diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu‘jam Al-Awsath 4/286 nomor
(4218).
Dan di tempat lain 5/8 nomor (4520) dari Ibnu Abbas secara marfu‘ dengan
lafaz:
(الْبَغَايَا
اللَّاتِي يُزَوِّجْنَ أَنْفُسَهُنَّ لَا يَجُوزُ نِكَاحٌ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ
وَمَهْرٍ مَا قَلَّ أَوْ كَثُرَ).
(bagi wanita-wanita pezina yang menikahkan diri mereka sendiri tidak sah
nikah kecuali dengan wali, dua orang saksi, dan mahar baik sedikit maupun
banyak).
Ibnu ‘Adiy berkata dalam Al-Kamil 3/131:
"وَلَا
أَعْلَمُ أَحَدًا يَرْوِيهِ عَنِ النَّهَّاشِ بْنِ قَهْمٍ وَالنَّقَّاشِ بَصْرِيٌّ
غَيْرُ الرَّبِيعِ بْنِ بَدْرٍ وَأَبُو مُعَاوِيَةَ الزَّعْفَرَانِيُّ وَأَبُو مُعَاوِيَةَ
شَرٌّ مِنَ الرَّبِيعِ وَأَضْعَفُ".
“Aku tidak mengetahui seorang pun yang meriwayatkannya dari An-Nahhas bin
Qahm dan An-Naqqasy Al-Bashri selain Ar-Rabi‘ bin Badr dan Abu Mu‘awiyah
Az-Zu‘farani, dan Abu Mu‘awiyah lebih buruk dan lebih lemah daripada Ar-Rabi‘.”
Yahya bin Ma‘in berkata: “An-Nahhas lemah.”
Dan Ibnu ‘Adiy berkata: “An-Nahhas tidak ada nilainya.” Dan Ibnu ‘Adiy
berkata: “Aku tidak mengetahui ada yang meriwayatkannya selain ar-Rabi’ bin
Badr…”. [At-Tahqiq fi Ahadits Al-Khilaf 2/258].
Al-Haitsami berkata dalam Majma‘ Az-Zawaid 4/286:
"وَفِي
إِسْنَادِهِ الرَّبِيعُ بْنُ بَدْرٍ وَهُوَ مَتْرُوكٌ".
“Dalam sanadnya terdapat Ar-Rabi‘ bin Badr, dan ia matruk (ditinggalkan haditsnya).”
Dan diriwayatkan oleh Ibnu Syahin dalam Nasikh Al-Hadits wa Mansukhih
1/393 nomor (506).
Ke 3 – Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ
وَشَاهِدَي عَدْلٍ
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil”
TAKHRIH HADITS :
[Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 6/125, Ad-Daraquthni
3/225 no. (24), dan Al-Khatib Al-Baghdadi dalam Tarikh Baghdad 12/157.
Ibnu At-Turkumani berkata dalam Al-Jawhar An-Naqi 7/180:
ثُمَّ إِنَّ عَائِشَةَ الرَّاوِيَةَ
لِلْحَدِيثِ خَالَفَتْهُ، وَأَشَارَ الْبَيْهَقِيُّ إِلَى ضَعْفِ أَسَانِيدِهَا
“Kemudian Aisyah, perawi hadits ini, menyelisihinya, dan Al-Baihaqi
menunjukkan lemahnya sanad-sanadnya.”
Dan diriwayatkan dari Ibnu Umar, diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dalam
Sunannya 3/225 no. (22) dan Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil 6/99.
Dan diriwayatkan dari Imran bin Husain, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam
As-Sunan Al-Kubra 7/125. Ad-Daraquthni meriwayatkannya dalam Sunannya dari
Imran bin Husain dan dari Abdullah bin Mas‘ud 3/225 no. (21).
Diriwayatkan oleh Adz-Dzahabi dalam Mizan Al-I‘tidal 4/196.
Al-Haitsami berkata dalam Majma‘ Az-Zawaid 4/286-287:
فِيهِ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ
مَحْرِزٍ وَهُوَ مَتْرُوكٌ.
“Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muhariz, dan dia matruk
(ditinggalkan haditsnya).”
Dan Ibnu Al-Munir berkata dalam Khulashah Al-Badr Al-Munir 2/186 no. 1935:
رَوَاهُ أَحْمَدُ عَنْهُ
وَالدَّارَقُطْنِيُّ عَنْهُ – يَعْنِي عِمْرَانَ بْنَ حُصَيْنٍ – عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ
مَرْفُوعًا بِإِسْنَادِهِ لَا يَقْوَى.
“Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad darinya, dan Ad-Daraquthni darinya –
yakni dari Imran bin Husain – dari Ibnu Mas‘ud secara marfu‘ dengan sanad yang
tidak kuat”.
Semuanya dengan lafaz:
(لَا
نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَي عَدْلٍ).
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil.
Ke 4 – Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi ﷺ, beliau bersabda:
لَا نِكَاحَ إِلَّا بِأَرْبَعَةٍ:
خَاطِبٌ، وَوَلِيٌّ، وَشَاهِدَانِ.
“Tidak ada nikah kecuali dengan empat orang: calon suami, wali, dan dua
saksi”.
TAKHRIJ HADITS :
Diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra 7/125 melalui jalur
Al-Mughirah bin Musa Al-Muzani Al-Bashri dari Hisyam dari Ibnu Sirin dari Abu
Hurairah.
Al-Baihaqi berkata:
حَدَّثَنَا الحُمَيْدِيُّ
حَدَّثَنَا البُخَارِيُّ قَالَ: مُغِيرَةُ بْنُ مُوسَى بَصْرِيٌّ مُنْكَرُ الحَدِيثِ،
قَالَ أَبُو أَحْمَد: المُغِيرَةُ بْنُ مُوسَى ثِقَةٌ فِي نَفْسِهِ.
“Telah menceritakan kepada kami Al-Humaidi, telah menceritakan kepada kami
Al-Bukhari, ia berkata: Al-Mughirah bin Musa, seorang Bashri, mungkar dalam hadits.”
Abu Ahmad berkata: “Al-Mughirah bin Musa tsiqah pada dirinya.” [Selesai]
Juga diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir 18/142 nomor
(299).
Ke 5 – Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Dalam nikah harus ada empat: wali, suami, dan dua
saksi”.
TAKHRIJ HADITS :
[Diriwayatkan oleh ad-Daraquthni dalam Sunannya 3/224 nomor (19) melalui
jalur Khalid bin al-Waddah dari Abu al-Khashib dari Hisyam dari Urwah dari
ayahnya dari Aisyah.
Sanadnya lemah sekali . Ad-Daraquthni berkata: “Abu al-Khashib majhul,
dan namanya Nafi’ bin Maisarah”.
Demikian pula dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam at-Talkhis 3/51, dan
az-Zaila’i dalam Nashb ar-Rayah 3/186.
