Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

DIROSAH ATSAR (HADITS) : "FITNAH KUBUR SELAMA 7 & 40 HARI". SERTA SUNAH-NYA SEDEKAH MAKANAN SELAMA 7 HARI

DIROSAH  ATSAR (HADITS) TENTANG FITNAH KUBUR SELAMA 7 HARI & 40 HARI

SERTA

SUNNAHNYA SEDEKAH MAKANAN SELAMA 7 HARI SETELAH MAYIT DIKUBUR

****

Oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

===


----

DAFTAR ISI :

  • PEMBAHASAN PERTAMA : HADITS DAN ATSAR UJIAN 7 HARI & 40 HARI SETALAH DI KUBUR
  • PEMBAHASAN KE DUA : PARA ULAMA YANG MEMBENARKAN UJIAN 7 DAN 40 HARI HARI SETELAH MAYIT DIKUBUR

  • PEMBAHASAN KE TIGA : PARA ULAMA YANG MENOLAK KEBENARAN UJIAN 7 DAN 40 HARI HARI SETELAH MAYIT DIKUBUR :

****

بِسْمِ ٱللَّهِ ٱلرَّحْمَٰنِ ٱلرَّحِيمِ

===****===

PEMBAHASAN PERTAMA : ATSAR-ATSAR UJIAN 7 HARI SETALAH DI KUBUR

Atsar-atsar yang berbicara tentang adanya ujian bagi orang mati di kuburnya selama tujuh hari, di sini penulis akan menyebutkan empat riwayat Atsar ;

*****

ATSAR PERTAMA :

Dari Ubaid bin Umair bin Qatadah Al-Laitsy radhiyallahu 'anhu (wafat tahun 73 H) dia berkata,

يُفْتَنُ رَجُلانِ مُؤْمِنٌ، وَمُنَافِقٌ، فَأَمَّا الْمُؤْمِنُ: فَيُفْتَنُ سَبْعًا، وَأَمَّا الْمُنَافِقُ: فَيُفْتَنُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا".

“Dua orang akan diuji, mukmin dan munafik, adapun orang mukmin akan diuji selama tujuh hari, sedangkan munafik akan diuji selama empat puluh hari.”

Imam As-Suyuthi rahimahullah berkata :

رَوَاهُ ابْنُ جَرِيجٍ فِي "المُصَنَّفِ" عَنْ الْحَارِثِ بْنِ أَبِي الْحَارِثِ، عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ.

“ Diriwayakan oleh Ibnu Juraij dalam Al-Mushannaf dari Harits bin Abil Harits, dari Ubaid bin Umair “. [“ٱلْحَاوِي لِلْفَتَاوِي” 2/2160].

Dan As-Sayuthi berkata :

عُبَيْدُ بْنُ عُمَيْرٍ، هُوَ اللَّيْثِيُّ قَاصُّ أَهْلِ مَكَّةَ، قَالَ مُسْلِمُ بْنُ الْحَجَّاجِ صَاحِبُ " الصَّحِيحِ ": إِنَّهُ وُلِدَ فِي زَمَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

قَالَ غَيْرُهُ: إِنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَعَلَى هَذَا يَكُونُ صَحَابِيًّا، وَكَانَ يَقُصُّ بِمَكَّةَ عَلَى عَهْدِ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ، وَهُوَ أَوَّلُ مَنْ قَصَّ بِهَا. وَكَانَتْ وَفَاتُهُ قَبْلَ وَفَاةِ ابْنِ عُمَرَ.

'Ubayd bin Umayr, dia adalah al-Laythi, seorang pelawan (qashsh) yang dikenal di kalangan penduduk Makkah. Muslim bin al-Hajjaj, pengarang *al-Sahih*, berkata: "Sesungguhnya dia dilahirkan pada masa Nabi ." 

Selain itu, ada yang berkata: "Dia pernah melihat Nabi , maka berdasarkan ini, dia termasuk salah seorang sahabat." 

Dia biasa bercerita di Makkah pada masa pemerintahan Umar bin al-Khattab, dan dia adalah orang pertama yang bercerita di sana. Kematian beliau terjadi sebelum wafatnya Ibnu Umar. [Lihat : al-Haawi Lil Fataawi 2/217]. tidak kami kenal siapakah dia

Lalu yang benar siapakah Al-Harits bin Abil Harits dalam sanad ini ???  

As-Sayuthi berkata :

وَأَمَّا الْحَارِثُ فَهُوَ ابْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ سَعِيدٍ بْنِ أَبِي ذِيَابٍ الدَّوْسِيِّ، رَوَى لَهُ الْبُخَارِيُّ فِي خَلْقِ أَفْعَالِ الْعِبَادِ، وَمُسْلِمٌ فِي صَحِيحِهِ. وَرَوَى عَنْهُ ابْنُ جُرَيْجٍ وَالدَّرَاوَرْدِيُّ وَغَيْرُهُمَا، وَأَمَّا ابْنُ جُرَيْجٍ فَهُوَ الْإِمَامُ عَبْدُ الْمَلِكِ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ بْنُ جُرَيْجٍ الْأُمَوِيُّ، قَالَ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: هُوَ أَوَّلُ مَنْ صَنَّفَ الْكُتُبَ.

وَقَالَ ابْنُ عُيَيْنَةَ: سَمِعْتُ ابْنَ جُرَيْجٍ يَقُولُ: مَا دَوَّنَ الْعِلْمَ تَدْوِينِي أَحَدٌ.

رَوَى عَنْ خَلْقٍ مِنَ التَّابِعِينَ، وَمَاتَ سَنَةَ تِسْعٍ وَأَرْبَعِينَ وَمِائَةٍ، وَقَدْ جَاوَزَ الْمِائَةَ

Adapun al-Harits, dia adalah putra dari Abdur Rahman bin Abdullah bin Sa'id bin Abi Dziyab al-Dawsi. Al-Bukhari meriwayatkan darinya dalam *Khalqu Af'aal al-'Ibaad*, dan Muslim dalam *Shahihnya*. 

Dia juga diriwayatkan oleh Ibnu Jurayj, al-Darawardi, dan lainnya. Adapun Ibn Jurayj, dia adalah Imam Abdul Malik bin Abdul Aziz bin Jurayj al-Umawi. 

Ahmad bin Hanbal berkata: "Dialah orang pertama yang menyusun kitab-kitab." 

Ibnu Uyaynah berkata: "Aku mendengar Ibn Jurayj berkata: 'Tidak ada yang mendokumentasikan (mentadwin) ilmu seperti yang aku lakukan.'" 

Dia meriwayatkan dari sekelompok tabi'in, dan wafat pada tahun 149 H, setelah melewati usia seratus tahun. [Lihat : al-Haawi Lil Fataawi 2/217]

Penulis katakan :

Jika yang dimaksud adalah Al-Harits bin Abdurrahman bin Abi Dziyab Ad-Dausy - seperti yang di katakan as-Sayuthi dalam [“ٱلْحَاوِي لِلْفَتَاوِي” (2/216)] - ; Maka dengan demikian dalam hal ini patut dikritisi, karena Abu Hatim berkata tentang dia :

‘Dia tidak kuat’, tapi Ibnu Hibban menganggapnya tsiqah, sedangkan Abu Zur’ah berkata, ‘Lumayan, tidak ada masalah dengan-nya (لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ).”

Adapun Ubaid bin Umair, kebanyakan para ulama hadits menganggap bahwa beliau adalah tabi’in, bukan shahabat, karena tidak ada bukti bahwa dia melihat Rasulullah .

[ Lihat biografinya dalam “تَهْذِيبُ ٱلتَّهْذِيبِ” (7/71)].

Al-‘Ijly rahimahullah berkata : “Tokoh tabi’in.” (Kitab “الثِّقَاتُ” (321)]

Berbeda dengan Ibnu Abdul-Bar rahimahullah , maka dia berkata :

ذَكَرَ الْبُخَارِيُّ أَنَّهُ رَأَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ذَكَرَهُ مُسْلِمٌ بْنُ الْحَجَّاجِ فِيمَنْ وُلِدَ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَهُوَ مَعْدُودٌ فِي كِبَارِ التَّابِعِينَ.

Al-Bukhori menyebutkan bahwa dia (Ubaid) melihat Nabi  Sedangakan Muslim bin Hajjaj menyebutkan bahwa dia terlahir pada masa Rasulullah  dan dia terhitung sebagai para senior kalangan tabi’in.”

[ Lihat : Al-Isti’ab, 3/1018 karya Ibnu Abdil Barr . Dan lihat pula "Al-Ishabah fi Tamyiz al-Sahabah" 5/47 karya al-Hafidz Ibnu Hajar ]

As-Suyuthi berkata :

وَأَمَّا إِذَا قُلْنَا بِثُبُوتِ الصُّحْبَةِ لِعُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ، فَإِنَّ الْحَدِيثَ يَكُونُ مَرْفُوعًا مُتَّصِلًا مِنْ طَرِيقِهِ، وَأَثَرُ طَاوُسٍ شَاهِدٌ قَوِيٌّ لَهُ يُرَقِّيهِ إِلَى مَرْتَبَةِ الصِّحَّةِ، وَقَدِ احْتَجَّ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ بِأَثَرِ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ هَذَا عَلَى مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ مِنَ اخْتِصَاصِ السُّؤَالِ بِالْمُنَافِقِ، وَأَنَّ الْكَافِرَ الصَّرِيحَ لَا يُسْأَلُ، وَلَوْلَا ثُبُوتُهُ عِنْدَهُ وَصِحَّتُهُ مَا احْتَجَّ بِهِ.

وَقَدْ قَالَ النووي فِي " شَرْحِ مُسْلِمٍ ": الْحَدِيثُ الْمُرْسَلُ إِذَا رُوِيَ مِنْ طَرِيقٍ آخَرَ مُتَّصِلًا تَبَيَّنَّا بِهِ صِحَّةَ الْمُرْسَلِ، وَجَازَ الِاحْتِجَاجُ بِهِ، وَيَصِيرُ فِي الْمَسْأَلَةِ حَدِيثَانِ صَحِيحَانِ

Adapun jika kita menyatakan bahwa 'Ubaid bin Umayr itu seorang sahabat secara pasti, maka hadis tersebut akan menjadi *marfu'* dan *muttashil* melalui jalurnya. Dan atsar dari Tawus menjadi saksi yang kuat baginya, yang mengangkatnya ke derajat *shahih*.

Ibnu Abdil Barr juga menggunakan atsar 'Ubaid bin Umayr ini sebagai dalil atas pendapatnya mengenai kekhususan pertanyaan yang hanya ditujukan kepada orang munafik, dan bahwa orang kafir yang jelas tidak boleh ditanya. Seandainya atsar ini tidak sahih baginya dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya, maka dia tidak akan berhujah dengannya.

Dan telah dikatakan oleh al-Nawawi dalam *Syarh Muslim*: "Hadis yang *mursal* jika diriwayatkan dari jalur lain yang *muttashil*, maka dengan itu kita dapat membuktikan keshahihan *mursal* tersebut, dan boleh berhujah dengannya. Dalam masalah ini, terdapat dua hadis yang *shahih*." [ٱلْحَاوِي لِلْفَتَاوِي (2/221-222)]

****

ATSAR KEDUA :

Abu Nu’aim rahimahullah ( Wafat 430 H ) dalam kitab “حِلْيَةُ ٱلْأَوْلِيَاءِ” 4/11 meriwayatkan dengan SANAD :

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Maalik (w. 368 H) :

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (w. 290 H) :

Telah menceritakan kepada kami ayahku ( Imam Ahmad bin Hanbal w. 241 ) :

Telah menceritakan kepada kami Haasyim bin Al-Qaasim ( w. 205 H):

Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Ubaidirrahmaan Al-Asyja’iy ( w. 182 H).

