PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG HUKUM MENCUKUR JENGGOT BESERTA DALIL MASING-MASING
Di Tulis Oleh Abu Haitsam Fakhry
KAJIAN NIDA AL-ISLAM
-----
-----
DAFTAR ISI :
- PENDAHULUAN
- PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG HUKUM MENCUKUR JENGGOT
- PERBEDAAN PENDAPAT SECARA RINGKAS :
- SEBAB TERJADINYA PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG JENGGOT :
- RINCIAN PERBEDAAN PENDAPAT BESERTA DALIL MASING-MASING
- PENDAPAT PERTAMA : WAJIB MENCUKUR JENGGOT YANG LEBIH DARI GENGGAMAN TANGAN .
- PENDAPAT KEDUA : BOLEH (BUKAN WAJIB) MENCUKUR JENGGOT YANG LEBIH DARI GENGGAMAN TANGAN.
- PENDAPAT KE TIGA : BOLEH CUKUR JENGGOT SAAT IBADAH HAJI DAN UMROH .
- PENDAPAT KEEMPAT : BOLEH MENCUKUR JENGGOT KETIKA TERLALU PANJANG DAN MERUSAK BENTUK PENAMPILAN.
- PENDAPAT KE LIMA : MENCUKUR HABIS JENGGOT ADALAH MAKRUH, BUKAN HARAM:
- PENDAPAT KE ENAM : HARAM MENCUKUR JENGGOT WALAU HANYA SEDIKIT :
- TAMBAHAN : FATWA PARA ULAMA KONTEMPORER YANG TIDAK MENGHARAMKAN CUKUR HABIS JENGGOT :
- FATWA SYEIKH JADUL HAQ ALI JADUL HAQ:
- FATWA SYEIKH ‘ATHIYYAH SHOQR :
- PENULIS KATAKAN TENTANG PENATAAN RAMBUT :
- FATWA DR. MUHAMMAD SAYYID AL-MASIIR
- FATWA DR. AHMAD UMAR HASYIM :
- FATWA SYEIKH ABDUR RAZZAQ AL-QATHTHAN :
****
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
PENDAHULUAN
Makna jenggot :
اللَّحْيَة هِيَ الشَّعْرُ النَّابِتُ عَلَى الْخَدَّيْنِ وَالذَّقَنِ.
“Jenggot adalah rambut yang tumbuh di dua pipi dan dagu”.
Pembahasan mengenai masalah jenggot ini sangat sedikit dalam kitab-kitab fikih mazhab dan kitab-kitab fikih independen, hal ini dikarenakan mereka tidak membutuhkan untuk mendalaminya karena hampir seluruh masyarakat pada masa itu memiliki adat kebiasaan untuk memiliki jenggot, lebih dari sekedar menjadikannya sebagai ibadah, sehingga tidak ada keinginan bagi mereka untuk mencukur jenggot.
Adapun mengenai hukum tentang jenggot, maka empat madzhab fikih sepakat bahwa memelihara dan membiarkan jenggot tumbuh itu disyariatkan, meskipun mereka berselisih pendapat apakah harus dibiarkan begitu saja apa adanya atau boleh diambil sebagian darinya atau boleh semuanya?
Jika diperbolehkan lalu kapan boleh di potongnya atau di cukurnya ?
Apakah ketika jenggot terlalu panjang?
Atau jika melebihi genggaman tangan ?
Atau ketika memotongnya itu tidak terjadi mutslah [merusak bentuk penampilan]? Sebagaimana yang disebutkan dalam hadist Abdullah bin Yazid radhiyallahu ‘anhu :
نَهَى النَّبِيُّ ﷺ عَنْ النُّهْبَى وَالْمُثْلَةِ
Nabi ﷺ telah melarang perampasan harta orang lain dan perusakan bentuk penampilan [mutilasi]”. [HR. Bukhori no. 2474]
Makna Mutslah :
التَّنْكِيلُ وَالتَّشْوِيهُ، يُقَالُ: مَثَلْتُ بِالحَيَوَانِ أَمْثُلُ بِهِ مَثْلاً وَمُثْلَةً إِذَا غَيَّرْتُ وَشَوَّهْتُ صُورَتَهُ، كَأَنْ يَقْطَعَ أُذُنَهُ، وَتُطْلَقُ المُثْلَةُ بِمَعْنَى التَّعْذِيبِ وَالعُقوبَةِ، وَمَثَّلْتُ بِهِ أَيْ عَذَّبْتُهُ،
"Hukuman dan perusakan bentuk penampilan, disebutkan: Saya mentamtsil hewan atau barang, jika saya mengubah dan merusak bentuknya, seperti memotong telinganya. Dan istilah “mutslah” digunakan pula untuk arti penyiksaan dan hukuman, yang berarti saya menyiksa atau menghukumnya".
Dalam fatwa-fatwa ulama kontemporer, sebagian besar ulama di Saudi mengharamkan mencukur jenggot secara mutlak walau hanya sedikit. Fatwa mereka tentang hal itu lebih terkenal dan lebih masyhur daripada yang lainnya.
Namun, yang aneh adalah bahwa fatwa-fatwa yang memperbolehkan atau menganggap makruh mencukur jenggot tidak banyak disebarkan.
Begitu juga fatwa-fatwa yang mengharamkan mencukur jenggot dalam kondisi normal namun memberikan kelonggaran dalam kondisi-kondisi tertentu yang tidak normal seperti pada situasi dan kondisi yang dialami oleh sebagian kaum muslimin dibelahan dunia di negara-negara yang mayoritas penduduknya adalah non muslim atau mayoritas penduduknya muslim tapi terjajah oleh non muslim lalu diberlakukan larangan jenggot panjang .
Contoh dalam kondisi tidak normal :
Diantaranya : Ketika seorang muslim tinggal ditengah orang-orang kafir, apakah sebaiknya dia tidak berjenggot atau sebaliknya ?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyebutkan dalam kitabnya, "Iqtidha' ash-Shiroth al-Mustaqim Mukhalafat Ashab al-Jahim" (halaman 176-177), dalam pembahasannya tentang menyelisihi dengan orang-orang kafir dalam al-hadyu adz-dzohir [kegiatan, perbuatan dan berpenampilan yang telah menjadi adat kebiasaan setempat], dia berkata :
إِنَّ المُخَالَفَةَ لَهُمْ لَا تَكُونُ إِلَّا بَعْدَ ظُهُورِ الدِّينِ وَعُلُوِّهِ كَالْجِهَادِ وَإِلْزَامِهِمْ بِالْجِزْيَةِ وَالصَّغَارِ، فَلَمَّا كَانَ الْمُسْلِمُونَ فِي أَوَّلِ الْأَمْرِ ضُعَفَاءَ لَمْ يُشْرَعِ المُخَالَفَةُ لَهُمْ، فَلَمَّا كَمَّلَ الدِّينُ وَظَهَرَ وَعَلاَ شُرِعَ ذَلِكَ وَمِثْلُ ذَلِكَ الْيَوْمَ: لَوْ أَنَّ الْمُسْلِمَ بِدَارِ حَرْبٍ أَوْ دَارِ كُفْرٍ غَيْرِ حَرْبٍ لَمْ يَكُنْ مَأْمُورًا بِالْمُخَالَفَةِ لَهُمْ فِي الْهَدْيِ الظَّاهِرِ لَمَا عَلَيْهِ فِي ذَلِكَ مِنَ الضَّرَرِ بَلْ قَدْ يَسْتَحِبُّ لِلرَّجُلِ أَوْ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُشَارِكَهُمْ أَحْيَانًا فِي هَدْيِهِمُ الظَّاهِرِ إِذَا كَانَ فِي ذَلِكَ مَصْلَحَةٌ دِينِيَّةٌ مِنْ دَعْوَتِهِمْ إِلَى الدِّينِ وَالِإطْلاَعِ عَلَى بَاطِنِ أَمْرِهِمْ لِإِخْبَارِ الْمُسْلِمِينَ بِذَلِكَ أَوْ دَفْعِ ضَرَرِهِمْ عَنِ الْمُسْلِمِينَ وَنَحْوَ ذَلِكَ مِنَ الْمَقَاصِدِ الصَّالِحَةِ.
فَأَمَّا فِي دَارِ الْإِسْلَامِ وَالْهِجْرَةِ الَّتِي أَعَزَّ اللَّهُ فِيهَا دِينَهُ وَجَعَلَ عَلَى الْكَافِرِينَ بِهَا الصَّغَارَ وَالْجِزْيَةِ: فِيهَا شُرِعَتِ الْمُخَالَفَةُ وَإِذَا ظَهَرَتِ الْمُوَافَقَةُ وَالْمُخَالَفَةُ لَهُمْ بِاخْتِلَافِ الزَّمَانِ ظَهَرَ حَقِيقَةُ الْأَحَادِيثِ مِنْ هَذَا".
"Sesungguhnya menyelisihi mereka hanya dilakukan setelah agama ini dan kekuasaannya berjaya, muncul dipermukaan dan melambung tinggi, karena memiliki kekuatan jihad dan mampu menundukkan mereka [orang-orang kafir] hingga mau membayar jizyah dan upeti.
Ketika umat Islam pada masa awal masih lemah, maka perintah untuk berbeda dengan mereka itu tidak diizinkan. Namun, ketika agama sudah sempurna, kuat dan tinggi dipermukaan, maka aturan agar berbeda dengan mereka harus diberlakukan.
Demikian juga pada hari ini : jika seorang Muslim tinggal di negeri yang bukan darul Islam, baik itu darul harbi ataupun darul kufr yang bukan dalam keadaan perang, maka ia tidak diwajibkan untuk berbeda dengan mereka dalam hal al-hadyu adz-Dzohir, mengingat akan dampak buruk yang mungkin terjadi.
Bahkan, dalam sebagian kasus, disarankan atau diwajibkan bagi seorang pria untuk kadang-kadang ikut berpartisipasi dalam al-hadyu adz-dzohir mereka jika ada kepentingan untuk kemashlahatan agama, agar dapat mengajak mereka kepada agama serta memantau pergerakan mereka untuk memberitahukan kepada umat Islam tentangnya atau untuk melindungi umat Muslim dari bahaya mereka, dan yang semisalnya dari hal-hal yang mengandung maksud dan tujuan yang baik bagi umat.
Sedangkan di darul Islam dan darul hijrah yang Allah telah memperkokoh dan meninggikan agama-Nya di dalamnya dan menjadikan orang-orang kafir tunduk lemah serta menetapkan kewajiban jizyah dan upeti kepada mereka, maka perintah untuk berbeda dengan mereka itu harus diberlakukan.
Ketika terjadi kesesuaian dan perbedaan dengan mereka nampak muncul, maka hakikat kebenaran hadis-hadits dalam hal ini menjadi nampak di mata mereka ." [Kutipan Selesai].
Perkataan persis semisal diatas diungkapkan pula oleh syeikh Ibnu Utsaimin dalam “Majmu’ Fataawaa wa Rasaail Ibnu ‘Utsaimin 7/188]
Makna al-Hadyu adz-Dzohir :
تَشَبُّهٌ فِي الْفِعْلِ الْعَادِي،
وَهُوَ تَشَبُّهٌ بِمَا يُسَمِّيهِ "الْهَدْيُ الظَّاهِرُ" لأَهْلِ الذِّمَّةِ
مِمَّا كَانَ لَيَدْخُلُ فِي دَائِرَةِ الْمُبَاحِ؛ لَوْ تَجَرَّدَ عَنْ مُشَابَهَتِهِمْ
التَّعَبُّدِيَّة والاعْتِقَادِيَّة، كَالْمَسَائِلِ الْمُتَصَلَّةِ بِاللِّبَاسِ وَالْهَيْئَةِ وَغَيْرِهَا.
