HUKUM RIBA EMAS DAN PERAK APAKAH BERLAKU PADA MATA UANG KERTAS?
----
Di
Tulis Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN
NIDA AL-ISLAM
------
DAFTAR ISI PEMBAHASAN:
[*]- Hakikat uang.
[*]- Sejarah munculnya uang dan perkembangannya secara ringkas.
[*]- Illat riba pada dua mata uang (emas dan perak).
(dengan menyebutkan pendapat, dalil, dan
tarjih secara ringkas).
[*]- APAKAH MATA UANG KERTAS ADALAH ALAT TUKAR
INDEPENDENT, SEHINGGA BERLAKU RIBA EMAS DAN PERAK?
Yakni ; Apakah uang
kertas merupakan alat tukar yang berdiri sendiri yang memiliki hukum yang sama
dengan dua mata uang (emas dan perak) dalam berlakunya riba padanya sebagaimana
berlaku pada keduanya? (Ini dibahas melalui teori-teori yang dikemukakan
mengenai uang kertas).
[*]- APAKAH UANG KERTAS ITU SATU JENIS ATAU BANYAK JENISNYA ?
Apakah uang kertas
termasuk dalam berbagai jenis yang berbeda sesuai dengan lembaga penerbitnya
atau dianggap satu jenis saja?
Dan kesimpulan
pendapat ulama kontemporer tentang hal tersebut.
[*]- SEJARAH NUQUD
DAN SEJARAH FULUS:
===***====
MATA UANG KERTAS : ZAKATNYA, DAN BERLAKUNYA RIBA DI DALAMNYA
====
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ
***
HAKIKAT MATA UANG
Kata "النَّقْدُ"
(uang tunai) dalam asal makna bahasa menunjukkan pada membedakan sesuatu dan
menilai hakikat serta maknanya.
Dalam *al-Qamus*
dan kitab lainnya disebutkan bahwa "an-naqd" adalah membedakan dirham
dan lainnya
[Lihat: *al-Qamus
al-Muhith* karya al-Fairuzabadi, kata “naqd” dan Al-Waraq An-Naqdi: Hakikatnya
– Sejarahnya – Nilainya – Hukumnya, karya Syaikh Abdullah bin Sulaiman bin
Mani’, hlm. 17, cetakan kedua tahun 1404 H / 1984 M].
Dalam fiqh Islam
istilah "naqd" memiliki tiga penggunaan:
Ke 1. Digunakan
untuk maksud emas dan perak secara mutlak, baik berupa koin maupun tidak.
Ke 2. Digunakan
untuk maksud emas dan perak yang sudah dicetak sebagai koin.
Ke 3. Digunakan
juga untuk setiap sesuatu yang disepakati oleh manusia dan dijadikan sebagai
alat transaksi, meskipun bukan dari emas dan perak, selama memenuhi syarat
tertentu dan layak disamakan dengan keduanya dalam nama dan hukum-hukum
lainnya. Syarat-syarat itu adalah:
A]. Menjadi perantara pertukaran umum.
B]. Menjadi ukuran nilai.
C]. Menjadi penyimpan kekayaan.
Penggunaan ketiga
ini dipilih oleh banyak ulama kontemporer
[Lihat: Al-Awraq
An-Naqdiyyah wat-Tijariyyah fi Al-Fiqh Al-Islami, karya Sitr bin Tsuwaib
Al-Ju‘aid, hlm. 20, 26, 35, cetakan pertama, Hukum Uang Kertas dalam kumpulan
risalah Hai’ah Kibarul Ulama 1/30 dan *Buhuts fi al-Iqtishad al-Islami*,
kumpulan karya ilmiah Universitas Imam Muhammad bin Su’ud, hal. 71].
Di antaranya adalah
Syaikh Abdullah bin Sulaiman bin Mani’, beliau berkata:
((اِتَّضَحَ
لَنَا أَنَّ أَقْرَبَ تَعْرِيفٍ لِلنَّقْدِ يُمْكِنُ أَنْ يَكُونَ جَامِعًا
مَانِعًا هُوَ الْقَوْلُ بِأَنَّ النَّقْدَ هُوَ: كُلُّ شَيْءٍ يُلْقَى قَبُولًا
عَامًّا كَوَسِيطٍ لِلتَّبَادُلِ مَهْمَا كَانَ ذَلِكَ الشَّيْءُ وَعَلَى أَيِّ
حَالٍ يَكُونُ))
“Telah jelas bagi
kami bahwa definisi uang yang paling mendekati dan bisa bersifat jami’
(mencakup keseluruhan) mani’ (membatasai yang tidak termasuk didalamnya )
adalah dengan mengatakan : bahwa uang adalah: setiap sesuatu yang diterima
secara umum sebagai perantara pertukaran, apa pun bentuknya dan bagaimanapun
keadaannya”
[Baca : Al-Waraq
An-Naqdi: Hakikatnya – Sejarahnya – Nilainya – Hukumnya, karya Syaikh Sulaiman
bin Abdullah bin Mani’, hlm. 19, cetakan kedua. Lihat juga: Hukmu Al-Awraq
An-Naqdiyyah dalam kumpulan risalah Hai’ah Kibarul Ulama 1/30, serta Zakat
Saham, Obligasi, dan Uang Kertas, karya Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan,
hlm. 28.]
Dalam makna ini
juga terdapat teks-teks fiqh dari ulama terdahulu yang menegaskan bahwa uang
adalah apa yang disepakati untuk dijadikan alat tukar.
Di antaranya yang
datang dalam *Kitab ash-Shorf* dari *al-Mudawwanah* dari Imam Malik
rahimahullah, beliau berkata:
((وَلَوْ أَنَّ
النَّاسَ أَجَازُوا بَيْنَهُمُ الْجُلُودَ حَتَّى يَكُونَ لَهَا سِكَّةٌ وَعَيْنٌ
لَكَرِهْتُهَا أَنْ تُبَاعَ بِالذَّهَبِ وَالْوَرَقِ نَظْرَةً)).
“Seandainya manusia
membolehkan di antara mereka kulit-kulit hingga dicetak dan berlaku sebagai
mata uang, maka aku membenci bila kulit itu diperjualbelikan dengan emas atau
perak secara tempo (tidak tunai)”. (al-Mudawwanah al-Kubra, 3/5).
Juga apa yang
dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam *Majmu’ Fatawa*:
((وَأَمَّا
الدَّرَاهِمُ وَالدَّنَانِيرُ فَمَا يُعْرَفُ لَهُ حَدٌّ طَبْعِيٌّ وَلَا
شَرْعِيٌّ، بَلْ مَرْجِعُهُ إِلَى الْعَادَةِ وَالِاصْطِلَاحِ، وَذَلِكَ لِأَنَّهُ
فِي الْأَصْلِ لَا يَتَعَلَّقُ الْمَقْصُودُ بِهِ، بَلِ الْغَرَضُ أَنْ يَكُونَ
مِعْيَارًا لِمَا يَتَعَامَلُونَ بِهِ، الدَّرَاهِمُ وَالدَّنَانِيرُ لَا تُقْصَدُ
لِنَفْسِهَا، بَلْ هِيَ وَسِيلَةٌ إِلَى التَّعَامُلِ بِهَا، وَلِهَذَا كَانَتْ
أَثْمَانًا، بِخِلَافِ سَائِرِ الْأَمْوَالِ، فَإِنَّ الْمَقْصُودَ الِانْتِفَاعُ
بِهَا نَفْسِهَا، فَلِهَذَا كَانَتْ مُقَدَّرَةً بِالْأَمْوَالِ الطَّبِيعِيَّةِ
أَوِ الشَّرْعِيَّةِ، وَالْوَسِيلَةُ الْمَحْضَةُ الَّتِي لَا يَتَعَلَّقُ بِهَا
غَرَضٌ لَا بِمَادَّتِهَا وَلَا بِصُورَتِهَا يَحْصُلُ بِهَا الْمَقْصُودُ كَيْفَ
مَا كَانَتْ)).
“Adapun dirham dan
dinar, maka tidak dikenal baginya batasan secara alami ataupun syar’i,
melainkan kembalinya pada kebiasaan dan kesepakatan. Karena pada asalnya, yang maksud
tidak terkait dengan benda itu sendiri, melainkan tujuan utamanya adalah
menjadi standar dalam transaksi.
Dirham dan dinar
tidak dimaksudkan untuk dirinya, tetapi sebagai sarana untuk transaksi. Oleh
karena itu ia menjadi alat harga, berbeda dengan harta lainnya, karena harta
dimaksudkan untuk dimanfaatkan zatnya. Karena itu ia diukur dengan standar
alamiah atau syar’i. Adapun sarana murni yang tidak terkait manfaat dengan zat
atau bentuknya, tujuan tercapai dengan apa pun bentuknya” (Baca: Ibnu Taimiyah,
*Majmu’ al-Fatawa*, 19/251-252).
Dengan demikian,
dapat disimpulkan bahwa uang adalah sesuatu yang bersifat i’tibari
(konvensional), baik penetapannya datang dari aturan pemerintah atau
kesepakatan umum. Dan pendapat yang mengatakan bahwa emas dan perak diciptakan
khusus sebagai alat tukar adalah tidak benar, tidak memiliki sandaran yang
kuat, baik secara syar’i,
SEJARAH MUNCULNYA MATA UANG DAN PERKEMBANGANNYA SECARA SINGKAT
Meskipun kehidupan
manusia pada masa-masa awal sangat sederhana, namun ia tetap membutuhkan apa
yang ada pada orang lain. Maka muncullah gagasan barter, yaitu pertukaran hasil
produksi, seperti menukar buah-buahan dengan minyak, atau jasa membangun rumah
dengan jasa pertanian.