Diriwayatkan pula oleh al-Baihaqi dalam al-Khilafiyyat dari Ibnu Abbas dan
ia menshahihkannya sebagai mauquf dengan lafaz:
(أَوْفَى
مَا يَكُونُ فِي النِّكَاحِ أَرْبَعَةٌ: الَّذِي يُزَوِّجُ، وَالَّذِي يَتَزَوَّجُ،
وَشَاهِدَانِ).
(Paling sempurna dalam pernikahan adalah empat: yang menikahkan, yang
menikah, dan dua saksi).
[Lihat Mukhtashar Khilafiyyat al-Baihaqi 4/124].
Az-Zaila’i berkata dalam Nashb ar-Rayah 3/186:
"وَهَذَا
حَدِيثٌ مُنْكَرٌ وَالْأَشْبَهُ أَنْ يَكُونَ مَوْضُوعًا".
“Ini adalah hadits munkar, dan yang lebih mendekati adalah bahwa hadits
ini maudhu’ (palsu).”
Ke 6 – Diriwayatkan dari al-Hasan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
"لَا
يَحِلُّ نِكَاحٌ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَصَدَاقٍ وَشَاهِدَي عَدْلٍ"
“Tidak halal nikah kecuali dengan wali, mahar, dan dua saksi yang adil”.
TAKHRIJ HADITS :
(Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 7/125 dan Ibnu Abi
Syaibah dengan lafaz yang mirip).
Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
هَذَا وَإِنْ كَانَ مُنْقَطِعًا
دُونَ النَّبِيِّ ﷺ فَإِنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ الْعِلْمِ يَقُولُ بِهِ، وَيَقُولُ: هُوَ
الْفَرْقُ بَيْنَ النِّكَاحِ وَالسِّفَاحِ
“Meskipun ini terputus dari Nabi ﷺ, kebanyakan ulama mengamalkannya, dan mereka mengatakan: Ini
adalah pembeda antara nikah dan zina” (38) (as-Sunan al-Kubra 7/125, Mukhtashar
Khilafiyat al-Baihaqi 4/125).
===
DALIL KE DUA : ATSAR
Mereka juga berdalil dengan atsar-atsar yang diriwayatkan dari sejumlah
sahabat, di antaranya:
Ke 1 – Dari al-Hasan al-Bashri dan Sa’id bin al-Musayyib bahwa Umar bin
al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu berkata:
"لَا
نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَي عَدْلٍ"
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil”
(Diriwayatkan oleh al-Baihaqi dalam
as-Sunan al-Kubra 7/126.
Al-Baihaqi berkata:
هٰذَا إِسْنَادٌ صَحِيحٌ
وَابْنُ الْمُسَيَّبِ كَانَ يُقَالُ لَهُ: رِوَايَةُ عُمَرَ، وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ
يُرْسِلُ إِلَيْهِ فَيَسْأَلُهُ عَنْ بَعْضِ شَأْنِ عُمَرَ وَأَمْرِهِ
“Ini adalah sanad yang sahih, dan Ibnu Al-Musayyib dahulu disebut sebagai
‘Riwayah Umar’, dan Ibnu Umar mengutus seseorang kepadanya lalu bertanya
kepadanya tentang sebagian urusan dan perkara Umar.”
Ibnu At-Turkamani menyebutkan dalam kitab Al-Jawhar An-Naqi 7/126 bahwa
Ibnu Al-Musayyib tidak terbukti mendengar dari Umar, dan Ibnu Malik mengingkari
bahwa ia mendengar darinya.
Ke 2 – Diriwayatkan bahwa Umar bin al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu :
أُتِيَ بِنِكَاحٍ لَمْ يَشْهَدْ
عَلَيْهِ إِلَّا رَجُلٌ وَامْرَأَةٌ، فَقَالَ: "هَذَا نِكَاحُ السِّرِّ وَلَا
أُجِيزُهُ وَلَوْ كُنْتُ تَقَدَّمْتُ فِيهِ لَرَجَمْتُهُ".
“Didatangkan kepadanya sebuah pernikahan yang tidak dihadiri saksi kecuali
seorang laki-laki dan seorang perempuan, maka ia berkata: “Ini adalah nikah sirri
(rahasia), dan aku tidak mengesahkannya, seandainya aku sudah menetapkan
sebelumnya, niscaya aku rajam”.
(Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam al-Muwaththa’ 2/535 no. 1114,
al-Baihaqi dalam as-Sunan al-Kubra 7/126, asy-Syafi’i dalam Musnadnya hlm. 291
dan Sa’id bin Manshur dalam Sunannya hal. 186).
Az-Zarkasyi berkata:
وَخَصَّ النِّكَاحَ – وَاللَّهُ
أَعْلَمُ – بِاشْتِرَاطِ الشَّهَادَةِ، دُونَ غَيْرِهِ مِنَ الْعُقُودِ، لِمَا فِيهِ
مِنْ تَعَلُّقِ حَقِّ غَيْرِ الْمُتَعَاقِدَيْنِ وَهُوَ الْوَلَدُ.
“Dikhususkan dalam akad Nikah ini – wallahu a’lam – dengan syarat adanya
saksi, tidak seperti akad-akad lainnya, karena ia terkait dengan hak orang
selain kedua pihak, yaitu anak”. (Syarh az-Zarkasyi 5/22).
Ke 3 – Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
"لَا
نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَلَا نِكَاحَ إِلَّا بِشُهُودٍ".
“Tidak ada nikah kecuali dengan wali, dan tidak ada nikah kecuali dengan
saksi”. (as-Sunan al-Kubra lil-Baihaqi 7/111).
====
DALIL KETIGA : DARI SISI MAKNA:
Makna ke1 – Mereka berkata:
إِنِ اشْتِرَاطُ الشَّهَادَةِ
فِي النِّكَاحِ آكَدُ مِنِ اشْتِرَاطِهَا فِي الْبَيْعِ؛ لِأَنَّ النِّكَاحَ يَتَعَلَّقُ
بِهِ حَقٌّ غَيْرُ الْمُتَعَاقِدَيْنِ، وَهُوَ الْوَلَدُ؛ لِئَلَّا يَجْحَدَهُ أَبُوهُ
فَيَضِيعَ نَسَبُهُ بِخِلَافِ الْبَيْعِ.
Mensyaratkan saksi dalam nikah lebih kuat daripada mensyaratkannya dalam
jual beli; karena nikah berkaitan dengan hak pihak ketiga, yaitu anak, agar
tidak diingkari oleh ayahnya sehingga nasabnya hilang, berbeda dengan jual beli.
(al-Mughni 9/348, Kasyaf al-Qina’ 5/65, al-Hawi 9/58).
Makna ke 2 – Karena mensyaratkan saksi dalam akad nikah adalah bentuk kehati-hatian
dalam menjaga kehormatan dan melindungi pernikahan dari pengingkaran. (al-Iqna’
lisy-Syarbini 2/408).
****
DALIL PENDAPAT KEDUA: SAH HUKUM NIKAH TANPA SAKSI.