Dari Sufyaan Ats-Tsauriy (w. 161), ia berkata : Telah berkata Thaawus al-Yamani (w. 106 H) :

" إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا، فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الأَيَّامِ "

“Sesungguhnya orang mati diuji di kuburnya selama tujuh hari. Maka mereka senantiasa memustahabkan (mensunnahkan) agar memberi makanan atas nama orang-orang mati selama pada hari-hari tersebut.” [حِلْيَةُ ٱلْأَوْلِيَاءِ (4/11) ].

Sebagaimana dikutip pula oleh Al-Hafiz Ibnu Hajar dalam ٱلْمَطَالِبُ ٱلْعَالِيَةُ (5/330 no. 834) juga oleh As-Suyuthi dalam “ٱلْحَاوِي لِلْفَتَاوِي” (2/216) dari Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab “ٱلزُّهْدُ”.

Dan Al-Hafidz Ibnu Hajar menyebutkannya dalam bab “صَنْعَةُ ٱلطَّعَامِ لِأَهْلِ ٱلْمَيِّتِ” (5/328). Jadi jelas maksudnya : membuatkan makanan untuk keluarga mayit , bukan dari mereka.

DR. Baasim ‘Inayah Pentahqiq Juz ini dari kitab “ٱلْمَطَالِبُ ٱلْعَالِيَةُ” (5/330/no. 834):

"الإِسْنَادُ رِجَالُهُ كُلُّهُمْ ثِقَاتٌ إِلَّا أَنَّهُ مُنْقَطِعٌ بَيْنَ سُفْيَانَ وَطَاوُوسٍ، فَهُوَ ضَعِيفٌ".

“Sanadnya , para perawi semuanya dapat dipercaya (tsiqoot), akan tetapi sanadnya terputus antara Sufyan dan Thaawus, maka hadits ini lemah “..

[Pentahqiqkan ini telah diselesaikan dalam beberapa desertasi ilmiah yang dipresentasikan kepada Universitas Imam Muhammad bin Saud].

Disamping sanadnya terputus, juga mursal , dan ini tidak digunakan sebagai argumen oleh Jumhur .

Memang benar semua perawainya tsiqoot, seperti Al-Asyja’i adalah Ubaidullah bin Ubaidurrahman, dikenal tsiqah dan terpercaya, sebagaimana tercantum dalam “تَهْذِيبُ ٱلتَّهْذِيبِ” (7/35), dan Sufyan Ats-Tsauri, seorang Imam Al-Hafiz yang terkenal .. dst , namun yang diperdebatkan adalah antara Sufyan ats-Tsauri dengan Thaawus , apakah mereka pernah bertemu dan apakah Sufyan pernah menimba ilmu dari Thaawus ?

Imam as-Suyuthy rahimahullah berkata :

رِجَالُ ٱلْإِسْنَادِ رِجَالُ ٱلصَّحِيحِ، وَطَاوُوسٌ مِنْ كِبَارِ ٱلتَّابِعِينَ، قَالَ أَبُو نُعَيْمٍ فِي ٱلْحِلْيَةِ: هُوَ أَوَّلُ ٱلطَّبَقَةِ مِنْ أَهْلِ ٱلْيَمَنِ، وَرَوَى أَبُو نُعَيْمٍ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: أَدْرَكْتُ خَمْسِينَ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ ٱللَّهِ صَلَّى ٱللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

قَالَ ابن سعد: كَانَ لَهُ يَوْمَ مَاتَ بِضْعٌ وَتِسْعُونَ سَنَةً

وَسُفْيَانُ هُوَ ٱلثَّوْرِيُّ، وَقَدْ أَدْرَكَ طَاوُوسًا، فَإِنَّ وَفَاةَ طَاوُوسٍ سَنَةَ بِضْعَ عَشْرَةَ وَمِائَةٍ فِي أَحَدِ ٱلْأَقْوَالِ، وَمَوْلِدُ سُفْيَانَ سَنَةَ سَبْعٍ وَتِسْعِينَ، إِلَّا أَنَّ أَكْثَرَ رِوَايَتِهِ عَنْهُ بِوَاسِطَةٍ.

Para perawi dalam sanad ini adalah shahih, Thawus termasuk tokoh tabiin.

Abu Nu’aim berkata dalam kitab Al-Hilyah, ‘Dia termasuk thobaqot / tingkatan pertama dari penduduk Yaman “.

Abu Nu’aim meriwayatkan darinya bahwa dia berkata : ‘Aku menemui limapuluh orang shahabat Rasulullah .”

Ibnu Sa'd: Pada hari beliau wafat, usianya sembilan puluh sembilan tahun.

Sedang Sufyan adalah Ats-Tsaury, dia bertemu dengan Thawus, karena Thawus wafat pada seratus sebelasan menurut salah satu pendapat, sedang Sufyan lahir pada tahun 97, akan tetapi riwayat beliau darinya kebanyakan melalui perantara. (“ٱلْحَاوِي لِلْفَتَاوِي” 2/216)

Dan demikian pula Imam As-Safaariini rahimahullah menyatakan akan shahihnya sanad atsar Thawus ini, dengan mengatakan :

إِسْنَادٌ صَحِيحٌ إِلَّا أَنَّهُ مُرْسَلٌ، وَرُوِيَ مِنْ وَجْهٍ مُتَّصِلٍ أَيْضًا، وَحُكْمُهُ الرَّفْعُ لِأَنَّهُ لَيْسَ لِلرَّأْيِ فِيهِ مَجَالٌ.

“Sanadnya shahih, kecuali dia riwayat mursal, diriwayatkan pula dari jalur bersambung, hukumnya adalah marfu, karena dalam masalah ini tidak ada peluang berijtihad.” (Baca : لَوَامِعُ الْأَنْوَارِ الْبَهِيَّةُ (2/9)]

****

ATSAR KE TIGA :

Dari Mujahid bin Jabr rahimahullah (wafat tahun104 H ) dia berkata :

" إِنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا، فَكَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الأَيَّامِ "

“Sesungguhnya orang yang wafat diuji di kuburnya selama tujuh hari. Mereka menganjurkan untuk memberi makan atas nama mayit-mayit selama pada hari-hari itu .”

Ibnu Rajab dalam kitabnya “أَهْوَالُ ٱلْقُبُورِ” (hal. 16) mengaitkan riwayat ini kepada Mujahid tanpa menyebut sumbernya dan tidak saya temukan sanadnya.

Demikian pula As-Suyuthi rahimallah berkata demikian :

لَمْ أَقِفْ عَلَى سَنَدِهِ

“Tidak saya tidak menemukan sanadnya.” [ Lihat : ٱلدِّيبَاجُ شَرْحُ صَحِيحِ مُسْلِمٍ(2/491)]

****

ATSAR KE TIGA :

‘Abdurrazzaaq meriwayatkan :

عَنِ ابْنِ جُرَيْجٍ، قَالَ: قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ " إِنَّمَا يُفْتَنُ رَجُلانِ مُؤْمِنٌ، وَمُنَافِقٌ، أَمَّا الْمُؤْمِنُ: فَيُفْتَتَنُ سَبْعًا، وَأَمَّا الْمُنَافِقُ: فَيُفْتَنُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا، وَأَمَّا الْكَافِرُ: فَلا يُسْأَلُ عَنْ مُحَمَّدٍ، وَلا يَعْرِفُهُ "

Dari Ibnu Juraij, ia berkata : Telah berkata ‘Abdullah bin ‘Umar :

“Dua orang yaitu orang mukmin dan munafiq memperoleh fitnah kubur. Adapun seorang mukmin maka ia difitnah selama tujuh hari. Orang munafiq selama empat puluh hari. Adapun orang kafir, maka tidak ditanya tentang Muhammad, karena ia pasti tidak mengetahuinya”

[HR. ‘Abdurrazzaaq 3/590 no. 6757].

Riwayat ini lemah karena munqathi’ (terputus sanadnya).

Ibnu Juraij tidak pernah bertemu dengan Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhu.

Ibnu Juraij adalah ‘Abdul-Malik bin ‘Abdil-‘Aziiz bin Juraij Al-Qurasyiy Al-Umawiy, Abul-Waliid atau Abu Khaalid Al-Makkiy - terkenal dengan nama Ibnu Juraij; seorang yang tsiqah, faqiih, lagi faadlil, akan tetapi banyak melakukan tadlis dan irsal.

Termasuk thabaqah ke-6, wafat tahun 150 H, atau dikatakan setelahnya. Dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [تَقْرِيبُ ٱلتَّهْذِيبِ hal. 624 no. 4221].

Ia tidak pernah berjumpa seorang pun dari kalangan shahabat [جَامِعُ ٱلتَّحْصِيلِ hal. 229-230 no. 472]

Kemudian ada kesalahan nama pada riwayat Abdurrozzaaq ini , dimana di sini nama Ubaid bin Umair menjadi Abdullah bin Umar. Dan telah disebutkan oleh kebanyakan para ulama (nama) yang benar , diantaranya Ibnu Abdul Bar Al-Maliki dalam ucapannya :

وَكَانَ عُبَيْدُ بْنُ عُمَيْرٍ فِيمَا ذَكَرَ ابْنُ جُرَيْجٍ عَنْ ٱلْحَارِثِ بْنِ أَبِي ٱلْحَارِثِ عَنْهُ يَقُولُ: يُفْتَنُ رَجُلَانِ مُؤْمِنٌ وَمُنَافِقٌ فَأَمَّا ٱلْمُؤْمِنُ فَيُفْتَنُ سَبْعًا وَأَمَّا ٱلْمُنَافِقُ فَيُفْتَنُ أَرْبَعِينَ صَبَاحًا.

“Dahulu Ubaid bin Umair sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Juraij dari Harits bin Abi Harits darinya mengatakan, “Dua orang, (dari kalangan) mukmin dan munafik terkena fitnah. Sementara orang mukmin difitnah selama tujuh (hari), dan orang munafik difitnah selama empat puluh (hari).” (At-Tamjid Lima Fil Muwatto’ Min Ma’ani Wal Asanid, 22/252)

Tapi di dalamnya tidak ada (anjuran untuk memberi) makanan sebagai sadaqah atas nama mayat. Anjuran memberi shodaqah untuk mayat hanya bersumber dari perkataan Ibnu Juraij rahimahullah ketika mengomentari atsar beliau, dia mengatakan :

وَأَنَا أَقُولُ: قَدْ قِيلَ فِي ذَٰلِكَ، فَمَا رَأَيْنَا مِثْلَ إِنسَانٍ أَغْفَلَ هَالِكَهُ سَبْعًا أَنْ يَتَصَدَّقَ عَنْهُ.

“Saya katakan bahwa ada yang mengatakan, 'Kami tidak lihat orang yang lebih lengah dibanding mereka yang kehilangan seseorang selama tujuh hari tanpa memberikan shadaqoh kepadanya.”

Penentuan waktu, masih perlu ditinjau ulang. Karena shadaqoh untuk mayat, mayoritas ulama membolehkannya.