Karena sulitnya
kelangsungan hidup dengan sistem ini, lahirlah gagasan untuk menggunakan
perantara dalam pertukaran, sehingga perantara tersebut menjadi satuan perhitungan,
ukuran nilai, penyimpan kekayaan, dan memiliki kekuatan beli mutlak. Hanya saja
jenis perantara ini tidak sama pada setiap masyarakat, sebab lingkungan
memengaruhi penentuannya. Sebagian orang menggunakan kerang sebagai uang,
sebagian lagi gading gajah, sementara yang lain memilih benda selain keduanya,
dan seterusnya.
Seiring perjalanan
waktu dan perkembangan kehidupan, muncullah gagasan untuk mengganti
barang-barang tersebut sebagai alat tukar dengan sesuatu yang lebih mudah
dibawa, memiliki nilai yang lebih besar, dan memiliki kelebihan yang sesuai
dengan perkembangan zaman serta dapat diterima oleh para pelaku transaksi. Maka
mereka menggunakan logam mulia seperti emas, perak, dan tembaga sebagai alat
tukar dalam bentuk batangan dan potongan yang belum dicetak. Namun karena
jenisnya berbeda-beda dan tidak ada standar cetakan, terjadilah permainan dalam
timbangannya, serta kesulitan dalam menaksir nilainya. Hal ini mendorong
pemerintah untuk turun tangan mengatur dan memonopoli pencetakannya dengan
standar yang tidak bisa dimanipulasi, sehingga menimbulkan kepercayaan dan
menjadikannya mampu mewujudkan tujuan dari penggunaannya.
Seiring waktu dan
meluasnya interaksi antarbangsa, penggunaan uang logam yang dicetak menimbulkan
sejumlah kesulitan. Maka muncullah gagasan untuk menemukan sarana lain yang
dapat mengurangi kesulitan tersebut, yaitu ide penerbitan mata uang kertas,
yang pada gilirannya mengalami empat tahap:
Pertama: Tahap menjadikan uang kertas sebagai dokumen dan wesel atas uang logam
dari emas atau perak, yang dialihkan kepada seorang tokoh terkenal dengan
reputasi dan kedudukan finansial di negeri lain. Ia pun berkewajiban membayar
jumlah yang tertera kepada pembawanya agar dapat membeli apa yang ia inginkan
di negeri tersebut, dengan komitmen menyerahkan nilai tukarnya kepada pembawa
uang tersebut.
Kedua: Tahap tanpa menunjuk seseorang tertentu yang mengalihkannya, cukup
hanya dengan mencantumkan komitmen untuk membayar sejumlah uang yang tercantum
kepada pembawanya.
Ketiga: Tahap penerbitan uang kertas bank yang nilainya melebihi jumlah
simpanan tunai di para penukar uang, setelah uang tersebut mendapatkan
penerimaan umum.
Keempat: Tahap terputusnya hubungan antara uang kertas dan uang logam, yakni
nilai satuan uang kertas menjadi nilai yang berdiri sendiri tanpa ada kaitan
dengan nilai mata uang logam yang sebelumnya dihubungkan secara istilah
dengannya.
[Lihat: Al-Waraq
an-Naqdi karya Ibnu Mani’, halaman 23-32, Abhats Hai’ah Kibar al-‘Ulama*
1/31-32, Majallah al-Buhuts al-Fiqhiyyah al-Mu‘ashirah, edisi ke-10, tahun 1412
H, halaman 11-16, dan Zakat Saham, Obligasi, dan Uang Kertas (Zakat al-Ashum wa
as-Sanadat wa al-Waraq an-Naqdi) karya Syaikh Shalih bin Ghanim as-Sadlan,
halaman 29-31]
Kemudian
berkembanglah penggunaan cek, lalu kartu kredit, yang terbagi menjadi tiga
jenis:
Pertama: Kartu debet langsung, yaitu kartu yang memiliki saldo yang menutupi
nilai pembelian dengannya.
Kedua: Kartu kredit dengan syarat pembayaran, yaitu tidak disyaratkan
memiliki saldo, namun pemegangnya wajib melunasi dalam jangka waktu tertentu.
Ketiga: Kartu kredit terbuka, yaitu yang juga tidak disyaratkan memiliki
saldo, bahkan rekeningnya bisa minus, dan pemegangnya diberi tenggat waktu
untuk melunasi.
ILLAT RIBA DALAM DUA MATA UANG (EMAS DAN PERAK)
Riba adalah tambahan tanpa adanya imbalan yang dibenarkan; atau
mengambil kelebihan tanpa ada kompensasi yang sepadan.
[Lihat: Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 20/341, dan al-Waraq an-Naqdi karya
Ibnu Mani’ halaman 103.]
Para ulama berbeda pendapat mengenai sebab diharamkannya riba pada emas
dan perak.
Sebagian para ulama : menolak adanya illat dan
membatasi penyebab riba hanya pada keduanya secara mutlak, baik masih berupa
logam mentah, dicetak, maupun dibentuk menjadi perhiasan.
Ini adalah pendapat ahli zahir, penolak qiyas, serta Ibnu Aqil dari
kalangan Hanabilah yang berpendapat bahwa illat pada keduanya lemah dan tidak
bisa dijadikan dasar qiyas. Maka menurut mereka, tidak ada riba pada fulus,
uang kertas, atau selainnya yang dijadikan alat tukar; pengharaman riba pada
emas dan perak murni bersifat ta’abbudi.
Adapun mayoritas ulama : berusaha menemukan
illat yang bisa dijadikan kaidah umum untuk menentukan apa saja yang berlaku
hukum riba.
Namun mereka berbeda pendapat dalam menentukannya menjadi tiga
pendapat:
Pendapat pertama:
Illat riba pada emas dan perak adalah timbangan (berat) dan jenis.
Ini adalah pendapat Hanafiyah dan riwayat masyhur dari Hanabilah.
Pendapat kedua:
Illatnya adalah غَلَبَةُ
الثَّمَنِيَّةِ (dominasi fungsi sebagai harga). Maksudnya
illat terbatas (قاصِرَةٌ) pada emas dan perak saja. Adapun fulus (mata uang) meski laku
digunakan seperti emas dan perak, sifat tsamaniyyah-nya hanya bersifat
temporer, sehingga tidak berlaku riba padanya.
Ini adalah pendapat masyhur dari Imam Malik dan Imam Syafi’i.
Pendapat ketiga:
Illat riba pada emas dan perak adalah tsamaniyyah mutlak (fungsi
sebagai alat tukar).
Ini adalah riwayat dari tiga imam: Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad; serta
dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim. Maka fulus yang
laku seperti emas dan perak berlaku hukum riba atasnya menurut mereka.
Dalil pendapat pertama:
Ke 1. Sabda Rasulullah ﷺ:
((لَا
تَبِيعُوا الذَّهَبَ بِالذَّهَبِ إِلَّا وَزْنًا بِوَزْنٍ))
“Janganlah kalian menjual emas dengan emas kecuali dengan timbangan
yang sama.” (Diriwayatkan oleh Muslim (1591) (91), Ahmad no. 23965, Abu Dawud
(3353), dan Al-Baihaqi dalam "As-Sunan Al-Kubra" 5/293.).
Ke 2. Sabda Rasulullah ﷺ:
((الذَّهَبُ
بِالذَّهَبِ وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ، وَالْفِضَّةُ بِالْفِضَّةِ
وَزْنًا بِوَزْنٍ مِثْلًا بِمِثْلٍ))
“Emas dengan emas harus dengan timbangan yang sama, seimbang, dan perak
dengan perak harus dengan timbangan yang sama, seimbang.” (Diriwayatkan oleh
Muslim no. 1588, dan an-Nasa’i dalam as-Sunan al-Kubra no. 6117 ).
Ke 3. Hadis:
((بِعِ
الْجَمْعَ بِالدَّرَاهِمِ ثُمَّ ابْتَعْ بِالدَّرَاهِمِ جَنِيبًا؛ وَقَالَ فِي
الْمِيزَانِ مِثْلَ ذَلِكَ))
“Juallah kurma campuran itu dengan dirham, lalu belilah dengan dirham
itu kurma yang baik.” Beliau juga mengatakan hal yang sama tentang timbangan.
(Diriwayatkan oleh Bukhari no. 2201, 2302 dan 4245).
Mereka mengatakan: Rasulullah ﷺ menjadikan patokan adanya
riba dan wajibnya kesetaraan dan kesamaan pada sesuatu yang ditimbang.
Maka para ulama pendukung pendapat ini kemudian meluaskan kaidah bahwa
riba berlaku pada semua barang yang ditimbang seperti besi dan tembaga.
Namun bantahan terhadap pendapat ini adalah bahwa timbangan hanyalah
sifat biasa tanpa korelasi yang kuat, dan para ulama sepakat bolehnya akad
salam antara emas atau perak dengan barang yang ditimbang. Padahal itu berarti
menjual sesuatu yang ditimbang dengan yang ditimbang secara tangguh, dan
kebolehan ini melemahkan illat tersebut.
Dalil pendapat kedua:
Bahwa tsamaniyyah adalah sifat mulia, karena dengannya harta memiliki
nilai. Maka illat emas dan perak adalah tsamaniyyah. Sifat ini khusus untuk
keduanya, sehingga menjadikan illat dengan tsamaniyyah adalah sesuatu yang
tepat. Sebab, jika illatnya hanya timbangan, tentu tidak boleh akad salam emas
dan perak dengan barang yang ditimbang, karena salah satu sifat illat riba
fadhl sudah cukup untuk mengharamkan jual beli tangguh.
Namun bantahannya adalah : bahwa illat yang
terbatas (قاصِرَةٌ) tidak sah menurut mayoritas ulama. Dan pendapat ini juga rusak
secara umum (طَرْدِيٌّ) dengan keberadaan fulus, karena ia pun alat tukar. Dan rusak
secara ‘aks (khusus) dengan adanya perhiasan, sebab meski bukan alat tukar, ia
tetap terkena hukum riba bila ditukar dengan emas atau perak.