"Tasyabbuh (penyerupaan) dalam tindakan adat kebiasaan sehari-hari, ini mengacu pada keserupaan dengan apa yang disebut sebagai "al-hadyu adz-dzohir (penampilan dan prilaku yang nampak)" bagi orang-orang Ahlu adz-Dzimmah, dari segala adat kebiasaan sehari-hari yang masuk dalam wilayah yang dibolehkan; jika terlepas dari keserupaan ta’abbudi (hal ibadah) dan keyakinan mereka , seperti masalah-masalah yang terkait dengan pakaian, gaya penampilan, dan hal lainnya." (Selesai).
Contoh lain dalam kondisi tidak normal:
Syaikh Abdul Razaq al-Qaththan - Penetap Fatwa dan Pengawasan Syariah di Kuwait Finance House -berkata :"
وَقَدْ رَوَى ابْنُ كَثِيرٌ فِي تَارِيخِهِ فِي فَتْحِ بَيْتِ الْمَقْدِسِ أَنَّ صَلاحَ الدِّينَ أَمَرَ جُنُودَهُ أَنْ يَحْلِقُوا لِحَاهُمْ وَيُغَيِّرُوا مِنْ ثِيَابِهِمْ وَهَيْئَتِهِمْ لِخَدَاعِ الْعَدُوِّ وَلِمَصْلَحَةِ الْمُسْلِمِينَ وَلَمْ يُنْكِرْ عَلَيْهِ أَحَدٌ مَعَ الْعِلْمِ بِأَنَّ صَلاحَ الدِّينَ كَانَ عَالِمًا مُحَدِّثًا وَكَانَ فِي عَصْرِهِ مِئَاتُ الْعُلَمَاءِ وَالْأُئِمَّةِ وَلَمْ يُؤْثَرْ عَنْ أَحَدٍ مِنْهُمْ إِنْكَارُ ذَلِكَ، بَلْ ابْنُ كَثِيرٍ يَسُوقُ هَذَا الْخَبَرَ سِيَاقَ الْمُشَيِّدِ بِحِكْمَةِ صَلاحِ الدِّينِ وَحُسْنِ تَصَرُّفِهِ. بَلْ قَدِيمًا طَلَبَ النَّبِيُّ مِنْ نُعَيْمِ بْنِ مَسْعُودٍ كَتْمَ خَبَرِ إِسْلَامِهِ لِمَصْلَحَةِ الدَّعْوَةِ، وَفِي الْقُرْآنِ (وَقَالَ رَجُلٌ مُؤْمِنٌ مِنْ آلِ فِرْعَوْنَ يَكْتُمُ إِيمَانَهُ رَجُلًا أَنْ يَقُولَ رَبِّيَ اللَّهُ…) الْآيَةِ.
وَلَا شَكَّ أَنَّ كَتْمَ الْإِسْلَامِ وَالْإِيمَانِ أَشَدُّ مِنْ كَتْمِ مَظْهَرٍ مِنْ مَظَاهِرِهِمَا بَلْ سَمَحَ النَّبِيُّ لِمُحَمَّدِ بْنِ مُسْلِمَةَ وَصَحَبِهِ أَنْ يَذْكُرُوهُ بِبَعْضِ سُوءٍ حِينَ أَمَرَهُمْ بِقَتْلِ كَعْبِ الْأَشْرَافِ الْيَهُودِيِّ، وَذَلِكَ مِنْ أَجْلِ أَنْ يَتَمَكَّنُوا مِنْهُ.
Dan Ibnu Katsir telah meriwayatkan dalam kitab Tarikh-nya tentang penaklukan Baitul Maqdis : Bahwa Salahuddin memerintahkan pasukannya untuk mencukur jenggot mereka dan mengganti pakaian serta penampilan mereka untuk mengelabui musuh demi untuk kepentingan umat Islam. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya, meskipun diketahui bahwa Salahuddin adalah seorang alim yang terpelajar dan di zamannya hidup ratusan ulama dan imam tanpa ada yang menolak tindakannya tersebut. Bahkan Ibnu Katsir menyampaikan berita ini dalam konteks memuji kebijaksanaan dan perilaku baik Salahuddin.
Bahkan dulu, Nabi ﷺ pernah meminta kepada Nu'aim bin Mas'ud untuk menyembunyikan kabar masuk Islamnya untuk kepentingan dakwah, dan dalam Al-Qur'an (dan berkatalah seorang laki-laki yang mukmin dari keluarga Fir'aun yang menyembunyikan keimanan seorang laki-laki dari kaumnya...).
Dan tidak diragukan lagi bahwa menyembunyikan keIslaman dan keimanan jauh lebih berat daripada menyembunyikan aspek-aspek penampilannya, bahkan Nabi mengizinkan Muhammad bin Maslamah dan sahabatnya untuk menyebutkan beberapa keburukan ketika beliau memerintahkan mereka untuk membunuh Ka'ab bin Asyraf, sekaligus untuk kepentingan kaum muslimin”.
*****
PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG HUKUM MENCUKUR JENGGOT
Telah terjadi perbedaan pendapat antar para ulama tentang hukum mencukur jenggot. Ada sekitar enam pendapat .
====
PERBEDAAN PENDAPAT SECARA RINGKAS
=====
PENDAPAT PERTAMA : WAJIB MENCUKUR JENGGOT YANG LEBIH DARI GENGGAMAN TANGAN .
Ini pendapat Husain bin Ali al-Saghnaqi al-Hanafi, Syeikh al-Albani dan lain-nya. Karena menurut mereka; jika melebihi genggaman maka itu termasuk ISBAL yang dilarang.
PENDAPAT KEDUA : BOLEH (BUKAN WAJIB) MENCUKUR JENGGOT YANG LEBIH DARI GENGGAMAN TANGAN.
Ini adalah pendapat sekelompok para tabi’in . Dan ini merupakan pendapat yang masyhur dari kalangan Madzhab Hanafiyyah. Dan ini adalah pendapat Imam Ahmad, Madzhab Hanbali dan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah
PENDAPAT KE TIGA : BOLEH MENCUKUR JENGGOT SAAT IBADAH HAJI DAN UMROH .
Pendapat ini merupakan pendapat yang dipegang oleh mayoritas tabi’in, Asy-Syafi’i, (hal yang disukai) oleh Malik, dan ulama yang lainnya.
PENDAPAT KEEMPAT : BOLEH MENCUKUR JENGGOT KETIKA TERLALU PANJANG DAN MERUSAK BENTUK PENAMPILAN.
Ini adalah pendapat Imam Ahmad, ‘Atho, Madzhab Maliki dan Ibnu ‘Abidin dari Madzhab Hanafi.
PENDAPAT KE LIMA : MENCUKUR HABIS JENGGOT ADALAH MAKRUH DAN TIDAK HARAM:
Sebagian para ulama mengatakan bahwa ini adalah pendapat madzhab Syafi'i. Dan ini adalah pendapat Qodhi ‘Iyadh .
PENDAPAT KE ENAM : MENCUKUR JENGGOT, MUTLAK HARAM WALAUPUN HANYA SEDIKIT SAJA :
Ini adalah pendapat mayoritas ulama dari berbagai madzhab, seperti Hanafi, Maliki, dan Hanbali, serta sebagian dari mazhab Syafi'i.
*****
SEBAB TERJADINYA PERBEDAAN PENDAPAT TENTANG JENGGOT :
SEBAB PERTAMA :
Apakah perintah atas kaum muslimin untuk berbeda penampilan dengan kaum kafir dalam hal yang berkaitan dengan adat kebiasaan adalah Wajib hukumnya atau Sunnah? Dan apakah diharamkan menyerupainya atau hanya dimakruhkan saja ?
SEBAB KEDUA :
Mereka juga berselisih tentang apakah boleh mengambil sebagian jenggot, sementara masih tersisa banyak rambut jenggot dan mencukupi .
Ada dua pendapat, yang disebabkan oleh perbedaan pendapat dalam hal-hal berikut ini :
HAL PERTAMA :
Tentang memahami makna "إعفاء" (i’faa'). Apakah maknanya membiarkan (التَّرْكُ)? Ataukah maknanya melimpah banyak (الكُثْرَةُ)?
Pendapat yang mengatakan : Tidak diperbolehkan sama sekali mengambil sesuatu dari jenggot. Mereka memahami dan mengartikan kata "إعفاء" (i’faa') dengan makna meninggalkan (التَّرْكُ), yang merupakan salah satu makna dari "إعفاء".
Namun, lafadz-lafadz hadis lainnya tidak ada yang menunjukkan ketidak bolehan mengambil sesuatu dari nya .
Sementara yang mengatakan : Diperbolehkannya mengambil sebagian darinya, mereka memahami makna "الإعفاء" (al-i’fa') adalah melimpah, banyak dan tebal (الكُثْرَةُ). Mereka mengatakan:
فَمَنْ تَرَكَ لِحْيَتَهُ وَأَعْفَاهَا حَتَّى طَالَتْ وَكَثُرَتْ فَقَدْ حَقَّقَ الْإِعْفَاءَ الْوَاجِبَ.
“Barangsiapa yang meninggalkan jenggotnya dan membiarkannya tumbuh panjang dan lebat, maka dia terbukti telah memenuhi "الإعفاء" (al-i’fa') yang wajib”.
Mereka juga menunjukkan perbuatan sejumlah sahabat, termasuk Ibnu Umar dan Abu Hurairah radhiallahu 'anhum, yang mengambil bagian rambut jenggot yang lebih dari genggaman.
Kemudian mereka berselisih apakah ini hanya diperbolehkan dalam ibadah haji atau tidak?
Namun, perbedaan ini tidak mengubah esensi dasar argumen, karena seperti yang dikatakan Ibnu Abdil Barr dalam "Al-Istidzkar" (4/317):
((لَوْ كَانَ غَيْرُ جَائِزٍ مَا جَازَ فِي الْحَجِّ))
"Jika itu tidak diperbolehkan, maka itu tidak akan diperbolehkan pula dalam ibadah haji."
[Baca : Maqoolaat Mawqi' ad-Durar as-Saniyyah 3/15]
HAL KEDUA : menyikapi hadist Ibnu Umar – radhiyllahu anhuma – berikut ini :
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
خَالِفُوا المُشْرِكِينَ؛ وَفِّرُوا اللِّحَى، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ. وَكانَ ابنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ قَبَضَ علَى لِحْيَتِهِ، فَما فَضَلَ أَخَذَهُ.
"Berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik, maka lebatkanlah jenggot dan cukurlah kumis kalian."
Sedangkan Ibnu Umar apabila selesai berhaji atau Umrah dia menggenggam jenggotnya lalu memotong yang melebihinya." [HR. Bukhari no. 5892 dan Muslim no. 259].
Dalam hadits Ibnu Umar ini, dia meriwayatkan hadits perintah memelihara jenggot, namun dia sendiri senantiasa mencukur kelebihan jenggot yang panjangnya melebihi genggaman .