===***===

PEMBAHASAN KE DUA :
PARA ULAMA YANG MEMBENARKAN UJIAN 7 HARI SETELAH MAYIT DIKUBUR

Sebagian ulama berdalil dengan atsar diatas bahwa masa ujian bagi orang-orang beriman di kubur mereka yaitu selama tujuh hari dan di sunnahkan bersedakah makanan selama hari-hari tersebut .

Sehingga Asy-Suyuthi mengarang kitab kecil dengan judul :

"الثُّرَيَّا فِي إظْهَارِ مَا كَانَ خَفِيًّا"

"Ats-Tsurayyā fī Idzhhāri Mā Kāna Khafiyyaa"

Dalam kitab tersebut beliau menyimpulkan bahwa riwayat ini dapat digunakan sebagai dalil berdasarkan dua alasan :

Pertama : Bahwa riwayat ini terdiri dari beberapa riwayat mursal yang saling menguatkan jika dikumpulkan.

Kedua : Ini adalah perkara akhirat dan gaib yang tidak ada peluang bagi akal untuk menyimpulkan, maka riwayat ini dianggap sebagai marfu ( dari Raulullah).

Dalam hal ini Imam as-Suyuthi rahimahullah memberlakukan kaidah :

" حُكْمُ الرَّفْعِ لَآثَارِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ

‘Hukum marfu terhadap atsar shahabat dan tabi’in’

As-Suyuthi rahimahullah berkata :

الْمُقَرَّرُ فِي فَنِّ الْحَدِيثِ وَالْأُصُولِ أَنَّ مَا رُوِيَ مِمَّا لَا مَجَالَ لِلرَّأْيِ فِيهِ كَأُمُورِ الْبَرْزَخِ وَالْآخِرَةِ فَإِنَّ حُكْمَهُ الرَّفْعُ لَا الْوَقْفُ، وَإِنْ لَمْ يُصَرِّحِ الرَّاوِي بِنِسْبَتِهِ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

“Salah satu kesimpulan dalam ilmu hadits dan Ushul adalah bahwa riwayat terkait dengan perkara yang tidak mungkin disimpulkan akal di dalamnya seperti perkara alam barzakh dan akhirat, maka dia dihukumi sebagai marfu (dari Nabi) tidak dihukumi mauquf (hanya sampai para sahabat ), meskipun tidak disebutkan secara jelas disandarkan kepada Nabi .” [ٱلْحَاوِي لِلْفَتَاوِي (2/217)].

Kemudian As-Suyuthi secara panjang lebar mengutip pernyataan dari para ahli hadits tentang hal di atas, dan mengambil kesimpulan dari semua itu dengan mengatakan :

هَذَا كُلُّهُ إِذَا صَدَرَ ذَلِكَ مِنَ الصَّحَابِيِّ فَيَكُونُ مَرْفُوعًا مُتَّصِلًا، فَإِنْ صَدَرَ ذَلِكَ مِنَ التَّابِعِيِّ فَهُوَ مَرْفُوعٌ مُرْسَلٌ، ‌كَمَا ‌ذَكَرَ ‌ابن ‌الصلاح ‌ذَلِكَ ‌فِي ‌نَظِيرِ ‌الْمَسْأَلَةِ، وَصَرَّحَ الْبَيْهَقِيُّ فِي هَذِهِ الْمَسْأَلَةِ بِخُصُوصِهَا، فَإِنَّهُ أَخْرَجَ فِي شُعَبِ الْإِيمَانِ بِسَنَدِهِ عَنْ أبي قلابة قَالَ: «فِي الْجَنَّةِ قَصْرٌ لِصُوَّامِ رَجَبٍ»

“Ini semuanya jika riwayat tersebut bersumber dari para sahabat, maka dia dianggap sebagai riwayat marfu yang bersambung. Jika ternyata bersumber dari tabi’in, maka dia dianggap sebagai marfu mursal, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Shalah dalam masalah yang sama. Baihaqi menjelaskan lagi masalah ini secara khusus, dia bahkan meriwayatkan dalam kitab Syu’abul Iman dengan sanadnya dari Abu Qilabah, dia berkata, “Di surga terdapat istana bagi mereka yang berpuasa Rajab.” [ٱلْحَاوِي لِلْفَتَاوِي (2/219)].

Lalu As-Suyuthi berkata :

ثُمَّ قَالَ: هَذَا الْقَوْلُ عَنْ أبي قلابة، وَهُوَ مِنَ التَّابِعِينَ، فَمِثْلُهُ لَا يَقُولُ ذَلِكَ إِلَّا عَنْ بَلَاغٍ مِمَّنْ فَوْقَهُ عَمَّنْ يَأْتِيهِ الْوَحْيُ .

Kemudian dia ( al-Baihaqi ) berkata : Ini pendapat dari Abu Qilabah dan dia dari kalangan tabi’in, orang seperti dia tidak mengucapkan perkara seperti itu kecuali dia mendapatkan dari orang di atasnya yang bersumber dari wahyu. [ٱلْحَاوِي لِلْفَتَاوِي (2/219)].

Lalu As-Suyuthi berkata :

وَأَخْرَجَ الْبَيْهَقِيُّ أَيْضًا فِي " شُعَبِ الْإِيمَانِ " بِسَنَدِهِ عَنْ أبي قلابة قَالَ: «مَنْ حَفِظَ عَشْرَ آيَاتٍ مِنْ سُورَةِ الْكَهْفِ عُصِمَ مِنْ فِتْنَةِ الدَّجَّالِ، وَمَنْ قَرَأَ الْكَهْفَ فِي يَوْمِ الْجُمُعَةِ حُفِظَ مِنَ الْجُمُعَةِ إِلَى الْجُمُعَةِ، وَإِنْ أَدْرَكَ الدَّجَّالَ لَمْ يَضُرَّهُ، وَجَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَوَجْهُهُ كَالْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ، وَمَنْ قَرَأَ يس غُفِرَ لَهُ، وَمَنْ قَرَأَهَا وَهُوَ جَائِعٌ شَبِعَ، وَمَنْ قَرَأَهَا وَهُوَ ضَالٌّ هُدِيَ، وَمَنْ قَرَأَهَا وَلَهُ ضَالَّةٌ وَجَدَهَا، وَمَنْ قَرَأَهَا عِنْدَ طَعَامٍ خَافَ قِلَّتَهُ كَفَاهُ، وَمَنْ قَرَأَهَا عِنْدَ مَيِّتٍ هُوِّنَ عَلَيْهِ، وَمَنْ قَرَأَهَا عِنْدَ وَالِدَةٍ عَسُرَ عَلَيْهَا وَلَدُهَا يُسِّرَ عَلَيْهَا، وَمَنْ قَرَأَهَا فَكَأَنَّمَا قَرَأَ الْقُرْآنَ إِحْدَى عَشْرَةَ مَرَّةً، وَلِكُلِّ شَيْءٍ قَلْبٌ، وَقَلْبُ الْقُرْآنِ يس.»

Dan al-Bayhaqi juga meriwayatkan dalam *Shu'ab al-Iman* dengan sanadnya dari Abu Qilabah, dia berkata:

"Barang siapa yang menghafal sepuluh ayat dari surat al-Kahf, dia akan dilindungi dari fitnah Dajjal.

Barang siapa yang membaca surat al-Kahf pada hari Jumat, dia akan terlindungi dari Jumat ke Jumat berikutnya. Dan jika dia menemui Dajjal, Dajjal tidak akan membahayakannya. Pada hari kiamat, wajahnya akan bersinar seperti bulan pada malam purnama.

Barang siapa yang membaca surat Yasin, dosa-dosanya akan diampuni. Barang siapa yang membacanya dalam keadaan lapar, dia akan kenyang.

Barang siapa yang membacanya dalam keadaan bingung, dia akan diberi petunjuk.

Barang siapa yang membacanya ketika sedang kehilangan sesuatu, dia akan menemukannya.

Barang siapa yang membacanya saat makan, sedikitnya makanan akan mencukupinya.

Barang siapa yang membacanya saat ada orang meninggal, akan dipermudah urusannya.

Barang siapa yang membacanya ketika seorang wanita sedang kesulitan melahirkan, akan dipermudah kelahirannya.

Barang siapa yang membacanya, seolah-olah dia telah membaca Al-Qur'an sebelas kali. Dan setiap sesuatu memiliki hati, dan hati Al-Qur'an adalah surat Yasin." [ٱلْحَاوِي لِلْفَتَاوِي (2/219)]

Lalu As-Suyuthi berkata :

وَرَوَى الْإِمَامُ مَالِكٌ فِي " الْمُوَطَّأِ " عَنْ يحيى بن سعيد أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ: «إِنَّ الْمُصَلِّيَ لَيُصَلِّي الصَّلَاةَ وَمَا فَاتَهُ وَقْتُهَا، وَلَمَا فَاتَهُ مِنْ وَقْتِهَا أَعْظَمُ أَوْ أَفْضَلُ مِنْ أَهْلِهِ وَمَالِهِ» .

قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ: هَذَا لَهُ حُكْمُ الْمَرْفُوعِ؛ إِذْ يَسْتَحِيلُ أَنْ يَكُونَ مِثْلُهُ رَأْيًا، ويحيى بن سعيد مِنْ صِغَارِ التَّابِعِينَ

Imam Malik berkata dalam kitab “الموطأ” dari Yahya bin Said dia berkata :

“Orang yang shalat akan shalat selama belum habis waktunya. Jika telah habis waktunya, maka dia lebih besar dan lebih utama dari keluarganya dan hartanya.”

Ibnu Abdulbar berkata : “Riwayat ini memiliki hukum marfu, karena mustahil pembicaraan dalam masalah ini hanya sekedar berdasarkan ra’yu (akal), dan Yahya bin Said merupakan tabi’in yunior”.

Kemudian As-Suyuthi berkata :

هَذَا الْأَثَرُ الَّذِي ‌نَحْنُ ‌فِيهِ ‌مِنْ ‌ذَلِكَ، ‌فَإِنَّهُ ‌مِنْ ‌أَحْوَالِ ‌الْبَرْزَخِ الَّتِي لَا مَدْخَلَ لِلرَّأْيِ وَالِاجْتِهَادِ فِيهَا، وَلَا طَرِيقَ إِلَى مَعْرِفَتِهَا إِلَّا بِالتَّوْقِيفِ وَالْبَلَاغِ عَمَّنْ يَأْتِيهِ الْوَحْيُ، وَقَدْ قَالَ ذَلِكَ عُبَيْدُ بْنُ عُمَيْرٍ وطاوس، وَهُمَا مِنْ كِبَارِ التَّابِعِينَ، فَيَكُونُ حُكْمُهُ حُكْمَ الْحَدِيثِ الْمَرْفُوعِ الْمُرْسَلِ، وَإِنْ ثَبَتَتْ صُحْبَةُ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ فَحُكْمُهُ حُكْمُ الْمَرْفُوعِ الْمُتَّصِلِ.

قَالَ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ فِي " التَّمْهِيدِ " فِي شَرْحِ حَدِيثِ فِتْنَةِ الْقَبْرِ وَسُؤَالِهِ: أَحْكَامُ الْآخِرَةِ لَا مَدْخَلَ فِيهَا لِلْقِيَاسِ، وَالِاجْتِهَادِ، وَلَا لِلنَّظَرِ وَالِاحْتِجَاجِ، وَاللَّهُ يَفْعَلُ مَا يَشَاءُ لَا شَرِيكَ لَهُ.