AT-TARJIH :
Yang rajih adalah pendapat ketiga, karena
alasan dengan dasar fungsi sebagai alat tukar (tsamaniyyah) adalah alasan
dengan sifat yang sesuai, sebab tujuan dari alat tukar adalah menjadi standar
bagi harta untuk mengetahui ukurannya dan nilainya, bukan untuk dimanfaatkan
zatnya. Adapun alasan dengan dasar dominasi tsamaniyyah adalah alasan dengan
sifat yang terbatas, dan alasan yang terbatas tidak sah dijadikan alasan
menurut pilihan mayoritas ulama. Sedangkan alasan dengan dasar timbangan tidak
sah, karena para ulama sepakat atas bolehnya melakukan salam dengan menggunakan
emas dan perak terhadap barang-barang yang ditimbang. Seandainya alasannya
adalah timbangan, tentu hal itu tidak diperbolehkan.
(Lihat: Bada’i’ Ash-Shana’i’ 5/183, Al-Mudawwanah 3/395-396,
Bidayat Al-Mujtahid 2/129-133, Al-Majmu’ 9/393, Mughni Al-Muhtaj 2/25, Nihayat
Al-Muhtaj 3/433, Al-Mughni karya Ibnu Qudamah 6/54-56, Majmu’ Al-Fatawa
29/470-472, Al-Waraq An-Naqdi karya Ibnu Mani’ hlm. 83-87, Ahkam Al-Awraq
An-Naqdiyyah wa At-Tijariyyah karya Al-Ju‘aid hlm. 113-169).
APAKAH MATA UANG KERTAS ADALAH ALAT TUKAR INDEPENDENT, SEHINGGA BERLAKU RIBA EMAS DAN PERAK?
Apakah uang kertas merupakan alat tukar yang berdiri sendiri dan
memiliki hukum yang sama dengan emas dan perak dalam berlakunya riba
sebagaimana berlaku pada keduanya?
Pertanyaan ini dijawab oleh teori-teori yang telah dikemukakan tentang
uang kertas.
Uang kertas tidak dikenal oleh para fuqaha terdahulu karena belum
beredar di zaman mereka. Namun setelah kemunculannya dan beredarnya di
negeri-negeri Islam, para ulama dan pakar mulai menelitinya.
Pandangan mereka berbeda tentang hakikatnya, sehingga perbedaan itu juga
berimplikasi pada hukum yang ditetapkan atasnya. Keseluruhannya dapat dirangkum
dalam lima pendapat, dan setiap pendapat dapat dianggap sebagai teori tersendiri
dengan alasan, dalil, dan konsekuensi hukumnya.
===
PENDAPAT PERTAMA:
Uang kertas adalah surat berharga, atau dokumen utang atas pihak yang
menerbitkannya.
Alasan dan argumentasu pendapat ini:
1]. Adanya janji jaminan tertulis pada setiap lembar uang kertas
untuk membayar nilainya kepada pembawanya ketika diminta.
2]. Keharusan adanya cadangan emas atau perak, atau keduanya sekaligus,
di gudang penerbitnya, yang menunjukkan bahwa nilainya bersumber dari cadangan
tersebut.
3]. Tidak adanya nilai intrinsik (القِيمَةُ الذَّاتِيَّةُ) pada uang kertas, melainkan hanya
menunjukkan angka tertentu, yang berarti yang menjadi acuan adalah cadangan
yang menutupinya (yang meng-cover-nya).
4]. Adanya jaminan dari otoritas penerbit bahwa nilainya akan dibayar
saat uang tersebut dibatalkan atau tidak lagi berlaku.
Konsekuensi pendapat ini:
1]. Tidak bolehnya menukar uang kertas, karena menurut teori ini
uang kertas hanyalah dokumen utang atas sesuatu yang tidak hadir di majelis
akad, sementara salah satu syarat sah الصَّرْفُ (jual beli
valuta) adalah serah terima di majelis akad.
2]. Tidak bolehnya melakukan akad salam dengan uang kertas pada hal-hal
yang sah dilakukan salam, karena syarat sah salam menurut jumhur ulama adalah
diserahkannya modal salam di majelis akad. Jika uang kertas hanyalah dokumen
utang, maka tidak sah dijadikan alat pembayaran, dan berarti menjadi jual beli
utang dengan utang.
3]. Tidak sahnya menjual sesuatu yang berada dalam tanggungan baik
berupa barang maupun harga dengan uang kertas, karena uang kertas dianggap
dokumen utang yang gaib, sehingga termasuk dalam kategori menjual utang dengan
utang (بَيْعُ الكَالِئِ بِالكَلِئ).
4]. Uang kertas tunduk pada perbedaan pendapat ulama mengenai zakat
utang, apakah wajib zakat sebelum diterima atau sesudahnya. Maka menurut mereka
yang berpendapat zakat utang tidak wajib sebelum diterima, uang kertas juga
tidak wajib dizakati karena tidak mungkin menerima pengganti dari dokumen
tersebut.
5]. Berdasarkan teori ini, transaksi dengan uang kertas dianggap sebagai
bentuk hawalah (pemindahan utang) secara mu’athah (tanpa ucapan ijab qabul)
kepada pihak yang menerbitkannya. Dalam masalah sahnya akad mu’athah terdapat
perbedaan pendapat di kalangan ulama. Dalam mazhab Syafi’i yang masyhur, akad
mu’athah tidak sah secara mutlak, karena disyaratkan ijab dan qabul dengan
lafaz.
Kritik terhadap teori ini:
1]. Janji tertulis pada setiap lembar uang kertas untuk membayar
nilainya kepada pembawanya ketika diminta pada hakikatnya tidak bermakna, melainkan
sekadar tulisan di atas kertas yang merupakan sisa dari salah satu fase
perkembangan uang kertas.
2]. Menjadikan keharusan adanya cadangan emas atau perak sebagai bukti
bahwa uang kertas adalah surat utang tidaklah benar, sebab cadangan bisa saja berupa
surat-surat berharga, properti, minyak bumi, atau aset lain yang menopang
perekonomian.
3]. Adapun ketiadaan nilai intrinsik pada uang kertas, maka selama telah
diterima secara umum sebagai alat tukar, tidak ada perbedaan apakah nilainya
berasal dari zatnya sendiri atau dari luar dirinya.
4]. Adapun jaminan dari pemerintah sebagai otoritas penerbit uang kertas
atas nilainya ketika uang tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi, serta
larangan untuk memperdagangkannya, inilah sebenarnya yang menjadi dasar
keabsahan uang kertas dan sumber kepercayaan masyarakat dalam menggunakannya
serta menjadikannya alat tukar.
Nilai uang kertas bukanlah berasal dari substansinya sendiri, melainkan
dari jaminan pemerintah terhadapnya. Hal ini juga tidak dapat dijadikan dalil
bahwa uang kertas hanyalah berupa surat utang dari pihak penerbitnya, selama pembayaran
dengan emas atau perak secara langsung pada saat diminta memang mustahil untuk
dilakukan.
Selain itu, telah menjadikan uang kertas sebagai surat utang menimbulkan
kesempitan, kesulitan, dan beban berat bagi masyarakat dalam transaksi mereka,
yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariat.
===
PENDAPAT KE DUA :
Mereka menyatakan
bahwa uang kertas merupakan bagian dari barang dagangan (عُرُوضُ التِّجَارَةِ), sehingga memiliki sifat dan hukum yang sama sebagaimana
barang dagangan lainnya.
Dasar pemikiran
dari pendapat ini adalah sebagai berikut:
1]. Uang
kertas adalah harta yang bernilai, diminati, dapat disimpan, dan digunakan
untuk membeli, meskipun substansi dan materialnya berbeda dengan emas dan
perak.
2]. Uang kertas
bukan termasuk barang yang ditakar atau ditimbang, dan tidak memiliki kesamaan
dengan jenis-jenis harta ribawi yang disebutkan secara tegas dalam nash.
3]. Angka nominal
dan nama yang tertulis pada uang kertas hanyalah kesepakatan sosial yang
bersifat istilahi, tanpa mengubah hakikatnya sebagai harta bernilai yang bukan
berasal dari jenis emas, perak, atau harta ribawi lainnya.
4]. Tidak adanya
kesamaan antara uang kertas dengan uang logam dalam hal jenis dan cara
penilaiannya. Dari segi jenis, uang kertas adalah kertas, sedangkan uang logam
merupakan logam mulia seperti emas, perak, atau lainnya. Dari segi penilaian,
uang logam ditimbang, sementara kertas tidak memiliki kaitan dengan timbangan
maupun takaran.
Konsekuensi dari
pendapat ini:
1].
Tidak boleh melakukan akad salam dengan uang kertas bagi mereka yang
mensyaratkan modal salam berupa emas, perak, atau jenis mata uang logam lain,
karena menurut pendapat ini uang kertas termasuk barang dagangan, bukan alat
tukar (tsaman).
2]. Riba dalam
kedua bentuknya tidak berlaku pada uang kertas.
Oleh karena itu,
boleh memperjualbelikan uang kertas sejenis dalam jumlah yang sama maupun
berbeda, baik secara tunai maupun tempo, selama salah satu pihak telah menerimanya
pada saat akad (قَبْضُ
أَحَدِ العِوَضَيْنِ فِي المَجْلِسِ).
3].
Zakat tidak wajib atas uang kertas kecuali jika disiapkan untuk perdagangan,
sebab syarat wajib zakat pada barang dagangan adalah adanya niat untuk
diperdagangkan.
Kritik terhadap
pendapat ini:
1].
Menjadikan uang kertas sebagai barang dagangan adalah bentuk kelalaian, sebab
hal itu akan membuka lebar pintu praktik riba dan menggugurkan kewajiban zakat
atas sebagian besar kekayaan yang dimiliki masyarakat pada masa kini.
2]. Adapun
perbedaan material uang kertas dengan emas dan perak, hal ini bergantung pada penetapan
illat (sebab hukum) riba dalam emas dan perak. Jika illat-nya adalah sifat
tsamaniyyah (fungsi sebagai alat tukar) sebagaimana pendapat mayoritas ulama
muta’akhkhirīn, maka tidak ada perbedaan yang signifikan
antara keduanya karena keduanya sama-sama berfungsi sebagai alat tukar.