====
Pertama: Mereka berdalil dengan dalil-dalil umum:
Ke1 – Dengan keumuman firman Allah Ta’ala:
{
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ }
“Maka nikahilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi” (An-Nisa: ayat 3),
Allah Ta’ala tidak menyebutkan persaksian, maka tetaplah nash itu bersifat
mutlak dan tidak disyaratkan adanya saksi (Al-Hawi al-Kabiir 9/58).
Ke 2 – Dengan keumuman firman Allah Ta’ala:
{
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ }
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah akad-akad itu” (Al-Maidah: ayat
1), dan nikah termasuk akad yang wajib dipenuhi tanpa saksi(46 Al-Isyraf karya
Qadhi Abdul Wahhab 2/93).
====
Dalil Kedua: Dari sunnah:
Ke 1 – Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu:
اِشْتَرَى رَسُولُ اللهِ
ﷺ جَارِيَةً بِسَبْعَةِ أَرُؤُسٍ، فَقَالَ النَّاسُ: مَا نَدْرِي أَتَزَوَّجَهَا رَسُولُ
اللهِ ﷺ أَمْ جَعَلَهَا أُمَّ وَلَدٍ؟ فَلَمَّا أَرَادَ أَنْ يَرْكَبَ حَجَبَهَا فَعَلِمُوا
أَنَّهُ تَزَوَّجَهَا.
“Rasulullah ﷺ
membeli seorang budak perempuan dengan harga tujuh kepala (budak), lalu
orang-orang berkata: Kami tidak tahu apakah Rasulullah ﷺ menikahinya atau menjadikannya sebagai ibu anaknya. Maka ketika
beliau ingin menaikinya (kendaraan), beliau menutupinya (dengan hijab), maka
mereka pun tahu bahwa beliau telah menikahinya”.
(Diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya 2/1045 no. 1365).
Sisi pendalilannya: Mereka para sahabat tidak mengetahui bahwa beliau ﷺ menikahinya kecuali
dengan hijab (penutup), yang menunjukkan tidak disyaratkan adanya saksi dalam
akad nikah. (Al-Mughni 9/348).
Ke 2 – Diriwayatkan dari ‘Abbad bin Sinan bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
أَلَا أَنْكِحُكَ آمِنَةَ
بِنْتَ رَبِيعَةَ بْنِ الْحَارِثِ، قَالَ: بَلَى، قَدْ أَنْكَحْتُهَا وَلَمْ يَشْهَدْ.
“Maukah aku nikahkan engkau dengan Aminah binti Rabi’ah bin Al-Harits?” Ia
berkata: “Ya.” Beliau pun menikahkannya, dan tidak ada saksi. (Diriwayatkan
oleh Imam Malik dalam Al-Mudawwanah Al-Kubra 4/193).
Ke 3 – Diriwayatkan :
أَنَّ عَلِيًّا زَوَّجَ أُمَّ
كُلْثُومٍ مِنْ عُمَرَ وَلَمْ يَشْهَدْ.
Bahwa Ali menikahkan Ummu Kultsum dengan Umar tanpa ada saksi. (Diriwayatkan
oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 4/17).
====
Dalil Ketiga: Atsar Sahabat
Mereka berdalil dengan atsar yang diriwayatkan dari sebagian sahabat, di
antaranya:
Ke 1 – Imam Ahmad berhujjah bahwa Ibnu Umar menikahkan tanpa saksi,
padahal ia termasuk sahabat yang paling kuat berpegang pada sunnah.
Diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dari Ma’mar dari Ayyub dari Nafi’ dari
Habib maula ‘Urwah bin Az-Zubair, ia berkata:
بَعَثَنِي عُرْوَةُ إِلَى
عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ لِأَخْطُبَ لَهُ ابْنَةَ عَبْدِ اللَّهِ، فَقَالَ عَبْدُ
اللَّهِ: نَعَمْ، إِنَّ عُرْوَةَ لَأَهْلٌ أَنْ يُزَوِّجَ، ثُمَّ قَالَ: ادْعُهُ، فَدَعَوْتُهُ،
لَمْ يَبْرَحْ حَتَّى زَوَّجَهُ، قَالَ حَبِيبٌ: وَمَا شَهِدَ ذَلِكَ غَيْرِي وَعُرْوَةُ
وَعَبْدُ اللَّهِ.
‘Urwah mengutusku kepada Abdullah bin Umar untuk meminangkan putri
Abdullah. Abdullah berkata: “Ya, sesungguhnya ‘Urwah pantas menikah.” Kemudian
ia berkata: “Panggil dia.” Maka aku memanggilnya, ia tidak beranjak hingga
Abdullah menikahkannya. Habib berkata: “Tidak ada yang menyaksikannya selain
aku, ‘Urwah, dan Abdullah”. (Dalam Al-Mushannaf karya Ibnu Abi Syaibah 6/188
no. 10452).
Ke 2 – Hal ini juga dilakukan oleh Hasan bin Ali, Ibnu Zubair. (Syarh
Az-Zarkasyi 5/23), serta Salim dan Hamzah, kedua putra Abdullah bin Umar . (Al-Mughni
9/347).
Dalil Keempat: Mereka Yang membolehkan nikah tanpa saksi juga berdalil dengan beberapa argumentasi
dan qiyas, di antaranya:
Ke 1 – Menganalogikan nikah dengan rahn (gadai) dan kafalah (penjaminan)
dalam hal tidak disyaratkannya persaksian, karena sama-sama termasuk akad
penguatan (تَوْثِيق). (Al-Isyraf
karya Qadhi Abdul Wahhab 2/93).
Ke 2 – Mereka berkata: Setiap orang yang tidak dibutuhkan dalam ijab dan
qabul, maka kehadirannya bukan syarat dalam terlaksananya nikah, seperti seorang
istri dan orang asing lainnya yang bukan suaminya. (Al-Isyraf karya Qadhi Abdul
Wahhab 2/93).
===***===
MUNAQOSYAH / PERDEBATAN DALIL ANTAR DUA PENDAPAT:
****
Bantahan terhadap dalil pendapat pertama yang mensyaratkan adanya saksi nikah:
Pertama: Hadits-hadits yang mereka jadikan dalil semuanya tidak lepas dari
kelemahan (dho’aif), dan tidak ada satu hadits pun yang sahih secara tegas
mewajibkan persaksian dalam akad nikah. Banyak imam yang mendhaifkan hadits-hadits
tersebut. Di antara perkataan mereka:
A] – Imam Ahmad rahimahullah dalam riwayat Al-Maimuni berkata:
"لَمْ
يَثْبُتْ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ فِي الشَّاهِدَيْنِ شَيْءٌ"
“Tidak ada satu pun hadits sahih dari Nabi ﷺ tentang saksi dua orang dalam nikah”(56 Syarh Az-Zarkasyi
5/23).