وَقَالَ القرطبي فِي " التَّذْكِرَةِ ": هَذَا الْبَابُ لَيْسَ فِيهِ مُدْخَلٌ لِلْقِيَاسِ، وَلَا مَجَالَ لِلنَّظَرِ فِيهِ، وَإِنَّمَا فِيهِ التَّسْلِيمُ وَالِانْقِيَادُ لِقَوْلِ الصَّادِقِ الْمُرْسَلِ إِلَى الْعِبَادِ، انْتَهَى.

وَيُؤَيِّدُ مَا ذَكَرْنَاهُ أَنَّ هَذِهِ الْأُمُورَ إِذَا صَدَرَتْ مِنَ التَّابِعِينَ تُحْمَلُ عَلَى الرَّفْعِ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ..

“ Dan Atsar yang kami bahas ini , maka itu adalah berbicara tentang salah satu dari kondisi-kondisi alam Al-Barzakh di mana tidak ada celah bagi manusia untuk bependapat dan berijtihad, serta tidak ada jalan untuk mengetahuinya kecuali dengan wahyu / Tawqiif dan menyampaikannya dari orang yang diturunkan wahyu ke padanya .

Kesimpulan bahwa yang mengatakannya itu adalah Ubaid bin Umair dan Thawus, yang keduanya merupakan Tabi’i senior , maka hukum riwayat ini dapat dianggap sebagai marfu mursal, dan jika ternyata terbukti bahwa Ubaid itu adalah sahabat, maka hukumnya adalah hukum marfu muttashil (bersambung hingga Nabi)

Ibnu Abdul-Barr mengatakan dalam “التمهيد” dalam penjelasan hadis tentang ujian alam kubur dan pertanyaannya tentang hukum akhirat :

“ Tidak ada celah masuk untuk analogi dan ijtihad, atau untuk mempertimbangkan dan memprotes, dan Allah melakukan apa saja yang Dia kehendaki, tidak ada sekutu bagi-Nya.

Al-Qurtubi berkata dalam “التذكرة”: “ Bab ini tidak ada celah masuk untuk analogi dan tidak ada ruang untuk pertimbangan dalamnya. Yang boleh hanyalah tunduk dan patuh pada perkataan Nabi orang yang jujur yang diutus kepada para hamba. (Selesai nukilan dari Qurtubi)

Apa yang telah kami sebutkan didukung oleh fakta bahwa jika masala-masalah ini datang dari para tabi’iin , maka itu di bawa pada hukum marfu’ ke Rasulullah ....... [ٱلْحَاوِي لِلْفَتَاوِي (2/220)]

Kemudian As-Suyuthi berkata :

‌فَالْحُكْمُ ‌عَلَى ‌مِثْلِ ‌هَذَا ‌بِالرَّفْعِ ‌مِنَ ‌الْأُمُورِ ‌الَّتِي أَجْمَعَ عَلَيْهَا أَهْلُ الْحَدِيثِ

Kesimpulannya, menghukumi riwayat seperti ini sebagai riwayat marfu merupakan perkara yang disepakati oleh Ahli Hadits “. [ٱلْحَاوِي لِلْفَتَاوِي (2/221)]

Lalu As-Suyuthi berkata :

إِذَا تَقَرَّرَ أَنَّ أَثَرَ طَاوُسٍ حُكْمُهُ حُكْمُ الْحَدِيثِ الْمَرْفُوعِ الْمُرْسَلِ، وَإِسْنَادُهُ إِلَى التَّابِعِيِّ صَحِيحٌ، كَانَ حُجَّةً عِنْدَ الْأَئِمَّةِ الثَّلَاثَةِ أَبِي حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ وأحمد مُطْلَقًا مِنْ غَيْرِ شَرْطٍ، وَأَمَّا عِنْدَ الْإِمَامِ الشَّافِعِيِّ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ فَإِنَّهُ يَحْتَجُّ بِالْمُرْسَلِ إِذَا اعْتَضَدَ بِأَحَدِ أُمُورٍ مُقَرَّرَةٍ فِي مَحَلِّهَا، مِنْهَا مَجِيءُ آخَرَ أَوْ صَحَابِيٍّ يُوَافِقُهُ، وَالِاعْتِضَادُ هَاهُنَا مَوْجُودٌ، فَإِنَّهُ رُوِيَ مِثْلُهُ عَنْ مُجَاهِدٍ وَعَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ، وَهُمَا تَابِعِيَّانِ إِنْ لَمْ يَكُنْ عبيد صَحَابِيًّا، فَهَذَانِ مُرْسَلَانِ آخَرَانِ يُعَضِّدَانِ الْمُرْسَلَ الْأَوَّلَ

“ Jika telah disimpulkan bahwa atsar Thawus hukumnya adalah riwayat marfu mursal dan sanadnya hingga tabi’in adalah shahih, maka dia menjadi dalil bagi ketiga imam; Abu Hanifah, Malik dan Ahmad secara mutlak tanpa syarat.

Adapun menurut Imam Syafii radhiallahu anhu, maka dia berpendapat bahwa berdalil dengan mursal jika dikuatkan oleh salah satu perkara yang telah disepakati dalam bidangnya, di antaranya adalah adanya orang lain atau sahahat yang menyetujuinya sedangkan penguat di sini ada, karena riwayat serupa diriwayatkan dari Mujahid dan dari Ubaid bin Umair, keduanya merupakan tabi’in, jika Ubaid bukan merupakan shahabat, maka kedua riwayat mursal tersebut menguatkan riwayat mursal pertama”. [ٱلْحَاوِي لِلْفَتَاوِي (2/221)]

Dan As-Suyuthi berkata :

وَأَمَّا إِذَا قُلْنَا بِثُبُوتِ الصُّحْبَةِ لِعُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ، فَإِنَّ الْحَدِيثَ يَكُونُ مَرْفُوعًا مُتَّصِلًا مِنْ طَرِيقِهِ، وَأَثَرُ طَاوُسٍ شَاهِدٌ قَوِيٌّ لَهُ يُرَقِّيهِ إِلَى مَرْتَبَةِ الصِّحَّةِ، وَقَدِ احْتَجَّ ابْنُ عَبْدِ الْبَرِّ بِأَثَرِ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ هَذَا عَلَى مَا ذَهَبَ إِلَيْهِ مِنَ اخْتِصَاصِ السُّؤَالِ بِالْمُنَافِقِ، وَأَنَّ الْكَافِرَ الصَّرِيحَ لَا يُسْأَلُ، وَلَوْلَا ثُبُوتُهُ عِنْدَهُ وَصِحَّتُهُ مَا احْتَجَّ بِهِ.

وَقَدْ قَالَ النووي فِي " شَرْحِ مُسْلِمٍ ": الْحَدِيثُ الْمُرْسَلُ إِذَا رُوِيَ مِنْ طَرِيقٍ آخَرَ مُتَّصِلًا تَبَيَّنَّا بِهِ صِحَّةَ الْمُرْسَلِ، وَجَازَ الِاحْتِجَاجُ بِهِ، وَيَصِيرُ فِي الْمَسْأَلَةِ حَدِيثَانِ صَحِيحَانِ

Adapun ketika kita menyatakan bahwa 'Ubaid bin Umayr itu seorang sahabat secara pasti, maka hadis tersebut akan menjadi *marfu'* dan *muttashil* melalui jalurnya. Dan atsar dari Tawus menjadi saksi yang kuat baginya, yang mengangkatnya ke derajat *shahih*.

Ibnu Abd al-Barr juga menggunakan atsar 'Ubaid bin Umayr ini sebagai dalil atas pendapatnya mengenai kekhususan pertanyaan yang hanya ditujukan kepada orang munafik, dan bahwa orang kafir yang jelas tidak boleh ditanya. Seandainya atsar ini tidak sahih baginya dan tidak dapat dibuktikan kebenarannya, maka dia tidak akan berhujah dengannya.

Dan telah dikatakan oleh al-Nawawi dalam *Syarh Muslim*: "Hadis yang *mursal* jika diriwayatkan dari jalur lain yang *muttashil*, maka dengan itu kita dapat membuktikan keshahihan *mursal* tersebut, dan boleh berhujah dengannya. Dalam masalah ini, terdapat dua hadis yang *shahih*." [ٱلْحَاوِي لِلْفَتَاوِي (2/221-222)]

Dan As-Suyuthi berkata :

إِنْ قَالَ قَائِلٌ: ‌لَمْ ‌يَرِدْ ‌فِي ‌سَائِرِ ‌الْأَحَادِيثِ ‌تَصْرِيحٌ ‌بِذِكْرِ ‌سَبْعَةِ ‌أَيَّامٍ. قُلْنَا: وَلَا وَرَدَ فِيهَا تَصْرِيحٌ بِنَفْيِهَا وَلَا تَعَرُّضٌ لِكَوْنِ الْفِتْنَةِ مَرَّةً أَوْ أَكْثَرَ بَلْ هِيَ مُطْلَقَةٌ صَادِقَةٌ بِالْمَرَّةِ وَبِأَكْثَرَ، فَإِذَا وَرَدَ ذِكْرُ السَّبْعَةِ مِنْ طَرِيقٍ مَقْبُولٍ وَجَبَ قَبُولُهُ، وَكَانَ عِنْدَ أَهْلِ الْحَدِيثِ مِنْ بَابِ زِيَادَاتِ الثِّقَاتِ الْمَقْبُولَةِ، وَعِنْدَ أَهْلِ الْأُصُولِ مِنْ بَابِ حَمْلِ الْمُطْلَقِ عَلَى الْمُقَيَّدِ

Jika ada yang protes : “Tidak ditemukan dalam seluruh hadits yang menyatakan dengan tegas tentang tujuh hari.

Maka kami jawab : ‘Juga tidak ada pernyataan tegas yang meniadakannya. Dan tidak bertentangan bahwa ujian tersebut sekali atau lebih. Dan jika ternyata telah disebutkan jumlah tujuh dari jalur yang dipercaya, maka harus diterima.