Dalam hal ini, maka ada dua qaidah yang nampak saling bertabrakan, yaitu berikut ini :
Qaidah ke 1 :
"الْعِبْرَةُ بِرِوَايَةِ الرَّاوِي لَا بِرَأْيِهِ"
"Yang menjadi pegangan adalah berdasarkan riwayat perawi, bukan pendapatnya,"
Qaidah ke 2 :
"الرَّاوِي أَدْرَى بِمَا رَوَى"
"Perawi lebih mengetahui apa yang ia riwayatkan."
Dalam hal yang berkaitan dengan Ibnu Umar yang biasa memotong jenggotnya yang panjangnya melebihi genggamannya, maka mereka berkata :
أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا رَاوِي حَدِيثٍ: "أَعْفُوا اللُّحَى" هُوَ نَفْسُهُ كَانَ يَأْخُذُ مِنْ لِحْيَتِهِ مَا زَادَ عَلَى الْقَبْضَةِ. فَمَنْ قَالَ بَعْدَمَ الْجَوَازِ اسْتَدَلَّ بِقَاعِدَةٍ: "الْعِبْرَةُ بِرِوَايَةِ الرَّاوِي لَا بِرَأْيِهِ" وَمَنْ قَالَ بِالْجَوَازِ اسْتَدَلَّ بِقَاعِدَةٍ: "الرَّاوِي أَدْرَى بِمَا رَوَى" وَقَالَ لَمْ يُخَالِفْ ابْنُ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا رِوَايَتَهُ بَلْ هَذَا مَعْنَى الْإِعْفَاء.
Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, seorang perawi hadis, yang meriwayatkan hadis: "U’fuu bil Lihyah : biarkanlah jenggot). Namun beliau sendiri mengambil bagian dari jenggotnya yang lebih dari genggaman.
Maka orang yang berpendapat "tidak boleh", dia merujuk pada Kaidah :
"الْعِبْرَةُ بِرِوَايَةِ الرَّاوِي لَا بِرَأْيِهِ"
"Yang menjadi pegangan adalah berdasarkan riwayat perawi, bukan pendapatnya,"
Sedangkan yang berpendapat bahwa itu boleh, maka dia merujuk pada qaidah :
"الرَّاوِي أَدْرَى بِمَا رَوَى"
"Perawi lebih mengetahui apa yang ia riwayatkan."
Mereka mengatakan bahwa Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma tidak mungkin menyelisihi apa yang dia riwayatkan, bahkan ini adalah makna dari U’fuu”.
FATWA DARUL IFTA MESIR :
Syeikh Lu’ay Ali berkata :
أَكَدَتْ دَارُ الْإِفْتَاءِ أَنَّ اللِّحْيَةَ مِنَ الْفُرُوعِ الْفِقْهِيَّةِ الَّتِي وَقَعَ فِيهَا الْخِلَافُ بَيْنَ الْفُقَهَاءِ، وَالْقَاعِدَةُ فِي ذَلِكَ أَنَّهُ "لَا إِنْكَارَ فِي مَسَائِلَ الْخِلَافِ"، وَأَنَّ "مَنِ ابْتُلِيَ بِشَيْءٍ مِنَ الْخِلَافِ فَلْيُقَلِّدْ مَنْ أَجَازَ" وَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ فِي ذَلِكَ وَلَا حَرَجَ. وَعَلَى ذَلِكَ: فَحَالِقُ اللِّحْيَةِ لَا يُذَمُّ، وَمُعْفِيهَا لَا يُلَامُ.
Dewan Fatwa ( Darul Ifta Mesir) menegaskan bahwa jenggot termasuk cabang-cabang fiqh yang telah terjadi perbedaan pendapat di antara para ahli fiqh. Dan qoidah dalam hal ini adalah :
"لَا إِنْكَارَ فِي مَسَائِلَ الْخِلَافِ"
"Tidak boleh ada pengingkaran dalam masalah perbedaan".
Dan
"مَنِ ابْتُلِيَ بِشَيْءٍ مِنَ الْخِلَافِ فَلْيُقَلِّدْ مَنْ أَجَازَ"
"Siapa yang diuji dengan sesuatu yang diperselisihkan, maka hendaknya bertaklid pada orang yang membolehkan"
Dan tidak ada dosa baginya dalam hal itu. Dengan demikian, yang mencukur jenggot tidak harus dikecam, dan yang membiarkannya tumbuh juga tidak disalahkan.
Dan dia juga berkata :
وَذَهَبَ كَثِيرٌ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَالْمُحَقِّقِينَ إِلَى أَنَّهَا مِنْ سُنَنِ الْعَادَاتِ وَلَيْسَتْ مِنَ الْأُمُورِ التَّعْبُدِيَّةِ، وَأَنَّ الْأَمْرَ الْوَارِدَ فِيهَا لَيْسَ لِلْوُجُوبِ وَلَا الْاِسْتِحَبَابِ، بَلْ هُوَ أَمْرُ إِرْشَادٍ. أَمَّا دَلِيلُ مَنْ قَالَ بِأَنَّ حَلْقَ اللِّحْيَةِ حَرَامٌ فَهُوَ الْأَحَادِيثُ الْخَاصَّةُ بِالْأَمْرِ بِإِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ مُخَالَفَةً لِلْمَجُوسِ وَالْمُشْرِكِينَ.
Banyak ulama dan peneliti berpendapat bahwa masalah jenggot ini adalah termasuk dalam sunnah adat kebiasaan dan bukan dari urusan ibadah, serta bahwa perintah yang terkandung di dalamnya bukan untuk kewajiban dan bukan pula mustahab, tetapi merupakan petunjuk. Adapun dalil bagi mereka yang mengatakan bahwa mencukur jenggot itu haram adalah hadis-hadis khusus yang menyerukan untuk membiarkan jenggot sebagai tanda perbedaan dengan kaum Majusi dan orang-orang musyrik.
*****
RINCIAN PERBEDAAN PENDAPAT BESERTA DALIL MASING-MASING
====
PENDAPAT PERTAMA :
WAJIB MENCUKUR JENGGOT YANG MELEBIHI GENGGAMAN TANGAN
Ini adalah pendapat Husain bin Ali al-Saghnaqi al-Hanafi (w. 714 H), Syeikh al-Albaani -rahimahullah- dan para ulama lainnya . Masalah ini dikenal dengan masalah "Isbaal Jenggot".
Ibnu ’Abidin Al-Hanafy berkata :
وَصَرَّحَ فِي النِّهَايَةِ بِوُجُوبِ قَطْعِ مَا زَادَ عَلَى الْقَبْضَةِ
”Dan telah dijelaskan dalam An-Nihayah [karya Husain bin Ali al-Saghnaqi al-Hanafi (w. 714 H)] atas wajibnya memotong apa-apa yang melebihi genggaman tangan. [Raddul-Mukhtaar 2/418].
Syeikh al-Albaani raḥimahullāh berkata :
يُحَرَّمُ إِسْبَالُ اللِّحْيَةِ فَوْقَ الْقَبْضَةِ كَمَا يُحَرَّمُ إِحْدَاثُ أَيِّ بِدْعَةٍ فِي الدِّينِ.
Haram memanjangkan jenggot lebih dari genggaman tangan seperti haramnya mengada-adakan bid’ah dalam agama (Fatawa Al-Albani 35)
Dan beliau setelah menyebutkan banyak atsar sahabat dan tabi’in yang mencukur jenggot berkesimpulan dengan mengatakan :
وَفِي هَذِهِ الْآثَارِ الصَّحِيحَةِ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ قَصَّ اللِّحْيَةِ، أَوِ الْأَخْذَ مِنْهَا كَانَ أَمْرًا مَعْرُوفًا عِنْدَ السَّلَفِ.
Dan dalam riwayat-riwayat sahih ini terdapat petunjuk bahwa mencukur jenggot, atau mengambil sebagaian darinya, adalah merupakan hal yang biasa dan sudah dikenal di kalangan para Salaf.
[Baca : Silsilah al-Ahādīts al-Da'ifah (5/377)]
Dalam Silsilatul Hudaa Wan-Nuur no. Kaset (527) di sebutkan :
السائل: أَنَّهُ يَحْرُمُ إِسْبَالُ اللِّحْيَةِ فَوْقَ الْقَبْضَةِ.
الشيخ: أَيُّ نَعَمْ كَمَا يَحْرُمُ إِحْدَاثُ أَيِّ بِدْعَةٍ فِي الدِّينِ .
Penanya : Apakah melandaikan jenggot melebihi satu genggaman tangan adalah haram?
Syeikh al-Albaani : Ya, sebagaimana diharamkan mengada-adakan bid'ah apa saja dalam agama.
Dalam (FATAWA ALBANI HAL 52-53) :
السائل: سَمِعْنَا بِأَنَّكُمْ تَقُولُونَ بِأَنَّ إِسْبَالَ اللِّحْيَةِ مِنْ إِسْبَالِ الثَّوْبِ، هَذَا قَوْلُكُمْ؟؟
الشيخ الألباني: إِيهِ نَعَمْ
السائل: مَعْنَى هَذَا أَنَّ مَا طَالَ عَنِ القَبْضَةِ يُحَرَّمُ؟؟
الشيخ: لَقَدْ سَبَقَ الْكَلَامُ السَّائِلُ أَنَّهُ يَحْرُمُ إِسْبَالُ اللِّحْيَةِ فَوْقَ الْقَبْضَةِ
الشيخ: إِيهِ نَعَمْ، كَمَا يَحْرُمُ إِحْدَاثُ أَيِّ بِدْعَةٍ فِي الدِّينِ، يُحَرَّمُ إِسْبَالُ اللِّحْيَةِ فَوْقَ الْقَبْضَةِ كَمَا يُحَرَّمُ إِحْدَاثُ أَيِّ بِدْعَةٍ فِي الدِّينِ
Penanya : Kami Mendengar Bahwa Anda (Syekh Albani) Mengatakan Bahwa Isbal Jenggot Hukumnya Sama Seperti Isbal Pakaian, Apakah Benar Ini Adalah Pendapat Anda?
Syekh Albani : Iya, Benar.
Penanya : Berarti Jenggot Yang Melebihi Genggaman Tangan Adalah Haram ?
Syekh Albani : Ya Benar. Keharamannya sama Seperti Melakukan Bid'ah Dalam Agama, maka Memanjangkan Jenggot Melebihi Genggaman Tangan Adalah haram Sebagaimana halnya bid’ah.
(Baca pula : al-Maktabah asy-Syaamilah al-Hadiitsiyyah 31/236)
Dan Syeikh al-Albaani dalam as-Silsilah adh-Dho’ifah 13/442 berkata :
"فَالْعَجَبُ كُلَّ الْعَجَبِ مِنَ الشَّيْخِ التُّوَيْجِرِيِّ وَأَمْثَالِهِ مِنَ الْمُتَشَدِّدِينَ بِغَيْرِ حَقٍّ، كَيْفَ يَتَجَرَّؤُونَ عَلَى مُخَالَفَةِ هَذِهِ الْآثَارِ السَّلَفِيَّةِ؟! فَيَذْهَبُونَ إِلَى عَدَمِ جَوَازِ تَهْذِيبِ اللِّحْيَةِ مُطْلَقًا؛ وَلَوْ عِنْدَ التَّحَلُّلِ مِنَ الْإِحْرَامِ، وَلَا حُجَّةَ لَهُمْ تُذْكَرُ سِوَى الْوَقُوفِ عِنْدَ عُمُومِ حَدِيث: "… وَأَعْفُوا اللُّحَى"، كَأَنَّهُمْ عَرَفُوا شَيْئًا فَاتَ أُولَئِكَ السَّلَفَ مَعْرِفَتَهُ، وَبِخَاصَّةٍ أَنَّ فِيهِمْ عَبْدَ اللَّهِ ابْنَ عُمَرَ الرَّاوِي لِهَذَا الْحَدِيثِ؛ كَمَا تَقَدَّمَ، وَهُمْ يَعْلَمُونَ أَنَّ الرَّاوِي أَدْرَى بِمَرْوِيِّهِ مِنْ غَيْرِهِ، وَلَيْسَ هَذَا مِنْ بَابِ الْعِبْرَةِ بِرَوَايَتِهِ لَا بِرَأْيِهِ؛ كَمَا تَوْهُمُ الْبَعْضُ.....".