B] – Ibnu Al-Mundzir berkata:
"لَا
يَثْبُتُ فِي الشَّاهِدَيْنِ فِي النِّكَاحِ خَبَرٌ"
“Tidak ada riwayat yang sahih tentang dua orang saksi
dalam pernikahan.” (Dinukil darinya oleh sejumlah ulama seperti Ibnu Qudamah
dalam Al-Mughni 9/347 dan lainnya)
Dan Ibnu al-Mundzir juga berkata :
وَلَيْسَ يَثْبُتُ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ فِي إِثْبَاتِ الشَّاهِدَيْنِ فِي النِّكَاحِ
خَبَرٌ، إِلَّا حَدِيثٌ مُرْسَلٌ عَنِ الحَسَنِ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ فِي إِثْبَاتِ الشَّاهِدَيْنِ
لَا تَقُومُ بِهِ الحُجَّةُ، وَلَمْ يَرْفَعْهُ أَكْثَرُهُمْ.
“Tidak ada hadits yang shahih dari Nabi ﷺ mengenai penetapan dua saksi dalam nikah, kecuali sebuah hadits
mursal dari Al-Hasan al-Bashri dari Nabi ﷺ tentang
penetapan dua saksi, dan hadits mursal itu tidak bisa menjadi hujjah, serta
kebanyakan perawi tidak menyambungkan hadits tersebut sampai kepada Nabi ﷺ.” [[Al-Awsath karya Ibnu al-Mundzir, 8/317, Cet. Dar Al-Falah.
Lihat pula: at-Tanbiih ‘Alaa Musykilat al-Hidayah oleh Ibnu Abi al-‘Izz
al-Hanafi 3/1181 dan Fadhlu Robbil Bariyyah oleh Abu al-Hasan ar-Ramly hal.
297].
C] – Ibnu Abdil Barr berkata:
وَقَدْ رُوِيَ عَنِ النَّبِيِّ ﷺ لَا نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْنِ
عَدْلَيْنِ مِنْ حَدِيثِ ابْنِ عَبَّاسٍ وحديث ابْنِ عَبَّاسٍ وَحَدِيثِ أَبِي
هُرَيْرَةَ وَحَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ إِلَّا أَنَّ فِي نَقَلَةِ ذَلِكَ ضَعْفًا
فَلِذَلِكَ لَمْ أَذْكُرْهُ
“Dan telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ: “Tidak sah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang
adil,” dari hadits Ibnu Abbas, hadits Abu Hurairah, dan hadits Ibnu Umar, hanya
saja pada para perawi hadits tersebut terdapat kelemahan, oleh sebab itu aku
tidak mau menyebutkannya.” (At-Tamhid 19/89)
D] – Az-Zaila’i berkata:
"وَالْأَحَادِيثُ
كُلُّهَا مَدْخُولَةٌ"
“Semua haditsnya cacat.” (Nashbu Ar-Rayah 3/167)
E] – Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"وَلَيْسَ
فِي اشْتِرَاطِ الشَّهَادَةِ فِي النِّكَاحِ حَدِيثٌ ثَابِتٌ، لَا فِي الصِّحَاحِ
وَلَا فِي السُّنَنِ وَلَا فِي الْمَسَانِيدِ"
“Tidak ada hadits yang sahih tentang disyaratkannya
kesaksian dalam akad nikah, baik dalam kitab-kitab hadits Shahih, Sunan, maupun
Musnad.” (Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam 32/35)
-----
JAWABAN ATAS BANTAHAN DIATAS:
Bahwa sejumlah pakar hadits dan para imam hafizh telah menguatkan sebagian
hadits tentang syarat adanya saksi dalam akad nikah, di antaranya:
Ke 1 – Ibnu Hibban berkata tentang hadits Aisyah yang pertama:
وَلَا يَصِحُّ فِي ذِكْرِ
الشَّاهِدَيْنِ غَيْرُ هَذَا الْخَبَرِ
“Tidak ada yang sahih hadits yang menyebutkan dua saksi selain hadits ini”
(Sahih Ibnu Hibban 9/386).
Ibnu Al-Mulaqqin berkata:
هُوَ كَمَا قَالَ وَلَهُ
طُرُقٌ أُخْرَى فِيهَا ضَعْفٌ لَا حَاجَةَ إِلَيْهِا مَعَهُ
“Seperti yang ia katakan, dan hadits ini memiliki jalur-jalur lain yang
lemah, namun tidak diperlukan selama ada jalur ini” (Khulasah Al-Badr Al-Munir
2/176).
Al-Auza’i berkata:
"وَهَذَا
يَرُدُّ قَوْلَ ابْنِ الْمُنْذِرِ لَا يُثْبَتُ فِي الشَّاهِدَيْنِ فِي النِّكَاحِ
خَبَرٌ".
“Ini membantah perkataan Ibnu Al-Mundzir yang mengatakan tidak
ada hadits sahih tentang saksi dalam nikah” (Faidh Al-Qadir 6/438).
Ke 2 – Ad-Daruquthni menyebutkan hadits Aisyah sebelumnya dengan berbagai
jalur dan mutaba’ah (Sunan Ad-Daruquthni 3/226).
Al-Albani berkomentar (Dalam Irwa’ Al-Ghalil 6/259):
إِنَّ الْحَدِيثَ صَحِيحٌ
بِهَذِهِ الْمُتَابَعَاتِ وَالطُّرُقِ الَّتِي أَشَارَ إِلَيْهَا الدَّارَقْطَنِيُّ.
“Hadits ini sahih dengan mutaba’ah dan jalur yang disebutkan oleh
Ad-Daruquthni.”
Ke 3 – Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata tentang hadits Imran:
"وَهَذَا
وَإِنْ كَانَ مُنْقَطِعًا فَإِنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ الْعِلْمِ يَقُولُونَ بِهِ"
“Meski hadits ini munqathi’, kebanyakan ulama berpendapat dengannya”
(Talkhis Al-Habir 3/156). Az-Zahabi menguatkan sanadnya (Faidh Al-Qadir 6/438).
Ke 4 – Abu Isa At-Tirmidzi berkata:
"وَالْعَمَلُ
عَلَى هَذَا عِنْدَ أَهْلِ الْعِلْمِ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم،
وَمِنْ بَعْدِهِمْ مِنَ التَّابِعِينَ وَغَيْرِهِمْ قَالُوا: لَا نِكَاحَ إِلَّا بِشُهُودٍ،
لَمْ يَخْتَلِفُوا فِي ذَلِكَ – مِنْ مَضَى مِنْهُمْ – إِلَّا قَوْمًا مِنَ الْمُتَأَخِّرِينَ
مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ"
“Dan inilah yang diamalkan oleh para ulama dari sahabat Nabi ﷺ dan para tabi’in setelah mereka, mereka berkata: tidak ada
nikah kecuali dengan saksi. Mereka tidak berbeda pendapat tentang hal itu –
yang telah lalu – kecuali sebagian kecil dari ulama belakangan” (Sunan
At-Tirmidzi 3/411).