3]. Mengenai
anggapan bahwa nilai nominal uang kertas hanyalah sebutan majazi, hal ini dapat
dijawab bahwa penamaan uang kertas dengan istilah “rupiah”, “dollar”, “riyal”,
“pound”, atau lainnya telah menjadi realita kebenaran dalam tradisi masyarakat
(حَقَائِقُ
عُرْفِيَّةٌ), bukan majazi (kata kiasan). Terlebih
pada masa sekarang, emas dan perak telah hilang dari peredaran sebagai mata
uang, dan posisi alat tukar sepenuhnya digantikan oleh uang kertas.
4]. Sedangkan
mengenai klaim bahwa tidak ada kesamaan antara uang kertas dan uang logam dalam
jenis dan penilaian, hal ini kembali kepada pembahasan illat riba dalam emas
dan perak. Jika illat tersebut adalah tsamaniyyah (mata uang/ standar harga),
sebagaimana akan dijelaskan kemudian, maka justru titik persamaan keduanya
jelas ada.
====
PENDAPAT KE TIGA:
Uang kertas
dipandang seperti fulus dalam hal munculnya sifat sebagai alat tukar padanya.
Karena itu, segala ketentuan hukum yang berlaku pada fulus terkait riba, zakat,
dan akad salam juga berlaku pada uang kertas.
Penjelasan
pendapat ini:
Para pendukung
pendapat ini beralasan bahwa uang kertas merupakan mata uang yang berlaku
karena angka nominal yang tertera padanya, sebagaimana dinar dan dirham berlaku
dengan nilai yang tertera, meskipun uang kertas bukan emas maupun perak. Dengan
demikian, uang kertas disamakan dengan fulus. Hanya saja, mereka berbeda
pandangan mengenai implikasi hukumnya.
Konsekuensi dari
pendapat ini:
Para pengusung
pendapat ini berbeda dalam menempatkan uang kertas terhadap emas dan perak.
Sebagian tidak menyamakannya dengan emas dan perak sama sekali, sehingga tidak
mewajibkan zakat atasnya kecuali bila diniatkan untuk perdagangan, dan tidak
berlaku padanya riba dalam kedua bentuknya.
Sebagian lain
merinci: mereka menyamakannya dengan emas dan perak
dalam hal kewajiban zakat dan berlakunya riba nasi’ah, tetapi tidak
menyamakannya dalam hal riba fadhl. Dengan demikian, mereka membolehkan menjual
sebagian uang kertas dengan sebagian lainnya atau dengan emas dan perak dalam
kondisi tidak seimbang asal dilakukan secara tunai.
Kritik terhadap
teori ini:
Ke 1. Penyamaan uang kertas dengan fulus adalah qiyas yang tidak tepat,
dengan beberapa alasan berikut:
A]. Uang kertas
pada masa kini lebih kuat menempati fungsi sebagai alat tukar dibandingkan
fulus.
B]. Uang kertas
tidak memiliki nilai apabila dibatalkan peredarannya atau kehilangan
kepercayaan, sedangkan fulus masih memiliki nilai material meskipun tidak
berlaku, sehingga lebih mirip dengan barang dagangan.
C]. Uang kertas,
dalam hal nilainya yang tinggi, menyerupai emas dan perak, bahkan kadang
melebihinya, sedangkan fulus hanya dipakai untuk transaksi barang-barang kecil
bernilai rendah yang umum dibutuhkan. Hal inilah yang dijadikan alasan tidak diberlakukannya
riba fadhl pada fulus, berbeda dengan uang kertas.
D]. Uang kertas
memiliki kelebihan dibanding fulus, karena dengannya (atau dengan emas dan
perak) dapat dilakukan transaksi besar bernilai tinggi, sedangkan praktik riba
biasanya terjadi pada transaksi yang melibatkan nilai besar.
Ke 2. Andaipun disamakan dengan fulus, para ulama sendiri berbeda dalam
menilai hakikat fulus.
Mereka terbagi dua
kelompok sesuai dua faktor yang memengaruhinya: faktor asalnya sebagai barang
dagangan (’urudh) dan faktor status barunya sebagai alat tukar (الثَّمَنِيَّة).
Sebagian ulama
memandang asalnya, yaitu barang dagangan, sehingga membedakannya dengan emas
dan perak, lalu menetapkan baginya hukum sebagai barang dagangan dan menafikan
hukum emas dan perak terkait riba, shorf (money changer), salam, zakat, dan
lainnya. Pandangan ini dianut oleh imam yang empat.
Sementara sebagian
ulama lain memandang realitasnya sebagai mata uang, sehingga menetapkan padanya
hukum yang sama dengan emas dan perak dalam riba, sharf, salam, zakat, dan
lainnya. Pendapat ini diikuti oleh Abu Khattab dari kalangan Hanabilah serta
sebagian ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah.
===
PENDAPAT KE EMPAT:
Uang kertas
merupakan pengganti dari emas dan perak yang ditinggalkan penggunaannya, dan
hukum pengganti sama dengan hukum asal yang digantikannya secara mutlak.
Pendapat ini dipilih oleh Syaikh Shalih bin Ghanim As-Sadlan
(Lihat: Zakat
al-Ashum wa as-Sanadat wa al-Waroq an-Naqdiy, hlm. 53–54).
Penjelasan
pendapat ini:
Para pendukung pendapat
ini beralasan bahwa uang kertas menempati posisi emas dan perak sebagai alat
tukar, menggantikan keduanya, dan berlaku sebagaimana keduanya, dengan
bergantung pada cadangan yang dahulu berupa emas atau perak.
Dalam hukum
syariat, yang menjadi ukuran adalah tujuan dan makna, bukan sekadar lafaz atau
bentuk.
Penguat pandangan
ini adalah kenyataan bahwa jika uang kertas kehilangan sifatnya sebagai alat
tukar, maka ia hanyalah potongan kertas yang tidak bernilai sama sekali setelah
dibatalkan penggunaannya. Karena itu, uang kertas memiliki hukum yang sama
dengan emas dan perak secara mutlak, sebab apa yang berlaku pada asal, berlaku
pula pada penggantinya.
Konsekuensi dari
pendapat ini:
Ke 1. Uang kertas
berlaku padanya hukum riba dalam kedua bentuknya.
Ke 2. Zakat wajib
padanya ketika mencapai nisab, jika syarat-syarat zakat terpenuhi. Dengan
catatan, jika ia dianggap pengganti emas, maka zakat baru wajib bila nilainya
mencapai nisab emas, dan jika dianggap pengganti perak, maka zakat wajib bila
nilainya mencapai nisab perak.
Ke 3. Boleh
digunakan dalam akad salam.
Ke 4. Uang
kertas—tanpa melihat bentuk, nama, atau lembaga penerbitnya—dianggap bercabang
dari dua jenis: emas dan perak. Jika ditopang emas, maka hukumnya seperti emas;
jika ditopang perak, maka hukumnya seperti perak dalam masalah sharf
(pertukaran uang).
Ke 5. Jika ditukar
antara dua jenis uang kertas yang sama-sama bercabang dari emas atau dari
perak, maka harus sama nilainya dan dilakukan secara tunai. Jika ditukar antara
uang kertas bercabang dari emas dengan uang kertas bercabang dari perak, maka
boleh berbeda nilainya, tetapi tetap harus dilakukan secara tunai.
Ke 6. Jika ada dua
jenis uang kertas yang berbeda, salah satunya bercabang dari emas dan yang lain
bercabang dari perak, maka boleh berbeda nilainya asalkan dilakukan secara
tunai.
Kritik terhadap
teori ini:
Secara praktis,
teori ini adalah yang paling mendekati kebenaran, meskipun masih ada catatan.
Para pengusungnya
mendasarkan pandangan pada anggapan bahwa uang kertas bercabang dari emas atau
perak yang disimpan di gudang penerbitnya. Padahal, realitas saat ini
menunjukkan bahwa cadangan uang kertas tidak harus berupa emas atau perak,
melainkan bisa berupa aset lain seperti properti, minyak bumi, atau lainnya.
Bahkan, sebagian besar uang kertas pada hakikatnya hanyalah dokumen bernilai
karena ditetapkan negara sebagai alat pembayaran yang sah dan diterima
masyarakat, bukan karena ada cadangan emas atau perak di belakangnya.
===
PENDAPAT KE LIMA:
Uang kertas adalah
alat tukar yang berdiri sendiri (independen) sebagaimana emas dan perak serta mata uang lain
yang diterima secara umum sebagai perantara pertukaran antar manusia. Mata uang
kertas dipandang sebagai jenis-jenis yang berbeda sesuai dengan lembaga
penerbitnya.
Penjelasan teori
ini:
Ke 1. Kepercayaan
penuh masyarakat terhadap uang kertas menjadikannya layak sebagai tempat
penyimpanan nilai, alat beli, dan ukuran harga.
Ke 2. Legalitasnya
diperoleh melalui penetapan negara dan perlindungan hukum, serta pengakuan
masyarakat, sehingga memberinya kekuatan sebagai alat pembayaran yang sah.
Ke 3. Pendapat yang
kuat dalam masalah ini adalah bahwa illat (sebab hukum) riba pada emas dan
perak adalah (الثَّمَنِيَّةُ) (fungsi sebagai alat tukar). Dengan pengakuan bahwa uang
kertas juga memiliki nilai tukar (الثَّمَنِيَّةُ), maka ia sejajar dengan
emas dan perak.
Ke 4. Ada kemiripan
nyata antara uang kertas dengan emas dan perak dalam hal (الثَّمَنِيَّةُ), dan
dalam potensi timbulnya kezhaliman, kerugian, serta kekacauan dalam transaksi
jika keduanya diperlakukan hanya sebagai barang dagangan biasa. Karena itu,
uang kertas diberi hukum sebagai alat tukar, bukan sekadar barang dagangan.