Menurut ahli hadits hal ini termasuk tambahan riwayat dari perawi tsiqah yang diterima, sedangkan menurut Ahli Ushul (Fikih) hal ini termasuk dalam bab mutlak dibawa kepada yang muqoyyad (terikat)“. [ٱلْحَاوِي لِلْفَتَاوِي (2/226)]

Kemudian As-Suyuthi berkata :

إِنْ قِيلَ: ‌فَمَا ‌الْحِكْمَةُ ‌فِي ‌هَذَا ‌الْعَدَدِ ‌بِخُصُوصِهِ؟

فَالْجَوَابُ: أَنَّ السَّبْعَ وَالثَّلَاثَ لَهُمَا نَظَرٌ فِي الشَّرْعِ، فَمَا أُرِيدَ تَكْرِيرُهُ فَإِنَّهُ يُكَرَّرُ فِي الْغَالِبِ ثَلَاثًا، فَإِذَا أُرِيدَ الْمُبَالَغَةُ فِي تَكْرِيرِهِ كُرِّرَ سَبْعًا؛ وَلِهَذَا كُرِّرَتِ الطَّهَارَةُ فِي الْوُضُوءِ وَالْغُسْلِ ثَلَاثًا، وَلَمَّا أُرِيدَ الْمُبَالَغَةُ فِي طَهَارَةِ النَّجَاسَةِ الْكَلْبِيَّةِ كُرِّرَتْ سَبْعًا، فَلَمَّا كَانَتْ هَذِهِ الْفِتْنَةُ أَشَدَّ فِتْنَةٍ تُعْرَضُ عَلَى الْمُؤْمِنِ جُعِلَ تَكْرِيرُهَا سَبْعًا؛ لِأَنَّهُ أَشَدُّ نَوْعَيِ التَّكْرِيرِ وَأَبْلَغُهُ

Jika ada yang bertanya: *"Apa hikmah di balik jumlah ini secara khusus?"* 

Maka jawabannya: Angka tujuh dan tiga memiliki perhatian khusus dalam syariat. Sesuatu yang dimaksudkan untuk diulang, biasanya diulang sebanyak tiga kali. Namun, jika diinginkan penguatan dan penekanan dalam pengulangan tersebut, maka diulang sebanyak tujuh kali. Karena itu, wudhu dan mandi disunnahkan tiga kali dalam penyucian. Dan ketika dimaksudkan untuk benar-benar menekankan kesucian dari najis yang berasal dari anjing, maka diulang sebanyak tujuh kali. Maka karena fitnah ini (fitnah Dajjal) adalah fitnah terbesar yang akan dihadapi oleh seorang mukmin, maka pengulangannya dijadikan tujuh kali; karena itu adalah bentuk pengulangan yang paling kuat dan paling menegaskan.

[Selesai kutipan ringkas dari perkataan as-Suyuthi dalam ٱلْحَاوِي لِلْفَتَاوِي (2/217 - 229)]

Dan demikian pula Imam As-Safaariini rahimahullah menyatakan akan shahihnya sanad atsar Thawus ini, dengan mengatakan :

إِسْنَادٌ صَحِيحٌ إِلَّا أَنَّهُ مُرْسَلٌ، وَرُوِيَ مِنْ وَجْهٍ مُتَّصِلٍ أَيْضًا، وَحُكْمُهُ الرَّفْعُ لِأَنَّهُ لَيْسَ لِلرَّأْيِ فِيهِ مَجَالٌ.

“Sanadnya shahih, kecuali dia riwayat mursal, diriwayatkan pula dari jalur bersambung, hukumnya adalah marfu, karena dalam masalah ini tidak ada peluang berijtihad.” (Baca : لَوَامِعُ الْأَنْوَارِ الْبَهِيَّةُ (2/9)]

Lengkapnya, Imam As-Safaariini berkata :

قُلْتُ: وَتَقَدَّمَ عَنْ مُجَاهِدٍ أَنَّ الْمَوْتَى يُفْتَنُونَ فِي قُبُورِهِمْ سَبْعًا وَأَنَّهُمْ كَانُوا يَسْتَحِبُّونَ أَنْ يُطْعَمَ عَنْهُمْ تِلْكَ الْأَيَّامَ - رَوَاهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فِي الزُّهْدِ وَكَذَا أَبُو نُعَيْمٍ فِي الْحِلْيَةِ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ إِلَّا أَنَّهُ مُرْسَلٌ، وَرُوِيَ مِنْ وَجْهٍ مُتَّصِلٍ أَيْضًا ‌وَحُكْمُهُ ‌الرَّفْعُ ‌لِأَنَّهُ ‌لَيْسَ ‌لِلرَّأْيِ ‌فِيهِ ‌مَجَالٌ. . . . وَقَدْ رَوَى كُلَّ ذَلِكَ الْإِمَامُ الْحَافِظُ ابْنُ رَجَبٍ فِي كِتَابِهِ أَهْوَالِ الْقُبُورِ وَذَكَرَ عَنْ مُجَاهِدٍ أَيْضًا أَنَّ الْأَرْوَاحَ تَمْكُثُ فِي قُبُورِهَا سَبْعَةَ أَيَّامٍ.

وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عُبَيْدِ بْنِ عُمَيْرٍ فِيمَا أَخْرَجَهُ عَنْهُ ابْنُ جُرَيْجٍ أَنَّ الْمُؤْمِنَ يُفْتَنُ سَبْعَةَ أَيَّامٍ وَالْمُنَافِقَ يُفْتَنُ أَرْبَعِينَ يَوْمًا

Aku berkata:

Telah disebutkan sebelumnya dari Mujahid bahwa orang-orang yang telah meninggal diuji di kubur mereka selama tujuh hari. Dan bahwa mereka (para salaf) dahulu menyukai (memustahab-kan) untuk memberi makan atas nama mereka selama hari-hari tersebut.

Riwayat ini diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam *Az-Zuhd* dan juga oleh Abu Nu'aim dalam *Al-Hilyah* dengan sanad yang shahih kecuali bahwa ia *mursal* (terputus). Namun juga diriwayatkan melalui jalur yang *muttashil* (bersambung), dan hukumnya *marfu’* karena tidak mungkin berasal dari pendapat pribadi (ra’yu). 

Semua hal tersebut telah diriwayatkan oleh imam hafizh Ibnu Rajab dalam kitabnya *Ahwalul Qubur*, dan ia juga menyebutkan dari Mujahid bahwa ruh-ruh tinggal di kubur mereka selama tujuh hari.

Dan telah diriwayatkan dari 'Ubaid bin 'Umayr sebagaimana dikeluarkan oleh Ibnu Juraij darinya, bahwa orang mukmin diuji selama tujuh hari, sedangkan orang munafik diuji selama empat puluh hari. (Baca : لَوَامِعُ الْأَنْوَارِ الْبَهِيَّةُ (2/9)]

====****====

PEMBAHASAN KE TIGA : PARA ULAMA YANG MENOLAK KEBENARAN UJIAN 7 DAN 40 HARI HARI SETELAH MAYIT DIKUBUR

Para ulama yang menolak kebenaran atsar-atsar yang berkaitan dengan fitnah kubur selama 7 hari atas orang mukmin dan 40 hari atas orang munafik, serta sedekah makanan selama 7 hari atas nama mayit setelah dikubur, mereka memberikan bantahan dan kritikan terhadap keabsahan dalil-dalil atsar yang dikemukakan oleh kelompok yang membenarkan .

Berikut ini beberapa bantahan dan kritikan mereka :

*****

BANTAHAN PERTAMA :

Mereka berkata : Memang kita lihat bahwa para perawi riwayat Atsar yang kedua , yaitu atsar dari Thaawus adalah tsiqaat (di percaya) semuanya . Namun, meski semua para perawinya tsiqoot tidaklah langsung menjadikan satu riwayat shahih karena ternyata riwayat tersebut terdapat illat yang tersembunyi dan juga kelemahan .

Secara logika apakah bisa meyakinkan bahwa Sufyaan Ats-Tsauriy pernah berjumpa dan berguru kepada Thaawus bin Kaisaan ????

Sufyaan Ats-Tsauriy lahir pada tahun 97 H di Kuufah dan wafat di Bashrah tahun 161 H, sedangkan Thaawus bin Kaisaan , berasal dari Yaman , beliau wafat ketika sedang berhaji di Muzdalifah atau Mina pada tanggal 7 Dzulhijjah, tahun 106 H.

Hingga tahun wafatnya Thaawuus, Sufyaan belum melakukan RIHLAH ke Makkah. Bahkan ia (Sufyaan) belum keluar dari negerinya (Kuufah).

Al-Khathiib al-Baghdaadi berkata :

Telah mengkhabarkan kepada kami Ibnu Rizq, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami 'Utsmaan bin Ahmad, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Hanbal bin Ishaaq, ia berkata : Telah berkata Abu Nu'aim (Al-Fadhl bin Dukain) :

خَرَجَ سُفْيَانُ الثَّوْرِيُّ مِنَ الْكُوفَةِ سَنَةَ خَمْسٍ وَخَمْسِينَ وَمِائَةٍ، وَلَمْ يَرْجِعْ، وَمَاتَ سَنَةَ إِحْدَى وَسِتِّينَ وَمِائَةٍ، وَهُوَ ابْنُ سِتٍّ وَسِتِّينَ فِيمَا أَظُنُّ.

"Sufyaan Ats-Tsauriy keluar dari Kuufah pada tahun 155 H, dan kemudian ia tidak kembali lagi. Ia meninggal tahun 161 H dalam usia 66 tahun sebagaimana yang aku kira" [Lihat : تَارِيخُ بَغْدَادَ (10/242) - biografi Sufyaan Ats-Tsauriy].

Sanad riwayat ini shahih, semua perawinya tsiqaat.

Riwayat tersebut menunjukkan penafiyan yang jelas adanya kemungkinan pertemuan antara Sufyaan Ats-Tsauriy dengan Thaawuus bin Kaisaan rahimahumullah.

Selain itu , tidak masyhur pernyataan bahwa Thoowus itu termasuk syeikh-syeiknya ats-Tsaury.

Memang benar ada sebuah pernyataan dari Imam As-Suyuuthiy yang mengatakan :

وَسُفْيَانُ ـ هُوَ الثَّوْرِيُّ ـ وَقَدْ أَدْرَكَ طَاوُسًا، فَإِنَّ وَفَاةَ طَاوُسٍ سَنَةَ بِضْعَ عَشْرَةَ وَمِائَةٍ فِي أَحَدِ الْأَقْوَالِ، وَمَوْلِدُ سُفْيَانَ سَنَةَ سَبْعٍ وَتِسْعِينَ.

“Dan Sufyaan - dia adalah Ats Tsauriy - telah berjumpa dengan Thaawus, jika wafatnya Thaawus antara tahun 113 H sampai dengan tahun 119 H dalam salah satu perkataan, dan lahirnya Sufyaan tahun 97 H “. (S).

Apakah Mungkin ini sebabnya dan alibinya ?

Namun ada pula yang mengatakan bahwa Thaawus wafat tahun 101 H dan ada pula yang mengatakan wafat pada tahun 106 H.

Ibnu Syaudzab menyaksikan jenazah Thaawus pada tahun 100 H di Makkah.

'Amru bin 'Aliy dan yang lainnya mengatakan pada tahun 106 H.

Al Haitsam bin 'Adiy mengatakan antara tahun 113 sampai dengan 119 H.

Sementara Ibnu Hajar, Ibnu Hibbaan dan yang lainnya memilih pendapat yang mengatakan tahun 106 H.

Kalau kita coba mentarjih pendapat yang paling kuat, yakni Thaawus bin Kaisaan wafat pada tahun 106 H yang pada saat itu Sufyaan Ats Tsauriy berumur sekitar 9 tahun.

Apakah dengan umur segitu sudah dapat dikatakan memasuki usia mumayyiz ?

Memang tidak ditemukan seorangpun dari para Imam pakar Al-Jarh Wat-Ta'dil yang jelas-jelas menafikan kemungkinan adanya pertemuan antara Sufyaan Ats Tsauriy dengan Thaawus. Namun di dalam kitab “ٱلْمُنْتَخَبُ مِنْ عِلَلِ ٱلْخَلَّالِ” No. 224 terdapat kutipan perkataan Al Imaam Ahmad :

أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ، قَالَ: سَمِعْتُ أَبِي يَقُولُ: خَرَجَ سُفْيَانُ مِنَ الْكُوفَةِ سَنَةَ أَرْبَعٍ وَخَمْسِينَ.