Jawaban terhadap bantahan ini:
Jika kita menerima kesahihan hadits :
(لَا
نِكَاحَ إِلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ)
(Tidak ada nikah kecuali dengan wali dan dua saksi yang adil), maka
sebagian ulama Malikiyah yang mensyaratkan adanya saksi pada saat mau dukhul (jima’)
bukan saat akad, menjawab dengan empat jawaban:
Jawaban Pertama:
Penafian (dalam hadits) berkisar antara hukum qodho (putusan hakim) dan fatwa, dan tidak disebutkan secara tegas salah satunya,
sehingga maknanya umum pada keduanya.
Kami menafsirkannya pada qodho, yaitu hakim tidak boleh memutuskan sahnya
nikah kecuali dengan bukti (بَيِّنَةُ).
Adapun kehalalannya tetap berlaku tanpa bukti (69Adz-Dzakhirah 4/398).
Dibantah:
Asal dari lafaz mutlak adalah mencakup seluruh makna yang disebutkan, dan
tidak boleh mengkhususkan yang umum tanpa dalil, sebagaimana tidak boleh
membatasi yang mutlak tanpa muqayyad.
Lalu apa yang membatasi larangan itu hanya pada qadha, bukan pada asal
hukum?
Jawaban Kedua:
Penafian berkisar antara akad dan dukhul (jima’), kami
menafsirkannya pada dukhul (jima’), karena dalam makna itu ia hakikat,
sedangkan makna yang mereka sebutkan adalah majaz, dan hakikat lebih didahulukan
dari majaz (Adz-Dzakhirah 4/398).
Dibantah:
Tidak bisa diterima bahwa nikah adalah majaz pada akad dan
hakikat pada dukhul (jima’), bahkan nikah hakikatnya adalah akad, sebagaimana
dibuktikan dengan adanya warisan dan iddah hanya dengan akad.
Jawaban Ketiga:
Mahar yang disebutkan dalam hadits dibarengi dengan bukti (بَيِّنَةُ), padahal tidak disyaratkan
penyebutan mahar dalam akad. Maka saksi pun demikian, diqiyaskan dengannya
dengan cara awla (lebih utama), karena mahar adalah rukun yang masuk dalam
hakikat, sedangkan bukti (بَيِّنَةُ)
berada di luar hakikat akad. (Adz-Dzakhirah 4/398).
Dibantah:
Lafaz hadits yang disahihkan oleh sejumlah ulama tidak menyebutkan “mahar”,
sehingga qiyas ini tidak sah.
Jawaban Keempat:
Makna penafian dalam hadits diarahkan pada kesempurnaan
akad (bukan sah). Dan ini dikuatkan dengan adanya penyebutan mahar yang juga
dianggap dalam kesempurnaan. (Adz-Dzakhirah 4/398).
Dibantah:
Konsekuensi pendapat mereka adalah wali dalam hadits juga hanya untuk
kesempurnaan, namun mereka tidak mengatakan demikian.
Mengapa mereka khususkan saksi, bukan wali dalam nikah?
Ini hanyalah perbedaan dalam perkara yang serupa.
Jawaban ke lima :
Dalil atsar tentang syarat adanya saksi dalam akad nikah. Bisa dikatakan bahwa atsar yang berlawanan diriwayatkan dari sejumlah sahabat, sebagaimana telah disebutkan dalam dalil pendapat kedua.
Dan pendapat sahabat tidak menjadi hujjah jika bertentangan dengan
pendapat sahabat lainnya (Raudhat An-Nazhir hal. 84).
====
Ketiga: Dalil Berdasarkan Makna:
Dalil akal mereka dapat diperdebatkan dengan poin-poin berikut:
Ke 1. Mereka berpendapat bahwa mensyaratkan saksi dalam nikah lebih penting
daripada jual beli karena untuk memastikan hak pembuktian nasab anak. Pendapat
kedua mensyaratkan saksi pada pelaksanaan dan pengumuman nikah. Jadi, bagaimana
mungkin seorang ayah menolak atau nasab hilang padahal telah terjadi
pelaksanaan nikah.
Ke 2. Mereka mengatakan saksi dalam akad nikah sebagai langkah
berjaga-jaga terhadap hubungan suami-istri. Padahal hubungan suami-istri hanya
terjadi melalui pelaksanaan akad, yang memang disyaratkan kehadiran saksi,
sehingga alasan ini tidak relevan dengan pokok perdebatan.
====
BANTAHAN TERHADAP DALIL-DALIL PENDAPAT KEDUA
Bantahan terhadap Dalil Pertama: Dalil dari Ayat Umum
Ke 1. Firman Allah:
{فَانْكِحُوا
مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ}
"Nikahilah wanita-wanita yang baik bagimu" (An-Nisa: 3)
Ayat ini menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah wanita yang halal
dinikahi, dan ayat ini tidak menyebut saksi. [Al-Hawi 9/58].
Ke 2. Ayat ini bersifat umum, sehingga tidak menyebut saksi maupun wali.
Jika mengikuti dalil ini, secara logika, wali dan saksi tidak menjadi syarat,
tetapi pendukung dalil ini tidak menyatakan demikian.
Bantahan terhadap dalil Kedua: Dalil dari Sunnah :
Ke 1. Pernikahan Nabi ﷺ
tanpa wali dan saksi adalah khusus bagi beliau, sehingga tidak berlaku untuk
orang lain. [Al-Mughni 9/348, Al-Mubdi’ 7/49, Kashaf Al-Qina’ 5/65].
Ke 2. Pernikahan Nabi ﷺ
dengan Aminah binti Rabi’ah tanpa disaksikan: sebenarnya ada saksi saat akad,
tetapi beliau tidak berkata "saksikanlah". Majelis Nabi ﷺ pasti dihadiri minimal dua orang.
Jika akad disaksikan dua orang dengan maksud atau kesepakatan, maka akad
sah walaupun mereka tidak diberi instruksi untuk menyaksikan. Jadi riwayat “tidak
disaksikan” artinya tidak diberitahu untuk menyaksikan. [Al-Hawi al-Kabiir 9/58].
Ke 3. Atsar Ali menikahkan Umar dengan putrinya tanpa saksi, maka dijawab
dengan dua poin:
[*] Tidak diterima mentah-mentah karena riwayat al-Bayhaqi dan al-Haythami
menyebut Ali berkata kepada Hasan dan Husain untuk menikahkan paman mereka. [As-Sunan
Al-Kubra 7/64, Majma’ Az-Zawa’id 4/272].
[*] Jika diterima, maksudnya saksi hadir tetapi tidak diberitahu untuk
menyaksikan, karena perkataan perawi "tidak disaksikan" berarti
mereka tidak diminta untuk menyaksikan. Hal ini mungkin terjadi pada Umar,
karena ada riwayat bahwa ia menolak nikah yang disaksikan seorang pria dan
wanita. [Al-Hawi al-Kabiir 9/58].
Bantahan terhadap dalil Ketiga: Dalil mereka berdasarkan
perbuatan para sahabat:
Ke 1 – Perbuatan Ibn Umar adalah pendapat pribadinya, dan telah
bertentangan dengan sejumlah sahabat lainnya.