Ke 5. Telah jelas
kelemahan teori yang menyatakan bahwa uang kertas hanyalah surat berharga, atau
dianggap sebagai barang dagangan, atau cabang dari emas dan perak, atau
disamakan dengan fulus yang memiliki hukum tersendiri. Dengan dasar ini, uang
kertas adalah alat tukar berdiri sendiri yang memiliki hukum sama dengan emas
dan perak, yaitu berlaku padanya hukum riba dengan kedua jenisnya, berdasarkan
qiyas, karena illat ribanya sama, yaitu sebagai alat tukar (الثَّمَنِيَّةُ).
Konsekuensi dari
pendapat ini:
Ke 1. Riba dengan kedua bentuknya berlaku pada uang kertas sebagaimana
berlaku pada emas, perak, dan mata uang lainnya.
Ke 2. Tidak boleh menjual jenis uang kertas yang sama sebagian dengan
sebagian lainnya atau dengan jenis alat tukar lain seperti emas dan perak
secara tangguh (tidak tunai).
Ke 3. Tidak boleh menjual jenis uang kertas yang sama sebagian dengan
sebagian lainnya secara berbeda nilainya, baik secara tangguh maupun tunai.
Ke 4. Boleh menukar uang kertas yang berbeda jenisnya dengan nilai yang
berbeda, asalkan dilakukan secara tunai.
Ke 5. Zakat wajib pada uang kertas apabila nilainya mencapai nisab emas atau
perak yang lebih rendah, dengan syarat-syarat zakat lainnya terpenuhi.
Ke 6. Boleh
digunakan dalam akad salam.
[Referensi :
Lihat rincian dan
pembahasan pendapat-pendapat ini dalam: Al-Awraq an-Naqdiyyah: Haqiqatuhā wa Hukmuhā karya Syaikh Ibnu Mani’,
Majalah al-Buhuts al-Fiqhiyyah al-Mu‘ashirah, edisi 10, tahun ke-3, hlm. 21–34;
Al-Waroq an-Naqdiy karya Syaikh Ibnu Mani’, hlm. 45–81; *Zakat al-Asyhum wa
as-Sanadat wa al-Waraq an-Naqdiy* karya Syaikh As-Sadlan, hlm. 38–54; *Ahkam
al-Awraq an-Naqdiyyah wa at-Tijariyyah fi al-Fiqh al-Islami* karya al-Ju‘ayd,
hlm. 175–230; *Abhats Haiah Kibar al-Ulama*, 1/35–52; *Majallah Majma‘ al-Fiqh
al-Islami*, 5/3/1681–1686; *Awrāq an-Nuqūd wa Nisāb al-Waraq an-Naqdiy* karya
Muhammad Ali al-Hariri, dalam *Majallah al-Buhuts al-Islamiyyah*, edisi 39,
hlm. 311–325.]
===
KESIMPULAN DARI LIMA PENDAPAT DI ATAS:
Pendapat ke 1. Uang kertas dianggap sebagai surat utang pada lembaga penerbitnya.
Pendapat ke 2. Uang kertas dianggap sebagai barang dagangan.
Pendapat ke 3. Uang kertas dianggap sama dengan fulus yang memperoleh nilai tukar
(*tsamaniyyah*) secara tidak asli.
Pendapat ke 4. Uang kertas dianggap sebagai pengganti emas dan perak.
Pendapat ke 5. Uang kertas dianggap sebagai alat tukar yang berdiri sendiri dengan
hukum yang sama seperti emas dan perak.
===
AT-TARJIIH
Pendapat yang
rajih adalah pendapat terakhir (ke 5), yaitu : bahwa
uang kertas adalah alat tukar yang berdiri sendiri dan memiliki hukum yang sama
dengan emas dan perak dalam berlakunya riba—adalah yang benar, sebagaimana
telah dijelaskan dengan dalil-dalil yang mendukungnya.
APAKAH UANG KERTAS ITU SATU JENIS ATAU BANYAK JENISNYA ?
Apakah
uang kertas itu banyak jenisnya sesuai dengan perbedaan lembaga penerbit,
ataukah ia dihukumi sebagai satu jenis saja?
Hasil
pendapat para ulama kontemporer dalam masalah ini terbagi menjadi tiga:
Pendapat pertama:
Uang
kertas dianggap sebagai mata uang yang banyak jenisnya, sesuai dengan perbedaan
lembaga penerbitnya. Artinya, uang kertas Indonesia adalah satu jenis, uang
kertas Saudi Arabia adalah jenis lain, dan begitu pula setiap mata uang kertas
adalah jenis tersendiri.
Jadi,
uang kertas termasuk banyak jenis yang berbeda-beda sesuai penerbitnya.
Pendapat
ini dianut oleh mayoritas ulama dan telah ditetapkan oleh Majelis Hai’ah Kibar
al-Ulama dan Majelis Majma’ Fiqh Islami.
Hal
ini didasarkan pada pendapat yang kuat bahwa uang kertas adalah alat tukar yang
berdiri sendiri, sebagaimana emas, perak, dan selainnya.
Pendapat kedua:
Uang
kertas yang pada asalnya bersumber dari perak dianggap sebagai satu jenis, dan
yang bersumber dari emas dianggap sebagai satu jenis lainnya.
Pendapat
ini dikemukakan oleh Syaikh Abdul Razzaq Afifi dan Syaikh Shalih bin Ghanim
as-Sadlan.
Hal
ini didasarkan pada anggapan bahwa uang kertas adalah pengganti dari emas atau
perak yang sebelumnya digunakan sebagai alat tukar. Maka, segala ketentuan yang
berlaku pada sesuatu yang diganti juga berlaku pada penggantinya.
Pendapat
ketiga:
Satuan
mata uang—baik berupa kertas maupun logam—dianggap sebagai satu jenis apabila
keduanya sepadan, seperti riyal dan dinar, dan sejenisnya.
Pendapat
ini dikemukakan oleh Syaikh Mustafa az-Zarqa.
Berdasarkan
pendapat ini, maka tidak boleh menjual tiga riyal Saudi dalam bentuk uang
kertas dengan satu riyal Saudi dalam bentuk perak.
****
FATWA MAJELIS HAI’AH KIBARUL ULAMA SAUDI ARABIA
Keputusan Majelis
Hai’ah Kibarul Ulama (Dewan Ulama Besar) Kerajaan Arab Saudi
Teks keputusan
Majelis Hai’ah Kibarul Ulama Kerajaan Arab Saudi nomor (10) tanggal 16/4/1393 H
tentang uang kertas:
Majelis Hai’ah
Kibarul Ulama dengan suara mayoritas memutuskan sebagai berikut:
((... بِنَاءً عَلَى
أَنَّ النَّقْدَ هُوَ كُلُّ شَيْءٍ يَجْرِي اعْتِبَارُهُ فِي الْعَادَةِ أَوِ الِاصْطِلَاحِ
بِحَيْثُ يُلْقَى قَبُولًا عَامًّا كَوَسِيطٍ لِلتَّبَادُلِ كَمَا أَشَارَ إِلَى ذَلِكَ
شَيْخُ الْإِسْلَامِ ابْنُ تَيْمِيَّةَ حَيْثُ قَالَ: "وَأَمَّا الدِّرْهَمُ وَالدِّينَارُ
فَمَا يُعْرَفُ لَهُ حَدٌّ طَبِيعِيٌّ وَلَا شَرْعِيٌّ، بَلْ مَرْجِعُهُ إِلَى الْعَادَةِ
وَالِاصْطِلَاحِ. وَذَلِكَ لِأَنَّهُ فِي الْأَصْلِ لَا يَتَعَلَّقُ الْمَقْصُودُ بِهِ،
بَلِ الْغَرَضُ أَنْ يَكُونَ مِعْيَارًا لِمَا يَتَعَامَلُونَ بِهِ. وَالدَّرَاهِمُ
وَالدَّنَانِيرُ لَا تُقْصَدُ لِنَفْسِهَا، بَلْ هِيَ وَسِيلَةٌ إِلَى التَّعَامُلِ
بِهَا. وَلِهَذَا كَانَتْ أَثْمَانًا – إِلَى أَنْ قَالَ – وَالْوَسِيلَةُ الْمَحْضَةُ
الَّتِي لَا يَتَعَلَّقُ بِهَا غَرَضٌ لَا بِمَادَّتِهَا وَلَا بِصُورَتِهَا يَحْصُلُ
بِهَا الْمَقْصُودُ كَيْفَمَا كَانَتْ". [مَجْمُوعُ فَتَاوِي شَيْخِ الْإِسْلَامِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ
29/251].
وَذَكَرَ نَحْوَ ذَلِكَ الْإِمَامُ مَالِكٌ
فِي الْمُدَوَّنَةِ مِنْ كِتَابِ الصَّرْفِ حَيْثُ قَالَ: "وَلَوْ أَنَّ النَّاسَ
أَجَازُوا بَيْنَهُمُ الْجُلُودَ حَتَّى يَكُونَ لَهَا سِكَّةٌ وَعَيْنٌ لَكَرِهْتُ
أَنْ تُبَاعَ بِالذَّهَبِ وَالْوَرِقِ نَسِيئَةً".