Betapa mengherankannya para ulama seperti al-Tuwayjiri dan yang semisalnya dari kalangan keras kepala tanpa alasan yang jelas, mereka berani menentang jejak-jejak Salaf! Mereka menyatakan bahwa tidak boleh merapikan jenggot sama sekali, bahkan saat tahallul dari ihram. Argumen mereka hanya sebatas hadits umum: "… dan kalian biarkanlah jenggot." Seolah-olah mereka mengetahui sesuatu yang luput dari pemahaman Salaf, terutama ketika di antara mereka itu terdapat Abdullah bin Umar yang meriwayatkan hadits tersebut, sebagaimana telah disebutkan. Padahal mereka tahu bahwa perawi lebih mengetahui tentang apa yang dia riwayatkan daripada orang lain. Ini tidak termasuk dalam BAB : ‘Yang jadi pegangan adalah apa yang diriwayatkan bukan pendapat perawi’, sebagaimana yang diduga oleh sebagian orang.
Dan Syeikh al-Albaani juga berkata :
نَقُولُ أَنَا أَفْهَمُ هَذَا وَدُونِي مَا فَهِمُوا؟ هَذِهِ مَشْكِلَةُ الْخَلْفِ مَشْ مَشْكِلَةُ السَّلَفِ، هَذِهِ مَشْكِلَةُ خَلْفٍ نَحْنُ نَفْهَمُ هَكَذَا، ارْمِ فَهْمَكَ هُنَاكَ عِنْدَ ذَاكَ الْكَوْكَبِ وَسَلِّمْ فَهْمَكَ لِسَلَفِكَ فَهْمًا أَفْهَمَ وَلَا شَكَّ مِنْ أَمْثَالِنَا نَحْنُ الْمُتَأَخِّرِينَ، أَنَا كُنْتُ يَوْمًا مَا مِثْلَكَ، لَكِنَّ اللَّهَ هَدَانَا بِالْآثَارِ السَّلَفِيَّةِ هَذِهِ.
Kami katakan : Apakah saya memahami ini sementara mereka selain diriku tidak memahaminya?
Ini adalah problem generasi kholaf [belakangan], bukan problem generasi salaf [para pendahulu].
Ini adalah masalah generasi kholaf [belakang], kami memahami seperti ini. Maka buanglah pemahaman Anda di sana di dekat planet itu dan ambillah pemahaman Anda dari generasi salaf [terdahulu], yang pemahamannya lebih baik.
Dan tidak ada keraguan bahwa orang-orang seperti kami yang mutaakhirin [generasi akhir]. Dulu saya juga seperti Anda, tetapi Allah telah memberi petunjuk kepada kami melalui atsar-atsar para salaf ini. [Baca : Jaami’ at-Turoots al-‘Allaamah al-Albaani 17/142].
====
DALIL PENDAPAT PERTAMA :
-----
DALIL PERTAMA : ATSAR ABU HURAIRAH radhiyallahu ‘anhu :
Abu Hurairah senantiasa memotong kelebihan panjangnya jenggot dari ukuran genggaman tangan.
Atsar ke 1 :
Dari Abu Zur'ah bin Jarir, ia berkata:
(كَانَ أَبُو هُرَيْرَةَ يَقْبِضُ عَلَى لِحْيَتِهِ، فَمَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ قَبْضَتِهِ جَزَّهُ)
"Abu Hurairah biasa menggenggam jenggotnya, lalu apa yang ada di bawah genggamannya dia memotongnya."
Diriwayatkan oleh Al-Khallal dalam kitab "At-Tarojjul min Kitab al-Jami' li 'Ulum al-Imam Ahmad bin Hanbal" (130).
Al-Albani berkata:
(أَخْرَجَهُ عَنْهُمَا [يَعْنِي عَنْ ابْنِ عُمَرَ وَأَبِي هُرَيْرَةَ] الْخَلَّالُ فِي "التَّرْجُلِ" بِإِسْنَادَيْنِ صَحِيحَيْنِ)
"Al-Khallal meriwayatkannya dari keduanya [yaitu dari Ibnu 'Umar dan Abu Hurairah] dalam 'At-Tarojjul' dengan dua sanad yang sahih." (Silsilah Al-Ahadith Adh-Dha'ifah) (5/379).
Atsar ke 2 :
Dari Abu Hurairah:
(يَقْبِضُ عَلَى لِحْيَتِهِ، ثُمَّ يَأْخُذُ مَا فَضَلَ عَنْ الْقَبْضَةِ)
"Bahwa dia menggenggam jenggotnya, kemudian dia mengambil apa yang melebihi dari genggaman itu."
(Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah (25992)). Al-Albani berkata: "Isnadnya sahih sesuai syarat Muslim." (Silsilah al-Ahadits ad-Da'ifah) (13/440).
DALIL KE DUA : ATSAR ABDULLAH BIN UMAR radhiyallahu ‘anhuma :
Hadits dan Atsar ke 1 :
Dari Abdullah bin Umar (raa) bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
خَالِفُوا المُشْرِكِينَ؛ وَفِّرُوا اللِّحَى، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ. وَكانَ ابنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ قَبَضَ علَى لِحْيَتِهِ، فَما فَضَلَ أَخَذَهُ.
"Berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik, maka lebatkanlah jenggot kalian dan cukurlah kumis kalian."
Sedangkan Ibnu Umar apabila selesai berhaji atau Umrah dia menggenggam jenggotnya lalu memotong yang melebihinya." [HR. Bukhari no. 5892 dan Muslim no. 259].
Atsar ke 2 :
Dari Marwan – yaitu Ibnu Saalim Al-Muqaffa’ – ia berkata :
رَأَيْتُ بِنَ عُمَرَ يَقْبِضُ عَلَى لِحْيَتِهِ فَيَقْطَعُ مَا زَادَ عَلَى الكَفِّ
”Aku pernah melihat Ibnu ’Umar menggenggam jenggotnya, lalu ia memotong apa yang melebihi telapak tangannya”
[HR. Abu Dawud no. 2357 (11) dan lafadz ini memilikinya, serta oleh Ibnu Khuzaimah (60) dan Ad-Daraquthni (1/58)].
Di hasankan oleh al-Albaani dalam Shahih Abu Daud no. 11 dan al-Irwa’ no. 920.
Atsar ke 3 :
Ibnu Khallal dalam "Al-Tarojjul" (hal. 11 - Al-Mushowwaroh) meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Mujāhid, ia berkata:
"رَأَيْتُ ابْنَ عُمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ يَوْمَ النَّحْرِ، ثُمَّ قَالَ لِلْحَاجِمِ: خُذْ مَا تَحْتَ الْقَبْضَةِ."
"Aku melihat Ibnu Umar menahan jenggotnya pada hari Nahr [Idul Adha], kemudian ia berkata kepada tukang cukur: 'Ambilah yang di bawah genggaman ini'."
Dishahihkan sanad nya oleh Syeikh al-Albaani raḥimahullāh dalam Silsilah al-Ahādīts al-Da'ifah (5/375)
Al-Bājī dalam "Syarh al-Muwaththa'" (jilid 3/hal. 32) menjelaskan:
"يُرِيدُ أَنَّهُ كَانَ يَقُصُّ مِنْهَا مَعَ حَلْقِ رَأْسِهِ، وَقَدْ اُسْتَحَبَّ ذَلِكَ مَالِكٌ رَحِمَهُ اللَّهُ، لِأَنَّ الْأَخْذَ مِنْهَا عَلَى وَجْهٍ لَا يُغَيِّرُ الْخِلْقَةَ مِنَ الْجَمَالِ، وَالِاِسْتِئْصَالُ لَهُمَا مُثْلَةٌ".
"Maksudnya adalah bahwa Ibnu Umar biasanya memotong jenggotnya bersamaan dengan mencukur kepala. Hal ini dianjurkan oleh Malik, semoga Allah merahmatinya, karena memotong jenggot pada bagian tertentu tidak mengubah keindahan wajah, adapun mencukur habis keduanya , maka itu adalah sama saja dengan mutslah [merusak bentuk penampilan]."
[ Silsilah al-Ahādīts al-Da'ifah lil-'Allāmah al-Albānī raḥimahullāh: (5/375)]
Atsar ke 4 :
Dari Nafi’ :
أَنَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا أَفْطَرَ مِنْ رَمَضَانَ وَهُوَ يُرِيدُ الْحَجَّ لَمْ يَأْخُذْ مِنْ رَأْسِهِ وَلَا مِنْ لِحْيَتِهِ شَيْئًا حَتَّى يَحُجَّ
Bahwasanya Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma apabila datang selesai bulan Ramadlan ('Iedul-Fithri), dan ia ingin melakukan ibadah haji, maka ia tidak memotong rambut kepalanya dan jenggotnya sedikitpun hingga ia benar-benar melaksanakan haji”
[HR. Malik dalam Al-Muwaththa’ Kitaabun-Nikaah 1/396, dan darinya Asy-Syafi’i meriwayatkan dalam Al-Umm 7/253].
Atsar ke 5 :
Dari Abu Hanifah, dari Al-Haitsam bin Abul haitsam, dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma :
أَنَّهُ كَانَ يَقْبَضُ عَلَى لِحْيَتِهِ ثُمَّ يَقُصُّ مَا تَحْتَ الْقَبْضَةِ.
Bahwasannya ia (Ibnu ’Umar) menggenggam jenggotnya, kemudian memotong apa-apa yang berada di bawah genggaman tersebut”. [ Baca : Tabyiin al-Haqooiq oleh az-Zaila’i 1/331 dan Fatahul Qodiir oleh Ibnu al-Hammaam 2/347]
Berkata Muhammad (bin Al-Hasan) :
وَبِهِ نَأْخُذُ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ.
Kami mengambil pendapat tersebut. Dan itulah perkataan Abu Hanifah” [Al-Aatsaar 900].
Atsar ke 6 :
Dari Ibnu Umar, ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda :
«خُذُوا مِنْ هَذَا، وَدَعُوا هَذَا " يَعْنِي: يَأْخُذُ مِنْ عُنْفُقَتِهِ، وَيَدَعْ مِنْ لِحْيَتِهِ.
"Ambillah rambut bagian dari ini dan tinggalkanlah ini." Yang dimaksud adalah mengambil rambut ‘Unfuqoh [yang tumbuh dibawah bibir] dan meninggalkan jenggotnya."
Al-Haitsami dalam al-Majma no. 8843 berkata :
قُلْتُ: هُوَ فِي الصَّحِيحِ خَلَا الْأَخْذُ مِنَ الْعُنْفُقَةِ». رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ، وَفِيهِ ثُوَيْرُ بْنُ أَبِي فَاخِتَةَ، وَهُوَ مَتْرُوكٌ
Aku bertanya, "Hadis ini dalam hadis shahih kecuali mengambil dari Unfuqoh?"