Jawabannya : Pendapat seorang sahabat tidak dianggap sebagai hujjah jika
bertentangan dengan sahabat lain.
Ke 2 – Perbuatan Al-Hasan bin Ali, Ibn Zubair, dan lainnya .
Jawabannya : perbuatan mereka bertentangan dengan pendapat Umar bin
Khattab, Ibn Abbas, dan lainnya.
Bantahan terhadap dalil Keempat: Dalil mereka berdasarkan
makna:
Ke 1 – Menganalogikan nikah seperti gadai dalam hal tidak diwajibkannya
saksi.
Jawabannya : hal ini tidak dapat
diterima, karena dalam gadai saksi dan dokumentasi diperlukan untuk pembuktian,
demikian pula dalam nikah.
Ke 2 – Adapun pendapat mereka bahwa setiap orang yang tidak diperlukan
dalam ijab dan kabul tidak diwajibkan hadir. Maka jawabannya bahwa ini ditolak
karena saksi tetap diperlukan untuk pembuktian jika terjadi penyangkalan atau
keraguan.
===****====
ANALISA DAN PERTIMBANGAN:
Dengan menelaah kedua pendapat, mempertimbangkan dalil dan diskusi, serta
melihat kondisi masyarakat serta kemaslahatannya, maka tampak bagi saya sebagai
penulis – wallahu a’lam bish showaab – bahwa pendapat pertama yang mewajibkan
saksi dalam akad nikah lebih kuat, dengan beberapa alasan:
Alasan ke1 – Hadits-hadits yang mewajibkan saksi banyak, sebagian telah disebut, dan
diriwayatkan melalui berbagai jalur dan sanad; sehingga bagi yang meneliti
sanad dan jalur periwayatan, hadits-hadits ini dapat dijadikan hujjah. Minimal,
bisa dikatakan bahwa saksi dalam akad nikah terbukti melalui hadits-hadits
hasan.
Alasan ke 2 – Kewajiban saksi dalam akad nikah memiliki beberapa manfaat, antara
lain:
A]. Perlunya
pembuktian nikah saat akad dan melindunginya dari penyangkalan, terutama di
zaman sekarang di mana banyak orang mengabaikan pertemuan suami istri sebelum melakukan
hubungan suami istri. Kadang terjadi khalwat dan kemungkinan perzinaan;
sehingga diperlukan bukti nikah saat akad, bukan saat melakukan hubungan suami
istri.
B]. Para
fuqaha menetapkan bahwa asal hukum mengenai hubungan suami istri adalah haram,
jika ada dua dalil bertentangan – satu mendorong halal dan satu mendorong haram
– maka dalil yang mendorong haram lebih didahulukan.
C]. Masing-masing
masyarakat berbeda-beda dalam mengumumkan nikah sesuai adat dan kondisi mereka.
Dan kemungkin tiba-tiba ada halangan dan hambatan untuk mengumumkan pernikahan.
Selain itu, standar pengumuman juga berbeda-beda, sehingga kewajiban saksi
saat akad lebih utama karena supaya tidak menimbulkan perselisihan atau
keraguan. [Al-Ghurrah al-Manifah, hlm. 163; Al-Ashbah wa al-Nazair li
al-Suyuti, hlm. 61; Al-Manthur, 2/347]
Alasan ke 3 – Dengan menelaah akibat dari pendapat kedua, terlihat bahwa jika saksi
tidak diwajibkan, akan terjadi penyebaran nikah sirri, selain berbagai
kemudaratan bagi individu dan masyarakat, terutama di zaman sekarang di mana
tipu daya haram marak, rasa malu menipis, dan muncul kemaksiatan yang dilarang
syariat dan fitrah.
Alasan ke 4 – Jika dibandingkan dalil kedua pendapat dan menelaah jawabannya,
terlihat bahwa dalil pendapat pertama lebih kuat dan lebih jelas sebagai
hujjah.
===****====
HAKIKAT SAKSI DALAM AKAD NIKAH
Saksi dalam akad nikah tidak keluar dari pengertian secara bahasa dan secara
istilah syar’ia.
Saksi adalah orang yang memberitahukan apa yang dia lihat dan dengar.
Dalam nikah terdapat ijab, kabul, kerelaan wanita, dan mahar, sehingga
pembahasan dalam bab ini mencakup saksi terhadap pihak yang mengikatkan nikah,
saksi terhadap kerelaan wanita, dan saksi terhadap besarnya mahar.
****
SAKSI TERHADAP IJAB, KABUL, DAN MAHAR:
Saksi dalam akad nikah berarti mendengar lafaz wali dalam ijab dan lafaz
suami dalam kabul. Saksi tidak sah hanya dengan kehadiran atau tanda tangan
tanpa mendengar ijab dari wali dan kabul dari suami. Bahkan jika dua saksi
mendengar perkataan salah satu pihak saja, atau satu saksi mendengar ijab wali
dan yang lain mendengar kabul suami, maka akad tidak sah. Hal ini karena sahnya
saksi dalam nikah mensyaratkan kehadiran keduanya untuk mendengar ijab dan
kabul; jika mereka tidak mendengar semua ucapan pihak yang berakad atau salah
satunya, maka saksi pada rukun tidak terpenuhi, sehingga tidak ada syarat rukun(80).
[Bada’i’ as-Shana’i’ 2/255, Al-Hawi 9/66, Al-Muqni’ 20/244, As-Sail
al-Jarrar 2/271].
Jika kedua saksi mendengar ijab dan kabul serta disebutkan mahar, maka
mereka menjadi saksi terhadap mahar dan akad. Jika mereka tidak mendengar mahar
disebut, mereka tetap menjadi saksi terhadap akad tanpa mahar. Penetapan mahar
dalam akad adalah sunnah menurut mayoritas ulama.
[Al-Mubdi’ 7/165, Al-Iqna’ li asy-Syarbini 2/423, Al-Mabsut 19/124.]
Dan itu tidak diwajibkan berdasarkan firman Allah:
{ لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ
إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ
فَرِيضَةً}
"Tidak ada dosa bagi kalian jika kalian menceraikan wanita
sebelum kalian menyentuhnya atau menentukan bagian tertentu untuk mereka"
(Al-Baqarah: 236).
Dalam praktik ketentuan akad nikah dan dokumen kontrak, disebutkan mahar.
Oleh karena itu, saya berpendapat bahwa pihak yang mengikatkan akad harus
menyebut mahar, karena hal ini mencegah perselisihan, menegakkan hak kedua
pihak, dan karena mahar yang setara bisa dijadikan acuan jika mahar tidak
disebut.