وَحَيْثُ إِنَّ الْوَرَقَ النَّقْدِيَّ
يُلْقَى قَبُولًا عَامًّا فِي التَّدَاوُلِ وَيَحْمِلُ خَصَائِصَ الْأَثْمَانِ مِنْ
كَوْنِهِ مِقْيَاسًا لِلْقِيَمِ، وَمُسْتَوْدَعًا لِلثَّرْوَةِ، وَبِهِ الْإِبْرَاءُ
الْعَامُّ، وَحَيْثُ ظَهَرَ مِنَ الْمُنَاقَشَةِ مَعَ الْمُتَخَصِّصِينَ فِي إِصْدَارِ
الْوَرَقِ النَّقْدِيِّ وَالْعُلُومِ الِاقْتِصَادِيَّةِ أَنَّ صِفَةَ السِّنْدِيَّةِ
فِيهَا غَيْرُ مَقْصُودَةٍ، وَالْوَاقِعُ يَشْهَدُ بِذَلِكَ وَيُؤَكِّدُهُ كَمَا ظَهَرَ
أَنَّ الْغِطَاءَ لَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ شَامِلًا لِجَمِيعِ الْأَوْرَاقِ النَّقْدِيَّةِ،
بَلْ يَجُوزُ فِي عُرْفِ جِهَاتِ الْإِصْدَارِ أَنْ يَكُونَ جُزْءًا مِنْ عُمْلَتِهَا
بِدُونِ غِطَاءٍ، وَأَنَّ الْغِطَاءَ لَا يَلْزَمُ أَنْ يَكُونَ ذَهَبًا بَلْ يَجُوزُ
أَنْ يَكُونَ مِنْ أُمُورٍ عِدَّةٍ كَالذَّهَبِ وَالْعُمْلَاتِ الْوَرَقِيَّةِ الْقَوِيَّةِ،
وَأَنَّ الْفِضَّةَ لَيْسَتْ غِطَاءً كُلِّيًّا أَوْ جُزْئِيًّا لِأَيِّ عُمْلَةٍ فِي
الْعَالَمِ. كَمَا اتَّضَحَ أَنَّ مُقَوِّمَاتِ الْوَرَقَةِ النَّقْدِيَّةِ قُوَّةً
وَضَعْفًا مُسْتَمَدَّةٌ مِمَّا تَكُونُ عَلَيْهِ حُكُومَتُهَا مِنْ حَالٍ اقْتِصَادِيَّةٍ
فَتَقْوَى بِقُوَّةِ دَوْلَتِهَا، وَتَضْعُفُ بِضَعْفِهَا، وَأَنَّ الْخَامَاتِ الْمَحَلِّيَّةَ
كَالْبِتْرُولِ وَالْقُطْنِ وَالصُّوفِ لَمْ تُعْتَبَرْ حَتَّى الْآنَ لَدَى أَيٍّ
مِنْ جِهَاتِ الْإِصْدَارِ غِطَاءً لِلْعُمْلَاتِ الْوَرَقِيَّةِ؛ وَحَيْثُ إِنَّ الْقَوْلَ
بِاعْتِبَارِ مُطْلَقِ الثَّمَنِيَّةِ عِلَّةً فِي جَرَيَانِ الرِّبَا فِي النَّقْدَيْنِ
هُوَ الْأَظْهَرُ دَلِيلًا وَالْأَقْرَبُ إِلَى مَقَاصِدِ الشَّرِيعَةِ وَهُوَ إِحْدَى
الرِّوَايَاتِ عَنِ الْأَئِمَّةِ مَالِكٍ وَأَبِي حَنِيفَةَ وَأَحْمَدَ، قَالَ أَبُو
بَكْرٍ: رَوَى ذَلِكَ عَنْ أَحْمَدَ جَمَاعَةٌ، كَمَا هُوَ اخْتِيَارُ بَعْضِ الْمُحَقِّقِينَ
مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ كَشَيْخِ الْإِسْلَامِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ وَتِلْمِيذِهِ ابْنِ
الْقَيِّمِ وَغَيْرِهِمَا؛ وَحَيْثُ إِنَّ الثَّمَنِيَّةَ مُتَحَقِّقَةٌ بِوُضُوحٍ
فِي الْأَوْرَاقِ النَّقْدِيَّةِ.
لِذَلِكَ كُلِّهِ فَإِنَّ هَيْئَةَ كِبَارِ
الْعُلَمَاءِ تُقَرِّرُ بِأَكْثَرِيَّتِهَا:
أَنَّ الْوَرَقَ النَّقْدِيَّ يُعْتَبَرُ
نَقْدًا قَائِمًا بِذَاتِهِ كَقِيَامِ النَّقْدِيَّةِ فِي الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ وَغَيْرِهِمَا
مِنَ الْأَثْمَانِ، وَأَنَّهُ أَجْنَاسٌ تَتَعَدَّدُ بِتَعَدُّدِ جِهَاتِ الْإِصْدَارِ؛
بِمَعْنَى أَنَّ الْوَرَقَ النَّقْدِيَّ السُّعُودِيَّ جِنْسٌ، وَأَنَّ الْوَرَقَ النَّقْدِيَّ
الْأَمْرِيكِيَّ جِنْسٌ؛ وَهَكَذَا كُلُّ عُمْلَةٍ وَرَقِيَّةٍ جِنْسٌ مُسْتَقِلٌّ
بِذَاتِهِ، وَأَنَّهُ يَتَرَتَّبُ عَلَى ذَلِكَ الْأَحْكَامُ الشَّرْعِيَّةُ الْآتِيَةُ:
أَوَّلًا: جَرَيَانُ الرِّبَا بِنَوْعَيْهِ
فِيهَا كَمَا يَجْرِي الرِّبَا بِنَوْعَيْهِ فِي النَّقْدَيْنِ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ
وَفِي غَيْرِهِمَا مِنَ الْأَثْمَانِ كَالْفُلُوسِ، وَهَذَا يَقْتَضِي مَا يَلِي:
1- لَا يَجُوزُ بَيْعُ
بَعْضِهِ بِبَعْضٍ أَوْ بِغَيْرِهِ مِنَ الْأَجْنَاسِ النَّقْدِيَّةِ الْأُخْرَى مِنْ
ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ أَوْ غَيْرِهِمَا نَسِيئَةً مُطْلَقًا. فَلَا يَجُوزُ مَثَلًا
بَيْعُ الدُّولَارِ الْأَمْرِيكِيِّ بِخَمْسَةِ أَرْيِلَةٍ سُعُودِيَّةٍ أَوْ أَقَلَّ
أَوْ أَكْثَرَ نَسِيئَةً.
2- لَا يَجُوزُ بَيْعُ
الْجِنْسِ الْوَاحِدِ مِنْهُ بَعْضِهِ بِبَعْضٍ مُتَفَاضِلًا؛ سَوَاءٌ كَانَ ذَلِكَ
نَسِيئَةً أَوْ يَدًا بِيَدٍ. فَلَا يَجُوزُ مَثَلًا بَيْعُ عَشَرَةِ أَرْيِلَةٍ سُعُودِيَّةٍ
وَرَقٍ بِأَحَدَ عَشَرَ رِيَالًا سُعُودِيًّا وَرَقًا.
3- يَجُوزُ بَيْعُ
بَعْضِهِ بِبَعْضٍ مِنْ غَيْرِ جِنْسِهِ مُطْلَقًا إِذَا كَانَ يَدًا بِيَدٍ. فَيَجُوزُ
بَيْعُ اللِّيرَةِ السُّورِيَّةِ أَوِ اللُّبْنَانِيَّةِ بِرِيَالٍ سُعُودِيٍّ وَرَقًا
كَانَ أَوْ فِضَّةً أَوْ أَقَلَّ مِنْ ذَلِكَ أَوْ أَكْثَرَ، وَبَيْعُ الدُّولَارِ
الْأَمْرِيكِيِّ بِثَلَاثَةِ أَرْيِلَةٍ سُعُودِيَّةٍ أَوْ أَقَلَّ أَوْ أَكْثَرَ إِذَا
كَانَ ذَلِكَ يَدًا بِيَدٍ، وَمِثْلُ ذَلِكَ مِنَ الْجَوَازِ بَيْعُ الرِّيَالِ السُّعُودِيِّ
الْفِضَّةِ بِثَلَاثَةِ أَرْيِلَةٍ سُعُودِيَّةٍ وَرَقٍ أَوْ أَقَلَّ أَوْ أَكْثَرَ
يَدًا بِيَدٍ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يُعْتَبَرُ بَيْعَ جِنْسٍ بِغَيْرِ جِنْسِهِ، وَلَا أَثَرَ
لِمُجَرَّدِ الِاشْتِرَاكِ فِي الِاسْمِ مَعَ الِاخْتِلَافِ فِي الْحَقِيقَةِ.
ثَانِيًا: وُجُوبُ زَكَاتِهَا إِذَا بَلَغَتْ
قِيمَتُهَا أَدْنَى النِّصَابَيْنِ مِنْ ذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ، أَوْ كَانَتْ تُكَمِّلُ
النِّصَابَ مَعَ غَيْرِهَا مِنَ الْأَثْمَانِ وَالْعُرُوضِ الْمُعَدَّةِ لِلتِّجَارَةِ
إِذَا كَانَتْ مَمْلُوكَةً لِأَهْلِ وُجُوبِهَا.
ثَالِثًا: جَوَازُ جَعْلِهَا رَأْسَ مَالٍ
فِي السَّلَمِ وَالشَّرِكَاتِ.
Terjemahannya :
“... Berdasarkan
bahwa *an-naqd* (alat tukar/ mata uang) adalah segala sesuatu yang secara adat
atau kebiasaan diterima dan mendapatkan penerimaan umum sebagai perantara
pertukaran (alat tukar), sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
ketika beliau berkata:
"وَأَمَّا الدِّرْهَمُ
وَالدِّينَارُ فَمَا يُعْرَفُ لَهُ حَدٌّ طَبِيعِيٌّ وَلَا شَرْعِيٌّ، بَلْ مَرْجِعُهُ
إِلَى الْعَادَةِ وَالاصْطِلَاحِ. وَذَلِكَ لِأَنَّهُ فِي الْأَصْلِ لَا يَتَعَلَّقُ
الْمَقْصُودُ بِهِ، بَلِ الْغَرَضُ أَنْ يَكُونَ مِعْيَارًا لِمَا يَتَعَامَلُونَ بِهِ.