Hadis ini diriwayatkan oleh Ath-Thabarani, di dalamnya terdapat Tsuwair bin Abi Fakhitah, dan dia adalah perawi yang ditinggalkan”.
DALIL KE TIGA : ATSAR AL-HASAN AL-BASHRI :
Syeikh al-Albaani dalam Jami’ at-Turoots al-‘Allaamah al-Albaani Fii al-Fiqhi 17/142 berkata :
عَنْ عَائِذُ بِنْ حَبِيْبِ بِإِسْنَادِهِ عَنِ الْحَسَنِ قَالَ: كَانَ يُرْخِصُوْنَ فِيْمَا زَادَ عَلَى الْقَبْضَةِ مِنَ اللِّحْيَةِ أَنْ يُؤْخَذَ مِنْهَا.
“Dari ‘Aidz bin Habib meriwayatkan dengan sanadnya dari Al-Hasan, dia berkata: Mereka memperbolehkan untuk memotong bagian yang melebihi genggaman dari jenggot”.
DALIL YANG BISA DIAMBIL :
Pertama: Dari pengambilan Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma rambut yang melebihi sebesar genggaman jenggotnya saat berhaji merupakan bukti bahwa hal tersebut diperbolehkan di luar haji; karena jika itu tidak diizinkan, maka tidak akan diizinkan pula saat haji.
[Baca : kitab "Al-Istidzkar" karya Ibnu Abdul Barr (4/317) dan juga baca kitab "Fathul Bari" karya Ibnu Hajar (10/350).
Kedua: Pengambilan lebih dari genggaman dalam jenggot tidak bertentangan dengan pembiaran tumbuh jenggot. Ibnu Umar adalah perawi hadits: "Biarkanlah jenggot (tumbuh)", dan dia memahami maknanya, namun dia mengambil jenggot yang lebih dari genggaman tangan .
Ketiga : Merujuk pada qaidah :
"الرَّاوِي أَدْرَى بِمَا رَوَى"
"Perawi lebih mengetahui apa yang ia riwayatkan."
Mereka mengatakan bahwa Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma tidak mungkin menyelisihi apa yang dia riwayatkan, bahkan ini adalah makna dari U’fuu” yang dimaksud olehnya.
Ibnu Abdul Barr berkata:
هذَا ابْنُ عُمَرَ رَوَى «أَعْفُوا اللِّحى» وَفَهِمَ الْمَعْنَى، فَكَانَ يَفْعَلُ مَا وَصَفْنَا.
"Ibnu Umar meriwayatkan 'Potonglah jenggotlah' dan dia memahami maknanya, namun dia melakukan seperti yang kami deskripsikan" (Al-Tamhid, 24/146).
Keempat : tidak ada perbedaan hukum, baik saat menunaikan ibadah haji dan umrah, maupun pada selainnya .
Mereka berkata:
لَوْ كَانَ مُحَرَّمًا الْأَخْذُ مِنَ الْقَبْضَةِ لَمَا فَعَلَهَا ابْنُ عُمَرَ لَا فِي الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ وَلَا فِي غَيْرِهِ وَاحْتَجُّوا بِرَوَايَاتٍ أُخْرَى عَنْ أَخْذِ ابْنِ عُمَرَ فِي غَيْرِ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ.
"Jika mengambil dari genggaman tangan itu dilarang, maka tentunya Ibnu Umar pun tidak akan melakukannya, baik dalam haji, umrah, maupun kegiatan lainnya."
Dan mereka juga berhujjah dengan dalil-dalil lain tentang pemotongan jenggot yang dilakukan Ibnu Umar di luar haji dan umrah.
Ibnu Abd al-Barr berkata dalam "Al-Istidzkar" (4/317):
((وَفِي أَخْذِ ابْنِ عُمَرَ مِنْ آخِرِ لِحْيَتِهِ فِي الْحَجِ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ الْأَخْذِ مِنْ اللِّحْيَةِ فِي غَيْرِ الْحَجِ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ غَيْرَ جَائِزٍ مَا جَازَ فِي الْحَجِ … وَابْنُ عُمَرَ رَوَى عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: (وَأَعْفُوا اللِّحَى) وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَعْنَى مَا رَوَى، فَكَانَ الْمَعْنَى عِنْدَهُ وَعِنْدَ جَمِيعِ الْعُلَمَاءِ الْأَخْذُ مِنْ اللِّحْيَةِ مَا تَطَايَرَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ))
"Dan dalam pengambilan Ibnu Umar dari bagian terakhir jenggotnya selama haji menunjukkan bahwa mengambil dari jenggot di luar haji adalah boleh, karena jika tidak boleh, maka tidak akan diperbolehkan selama haji ...
Ibnu Umar adalah perawi hadits Nabi ﷺ : 'Dan biarkanlah jenggot (tumbuh)' dan dia lebih mengetahui makna apa yang dia riwayatkan, maka maknanya menurut Ibnu Umar dan menurut mayoritas para ulama adalah mengambil dari jenggot bagian yang beterbangan [berantakan], wallaahu ‘alam".
=====
PENDAPAT KEDUA :
BOLEH (BUKAN WAJIB) MENCUKUR JENGGOT YANG LEBIH DARI GENGGAMAN TANGAN.
Boleh atau mubah memotong jenggot yang panjang nya melebihi genggaman tangan .
Ini adalah pendapat sekelompok para tabi’in . Dan ini merupakan pendapat Madzhab Hanbali dan yang masyhur dari kalangan Madzhab Hanafiyyah. Dan ini adalah pendapat Imam Malik, Imam Ahmad, Atho, Ibnu Abdil Barr, Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah dan lainnya .
Al-Khallal berkata :
أَخْبَرَنِي حَرْبٌ، قَالَ: سُئِلَ أَحْمَدَ عَنِ الأَخْذِ مِنَ اللِّحْيَةِ، قَالَ: إِنَّ ابْنَ عُمَرَ يَأْخُذُ مِنْهَا مَا زَادَ عَلَى الْقَبْضَةِ، وَكَأَنَّهُ ذَهَبَ إِلَيْهِ، قُلْتُ لَهُ: مَا الإِعْفَاءُ؟ قَالَ: يُرْوَى عَنِ النَّبِيِّ ﷺ. قَالَ: كَأَنَّ هَذَا عِنْدَهُ الإِعْفَاءُ
"Harb memberitahu saya, dia berkata: Ahmad ditanya tentang mengambil dari jenggot, dia berkata: 'Ibnu Umar mengambil jenggot yang lebih dari genggaman’, dan sepertinya dia melakukan seperti itu.'
Saya bertanya kepadanya: 'Apa itu al-i’faa ?' Dia berkata: 'Ini riwayat dari Nabi ﷺ, dan sepertinya dia memahaminya (memotong yang lebih dari genggaman) adalah sebagai praktek al-i’faa'." (Kitab al-Tarajjul, halaman 113).
Hal yang sama dilakukan oleh Abu Hurairah, dia adalah perawi hadits yang tentunya lebih mengetahui makna hadits daripada mereka yang tidak mendengarnya langsung dari Nabi ﷺ, dan lebih berhati-hati dalam mengikutinya.
(Referensi: "Silsilah al-Ahadits adh-Dha'ifah wal Mawdu'ah" oleh Al-Albani, 5/378).
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyyah:
(وَأَمَّا إِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ: فَإِنَّهُ يُتْرَكُ، وَلَوْ أَخَذَ مَا زَادَ عَلَى الْقَبْضَةِ لَمْ يُكْرَهْ، نُصَّ عَلَيْهِ، كَمَا تَقَدَّمَ عَنِ ابْنِ عُمَرَ وَكَذَا أَخَذَ مَا تَطَايَرَ مِنْهَا).
"Adapun makna (إِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ): maka itu dibiarkan, dan jika seseorang mengambil yang lebih dari ukuran genggaman tangan , maka itu tidak dimakruhkan. Ini telah dijelaskan, seperti yang telah disebutkan dari Ibnu Umar, dan juga memotong bagian rambut jenggot yang berkibaran tertiup angin." ("Syarh al-‘Umdah") (1/226).
Diantara mereka yang berpendapat seperti ini dari kalangan salaf adalah Abu Hurairah, Ibnu Umar, dan al-Hasan. Lihat: "Musannaf Ibnu Abi Syaibah" (5/225), "al-Istidzkar" oleh Ibnu Abdul Barr (4/318).
Dari Abu Hanifah, dari Al-Haitsam bin Abul Haitsam, dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma :
أَنَّهُ كَانَ يَقْبَضُ عَلَى لِحْيَتِهِ ثُمَّ يَقُصُّ مَا تَحْتَ الْقَبْضَةِ.
Bahwasannya ia (Ibnu ’Umar) menggenggam jenggotnya, kemudian memotong apa-apa yang berada di bawah genggaman tersebut”. [ Baca : Tabyiin al-Haqooiq oleh az-Zaila’i 1/331 dan Fatahul Qodiir oleh Ibnu al-Hammaam 2/347]
Berkata Muhammad (bin Al-Hasan) :
وَبِهِ نَأْخُذُ، وَهُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ.
Kami mengambil pendapat tersebut. Dan itulah perkataan Abu Hanifah” [Al-Aatsaar 900].
Al-Ghazali berkata:
وَقَدْ اخْتَلَفُوا فِيمَا طَالَ مِنْهَا؛ فَقِيلَ: إنَّ قَبْضَ الرَّجُلِ عَلَى لِحْيَتِهِ، وَأَخَذَ مَا فَضَلَ عَنْ الْقَبْضَةِ فَلَا بَأْسَ، فَقَدْ فَعَلَهُ ابْنُ عُمَرَ وَجَمَاعَةٌ مِنَ التَّابِعِينَ، وَاسْتَحْسَنَهُ الشُّعْبِيُّ وَابْنُ سِيرِينَ، وَكَرِهَهُ الْحَسَنُ وَقَتَادَةُ، وَقَالَا: تَرْكُهَا عَافِيَةً أَحَبُّ؛ لِقَوْلِهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «أَعْفُوا اللِّحَى» وَالْأَمْرُ فِي هَذَا قَرِيبٌ إنْ لَمْ يَنْتَهِ إلَى تَقْصِيصِ اللِحْيَةِ وَتَدْوِيرِهَا مِنَ الْجَوَانِبِ.
"Mereka berselisih tentang apa yang dimaksud panjang darinya ?
Ada yang mengatakan: Jika seorang pria menggenggam kumisnya dan mengambil apa yang melebihi dari genggaman itu, tidak masalah. Ini telah dilakukan oleh Ibnu Umar dan sekelompok besar dari tabi'in, dan disukai oleh al-Sya'bi dan Ibnu Sirin.
Tetapi al-Hasan dan Qatadah mengkritiknya dan mengatakan: Membiarkannya panjang lebih baik dalam kondisi sehat wal ‘afiyat, karena sabda beliau ﷺ: "Biarkanlah kumis tumbuh". Dan masalah ini dekat dengan makna hadits jika tidak berujung pada pemotongan jenggot dan memotongnya melingkar dari semua sisi." (Ihya Ulumuddin) (1/143).
Menurut mazhab Hanafi, mengambil kelebihan dari kumis di luar genggaman itu dianjurkan. Lihat: "Al-Binayah fi Syarh al-Hidayah" oleh Al-Aini (4/73), "Al-Fatawa al-Hindiyyah" (5/358), "Al-Durr al-Mukhtar li al-Haskafi wa Hashiyah Ibn Abidin" (2/418).