Ini berdasarkan atsar Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, ketika
ditanya tentang seorang wanita yang dinikahkan dengan seorang laki-laki tanpa
ditentukan mahar dan belum bersetubuh dengannya hingga suaminya meninggal, ia
berkata:
"لَهَا صَدَاقُ نِسَائِهَا
لَا وَكْسَ وَلَا شَطَّ، وَعَلَيْهَا الْعِدَّةُ وَلَهَا الْمِيرَاثُ". فَقَامَ
مَعْقِلُ بْنُ سِنَانٍ، فَقَالَ قَضَى رَسُولُ اللهِ ﷺ فِي بُرُوعِ بِنْتِ وَاشِقَ
امْرَأَةٍ مِنَّا بِمِثْلِ مَا قَضَيْتُ بِهِ، فَفَرِحَ بِهَا ابْنُ مَسْعُودٍ
"Ia berhak atas mahar wanita-wanita sejenisnya, tidak
berlebihan dan tidak kurang, ia wajib menjalani masa iddah dan berhak atas
warisan."
Kemudian Ma’qil bin Sinan berkata bahwa Rasulullah ﷺ memutuskan untuk Buru’ binti Wasyiq, wanita dari kalangan kami,
dengan hal serupa, dan Abdullah bin Mas’ud merasa senang dengan keputusan itu.
[Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dalam Sunannya 3/450 nomor 1145, beliau berkata:
Hasan Sahih; juga diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya 2/237 nomor 2114,
an-Nasa’i dalam Sunan al-Kubra 3/317 nomor 5518, al-Mujtaba 6/198 nomor 3524,
Ibnu Majah dalam Sunannya 1/609 nomor 1891, dan lain-lain].
Tradisi dan kebiasaan masyarakat berbeda-beda sehingga mahar tidak selalu
tetap; penetapan mahar dalam akad memutus sengketa, menegakkan hak, dan
mencegah pihak yang berselisih membawa perkara ke pengadilan.
****
SAKSI TERHADAP KERIDHOAN CALON ISTRI UNTUK DINIKAHKAN:
Hal ini sangat penting karena sering terjadi pemaksaan wanita untuk rela,
atau menikahkannya tanpa persetujuannya sama sekali. Salah satu hakim menyebut
masalah ini sebagai persoalan dalam gugatan beberapa wanita yang menikah tanpa
persetujuan mereka. Hal ini bisa terjadi terutama di pedesaan di mana pengaruh
kesukuan kuat
(Lihat hal ini dalam At-Tashnif al-Mawdu’i li Ta’ammumat Kementerian
Kehakiman Arab Saudi 3/672.).
Berkaitan dengan hal ini, saksi harus mengenal wanita yang dijadikan objek
nikah, mendengar izin wanita, baik janda maupun perawan, dan memahami kesulitan
yang muncul dalam memberikan kesaksian. Banyak saksi tidak mengenal wanita
karena mereka bukan kerabatnya, sehingga hal ini menyulitkan petugas yang
mengesahkan akad nikah dan membuat mereka enggan melaksanakan beberapa akad.
Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya
terselesaikan segala amal saleh, semoga shalawat dan salam tercurah kepada
junjungan kita Muhammad ﷺ, keluarganya, para sahabat, dan para
pengikutnya dengan kebaikan hingga hari kiamat.
===****====
ATSAR PROSES PERNIKAHAN UMAR DENGAN PUTRI ALI radhiyallahu ‘anhuma:
Diriwayatkan oleh Sa'id bin Manshuur dalam Sunan-nya (521),
Abdul Razzaq dalam Al Musannaf (6/163) No. (10352) dan Ibnu Abdil Barr dalam Al
Isti'aab (1/635) melalui Sufyan dari Amr bin Dinar dari Abu Jaafar:
خَطَبَ
عُمَرُ بْنُ الخَطَّابِ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - ابْنَةَ عَلِيٍّ - رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُ - فَذُكِرَ مِنْهَا صِغَرٌ، فَقَالُوا لَهُ: إِنَّمَا أَدْرَكْتَ، فَعَاوَدَهُ.
قَالَ: نُرْسِلُ بِهَا إِلَيْكَ تَنْظُرُ إِلَيْهَا. فَرَضِيَتْ، فَكَشَفَتْ عَنْ سَاقِهَا،
فَقَالَتْ: أُرْسِلْ لَوْلَا أَنَّكَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ لَطَمْتُ عَيْنَيْكَ.
Umar Ibn Al-Khattab radhiyallahu ‘anhu melamar putri Ali [bin
Abi Thalib] RA, maka Ali radhiyallahu ‘anhu menyebutkan bahwa putrinya masih
kecil. Mereka [yang diutus Umar] berkata kepada Ali: " Dia tahu itu, dan
dia terus membujuknya".
Maka Ali menulis surat yang isi-nya: "Kami mengirimnya
kepada Anda, sehingga Anda melihatnya".
Dan setelah melihat nya, Umar pun menyukai putri Ali tersebut,
lalu dia menyingkap betisnya. Maka putri Ali radhiyallahu ‘anhu marah dan
berkata:
" Lepaskan ! Kalau saja anda bukan Amiirul Mukminiin
sungguh sudah aku tampar kedua matamu ".
Itu adalah lafadz riwayat Sa'iid. Adapun lafadz Abdurrazaaq:
"خَطَبَ
عُمَرُ إِلَى عَلِيٍّ ابْنَتَهُ فَقَالَ : إِنَّهَا صَغِيرَةٌ، فَقِيلَ لِعُمَرَ: إِنَّمَا
يُرِيدُ بِذَلِكَ مَنْعَهَا. قَالَ فَكَلَّمَهُ، فَقَالَ عَلِيٌّ: أبْعَثُ بِهَا إِلَيْكَ
فَإِنْ رَضِيتَ فَهِيَ امْرَأَتُكَ. قَالَ فَبَعَثَ بِهَا إِلَيْهِ. قَالَ فَذَهَبَ
عُمَرُ فَكَشَفَ عَنْ سَاقِهَا، فَقَالَتْ: أُرْسِلْ لَوْلَا أَنَّكَ أَمِيرُ الْمُؤْمِنِينَ
لَصَكِكْتُ عُنُقَكَ".
Umar melamar kepada Ali untuk menikah dengan putrinya, lalu
Ali mengatakan : “Sungguh dia masih kecil”.
Dikatakan kepada Umar : “Sungguh dia hanya ingin menolaknya”.
Umar berkata: " Tolong bujuk dia ".
Lalu Ali berkata: "Aku akan mengirimnya kepadamu. Jika
kamu suka, maka dia adalah istrimu.”
Dia berkata: lalu dia mengirimnya kepadanya ".
Dia berkata: Maka Umar menghampirinya lalu menyingkap
betisnya. Maka putri Ali marah dan berkata:
"Lepas kan ! Kalo saja anda bukan Amirul Mukminin,
suangguh telah aku tonjok kedua mata anda."
[Lihat at-Talkhiish al-Habiir karya Ibnu Hajar 2/147 dan
as-silsilah adho'iifah karya al-Albaani 3/272].