Telah mengabarkan kepada kami 'Abdullaah, berkata: aku mendengar ayahku telah berkata: Sufyaan keluar dari Kuufah pada tahun 54 (yakni 154 H) .[ “ٱلْمُنْتَخَبُ” No. 224]

Dan di terangkan juga dalam ٱلْعِلَلُ وَمَعْرِفَةُ ٱلرِّجَالِ (3/133) No. 4580.

Berarti dalam riwayat ini Usia Sufyan 10 tahun ketika Thaawus wafat . Namun tetap saja , apakah pada usia 10 tahun bisa dikatakan usia mumayyiz , terutama dalam meriwayatkan hadits dan atsar ?.

Di tambah lagi jarak lokasi antar keduanya , Sufyan ats-Tsauri di Kuufah, sementara Thaawus di Yaman?

Dalam kitab “ٱلْعِلَلُ وَمَعْرِفَةُ ٱلرِّجَالِ” no. 4579 disebutkan oleh 'Abdurrahmaan bin Mahdiy bahwa Sufyaan (Ats-Tsauriy) melakukan ibadah haji pada tahun 151 H, - berarti saat itu dia berusia 6 tahun - . Kemudian dia melakukan ibadah haji pada tahun-tahun setelahnya.

Ini meninjukkan bahwa Sufyaan Ats Tsauriy menunaikan haji pada tahun 151 H berturut-turut setiap tahunnya hingga tahun 153 H.

Lalu beliau keluar meninggalkan negrinya kuufah dalam rangka Rihlah pada tahun 155 H (menurut Al Fadhl bin Dukain) atau tahun 154 H (menurut Ahmad bin Hanbal) dan tidak pernah kembali hingga wafatnya pada tahun 161 H.

Dan dapat diketahui pula bahwa Sufyaan Ats Tsauriy menunaikan ibadah haji dan mengunjungi Makkah untuk pertama kalinya pada tahun 151 H, dan darisini pula di dapatinya petunjuk bahwa ketika Sufyaan Ats Tsauriy mengunjungi Makkah pada tahun 151 H, Thaawuus bin Kaisaan sudah lama meninggal ( karena telah wafat pada tahun 106 H ) .

Maka Perkataan Ibnu mahdiy tersebut menunjukkan adanya perbedaan pendapat tentang kapan keluarnya Ats-Tsauriy dari negerinya.

Kalau menunaikan ibadah haji, tentu saja artinya ia hanya keluar dari negerinya menuju Makkah. Akan tetapi apapun perbedaan pendapat tersebut, tetap saja menunjukkan bahwa Ats-Tsauriy keluar dari negerinya jauh setelah meninggalnya Thaawus.

Semua perbedaan pendapat tersebut berujung pada sebuah kesimpulan bahwa Sufyaan Ats-Tsauriy tidak pernah berjumpa dengan Thaawus bin Kaisaan rahimahumullaah.

Pendapat yang dijadikan pegangan oleh As Suyuuthiy bahwa Thaawus wafat antara tahun 113-119 H telah dibantah oleh Adz-Dzahabiy dalam kitab As -Siyaar :

لا رَيْبَ فِي وَفَاةِ طَاوُسٍ فِي عَامِ سِتَّةٍ وَمِائَةٍ، فَأَمَّا قَوْلُ الْهَيْثَمِ: مَاتَ سَنَةَ بِضْعَ عَشْرَةَ وَمِائَةٍ فَشَاذٌّ . وَاللَّهُ أَعْلَمُ

Tidak ada keraguan tentang wafatnya Thaawus pada tahun 106 H, adapun perkataan Al Haitsam: "Wafat antara tahun 113-119 H", adalah pendapat yang syaadz. Wallaahu a'lam. [Baca : سِيَرُ أَعْلَامِ النُّبَلَاء (9/50)]

As-Suyuuthiy rahimahullah nampaknya keliru dalam menetapkan perjumpaan antara Ats-Tsauriy dengan Thaawuus. Karena sbb :

Pertama : Banyak riwayat yang membuktikan bahwa riwayat Ats-Tsauriy dari Thaawuus melalui perantaraan perawi lainnya..

Kedua : Ats-Tsauriy keluar dari negerinya setelah Thaawuus meninggal. Seperti dalam riwayat yang telah di sebutkan di atas .

Riwayat tersebut menunjukkan penafian yang jelas adanya kemungkinan pertemuan antara Sufyaan Ats-Tsauriy dengan Thaawuus bin Kaisaan rahimahumullah.

-----

BANTAHAN KE DUA :

Kami katakan bahwa kesimpulan yang dikatakan oleh Imam As-Suyuthi adalah lemah karena tiga alasan :

----

Alasan Pertama:

Bahwa hanya riwayat atsar Thawus Al-Yamani saja yang para perawi dalam sanad nya semuanya tsiqoot , namum sangat dipermasalahkan tentang kemungkinan bertemunya Sufyan dengan Thaawus . Dan yang rajih adalah sanadnya terputus dan mursal . Wallahu A’lam.

Adapun atsar yang diriwayatkan dari Mujahid , maka itu tidak ada asalnya dalam kitab-kitab musnad . Tidak ada juga kata (memberi) makan atau shadaqah untuknya.

As-Suyuti rahimahullah mengatakan, “Disebutkan Ibnu Rajab dalam kitab Al-Qubur dari Mujahid bahwa, “Ruh-ruh itu dalam kubur selama tujuh hari sejak dikuburkan tidak berpisah dengan jasadnya.” Saya tidak dapatkan sanadnya.” (Ad-Dibaj Ala Muslim, 2/490).

Begitu juga atsar Ibnu Juraij dari Abdullah bin Umar , sanad nya terputus dan ada kesalahan penyebutan nama dari Ubaid bin Umair , menjadi Abdullah bin Umar .

Adapaun riwayat Ubaid bin Umair, dalam sanadnya terdapat kelemahan dan dalam matannya ada keganjilan , yaitu : hanya orang muslim dan orang munafik saja yang di uji , sedangkan orang kafir tidak . Dan dalam riwayat Ibnu Juraij jelas-jelas di katakan :

فَلا يُسْأَلُ عَنْ مُحَمَّدٍ، وَلا يَعْرِفُهُ "

“ Adapun orang kafir, maka tidak ditanya tentang Muhammad, karena ia pasti tidak mengetahuinya” . [HR. ‘Abdurrazzaaq 3/590 no. 6757].

Sehingga perkataan itu dijadikan landasan pendapat sebagian imam, yang terkenal diantara mereka adalah Al-Hafidz Ibnu Abdul Bar rahimahullah, beliau mengatakan :

الآثَارُ الثَّابِتَةُ فِي هَذَا البَابِ إِنَّمَا تَدُلُّ عَلَىٰ أَنَّ الفِتْنَةَ فِي القَبْرِ لَا تَكُونُ إِلَّا لِمُؤْمِنٍ أَوْ مُنَافِقٍ مِمَّنْ كَانَ فِي الدُّنْيَا مَنْسُوبًا إِلَىٰ أَهْلِ القِبْلَةِ وَدِينِ الإِسْلَامِ مِمَّنْ حَقَنَ دَمَهُ بِظَاهِرِ الشَّهَادَةِ، وَأَمَّا الكَافِرُ الجَاحِدُ المُبْطِلُ: فَلَيْسَ مِمَّنْ يُسْأَلُ عَنْ رَبِّهِ وَدِينِهِ وَنَبِيِّهِ، وَإِنَّمَا يُسْأَلُ عَنْ هَذَا أَهْلُ الإِسْلَامِ.

“Atsar yang tetap (shahih) dalam bab ini, menunjukkan bahwa fitnah dalam kuburan hanya berlaku bagi orang mukmin dan munafik. (Tentang orang munafik) karena dia di dunia dimasukkan (secara zahir) sebagai ahli kiblat dan muslim, dimana darahnya terlindungi secara zahir karena persaksiaannya (bersahadat). Sementara orang kafir adalah pembangkang dan membatalkan (syahadah), dia tidak termasuk yang ditanya tentang tuhan, agama dan nabinya. Yang ditanya tentang hal ini adalah orang Islam.” (At-Tamhiid 22/252)

Namun Para ulama yang meneliti masalah ini memberikan bantahan, diantaranya Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengomentari atsar ‘Umair bin Ubaid rahimahullah.

وَهَذَا مَوْقُوفٌ، وَالأَحَادِيثُ النَّاصَّةُ عَلَىٰ أَنَّ الكَافِرَ يُسْأَلُ مَرْفُوعَةٌ مَعَ كَثْرَةِ طُرُقِهَا الصَّحِيحَةِ فَهِيَ أَوْلَىٰ بِالْقَبُولِ.

(Atsar) ini mauquf (hanya sampai kepada shahabat). Sementara hadits-hadits yang secara tegas menunjukkan bahwa orang kafir (juga) ditanya, itu adalah hadits-hadits marfu (sampai kepada Nabi) disamping banyaknya jalur periwayatan yang shahih, maka itu lebih utama diterima untuk diterima.” (Fathul Bari, 3/239)

Kesimpulannya : Bahwa atsar riwayat Ubaid bin Umair ini termasuk marasil (kumpulan hadits mursal) Ubaid bin Umair (wafat 73 H), dan dalam sanadnya ada masalah dan terdapat kritikan.

Dan Ibnu Qoyyim mengutip perkataan Ibnu Abdil Bar, kemudian beliau mengomentari :

Al-Qur’an dan Sunah menunjukkan berbeda dengan pendapat ini. Bahwa pertanyaan itu untuk orang kafir dan mukmin. Allah berfirman:

يُثَبِّتُ اللّٰهُ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا بِالْقَوْلِ الثَّابِتِ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَفِى الْاٰخِرَةِۚ وَيُضِلُّ اللّٰهُ الظّٰلِمِيْنَۗ وَيَفْعَلُ اللّٰهُ مَا يَشَاۤءُ

"Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang zalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki." (QS. Ibrahim: 27)

Terdapat ketetapan dalam (hadits) shahih (ayat) ini turun terkait dengan azab kubur ketika ditanya (siapa tuhanmu, apa agamamu dan siapa nabimu).

Dalam shahih Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik dari Nabi beliau bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا وُضِعَ فِي قَبْرِهِ وَتَوَلَّى عَنْهُ أَصْحَابُهُ وَإِنَّهُ لَيَسْمَعُ قَرْعَ نِعَالِهِمْ

“Seorang hamba ketika diletakkan di kuburan, maka ketika orang-orang kembali, dia mendengar (suara) jejak sandalnya.” ( HR. Bukhori no. 1285 ).

Disebutkan kelanjutan haditsnya. Bukhori menambahkan :

وَأَمَّا الْمُنَافِقُ وَالْكَافِرُ فَيُقَالُ لَهُ مَا كُنْتَ تَقُولُ فِي هَذَا الرَّجُلِ فَيَقُولُ لَا أَدْرِي كُنْتُ أَقُولُ مَا يَقُولُ النَّاسُ فَيُقَالُ لَا دَرَيْتَ وَلَا تَلَيْتَ وَيُضْرَبُ بِمَطَارِقَ مِنْ حَدِيدٍ ضَرْبَةً فَيَصِيحُ صَيْحَةً يَسْمَعُهَا مَنْ يَلِيهِ غَيْرَ الثَّقَلَيْنِ

“Sementara orang munafik dan kafir dikatakan kepadanya : “Apa yang anda katakan terhadap orang ini, maka dia mengatakan, Saya tidak tahu, dahulu saya mengatakan apa yang dikatakan oleh orang-orang.