Dan Al-Nafrawi al-Maliki berkata: "Al-Baji berkata: 'Memotong apa yang melebihi genggaman tangan.'" ("Al-Fawakih al-Dawani" (2/307)).
Al-Hashkafi berkata:
(وأمَّا الأخذُ منها وهي دونَ ذلك [أي: دونَ القَبضةِ] كما يفعَلُه بعضُ المغاربة، ومُخَنَّثةُ الرِّجالِ، فلم يُبِحْه أحَدٌ).
"Adapun mengambil sebagian dari jenggot yang panjangnya kurang dari itu [yaitu, panjangnya kurang dari genggaman tangan] seperti yang dilakukan beberapa orang Maghrib dan kaum yang memfitnah laki-laki, maka tidak seorang pun yang menghalalkannya." (Al-Durr al-Mukhtar) (2/418).
Sebagaimana yang telah disebutkan diatasa bahwa madzhab Imam Ahmad bin Hanbal adalah membolehkan memotong/mencukur jenggot selebih genggaman tangan.
Telah berkata Al-Khalaal : Telah mengkhabarkan kepadaku Harb, ia berkata :
Ahmad (bin Hanbal) pernah ditanya tentang memotong jenggot. Maka beliau menjawab : ”Sesungguhnya Ibnu ’Umar memotongnya, yaitu rambut jenggot yang melebihi genggaman tangannya”. (Harb berkata) : ”Seakan-akan beliau berpendapat dengan perbuatan Ibnu ’Umar tersebut”.
Aku (Harb) bertanya kepada beliau : ”Apa hukumnya memelihara (jenggot) ?”. Beliau berkata : ”Telah diriwayatkan dari Nabi ﷺ (tentang perintah tersebut)”. Harb berkata : ”Seakan-akan beliau berpendapat tentang wajibnya memelihara jenggot (yaitu tidak boleh memotongnya sama sekali)”.
Selanjutnya Al-Khalaal berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Muhammad bin Harun, bahwasannya Ishaq (bin Haani’) telah menceritakan kepada mereka, bahwa ia berkata:
”Aku bertanya kepada Ahmad (bin Hanbal) tentang seorang laki-laki yang memotong rambut yang tumbuh di kedua pipinya”.
Maka beliau menjawab : ”Hendaknya ia memotong jenggotnya yang panjangnya melebihi genggaman tangan”.
Aku (Ishaaq) berkata : ”Bagaimana dengan hadits Nabi ﷺ : Potonglah kumis dan peliharalah jenggot ?”.
Maka beliau menjawab : ”Hendaknya ia memotong karena panjang jenggotnya (yang melebihi genggaman tangan), dan (rambut yang tumbuh) di bawah tenggorokannya”.
(Ishaq berkata) : Aku melihat Abu ’Abdillah (Ahmad bin Hanbal) memotong panjang jenggotnya (yang melebihi genggaman tangan) dan (rambut yang tumbuh) di bawah bibirnya” [Kitab At-Tarajjul min Kitaabil-Jaami’ hal. 113-114].
Ibnu Abd al-Barr berkata dalam "Al-Istidzkar" (4/317):
((وَفِي أَخْذِ ابْنِ عُمَرَ مِنْ آخِرِ لِحْيَتِهِ فِي الْحَجِ دَلِيلٌ عَلَى جَوَازِ الْأَخْذِ مِنْ اللِّحْيَةِ فِي غَيْرِ الْحَجِ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ غَيْرَ جَائِزٍ مَا جَازَ فِي الْحَجِ … وَابْنُ عُمَرَ رَوَى عَنْ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -: (وَأَعْفُوا اللِّحَى) وَهُوَ أَعْلَمُ بِمَعْنَى مَا رَوَى، فَكَانَ الْمَعْنَى عِنْدَهُ وَعِنْدَ جَمِيعِ الْعُلَمَاءِ الْأَخْذُ مِنْ اللِّحْيَةِ مَا تَطَايَرَ وَاللَّهُ أَعْلَمُ))
"Dan dalam pengambilan Ibnu Umar dari bagian terakhir jenggotnya selama haji menunjukkan bahwa mengambil dari jenggot di luar haji adalah boleh, karena jika tidak boleh, maka tidak akan diperbolehkan selama haji ...
Ibnu Umar adalah perawi hadits Nabi ﷺ : 'Dan biarkanlah jenggot (tumbuh)' dan dia lebih mengetahui makna apa yang dia riwayatkan, maka maknanya menurut Ibnu Umar dan menurut mayoritas para ulama adalah mengambil dari jenggot bagian yang beterbangan [berantakan], wallaahu ‘alam".
Dan Syekh Abdul Rahman bin Qasim dalam risalahnya “تَحْرِيمُ حَلْقِ اللِحْيَ” hal. 11 berkata:
"وَرَخَّصَ بَعْضُ أَهْلِ الْعِلْمِ فِي أَخْذِ مَا زَادَ عَنْ الْقَبْضَةِ لِفِعْلِ ابْنِ عُمَرَ، وَأَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ يَكْرَهُهُ، وَهَذَا أَظْهَرُ لِمَا تَقَدَّمَ، وَقَالَ النَّوَوِيُّ: وَالْمُخْتَارُ تَرْكُهَا عَلَى حَالِهَا وَأَلَا يَتَعَرَّضَ لَهَا بِتَقْصِيرٍ شَيْءٌ أَصْلًا... وَقَالَ فِي الدُّرِّ الْمُخْتَارِ: وَأَمَّا الْأَخْذُ مِنْهَا وَهِيَ دُونَ الْقَبْضَةِ فَلَمْ يُبَحْهُ أَحَدٌ"
"Sebagian para ulama mengizinkan memotong jenggot lebih dari genggaman ; karena berdasarkan amalan Ibnu Umar, namun kebanyakan ulama memakruhkannya. Pendapat ini lebih jelas dari apa yang telah disebutkan. Al-Nawawi berkata: "Pilihan yang terbaik adalah membiarkannya dalam keadaannya tanpa mengurangi apapun, biarkan sesuai asalnya ... Dan dalam kitab Al-Durr al-Mukhtar, dia berkata: "Adapun mengambilnya saat jenggot belum mencapai genggaman, maka tidak ada yang menghalalkannya." (Ringkasan)
DALIL PENDAPAT KEDUA :
Dalil nya sama dengan pendapat pertama .
=====
PENDAPAT KE TIGA :
BOLEH CUKUR JENGGOT SAAT IBADAH HAJI DAN UMROH .
Membiarkan jenggot sebagaimana adanya, kecuali dalam ibadah haji dan ’umrah dimana diperbolehkan memotong apa-apa yang berada di bawah genggaman tangan dari panjang jenggotnya. Pendapat ini merupakan pendapat yang dipegang oleh mayoritas tabi’in, Asy-Syafi’i, (hal yang disukai) oleh Malik, dan ulama yang lainnya.
[Lihat: "Al-Majmu' " oleh al-Nawawi (1/290), "Tuhfat al-Muhtaj" oleh Ibn Hajar al-Haytami (9/375), "Al-Inshaf" oleh al-Mardawi (1/96), "Kasyaaf al-Qina'" oleh al-Buhuti (1/75), "Mathalib Uli al-Nuha" oleh al-Rahibani (1/85)].
Madzhab Imam Malik adalah sebagaimana tertera dalam Al-Muwaththa’ dimana beliau membawakan riwayat Ibnu ’Umar yang membolehkan memotong jenggot yang melebihi genggaman tangan di waktu haji dan ’umrah [Al-Muwaththa’ 1/318].
Imam Malik tidak memberikan kelongaran dalam memotong jenggot kecuali saat haji dan ’umrah [Ikhtilaaful-Imam Malik wasy-Syafi’i 7/253]. Beliau hanya menyukainya saja dan tidak mewajibkannya [Al-Mudawwanah 2/430].
Ar-Rabi’ bin Sulaiman bin ’Abdil-Jabbar bin Kamil (salah seorang murid besar dari Imam Asy-Syafi’i) meriwayatkan bahwa Imam Asy-Syafi’i membolehkan memotong jenggot yang panjangnya melebihi satu genggam berdasarkan riwayat Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma. Ar-Rabi’ berkata :
قَالَ الشَّافِعِيُّ: "وَأَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا حَلَقَ فِي حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ أَخَذَ مِنْ لِحْيَتِهِ وَشَارِبِهِ." [قَالَ الرَّبِيعُ]: قُلْتُ: "فَإِنَّا نَقُولُ: لَيْسَ عَلَى أَحَدٍ الْأَخْذُ مِنْ لِحْيَتِهِ وَشَارِبِهِ، إِنَّمَا النُّسُكُ فِي الرَّأْسِ؟" قَالَ الشَّافِعِيُّ: "وَهَذَا مِمَّا تَرَكْتُمْ عَلَيْهِ بِغَيْرِ رِوَايَةٍ عَنْ غَيْرِهِ عِنْدَكُمْ عَلِمْتُهَا."
Asy-Syafi'i berkata: "Dan kami diberitahu oleh Malik dari Nafi 'bahwa Ibnu Umar ketika mencukur di saat haji atau umrah, dia mengambil dari jenggot dan kumisnya."
Aku (yaitu Ar-Rabi’) berkata : ”Sesungguhnya kami berkata : Tidak boleh bagi seorangpun untuk memotong jenggot dan kumisnya. Bukankah dalam ibadah haji hanya disyari’atkan mencukur kepala saja ?”. Maka Asy-Syafi’i berkata : ”Ini termasuk hal yang kalian tinggalkan atasnya tanpa dasar riwayat dari selainnya di sisi kalian yang aku ketahui”
[Baca : Ikhtilaaful-Imam Malik wasy-Syafi’i 7/253].
Dalam kitab lain Imam Asy-Syafi’i berkata :
وَأَحَبُّ إلَيَّ لَوْ أَخَذَ مِنْ لِحْيَتِهِ وَشَارِبِهِ، حَتَّى يَضَعَ مِنْ شَعْرِهِ شَيْئًا لله، وَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ النُّسُكَ إنْمَا هُوَ فِي الرَّأْسِ لَا فِي اللِّحْيَةِ.
”Aku menyukai jika ia memotong jenggot dan kumisnya, hingga ia meletakkan dari rambutnya sesuatu karena Allah. Jika ia tidak melakukannya, maka tidak apa-apa baginya, karena dalam ibadah haji yang wajib hanyalah (memotong) rambut kepala, tidak pada jenggot” [Al-Umm 2/2032].
DALIL PENDAPAT KE TIGA :
Pendapat ini dibangun dengan dalil atsar Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma, sebagaimana yang telah disebutkan pada dalil-dalil pendapat pertama, diantaranya adalah sbb :
Dari Nafi’, dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma dari Nabi ﷺ, beliau bersabda :
خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ وَفِّرُوْا اللِّحَى وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ إذَا حَجَّ أَوْ اعْتَمَرَ قَبَضَ عَلَى لِحْيَتِهِ فَمَا فَضَلَ أَخْذُهُ.
”Selisilah oleh kalian orang-orang musyrik, lebatkanlah jenggot dan potonglah kumis”. (Nafi’ berkata : ) ”Adalah Ibnu ’Umar, jika ia menunaikan ibadah haji atau ’umrah, maka ia menggenggam jenggotnya. Maka apa-apa yang melebihi dari genggaman tersebut, ia potong” [HR. Bukhari no. 5553 dan Muslim no. 259]
=====
PENDAPAT KEEMPAT :
BOLEH MENCUKUR JENGGOT KETIKA TERLALU PANJANG DAN MERUSAK BENTUK PENAMPILAN.