Dan apa yang disebutkan Al-Hafidz menunjukkan bahwa atasr tersebut
dari riwayat Muhammad bin Ali bin Al-Hanafiyah, yang nama panggilannya adalah
Abu Al-Qasim, dan dia pernah berjumpa dengan Umar ; maka dengan demikian sanad
nya Shahih Muttashil.Namun riwayat yang penulis sebutkan diatas adalah dari riwayat Abu Jaafar. Dan
Abu Jaafar adalah Muhammad bin Ali bin Al-Husein dan dia tidak pernah berjumpa
dengan Umar maka dengan demikian sanadnya terputus.
Tapi Abu Jaafar berasal dari Ahlul-Bait, maka tampaknya kisah
seperti itu sudah masyhur ditengah keluarga nya.
Kesimpulannya Umm Kultsum itu anak perempuan yang masih
kecil, dan itulah sebabnya kisah itu disebutkan dalam kitab al-Mushonnaf di
bawah:
(بَابُ نِكَاحِ الصَّغِيرَيْنِ)
(Bab: Pernikahan dua anak
kecil).
Dan diriwayatkan dari Muammar dari Ayyub dan lainnya dari
Ikrimah
أَنَّ
عَلِيًّا بْنَ أَبِي طَالِبٍ أَنْكحَ ابْنَتَهُ جَارِيَةً تَلْعَبُ مَعَ الْجَوَارِيِ
عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
bahwa Ali bin Abi Thalib menikahkan putrinya - yang masih
bocah, yang masih bermain dengan anak-anak kecil perempuan - dengan Umar bin
al-Khattab.
Dalam lafadz lain: “Muammar, dari Ayyub, dari Ikrimah, dia
berkata:
تَزَوَّجَ
عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ أُمَّ كُلْثُومٍ بِنْتَ عَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ وَهِيَ
جَارِيَةٌ تَلْعَبُ مَعَ الْجَوَارِيِ.
‘Umar ibnu al-Khattab menikahi Ummu Kultsum, putri Ali
ibn Abi Thalib, dan dia adalah anak perempuan masih bocah yang masih bermain
dengan anak-anak kecil perempuan.”
Ibnu Saad berkata dalam al-Tabaqaat (8/463):
(أُمُّ
كُلْثُومٍ بِنْتُ عَلِيٍّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ بْنِ هَاشِمٍ
بْنِ عَبْدِ مَنَافٍ بْنِ قُصَيٍّ، وَأُمُّهَا فَاطِمَةُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ وَأُمُّهَا
خَدِيجَةُ بِنْتُ خُوَيْلِدٍ بْنِ أَسَدٍ بْنِ عَبْدِ الْعُزَّى بْنِ قُصَيٍّ. تَزَوَّجَهَا
عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَهِيَ جَارِيَةٌ لَمْ تَبْلُغْ)
“Umm Kulthum binti Ali bin Abi Thalib bin Abdul Muthalib bin Hashim
bin Abd Manaf bin Qushay.
Ibunya adalah Fatimah putri Rasulullah ﷺ, dan ibunya
Khadijah putri Khuwaylid bin Asad bin Abd al-Uzza bin Qushay.
Umar Ibn Al-Khattab menikahinya ketika dia adalah seorang
gadis kecil yang belum baligh".
Dalam at-Talkhis al-Habiir hal. 291-292 cetakan al-Hindiyah, al-Hafidz Ibnu
Hajar berkata:
رِوَايَةُ
عَبْدِ الرَّزَّاقِ وَسَعِيدِ بْنِ مَنْصُورٍ وَابْنِ أَبِي عُمَرَ (الأَصْلُ: أَبِي
عَمْرٍو وَهُوَ خَطَأٌ) عَنْ سُفْيَانَ عَنْ عَمْرِو بْنِ دِينَارٍ عَنْ مُحَمَّدِ
بْنِ عَلِيٍّ بْنِ الْحَنَفِيَّةِ أَنَّ عُمَرَ خَطَبَ إِلَى عَلِيٍّ ابْنَتَهُ أُمَّ
كُلْثُومٍ.. القِصَّةُ.
Riawayat Abdur-Razzaq dan Sa'id Ibn Mansur dan Ibnu Abi Umar (dalam Manuskrift,
tertulis : “Abi Amr”, dan itu adalah salah tulis) dari Sufyan dari
Amr Ibnu Dinar dari Muhammad bin Ali bin al-Hanafiyah:
"Bahwa Umar melamar kepada Ali untuk menikahi
putrinya Umm Kulthum.. DST.
Dengan demikian jika berdasarkan cetakan kitab At-Takhiish
al-Habiir yaitu cetakan al-Hindiyah maka sanadnya shahih.
Dan al-Haafidz Ibnu Hajar itu Tsiqoh, dan dia menyebutkan : bahwa
perawinya adalah Ibnu al-Hanafiyah (bin Ali bin Abi Thalib), dan dia adalah
saudara Ummu Kultsum. Dan dia berjumpa dengan Umar dan masuk ke rumahnya.
Namun ketika kitab “Musannaf Abd al-Razzaq” dicetak dengan
tahqiqan Syekh Habib al-Rahman al-A'dzomi, ternyata dalam sanadnya (10/10352)
terdapat perbedaan, yaitu sanadnya menjadi Mursal dan inqithaa' [terputus].
Dan ucapannya dalam “Al-Talkhiis”: “.... Ibnu
Al-Hanafiyah” adalah kesalahan, yang tidak diketahui penyebabnya ;
karena dalam al-Mushonnaf tertulis: “... Amr bin Dinar dari Abi Jaafar,
dia berkata...... dst.
Dan begitu pula dia pada riwayat Sa'id bin Manshur (3 no.
520) seperti yang disebutkan oleh Syekh Al-A'dzomi.
Dan Abu Jaafar ini adalah Muhammad bin Ali bin Al-Husein bin
Ali bin Abi Thalib.
Dalam riwayat Ibnu Abi Umar, ada nama yang disebut “Muhammad
bin Ali” sebagaimana Al-Hafiz sendiri disebutkan dalam “Al-Ishoobah”
Dan juga Ibnu Abd al-Barr menyebutkanya dalam “Al-Istidzkaar”
dengan sanadnya kepada Ibnu Abi Umar, maka dengan demikian perawi kisah tersebut
bukan Ibnu al-Hanafiyyah. Karena julukannya / Kuniyahnya Abu al-Qasim, yang
benar dia adalah Muhammad bin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Karena dialah yang dijuluki Abu Jaafar, dan dia adalah
Al-Baqir. Dan dia adalah salah satu dari kalangan Tabi-iin yang termuda
Dia meriwayatkan dari kakeknya, Al-Hasan dan Al-Hussein, dan
kakek ayahnya, Ali bin Abi Thalib, itu secara Mursal, sebagaimana yang di
sebutkan dalam at-Tahdziib dan lainnya.
Maka dia tidak mungkin berjumpa dengan Ali, apalagi dengan Umar, bagaimana mungkin bisa ketemu sementara dia dilahirkan setelah wafatnya lebih dari 20 tahun, maka dia tidak mendapatkan riwayat kisah tersebut secara meyakinkan, maka dengan demikian sanadnya terputus. Wallahu a'lam.
0 Komentar