Dikatakan : “Anda tidak tahu dan tidak membacanya.

Lalu dia dipukul dengan palu dari besi sampai berteriak-teriak hingga terdengar siapa yang ada di sekitarnya kecuali dua tsaqalain (manusia dan jin).”

Begitu redaksi di Bukhori (Sementara orang munafik dan orang kafir) dengan memakai kata sambung 'dan'.

Perkataan Abu Umar rahimahullah : “Adapun orang kafir pembangkang dan merusak (sahadat) termasuk yang tidak ditanya tentang tuhan dan agamanya."

Dikatakan kepadanya : "Tidak demikian, bahkan dia termasuk orang yang ditanya dan lebih utama ditanya dibandingkan yang lainnya. Allah telah memberitahukan bahwa orang kafir akan ditanya pada hari kiamat.

Allah berfirman:

وَيَوْمَ يُنَادِيهِمْ فَيَقُولُ مَاذَا أَجَبْتُمُ الْمُرْسَلِينَ

"Dan (ingatlah) hari (di waktu) Allah menyeru mereka, seraya berkata: "Apakah jawabanmu kepada para rasul?" (QS. Al-Qasas: 65)

فَوَرَبِّكَ لَنَسْـَٔلَنَّهُمْ أَجْمَعِين عَمَّا كَانُوا۟ يَعْمَلُونَ

"Maka demi Tuhanmu, Kami pasti akan menanyai mereka semua, tentang apa yang telah mereka kerjakan dahulu.” (QS. Al-Hijr: 92-93)

Firman Allah lainnya :

فَلَنَسْأَلَنَّ الَّذِينَ أُرْسِلَ إِلَيْهِمْ وَلَنَسْأَلَنَّ الْمُرْسَلِينَ

“Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) rasul-rasul (Kami),” (QS. Al-A’raf: 6)

Kalau mereka ditanya pada hari kiamat, bagaimana mungkin mereka tidak ditanya di kuburnya. Maka, apa yang disebutkan oleh Abu Umar rahimahullah tidak tepat.”

(Kitab Ar-Ruh, karya Ibnu al-Qoyyim hal. 84-86)

Maka dengan demikian kekuatan atsar-atsar yang menyatakan ujian mayit tujuh hari setelah di kubur itu telah kehilangan kekuatannya secara keseluruhan.

-----

Alasan Kedua :

Jika sebuah atsar bertentangan dengan hadits-hadits Nabi yang shahih ; maka hadits-hadits yang lebih kuat , kita jadikan sebagai penentu dan yang diamalkan .

Maka kita tidak dapat memberikan hukum marfu terhadap atsar Thaawus tersebut dan tidak boleh menjadikannya sebagai dalil.

Karena banyak hadits yang berbicara tentang fitnah kubur dan pertanyaan malaikat menunjukkan dalil yang jelas bahwa hal tersebut hanya terjadi sekali saja, tidak berlangsung selama tujuh hari, atau tidak berulang selama tujuh kali.

Demikian pula halnya, banyak hadits yang berbicara tentang fitnah kubur, tidak ada satupun di dalamnya yang menunjukkan bahwa hal tersebut berlangsung selama tujuh hari penuh terhadap orang beriman dan empatpuluh hari terhadap orang munafik.

Karena itu , maka dalam kasus ini tidak boleh untuk memberlakukan kaidah :

" حُكْمُ الرَّفْعِ لَآثَارِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ

‘Hukum marfu terhadap atsar shahabat dan tabi’in’

Bahkan yang lebih utama dan lebih benar adalah tidak memberikan komentar sebagaimana sunnah tidak berkomentar dalam masalah ini, kita hanya beriman dengan yang terucap dan pernyataan yang jelas.

Al-Hafiz Ibn Abd al-Barr berkata dalam (Al-Tamhiid):

الآثَارُ ٱلْمَرْفُوعَةُ كُلُّهَا فِي هَذَا ٱلْمَعْنَىٰ تَدُلُّ عَلَىٰ أَنَّ الفِتْنَةَ ـ وَٱللَّهُ أَعْلَمُ ـ مَرَّةٌ وَاحِدَةٌ.

Semua riwayat yang marfu’ kepada Nabi yang semakna ini menunjukkan bahwa fitnah (ujian alam kubur) – wallahu a’lam - hanya sekali”. ( Lihat : at-Tamhiid 22/51 . Lihat pula : مُوسُوعَةُ شَرْحِ ٱلْمُوَطَّأَ (14/433).

Diantara hadits-hadits shahih yang menyelisihinya :

Yang paling masyhur adalah hadits Barraa’ bin ‘Aazib radhiallahu anhu dari Nabi tentang ciri ujian terhadap orang mukmin di alam kubur, yaitu;

"يَأْتِيهِ مَلَكَانِ فَيُجْلِسَانِهِ فَيَقُولَانِ لَهُ : مَنْ رَبُّكَ ؟ فَيَقُولُ : رَبِّيَ اللَّهُ ، فَيَقُولَانِ لَهُ : مَا دِينُكَ ؟ فَيَقُولُ : دِينِيَ الْإِسْلَامُ ، فَيَقُولَانِ لَهُ : مَا هَذَا الرَّجُلُ الَّذِي بُعِثَ فِيكُمْ ؟ قَالَ : فَيَقُولُ : هُوَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ . فَيَقُولَانِ : وَمَا يُدْرِيكَ ؟ فَيَقُولُ : قَرَأْتُ كِتَابَ اللَّهِ فَآمَنْتُ بِهِ وَصَدَّقْتُ ".

“Dua malaikat mendatanginya dan mendudukkannya lalu berkata kepadanya : ‘Siapa Tuhanmu?’ Dia berkata : ‘Tuhanku Allah’ .

Kedua-duanya bertanya kepadanya : ‘Apa agamamu?” Dia berkata : ‘Agamaku Islam,’

Kedua-duanya bertanya kepadanya : ‘Siapakah orang yang diutus kepada kalian?’ Dia berkata, ‘Dia adalah Rasulullah ’.

Kedua-duanya berkata : ‘Darimana engkau tahu?’ Dia berkata : ‘Aku membaca Kitabullah, maka saya beriman kepadanya dan membenarkannya”.

(HR. Abu Daud, no. 4753, dishahihkan oleh Al-Albany dalam Shahih Abu Daud)

Kemudian juga bertentangan dengan hadits yang shahih yang berhubungan dengan pembahasan ini , diantaranya yaitu hadits riwayat Ibnu Majah , dia berkata :

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Manshuur : Telah menceritakan kepada kami Husyaim (ح). Dan telah menceritakan kepada kami Syujaa’ bin Makhlad Abul-Fadhl, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Husyaim, dari Ismaa’iil bin Abi Khaalid, dari Qais bin Abi Haazim, dari Jariir bin ‘Abdillah Al-Bajaliy, ia berkata :

" كُنَّا نَرَى الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنْعَةَ الطَّعَامِ مِنَ النِّيَاحَةِ "

“Kami (para shahabat) menganggap menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan oleh mereka (kepada para tamu) termasuk bagian dari niyahah (meratapi mayit)” [HR. Ibnu Majah no. 1612].

Diriwayatkan juga oleh Ath-Thabaraaniy dalam ٱلْمَعْجَمُ ٱلْكَبِيرُ (2/307-308) no. 2279.

Semua perawinya tsiqaat, hanya saja Husyaim seorang yang tsiqah lagi tsabt, namun banyak melakukan tadliis dan irsaal khofiy. Dan di sini Husyaim meriwayatkan dengan ‘an’anah.

Husyaim ini dipakai oleh Al-Bukhaariy, Muslim, Abu Daawud, At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah [ Baca : تَقْرِيبُ ٱلتَّهْذِيبِ hal. 1023 no. 7362].

Dan dalam hadits ini Husyaim mempunyai mutaba’ah dari Nashr bin Baab sebagaimana diriwayatkan oleh Imam Ahmad 2/204 no. 6905 :

Telah bercerita kepada kami Nashr bin Baab, dari Ismail, dari Qais, dari Jarir bin Abdullah Al-Bajali, yang berkata:

" كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ إِلَى أَهْلِ الْمَيِّتِ وَصَنِيعَةَ الطَّعَامِ بَعْدَ دَفْنِهِ مِنَ النِّيَاحَةِ "

“Kami (para shahabat) menganggap menganggap berkumpul-kumpul di rumah keluarga mayit, serta penghidangan makanan setelah penguburan mayit termasuk bagian dari niyahah (meratapi mayit)”. ( HR. Ahmad 2/204 no. 6905 )

Di dalam sanadnya terdapat Nashr bin Baab , dia seorang yang lemah . Dan ada sebagian para ulama yang mengkritiknya dengan keras, seperti Ibnu Ma’iin, Zuhair bin Harb, Abu Haatim, Juzjaaniy, dan yang lainnya.

Akan tetapi Ahmad bin Hanbal mentautsiqnya dan membelanya saat mengetahui ada beberapa ulama yang menilainya pendusta .

Imam Ahmad mengatakan : bahwa Nashr bin Baab diingkari para ulama saat ia (Nashr) meriwayatkan dari Ibraahiim Ash-Shaaigh. Ibnu Sa’d juga mengatakan hal yang sama dengan Ahmad. Ahmad adalah ulama yang terkenal muta’addil dalam urusan al-jarh wat-ta’diil, dan ia juga termasuk orang yang paling tahu mengenai gurunya, Nashr bin Baab, sehingga mengambil riwayat darinya.

Namun bukan berarti jarh para ulama kepada Nashr tidak memberikan pengaruh.

Nashr adalah seorang yang dla’iif yang riwayatnya dapat digunakan sebagai i’tibaar, hanya saja tidak benar tuduhan dusta yang dialamatkan kepadanya. [ Baca : لسان الميزان bigrafi no. 8109 ].

Riwayat di atas dikuatkan pula oleh riwayat Ibnu Abi Syaibah :

Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Maalik bin Mighwal, dari Thalhah, ia berkata :

قَدِمَ جَرِيرٌ عَلَى عُمَرَ، فَقَالَ: " هَلْ يُنَاحُ قِبَلُكُمْ عَلَى الْمَيِّتِ ؟ قَالَ: لَا " قَالَ: " فَهَلْ تَجْتَمِعُ النِّسَاءُ عندَكُمْ عَلَى الْمَيِّتِ وَيُطْعَمُ الطَّعَامُ؟ قَالَ: نَعَمْ "، فَقَالَ: " تِلْكَ النِّيَاحَةُ "

“Jarir mendatangi ‘Umar, lalu ia (‘Umar) berkata : “Apakah kamu sekalian suka meratapi mayit ?”.

Jarir menjawab : “Tidak”.

‘Umar berkata : “Apakah diantara wanita-wanita kalian semua suka berkumpul di rumah keluarga mayit dan makan hidangannya ?”.

Jarir menjawab : “Ya”.

‘Umar berkata : “Hal itu sama dengan niyahah (meratapi mayit)” .

[HR. Ibnu Abi Syaibah 2/487].

Semua perawinya tsiqaat, hanya saja ada kekhawatiran keterputusan antara Thalhah dengan Jariir.