Ini adalah pendapat Imam Ahmad, ‘Atho, Madzhab Maliki dan Ibnu ‘Abidin dari Madzhab Hanafi. Mereka berkata :
إِذَا طَالَتْ اللِّحْيَةُ كَثِيرًا بِحَيْثُ خَرَجَتْ عَنِ الْمُعْتَادِ لِغَالِبِ النَّاسِ، فَيُنْدَبُ قَصُّ الزَّائِدِ بِمَا تَحْسُنُ بِهِ الْهَيْئَةُ؛ لِأَنَّ بَقَاؤَهَا يَقْبُحُ بِهِ الْمَنْظَرُ، وَيَجُوزُ أَيْضًا الْقَصُّ مِنْهَا إِنْ طَالَتْ قَلِيلًا وَلَمْ يَحْصُلْ بِالْقَصِّ مُثْلَةٌ.
jika kumis terlalu panjang sehingga melebihi standar yang umum bagi kebanyakan orang, disarankan untuk memotong kelebihannya sesuai dengan yang membuat penampilan menjadi lebih baik, karena kelebihan tersebut membuat penampilan menjadi tidak enak dilihat. Juga diizinkan untuk memotongnya sedikit jika terlalu panjang tanpa terjadi mutslah [merusak bentuk penampilan].
[Lihat : "Hashiyah al-Adawi 'ala Kifayat al-Talib al-Rabbani" (2/581), "Al-Fawakih al-Dawani" oleh al-Nafrawi (2/307)].
Abu al-Walid al-Baaji dalam al-Muntaqaa 7/266 berkata :
وَقَدْ رَوَى ابْنُ الْقَاسِمِ عَنْ مَالِكٍ لَا بَأْسَ أَنْ يُؤْخَذَ مَا تَطَايَرَ مِنْ اللِّحْيَةِ وَشَذَّ، قِيلَ لِمَالِكٍ فَإِذَا طَالَتْ جِدًّا قَالَ: أَرَى أَنْ يُؤْخَذَ مِنْهَا وَتُقَصَّ وَرُوِيَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ وَأَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُمَا كَانَا يَأْخُذَانِ مِنْ اللِّحْيَةِ مَا فَضَلَ عَنْ الْقَبْضَةِ
Ibnu al-Qasim meriwayatkan dari Malik, "Tidak mengapa untuk mengambil bagian-bagian yang beterbangan (berserakan) dari jenggot dan yang susah dirapihkan."
Ketika ditanya kepada Malik tentang jika jenggotnya sangat panjang, ia berkata: "Saya pikir boleh untuk mengambilnya dan memotongnya." Dan juga diriwayatkan dari Abdullah bin Umar dan Abu Hurairah bahwa keduanya biasa mengambil bagian yang melebihi genggaman dari jenggot”.
[ Lihat pula : at-Tamhiid karya Ibnu Abdil Barr 24/143, al-Masaalik oleh Abu Bakr Ibnu al-‘Arabi al-Isybiili 7/475]
Al-Adawi berkata:
(وَإِعْفَاءُ اللِّحَى وَهُوَ لِلْوُجُوبِ إِذَا كَانَ يَحْصُلُ بِالْقَصِّ مُثْلَةٌ، وَلِلنَّدْبِ إِذَا لَمْ يَحْصُلْ بِهِ مُثْلَةٌ وَلَمْ تَطُلْ كَثِيرًا فِيمَا يَظْهَرُ).
"Membiarkan jenggot tumbuh, yang wajib adalah jika dengan pemendekan tersebut terjadi mutslah [merusak penampilan], dan disunnahkan jika tidak terjadi mutslah dan terlihat tidak terlalu kepanjangan." ("Hashiyah al-Adawi") (2/580).
Dia juga berkata:
(وَالظَّاهِرُ أَنَّ مَحَلَّ الْحُرْمَةِ... إِذَا كَانَ يَحْصُلُ بِالْقَصِّ مُثْلَةٌ وَهُوَ ظَاهِرٌ عِنْدَ عَدَمِ الطُّوْلِ أَوْ الطُّوْلِ الْقَلِيلِ وَتَجَاوَزَ فِي الْقَصِّ وَأَمَّا إِذَا طَالَتْ قَلِيلًا وَكَانَ الْقَصُّ لَا يَحْصُلُ بِهِ مُثْلَةٌ فَالظَّاهِرُ أَنَّهُ خِلَافُ الْأُوْلَى).
"Yang jelas adalah bahwa letak keharamannya ... jika terjadi mutslah dengan pemendekan tersebut. Dan itu akan terlihat ketika tidak panjang atau sedikit kurang panjang, karena berlebihan dalam pemendekan . Dan adapun jika lebih panjang meski sedikit dan tidak terjadi mutslah dengan pemendekannya, maka yang nampak hukumnya adalah hanya tidak afdhol (Khilaaful Awlaa)." ("Hashiyah al-Adawi") (2/581).
Ibnu Hani' dalam “Masaa’il”-nya (2/151) berkata :
((سَأَلْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ عَنْ الرَّجُلِ يَأْخُذُ مِنْ عَارِضَيْهِ؟ قَالَ: يَأْخُذُ مِنْ اللِّحْيَةِ مَا فَضَلَ عَنْ الْقَبْضَةِ، قُلْتُ: فَحَدِيثُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: (أَحْفُوا الشُّوَارِبَ وَأَعْفُوا اللِّحَى) قَالَ: يَأْخُذُ مِنْ طُولِهَا وَمِنْ تَحْتِ حَلْقِهَا، وَرَأَيْتُ أَبَا عَبْدِ اللهِ يَأْخُذُ مِنْ عَارِضَيْهِ وَمِنْ تَحْتِ حَلْقِهِ)) أ. هـ
"Aku bertanya kepada Abu Abdullah tentang seorang pria yang mengambil dari ujung sisi kanan kiri jenggotnya?" Dia berkata: "Dia boleh mengambil dari jenggotnya yang melebihi genggaman tangan."
Aku berkata: "Apa pendapat tentang hadis Nabi ﷺ: 'Potong pendeklah kumis dan biarkanlah jenggot'?"
Dia berkata: "Dia bisa mengambil bagian yang panjang dan bagian bawah yang panjangnya melewati tenggorokannya."
Aku melihat Abu Abdullah mengambil dari ujung sisi kanan kiri jenggotnya dan bagian bawah yang panjangnya melewati tenggorokan."
Al-Mardawai dalam "Al-Inshaf" (1/121) berkata:
((وَيُعْفِي لِحْيَتَهُ … وَلَا يَكْرَهُ أَخْذُ مَا زَادَ عَلَى الْقَبْضَةِ، وَنَصُّهُ -يَعْنِي أَحْمَدَ- لَا بَأْسَ بِأَخْذِ ذَلِكَ وَأَخْذِ مَا تَحْتَ الْحَلَقِ …)) أ.هـ
"Dia bisa membiarkan jenggotnya... dan tidak dimakruhkan jika mengambil yang melebihi genggaman tangan. Dan nash-nya - maksudnya Ahmad - tidak masalah mengambil itu dan mengambil bagian bawah yang panjangnya melewati tenggorokan..."
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam "Al-Fath" (10/36) berkata:
((قُلْتُ: الذِّي يَظْهَرُ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ لَا يُخْصُّ هَذَا التَّخْصِيصَ بِالنُّسُكِ بَلْ كَانَ يَحْمِلُ الْأَمْرَ بِالإِعْفَاءِ عَلَى غَيْرِ الْحَالَةِ التِّي تَتَشَوَّهُ فِيهَا الصُّورَةُ بِإِفْرَاطِ طُولِ شَعْرِ اللِّحْيَةِ أَوْ عَرْضِهَا)) أ. هـ
"Aku berkata: Nampaknya Ibnu Umar tidak mengkhususkan pemotongan jenggot ini dengan ibadah Haji, namun dia membawakan hukum perintah membiarkan jenggot itu pada kondisi yang tidak merusak keindahan penampilan oleh panjang atau lebarnya rambut jenggot."
Dalam Hasyiah Ibnu 'Abidin (2/459) disebutkan :
((لا بَأْسَ بِأَخْذِ أَطْرَافِ اللِّحْيَةِ إِذَا طَالَتْ)) أ. هـ
"Tidak masalah untuk mengambil bagian ujung jenggot jika sudah terlalu panjang".
---
DALIL PENDAPAT KE EMPAT :
DALIL PERTAMA :
’Atha’ bin Abi Rabbah telah menghikayatkan dari sekelompok shahabat (dan tabi’in) dimana ia berkata :
«كَانُوا يُحِبُّونَ أَنْ يُعْفُوا اللِّحْيَةَ إِلَّا فِي حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ، وَكَانَ إِبْرَاهِيمُ يَأْخُذُ مِنْ عَارِضِ لِحْيَتِهِ»
”Mereka (para shahabat dan tabi’in) menyukai untuk memelihara jenggot, kecuali saat haji dan ’umrah (dimana mereka memotongnya). Dan Ibrahim [an-Nakho’i] mencukur sebagian rambut dari sisi jenggotnya.
[HR. Ibnu Abi Syaibah 5/25482 . Sanadnya dinilai shahih oleh al-Albani dalam as-Silsilah adh-Dha’ifah 13/441-442] .
Riawayat ’Atha’ ini telah memutlakkan [tanpa batasan] perbuatan mencukur jenggot dari para shahabat dan tabi’in untuk memotong jenggot ketika haji dan ’umrah.
DALIL KE DUA :
Dari Ibnu Tawus dari Samak bin Yazid, dia berkata:
«كَانَ عَلِيٌّ يَأْخُذُ مِنْ لِحْيَتِهِ مِمَّا يَلِي وَجْهَهُ»
"Ali -radhiyallaahu ‘anhu- biasa mencukur bagian jenggotnya yang terdekat wajahnya." [HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushonnaf 5/225 no. 25480]
Sanad hadits ini dho’if . Abu Umar ad-Dibyaan berkata :
سَمَاكُ بْنُ يَزِيدَ، ذَكَرَهُ ابْنُ أَبِي حَاتِمٍ، وَسَكَتَ عَلَيْهِ. الْجَرْحُ وَالتَّعْدِيلُ (٤/ ٢٨٠). وَفِيهِ زَمْعَةُ بْنُ صَالِحٍ، قَالَ عَنْهُ الْحَافِظُ فِي التَّقْرِيبِ: ضَعِيفٌ، وَحَدِيثُهُ عِنْدَ مُسْلِمٍ مَقْرُونٌ.
Samak bin Yazid, disebutkan oleh Ibnu Abi Hatim, dan dia diam tentangnya. (Lihat Al-Jarh wa al-Ta'dil 4/280). Dan dalam riwayat tersebut terdapat Zam'ah bin Saleh, yang dijelaskan oleh al-Hafizh dalam at-Taqrir: bahwa dia lemah, dan hadisnya di sisi Muslim selalu maqrun [didampingi hadits lain sebagai penguat]. [ Baca : Mawsuu’ah Ahkaam ath-Thohaarah 3/375]
Namun Al-Albaani dalam Jaami’ at-Turoots al-‘Allaamah al-Albaani 17/141 berhujjah dengan nya akan wajibnya mencukur jenggot yang melebih genggaman tangan .