وَالدَّرَاهِمُ وَالدَّنَانِيرُ لَا تُقْصَدُ لِنَفْسِهَا، بَلْ هِيَ وَسِيلَةٌ إِلَى
التَّعَامُلِ بِهَا. وَلِهَذَا كَانَتْ أَثْمَانًا – إِلَى أَنْ قَالَ – وَالْوَسِيلَةُ
الْمَحْضَةُ الَّتِي لَا يَتَعَلَّقُ بِهَا غَرَضٌ لَا بِمَادَّتِهَا وَلَا بِصُورَتِهَا
يَحْصُلُ بِهَا الْمَقْصُودُ كَيْفَمَا كَانَتْ"
‘Adapun dirham dan
dinar, maka tidak ada batasan alami ataupun syar’i bagi keduanya. Tolok ukurnya
kembali kepada adat dan kebiasaan. Sebab pada asalnya, tujuan tidak terletak
pada benda itu sendiri, melainkan agar ia menjadi standar harga untuk
transaksi.
Dirham dan dinar
tidak dimaksudkan untuk dirinya, akan tetapi ia hanyalah sarana (wasilah) untuk
melakukan transaksi. Oleh karena itu ia dijadikan sebagai *atsman* (alat ukur
nilai harga). ...
Dan sarana (wasilah)
murni yang tidak dimaksudkan karena zatnya ataupun bentuknya, tetap dapat
mencapai tujuan selama ia bisa digunakan sebagai alat transaksi apa pun
bentuknya.’ (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 29/251).
Hal yang serupa
juga disebutkan oleh Imam Malik dalam *al-Mudawwanah* pada Kitab *ash-Shorf*,
beliau berkata:
"وَلَوْ أَنَّ
النَّاسَ أَجَازُوا بَيْنَهُمُ الْجُلُودَ حَتَّى يَكُونَ لَهَا سِكَّةٌ وَعَيْنٌ لَكَرِهْتُ
أَنْ تُبَاعَ بِالذَّهَبِ وَالْوَرَقِ نَسِيئَةً".
‘Seandainya manusia
memperlakukan kulit-kulit binatang di antara mereka hingga dicetak dan diberi
tanda resmi, niscaya aku tidak menyukai bila ia dijual dengan emas atau perak
secara nasi’ah (tidak tunai).’
Karena uang kertas itu
telah diterima secara umum dalam peredaran dan memiliki sifat alat ukur nilai
harga (الثَّمَنِيَّة) , yaitu sebagai standar
nilai harga, sarana penyimpanan kekayaan, dan memiliki kekuatan pelunasan umum.
Dan setelah
dilakukan pembahasan bersama para ahli di bidang penerbitan uang kertas dan
ekonomi, maka jelaslah bahwa sifat “jaminan emas atau perak” dalam uang kertas
itu tidak dimaksudkan, dan realitas menunjukkan hal tersebut.
Telah jelas pula
bahwa cadangan (backing) tidak harus mencakup seluruh jumlah uang kertas yang
diterbitkan, melainkan dalam kebiasaan lembaga penerbit cukup sebagian saja
yang ditopang dengan cadangan. Dan cadangan itu tidak mesti berupa emas,
melainkan dapat berupa beberapa hal seperti emas, mata uang asing yang kuat,
dan lainnya.
Adapun perak, saat
ini tidak menjadi cadangan penuh maupun sebagian bagi mata uang apa pun di
dunia.
Juga telah tampak
bahwa kekuatan atau lemahnya uang kertas bergantung pada kondisi ekonomi
pemerintah penerbitnya. Ia kuat karena kekuatan negara, dan lemah karena
kelemahan negara. Sementara itu, bahan-bahan lokal seperti minyak bumi, kapas,
atau wol tidak pernah dianggap oleh lembaga penerbit mana pun sebagai cadangan
bagi mata uang.
Karena pendapat bahwa
*atsmaniyah* (fungsi alat tukar / standar nilai harga) adalah ‘illat berlakunya
riba pada emas dan perak merupakan pendapat yang paling kuat dalilnya dan
paling sesuai dengan maqashid syariah.
Ini juga merupakan
salah satu riwayat dari imam Malik, Abu Hanifah, dan Ahmad.
Abu Bakar berkata:
رَوَى ذَلِكَ عَنْ أَحْمَدَ جَمَاعَةٌ،
كَمَا هُوَ اخْتِيَارُ بَعْضِ الْمُحَقِّقِينَ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ كَشَيْخِ الْإِسْلَامِ
ابْنِ تَيْمِيَّةَ وَتِلْمِيذِهِ ابْنِ الْقَيِّمِ وَغَيْرِهِمَا؛ وَحَيْثُ إِنَّ الثَّمَنِيَّةَ
مُتَحَقِّقَةٌ بِوُضُوحٍ فِي الْأَوْرَاقِ النَّقْدِيَّةِ
Sekumpulan ulama
meriwayatkan hal itu dari Imam Ahmad. Demikian pula ini merupakan pilihan
sebagian ulama muhaqqiq, seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, muridnya Ibnul
Qayyim, dan lainnya. Dan karena *atsmaniyah* ini jelas terwujud dalam uang
kertas.
Maka, karena semua
alasan tersebut, Majelis Hai’ah Kibarul Ulama dengan suara mayoritas
menetapkan:
Bahwa uang kertas
adalah alat tukar (نَقْدٌ) yang berdiri sendiri
sebagaimana emas, perak, dan selain keduanya dari berbagai alat tukar. Ia
termasuk dalam jenis-jenis yang berbeda-beda sesuai dengan perbedaan lembaga
penerbit.
Artinya, uang
kertas Saudi adalah satu jenis, uang kertas Amerika adalah jenis lain, dan
demikian seterusnya, sehingga setiap mata uang adalah jenis yang berdiri
sendiri.
Dari sini
berlaku konsekuensi hukum syar’i berikut:
Ke 1. Riba berlaku
pada uang kertas sebagaimana berlaku pada emas, perak, dan alat tukar lainnya
seperti fulus. Dengan rincian sbb :
[*]- Tidak boleh menjual
sebagian uang kertas dengan sebagian yang lain, atau dengan alat tukar lain
(emas, perak, dll.) secara tidak tunai. Misalnya, tidak boleh menjual dolar
Amerika dengan lima riyal Saudi, baik lebih sedikit ataupun lebih banyak,
secara tempo.
[*]- Tidak boleh
menjual mata uang sejenis dengan kelebihan, baik secara tempo maupun tunai.
Misalnya, tidak boleh menjual sepuluh riyal Saudi kertas dengan sebelas riyal
Saudi kertas.
[*]- Boleh menjual
sebagian uang kertas dengan jenis lain, selama dilakukan secara tunai.
Misalnya, menjual
lira Suriah atau Lebanon dengan riyal Saudi, baik berupa kertas atau perak,
dalam jumlah yang sama ataupun berbeda, asalkan tunai. Begitu pula menjual
dolar Amerika dengan tiga riyal Saudi atau lebih sedikit/lebih banyak, jika dilakukan
tunai. Termasuk juga boleh menjual riyal Saudi perak dengan tiga riyal Saudi
kertas atau lebih sedikit/ lebih banyak secara tunai. Karena ini dianggap
menjual jenis yang berbeda, dan kesamaan nama saja tidak dianggap bila
hakikatnya berbeda.
Ke 2. Wajib zakat
pada uang kertas bila nilainya mencapai kadar nisab terendah dari emas atau
perak, atau bila digabung dengan harta lain sehingga mencukupi nisab, dengan
syarat-syarat wajib zakat lainnya terpenuhi.
Ke 3. Boleh
menjadikan uang kertas sebagai modal dalam akad salam maupun syirkah.
(Sumber: *Majalah
al-Buhuts al-Islamiyyah* 1/220–221; *Abhats Hai’ah Kibarul Ulama* 1/56–58;
*Zakat al-Asyham wa as-Sanadat wa al-Waraq an-Naqdiy* oleh as-Sadlan hlm.
57–61).
Dan demikian pula
Majelis Majma‘ al-Fiqhi al-Islami menetapkan hal yang sama dalam sidangnya yang
kelima yang diselenggarakan di Markas Rabithah al-‘Alam al-Islami di Makkah
al-Mukarramah pada bulan Rabi‘ul Tsani tahun 1402 H.
[Lihat: *al-Awroq
an-Naqdiyyah* karya Ibnu Mani’ hal. 142-145, karena ia menukil keputusan
tersebut secara lengkap; dan *Zakat al-As-hum wa as-Sanadat wa al-Awroq
an-Naqdiyyah* karya as-Sadlan hal. 54-56.]
===***===
SEJARAH NUQUD DAN SEJARAH FULUS:
Sejarah nuqud (النُّقُودِ = mata
uang dari emas dan perak), dan sejarah fulus (الْفُلُوسِ = mata uang logam bukan dari
emas dan perak).
Adapun sejarah
mata uang dinar dan dirham :
Dahulu kala manusia
melakukan pertukaran barang dan jasa dengan sistem barter, yaitu menukar barang
dengan barang lain atau dengan jasa tertentu, seperti menjual seekor unta
dengan seribu kilo kurma, atau sebagai imbalan pekerjaan dalam melayani penjual
selama satu tahun. Karena barter mengandung banyak kesulitan, manusia menemukan
cara dengan memilih suatu barang pokok yang memiliki nilai pada dirinya sendiri
dan mudah diperdagangkan, sehingga barang tersebut dijadikan standar untuk
menilai semua barang dan jasa. Dari sinilah muncul uang sebagai alat tukar,
yang dibuat dari emas dan perak karena kedua logam ini memiliki nilai, mudah
dibawa, disimpan, dan dapat dipecah menjadi bagian kecil.
Negara Romawi
menjadikan emas sebagai dasar mata uangnya, lalu mencetak dinar Romawi darinya.
Sedangkan negara Persia menjadikan perak sebagai dasar mata uangnya, lalu
mencetak dirham Persia.
Bangsa Arab pada
masa jahiliah berdagang dengan negeri-negeri tetangga dalam perjalanan musim
dingin dan musim panas. Mereka kembali dari Syam dengan dinar emas Romawi, dan
kembali dari Irak dengan dirham perak Persia. Orang Arab menggunakan mata uang
tersebut berdasarkan timbangan dan kadar emas atau peraknya, karena dirham
bervariasi dan berbeda beratnya, serta karena dinar emas bisa berkurang
nilainya akibat sering digunakan.