Namun Ada syaahid yang lain , yaitu riwayat Aslam bin Sahl:

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-Hamiid, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Yaziid bin Haaruun, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Umar bin Abi Hafsh Ash-Shairaafiy - dan ia seorang yang tsiqah - ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Sayyaar Abul-Hakam, ia berkata :

Telah berkata ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhu :

" كُنَّا نَعُدُّ الِاجْتِمَاعَ عِنْدَ أَهْلِ الْمَيِّتِ بَعْدَمَا يُدْفَنُ مِنَ النِّيَاحَةِ "

“Dulu kami menganggap berkumpul-kumpul di sisi keluarga mayit setelah si mayit dikuburkan termasuk niyahah (meratap)”

[HR. Aslam bin Sahl dalam kitabnya “تَارِيخُ وَسِيطٍ” hal. 26 no. 206].

Semua perawinya tsiqaat, hanya saja Sayyaar tidak pernah bertemu dengan ‘Umar radliyallaahu ‘anhu.

Oleh karena itu, dengan keseluruhan jalan riwayatnya, atsar Jariir bin Abdillah radliyallaahu ‘anhu adalah shahih.

Atsar Jariir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu tersebut dishahihkan oleh An-Nawawiy dalam *Al-Majmū* 5/285, Ibnu Katsir dalam *Irsyād al-Faqīh* 1/241, Al-Buushīrī dalam *Zawāid Ibn Mājah* hal. 236, Ibnu Hajar al-Haitamī dalam *Tufah al-Mutāj* 3/207, Asy-Syaukānī dalam *As-Sayl al-Jarrār* 1/372. dan yang lainnya.

Di Shahihkan pula oleh Syu’aib al-Arnauth dalam Takhriij al-Musnad no. 6905 dan di hasankan oleh syeikh bin Baaz dalam *Majmū Fatāwā Ibnu Bāz* 4/347 .

HADITS LAINNYA :

Dari Abdullah bin bin Ja'far ia berkata :

لَمَّا جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرٍ، قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا، فَقَدْ أَتَاهُمْ مَا يَشْغَلُهُمْ، أَوْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ".

“ Ketika datang berita kematian Ja'far, Rasulullah bersabda : “hidangkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, sebab sesungguhnya telah tiba kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka”.

[ HR. Ahmad no. 1660 , Abu Daud no. 2725 , Turmudzi no. 998 , Ibnu Majah no. 1599 . Abu Isa Turmudzi berkata : “ Hasan Shahih “. Dan di Hasankan oleh Syeikh al-Albaani dalam shahih Turmudzi no. 998 ].

Yang di fahami dari hadits ini : Bahwa yang sesuai Sunnah adalah para tetangga keluarga mayit dan lainnya yang diperintahkan untuk membuat makanan untuk keluarga mayit ; jika sebaliknya maka mereka telah melakukan pelanggaran terhadap Sunnah dan membebani keluarga mayit. Dan itu sama saja dengan menambahkan mushibah dan kesibukan serta menyerupai tradisi Jahiliyah .

------

Alasan ketiga:

Kita tidak mendapatkan pernyataan dalam kitab-kitab fiqih yang terpercaya adanya nash yang menganjurkan memberi makan atas nama mayat selama tujuh hari berturut-turut, sebagaimana tidak kita dapatkan seorang dari kalangan ulama yang berpendapat sebagaimana pendapat Imam Suyuthi, sehingga kesimpulannya itu mengundang keraguan yang sangat.

Imam asy-Syafi’i rahimahullah didalam al-Umm beristidlal dengan hadits Keluarga Ja’far diatas terkait anjuran memberi makan untuk keluarga mayit :

وَأُحِبُّ لِجِيرَانِ الْمَيِّتِ أَوْ ذِي قَرَابَتِهِ أَنْ يَعْمَلُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ فِي يَوْمِ يَمُوتُ، وَلَيْلَتِهِ طَعَامًا يُشْبِعُهُمْ، فَإِنَّ ذَلِكَ سُنَّةٌ، وَذِكْرٌ كَرِيمٌ، وَهُوَ مِنْ فِعْلِ أَهْلِ الْخَيْرِ قَبْلَنَا وَبَعْدَنَا، لِأَنَّهُ لَمَّا «جَاءَ نَعْيُ جَعْفَرٍ، قَالَ رَسُولُ اللهِ - صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: اجْعَلُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا، فَإِنَّهُ قَدْ جَاءَهُمْ أَمْرٌ يُشْغِلُهُمْ».

“Aku mengajurkan bagi tetangga mayit atau kerabat-kerabatnya agar membuatkan makanan pada hari kematian dan malamnya, sebab itu merupakan sunnah, dzikr yang mulya dan termasuk perbuatan ahlul khair sebelum kita serta sesudah kita”. [Lihat : al-Umm karya Imam asy-Syafi’i [1/317]

Demikian juga dengan Imam Asy-Syairazi didalam al-Muhadzdzab :

فَصْلٌ: وَيُسْتَحَبُّ لِأَقْرِبَاءِ الْمَيِّتِ وَجِيرَانِهِ أَنْ يُصْلِحُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا، لِمَا رُوِيَ أَنَّهُ لَمَّا قُتِلَ جَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ كَرَّمَ اللهُ وَجْهَهُ.

“Pasal : yakni disunnahkan bagi kerabat-kerabat mayit dan tetangganya agar mengurusi keperluan makan untuk keluarga mayit berdasarkan riwayat tentang wafatnya Ja’far bin Abi Thalib”. [ Lihat : “المُهَذَّبُ”karya Imam Abu Ishaq asy-Syairazi [1/259].

Berdasarkan hadits itu pula al-Imam an-Nawawi mengatakan :

وَيُسْتَحَبُّ لِقُرَبَاءِ الْمَيِّتِ وَجِيرَانِهِ أَنْ يُصْلِحُوا لِأَهْلِ الْمَيِّتِ طَعَامًا، لِمَا رُوِيَ أَنَّهُ لَمَّا قُتِلَ جَعْفَرُ بْنُ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا، فَإِنَّهُ قَدْ جَاءَهُمْ أَمْرٌ يَشْغَلُهُمْ عَنْهُ."

“disunnahkan bagi kerabat-kerabat mayyit dan tetangganya supaya mereka mengurusi keperluan makan keluarga mayyit, berdasarkan riwayat bahwa tatkala Ja’far bin Abi Thalib terbunuh, Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda : “hidangkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, sebab sesungguhnya telah tiba kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka”. [Lihat : “المَجْمُوعُ ” Imam an-Nawawi [5/317]

Al-Imam al-Khathib asy-Syarbini didalam Mughni al-Muhtaj :

(وَ) يُسَنُّ (لِجِيرَانِ أَهْلِهِ) وَلِأَقَارِبِهِ الْأَبَاعِدِ وَإِنْ كَانَ الْأَهْلُ بِغَيْرِ بَلَدِ الْمَيِّتِ (تَهْيِئَةُ طَعَامٍ يُشْبِعُهُمْ) أَيْ أَهْلَهُ الْأَقَارِبَ (يَوْمَهُمْ وَلَيْلَتَهُمْ) لِقَوْلِهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – «لَمَّا جَاءَ خَبَرُ قَتْلِ جَعْفَرٍ: اصْنَعُوا لِآلِ جَعْفَرٍ طَعَامًا فَقَدْ جَاءَهُمْ مَا يُشْغِلُهُمْ» حَسَّنَهُ التِّرْمِذِيُّ وَصَحَّحَهُ الْحَاكِمُ.

“dan disunnahkan tetangga keluarga mayyit dan kerabat-kerabatnya yang jauh, walaupun berada didaerah negeri lainnya agar menyiapkan makanan yang mengenyangkan mereka pada siang dan malamnya, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam “ketika datang berita terbunuhnya Ja’far ; “hidangkanlah makanan untuk keluarga Ja’far, sebab sesungguhnya telah tiba kepada mereka perkara yang menyibukkan mereka”, a-Turmidzi menghasankannya dan al-Hakim menshahihkannya.” [Lihat ; “مُغْنِيِ ٱلْمُحْتَاج” [2/61] karya Imam al-Khathib asy-Syarbini]

Kumpul-kumpul pada keluarga mayit dan makan-makan yang membebankan keluarga mayit itu termasuk Niyahah / ratapan . Dan Hukum Niyahah itu di larang .

Al-Imam Asy-Syaafi’iy rahimahullah berkata :

وَأَكْرَهُ النِّيَاحَةَ عَلَى الْمَيِّتِ بَعْدَ مَوْتِهِ، وَأَنْ تَنْدُبَهُ النَّائِحَةُ عَلَى الِانْفِرَادِ، لَكِنْ يُعَزَّى بِمَا أَمَرَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ مِنَ الصَّبْرِ وَالِاسْتِرْجَاعِ، وَأَكْرَهُ الْمَأْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ، وَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ بُكَاءٌ، فَإِنَّ ذَلِكَ يُجَدِّدُ الْحُزْنَ وَيُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ، ....

“Dan aku membenci perbuatan niyaahah (meratap) terhadap mayit setelah kematiannya dan orang yang meratap tersebut menyebut-nyebut kebaikan si mayit secara tersendiri. Akan tetapi hendaknya ia dihibur dengan sesuatu yang diperintahkan Allah agar bersabar dan mengucapkan kalimat istirjaa’.

Dan aku juga membenci [ memakruhkan ] berkumpul-kumpul di keluarga di mayit meskipun tidak disertai adanya tangisan, karena hal tersebut akan menimbulkan kesedihan dan membebani materi/bahan makanan (bagi keluarga si mayit)...” [ Baca : الأم, 1/248].

Meratap sendiri sudah jelas hukumnya, yaitu dilarang , berdasarkan sabda Nabi :

اثْنَتَانِ فِي النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ، الطَّعْنُ فِي النَّسَبِ، وَالنِّيَاحَةُ عَلَى الْمَيِّتِ

“Dua perkara yang dapat membuat manusia kufur : Mencela keturunan dan niyaahah (meratapi mayit)” [HR. Muslim no. 67].

Ummu ‘Athiyyah berkata :

إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَانَا عَنِ النِّيَاحَةِ "

“Bahwasannya Rasulullah telah melarang kami dari perbuatan niyaahah” [HR. Abu Daawud no. 3127; shahih].

****

BANTAHAN KE TIGA :

Jika kesimpulan Imam Suyuthi tersebut diambil, maka sesungguhnya dia tidak menyimpulkannya dalam bentuk tekad dan keyakinan sampai pada derajat pengingkaran terhadap orang yang menentangnya atau menghukummi dosa dan lalai terhadap orang yang tidak memberi makan atas nama mayat selama tujuh hari penuh. Akan tetapi dia menguatkan anjuran tersebut bagi orang yang memiliki kecukupan dan kemampuan melakukannya.

Adapun jika memberi makan tersebut menyulitkan ahli mayat dan menyebabkan mereka menjadi celaan masyarakat apabila tidak melakukannya, maka tidak kami dapatkan ada seorang ulama pun yang menerima sikap ini.

Wallahua’lam.


Posting Komentar

1 Komentar

  1. Bagi masyarakat Muslim di Indonesia susah tdk asing lagi karena ada acara 7 hari, yg disebut tahlilan,, dan diperkampungan MADINAH, biasa nya 3 hari makan makan terus menyalakan Listrik.. yg sangat terang.. sumber dari orang yg pernah mukim di sana .

    BalasHapus