Ketika Islam
datang, Rasulullah ﷺ membenarkan penggunaan mata uang tersebut, sebagaimana beliau
juga menetapkan timbangan yang digunakan Quraisy dalam menimbang dinar dan
dirham. Beliau bersabda:
“الوَزْنُ وَزْنُ
أَهْلِ مَكَّةَ، وَالمِكْيَالُ مِكْيَالُ أَهْلِ المَدِينَةِ”
“Timbangan adalah
timbangan penduduk Mekah, dan takaran adalah takaran penduduk Madinah.”
Dengan demikian,
dinar emas dan dirham perak dianggap sebagai mata uang yang sah secara syariat,
dijadikan dasar hukum transaksi, ditentukan dengannya kadar zakat, dihubungkan
dengannya hukum mahar, dan berbagai ketentuan lainnya.
Kaum muslimin tetap
menggunakan dinar Romawi dan dirham Persia hingga masa Umar radhiyallahu 'anhu,
ketika beliau mencetak dirham baru dengan model Sasaniyah. Umat Islam pun
menggunakannya sampai masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan, yang pada tahun
74 Hijriah mencetak dinar emas, dan Al-Hajjaj mencetak dirham perak pada tahun
75 Hijriah. Dengan demikian, umat Islam memiliki mata uang khusus mereka
sendiri dan meninggalkan dinar Bizantium serta dirham Persia.
Para penguasa
muslim terus mencetak berbagai jenis dinar dan dirham dengan bentuk, berat,
ukiran, serta kadar kualitas yang berbeda-beda, hingga akhirnya pada masa akhir
pemerintahan Daulah Utsmaniyah mulai dicetak uang kertas dan digunakan bersama
dinar emas dan dirham perak. Setelah Perang Dunia Pertama, uang kertas ini
menyebar ke seluruh dunia, termasuk ke negeri-negeri Islam.
Adapun fulus: ia adalah bentuk jamak dari fils, berasal dari kata Yunani-Latin
“Follis”. Dari kata ini muncul ungkapan:
أَفْلَسَ الرَّجُلُ ؛ أَيْ أَصْبَحَ
ذَا فُلُوسٍ بَعْدَ أَنْ كَانَ ذَا دَرَاهِمَ
“Seseoran
telah menjadi muflis” ; yang berarti seseorang telah menjadi orang yang hanya memiliki
fulus (mata uang dari logam), padahal sebelumnya dia memiliki dirham (mata uang
dari perak).
Fulus adalah mata
uang yang dibuat dari logam rendah nilainya, dan digunakan untuk membeli
barang-barang sederhana. Mata uang ini sudah dikenal sejak zaman kuno di
berbagai bangsa, dan masih ada hingga saat ini sebagai alat tukar untuk
kebutuhan kecil.
Al-Mazandarani
dalam bukunya “Tarikh an-Nuqud al-Islamiyyah” halaman 157 mengatakan:
“إِنَّ النَّاسَ
تَجَوَّزُوا فَأَطْلَقُوا لَفْظَةَ الْفُلُوسِ عَلَى النَّقْدِ عَامَّةً، عَلَى الْفُلُوسِ
وَغَيْرِهَا، وَهُوَ مِنْ بَابِ إِطْلَاقِ الْجُزْءِ عَلَى الْكُلِّ”
“Manusia telah
meluas dalam penggunaan istilah fulus, sehingga menyebut kata fulus untuk
seluruh mata uang, baik fulus maupun selainnya. Hal ini termasuk dalam kategori
penggunaan bagian untuk menyebut keseluruhan.”
Adapun Al-Muqraizi
dalam bukunya “An-Nuqud al-Islamiyyah” menegaskan bahwa fulus tidak pernah
dianggap sebagai mata uang, karena mata uang yang sebenarnya hanyalah emas dan
perak. Ia berkata pada halaman 88 dan seterusnya:
وَأَمَّا الْفُلُوسُ: فَإِنَّهُ لَمْ
تَزَلْ سُنَّةُ اللَّهِ فِي خَلْقِهِ، وَعَادَتُهُ الْمُسْتَمِرَّةُ مُذْ كَانَتِ الْخَلِيقَةُ
وَعِنْدَ كُلِّ أُمَّةٍ مِنَ الْأُمَمِ ( كَالْفُرْسِ وَالرُّومِ وَبَنِي إِسْرَائِيلَ
وَالْيُونَانِ وَالْقِبْطِ وَالنَّبَطِ وَالتَّبَابِعَةِ … وَغَيْرِهَا مِنَ الْأُمَمِ
)، أَنَّ النُّقُودَ الَّتِي تَكُونُ أَثْمَانًا لِلْمَبِيعَاتِ وَقِيَمًا لِلْأَعْمَالِ
إِنَّمَا هِيَ الذَّهَبُ وَالْفِضَّةُ فَقَطْ.
وَلَا يُعْلَمُ فِي خَبَرٍ صَحِيحٍ وَلَا
سَقِيمٍ عَنْ أُمَّةٍ مِنَ الْأُمَمِ، وَلَا طَائِفَةٍ مِنْ طَوَائِفِ الْبَشَرِ، أَنَّهُمْ
اتَّخَذُوا أَبَدًا فِي قَدِيمِ الزَّمَانِ وَلَا حَدِيثِهِ نَقْدًا غَيْرَهُمَا، إِلَّا
أَنَّهُ لَمَّا كَانَتْ فِي الْمَبِيعَاتِ مُحَقَّرَاتٌ، تَقِلُّ عَنْ أَنْ تُبَاعَ
بِدِرْهَمٍ أَوْ بِجُزْءٍ مِنْهُ، احْتَاجَ النَّاسُ مِنْ أَجْلِ هَذَا فِي الْقَدِيمِ
وَالْحَدِيثِ مِنَ الزَّمَانِ، إِلَى شَيْءٍ سِوَى الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ يَكُونُ
بِإِزَاءِ تِلْكَ الْمُحَقَّرَاتِ. وَلَمْ يُسَمَّ ذَلِكَ الشَّيْءَ أَبَدًا نَقْدًا
فِيمَا عُرِفَ مِنْ أَخْبَارِ الْخَلِيقَةِ، وَلَا أُقِيمَ قَطُّ بِمَنْزِلَةِ أَحَدِ
النَّقْدَيْنِ.
وَاخْتَلَفَتْ مَذَاهِبُ الْبَشَرِ وَآرَاؤُهُمْ
فِيمَا يَجْعَلُونَهُ بِإِزَاءِ تِلْكَ الْمُحَقَّرَاتِ، وَلَمْ تَزَلْ بِمِصْرَ وَالشَّامِ
وَعِرَاقِي الْعَرَبِ وَالْعَجَمِ وَفَارِسَ وَالرُّومِ فِي أَوَّلِ الدَّهْرِ وَآخِرِهِ
مُلُوكُ هَذِهِ الْأَقَالِيمِ يَجْعَلُونَ بِإِزَاءِ هَذِهِ الْمُحَقَّرَاتِ نُحَاسًا،
يَضْرِبُونَ مِنْهُ الْيَسِيرَ قِطَعًا صِغَارًا تُسَمَّى فُلُوسًا لِشِرَاءِ ذَلِكَ.
وَلَا يَكَادُ يُؤْخَذُ مِنْهَا إِلَّا الْيَسِيرُ، وَمَعَ ذَلِكَ فَإِنَّهَا لَمْ
تَقُمْ أَبَدًا فِي شَيْءٍ مِنْ هَذِهِ الْأَقَالِيمِ بِمَنْزِلَةِ أَحَدِ النَّقْدَيْنِ.
“Adapun fulus, maka
demikianlah sunnatullah yang berlaku pada makhluk-Nya dan kebiasaan yang
terus-menerus sejak adanya ciptaan serta pada setiap bangsa (seperti Persia,
Romawi, Bani Israil, Yunani, Qibti, Nabath, Tubba’, dan bangsa-bangsa lainnya),
bahwa mata uang yang dijadikan sebagai harga untuk barang-barang dan ukuran
untuk jasa hanyalah emas dan perak.
Tidak diketahui
dari berita yang sahih maupun yang lemah, dari bangsa manapun atau kelompok
manusia manapun, baik di masa dahulu maupun kini, bahwa mereka pernah
menjadikan selain emas dan perak sebagai mata uang. Hanya saja, karena dalam
transaksi terdapat barang-barang kecil yang nilainya terlalu rendah untuk
dijual dengan satu dirham atau sebagian darinya, maka manusia sejak dulu hingga
kini membutuhkan sesuatu selain emas dan perak untuk menjadi penukar bagi
barang-barang kecil tersebut. Namun, sesuatu itu tidak pernah dinamakan mata
uang menurut pengetahuan sejarah umat manusia, dan tidak pernah ditempatkan
sejajar dengan emas atau perak.
Pendapat manusia
pun berbeda-beda dalam menentukan apa yang digunakan sebagai penukar
barang-barang kecil tersebut. Di Mesir, Syam, Irak Arab maupun Ajam, Persia,
dan Romawi, sejak dahulu hingga akhir masa, para penguasa negeri-negeri itu
menggunakan tembaga untuk tujuan ini. Mereka mencetaknya dalam
potongan-potongan kecil yang disebut fulus, untuk membeli barang-barang kecil
tersebut. Nilainya sangat kecil, dan meskipun demikian, fulus itu tidak pernah,
dalam wilayah manapun, diposisikan sejajar dengan emas atau perak.”
Wallahu ta’ala
a‘lam.
[Di kutip dari
artikel berbahasa arab “تاريخُ
النُّقودِ والفُلوسِ” karya Syaikh Faisal Mawlawi
– rahimahullah ta'ala – Wakil Ketua Dewan Eropa untuk Riset dan Fatwa].
0 Komentar