DALIL KE TIGA :
Ibnu Baththal dalam Syarh al-Bukhari (9/147) berkata:
((قَالَ عَطَاء: لَا بَأْسَ أَنْ يَأْخُذَ مِنْ لِحْيَتِهِ الشَّيْءَ القَلِيلَ مِنْ طُولِهَا وَعَرْضِهَا إِذَا كَثُرَتْ))
"Atho' berkata: Tidak masalah jika seseorang mengambil sedikit dari ujung bawah dan ujung lebar jenggotnya jika sudah banyak."
DALIL KE 4 : Atsar Qosim bin Muhmmad bin Abu Bakar ash-Shiddiq:
Dari Aflah ia berkata :
«كَانَ الْقَاسِمُ إِذَا حَلَقَ رَأْسَهُ أَخَذَ مِنْ لِحْيَتِهِ وَشَارِبِهِ»
”Adalah Al-Qaasim [bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq] jika ia mencukur kepalanya, maka ia pun memotong jenggot dan kumisnya”
[HR. Ibnu Abi Syaibah 5/225 no. 25485].
Di shahihkan sanadnya oleh al-Albani dalam Jami’ at-Turoots al-‘Allaamah al-Albaani Fii al-Fiqhi 17/142 dan di shahihkan pula oleh Abu Umar ad-Dibyaan di footnote Mawsuu’ah Ahkaam ath-Thohaaroh 3/352.
=====
PENDAPAT KE LIMA :
MENCUKUR HABIS JENGGOT ADALAH MAKRUH, BUKAN HARAM:
Sebagian para ulama mengklaim bahwa mencukur jenggot hukumnya makruh bukan haram adalah pendapat madzhab Syafi'i.
Hal ini dinyatakan oleh dua ulama mazhab Syafi'i, yaitu Imam Nawawi dan Imam Rafi'i, dan pendapat mereka dikuatkan oleh ulama- ulama setelah mereka, seperti Ibnu Hajar Al-Haitami dan Ar-Ramli, yang merupakan tokoh penting dalam memberikan fatwa dalam mazhab tersebut.
Al-Imam An-Nawawi –rohimahulloh-mengatakan:
وَالصَّحِيحُ كَرَاهَةُ الْأَخْذِ مِنْهَا مُطْلَقًا بَلْ يَتْرُكُهَا عَلَى حَالِهَا كَيْفَ كَانَتْ، لِلْحَدِيثِ الصَّحِيحِ وَاعْفُوا اللِّحَى. وَأَمَّا الْحَدِيثُ عَمْرو بْن شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ "إِنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَأْخُذُ مِنْ لِحْيَتِهِ مِنْ عَرْضِهَا وَطُولِهَا" فَرَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ بِسَنَدٍ ضَعِيفٍ لَا يُحْتَجُّ بِهِ.
Yang benar adalah makruh memangkas jenggot secara mutlak, akan tetapi ia membiarkan apa adanya, karena adanya hadits shohih “biarkanlah jenggot panjang“. Adapun haditsnya Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari kakeknya: “bahwa Nabi –shollallohu alaihi wasallam– dahulu mengambil jenggotnya dari sisi samping dan dari sisi panjangnya”, maka hadits ini telah diriwayatkan oleh at-Tirmidzi dengan sanad yang lemah dan tidak bisa dijadikan hujjah. (al-Majmu’ 1/343)
Dan Al-Imam An-Nawawi berkata :
وَذَهَبَ بَعْضُ الْعُلَمَاءِ إِلَى التَّخْيِيرِ بَيْنَ الْأَمْرَيْنِ .... وَالْمُخْتَارُ تَرْكُ اللِّحْيَةِ عَلَى حَالِهَا وَأَلَّا يَتَعَرَّضَ لَهَا بِتَقْصِيرٍ شَيْءٌ أَصْلًا وَالْمُخْتَارُ فِي الشَّارِبِ تَرْكُ الِاسْتِئْصَالِ وَالِاقْتِصَارُ عَلَى مَا يَبْدُو بِهِ طَرَفُ الشَّفَةِ وَاللَّهُ أَعْلَمُ
”Sebagian para ulama berpendapat : bebas memilih diantara dua pilihan ...... Dan pilihan terbaik adalah membiarkan jenggot sebagaimana adanya, dan tidak memendekkannya sama sekali. Dan pilihan terbaik tentang kumis adalah meninggalkan pencabutan dan mencukur apa yang terlihat dari ujung bibir. wallaahu a’lam. [Syarh Shahih Muslim 2/154].
Al-Hafidh Al-’Iraqi berkata :
وَاسْتَدَلَّ بِهِ الْجُمْهُورُ عَلَى أَنَّ الْأَوْلَى تَرْكُ اللِّحْيَةِ عَلَى حَالِهَا وَأَنْ لَا يُقْطَعَ مِنْهَا شَيْءٌ، وَهُوَ قَوْلُ الشَّافِعِيِّ وَأَصْحَابِهِ وَقَالَ الْقَاضِي عِيَاضٌ: يُكْرَهُ حَلْقُهَا وَقَصُّهَا وَتَحْرِيقُهَا
”Jumhur ulama berdalil dengannya bahwa yang lebih utama adalah membiarkan jenggot pada kondisinya, tidak memotongnya sedikitpun. Dan ini adalah pendapat Imam Asy-Syafi’i dan para shahabatnya. Dan al-Qodhi Iyadh berkata : Dimakruhkan mencukur habis, memotongnya dan membakarnya”. [Tharhut-Tatsrib 2/83].
Lihatlah pula pernyataan Ar-Ramli dalam kitabnya yang dicetak di hamisy fatwa Ibnu Hajar 4/69:
(بَابُ الْعَقِيقَةِ) (سُئِلَ) هَلْ يَحْرُمُ حَلْقُ الذَّقَنِ وَنَتْفِهَا أَوْ لَا؟
(فَأَجَابَ) بِأَنَّ حَلْقَ لِحْيَةِ الرَّجُلِ وَنَتْفَهَا مَكْرُوهٌ لَا حَرَامٌ، وَقَوْلُ الْحَلِيمِيِّ فِي مِنْهَاجِهِ لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَحْلِقَ لِحْيَتَهُ وَلَا حَاجِبَيْهِ ضَعِيفٌ
“Dalam masalah aqiqah, apakah hukum mencukur jenggot dan mencabut bulu alis atau tidak?' Jawabannya adalah mencukur jenggot dan mencabut bulu alis pada lelaki adalah makruh, bukan haram. Dan pendapat Al-Halimi dalam kitab Manhaj-nya menyatakan bahwa tidak halal bagi siapapun untuk mencukur jenggotnya atau alisnya adalah pendapat yang lemah”. [ Fataawaa ar-Ramly 4/69].
Pendapat tentang makruhnya mencukur jenggot telah dijelaskan dalam kitab “Asy-Syahaadaat” karya Al-Bajuri dalam syarahnya atas karya Al-Khathib dalam fikih Syafi'i."
"Dan Qadhi 'Iyad rahimahullah telah mengatakan :
"يُكْرَهُ حَلْقَهَا وَقَصَّهَا وَتَحْرِيقَهَا، أَمَّا الأَخْذُ مِنْ طُولِهَا وَعَرْضِهَا فَحَسَنٌ، وَتُكْرَهُ الشُّهُرَةُ فِي تَعْظِيمِهَا كَمَا تُكْرَهُ فِي قَصِّهَا وَجَزِّهَا."
"Makruh untuk mencukur, memotong, dan membakar jenggot, namun mengambil bagian dari panjang dan lebar jenggot adalah baik. Makruh hukumnya memasyhurkan jenggot demi untuk mengagungkannya, sama seperti halnya memotongnya dan mencukurnya". [Baca : Syarh Muslim (1/154) karya Nawawi dan al-Jami al-Kamil 12/52 karya adh-Dhiyaa’].
Selain itu, Syaikh Shaththa Ad-Dimyati al-Bakry dalam I’aanah Ath-Thalibin Syarah Fathul Mu’iin (2/386) menyebutkan :
المُعْتَمَدُ عِنْدَ الْغَزَالِيِّ وَشَيْخِ الْإِسْلَامِ -أي الْقَاضِي زَكَرِيَّا الْأَنْصَارِيُّ كَمَا هُوَ اِصْطِلَاحُ الْمُتَأَخِّرِينَ- وَابْنُ حَجَرٍ فِي التُّحْفَةِ وَالرَّمْلِيِّ وَالْخَطِيبِ -أي الشَّرْبِينِيُّ- وَغَيْرُهُمُ الْكَرَاهَةَ.
وَعِبَارَةُ التُّحْفَةِ: (فُرْعٌ) ذَكَرُوا هُنَا فِي اللِّحْيَةِ وَنَحْوِهَا خِصَالًا مَكْرُوهَةً: مِنْهَا نَتْفُهَا وَحَلْقُهَا، وَكَذَا الْحَاجِبَانِ.
'Pendapat yang dipegang teguh oleh Al-Ghazali dan Syaikhul Islam (yakni Qadhi Zakariyya Al-Anshari, sesuai dengan istilah ulama sesudahnya), Ibnu Hajar dalam Tuhfah, Ar-Ramli, Al-Khatib (yakni Asy-Syarbini), dan yang lainnya adalah bahwa mencukur jenggot itu makruh.'
Dan dalam ungkapan kitab "At-Tuhfah": (Cabang) Mereka menyebutkan di sini tentang jenggot dan hal-hal serupa yang makruh, di antaranya mencabutinya dan mencukurnya, serta kedua alisnya”. [Selesai]
----
DALIL PENDAPAT KELIMA : MAKRUH MENYUKUR JENGGOT:
---
DALIL PERTAMA :
ATSAR SAHABAT DAN TABI’IN MENCUKUR JENGGOTNYA TANPA BATAS :
Ke 1 : Atsar Ibnu Abbaas radhiyallahu ‘anhuma :
Dari Ibnu Abbas :
أَنَّهُ قَالَ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى: "ثُمَّ ليَقْضُوا تَفَثَهُمْ": "التَّفَثُ: حَلْقُ الرَّأْسِ، وَأَخْذُ الشَّارِبَيْنِ، وَنَتْفُ الإِبْطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَقَصُّ الأَظْفَارِ، وَالأَخْذُ مِنَ الْعَارِضِينَ، (وَفِي رِوَايَةٍ: اللِّحْيَةُ)، وَرَمْيُ الْجِمَارِ، وَالْمُوَقَّفُ بِعَرَفَةَ وَالْمُزْدَلِفَةَ".
Bahwa dia berkata tentang firman Allah Ta'ala: “Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran (yang ada di badan) mereka” : "at-Tafats adalah mencukur kepala, mencabut kumis, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mengambil rambut jambang di dua sisi, (dan dalam satu riwayat: jenggot), melempar jumrah, serta wuquf di Arafah dan mabit di Muzdalifah."
Diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (4/85) dan Ibnu Jarir dalam "Tafsir" (18/612) .
Dishahihkan sanadnya oleh al-Albaani dalam Silsilah al-Ahādīts al-Da'ifah lil-'Allāmah al-Albānī raḥimahullāh: (5/375)
Ke 2 : Atsar Qosim bin Muhmmad bin Abu Bakar ash-Shiddiq:
Dari Aflah ia berkata :
«كَانَ الْقَاسِمُ إِذَا حَلَقَ رَأْسَهُ أَخَذَ مِنْ لِحْيَتِهِ وَشَارِبِهِ»
”Adalah Al-Qaasim [bin Muhammad bin Abu Bakar ash-Shiddiq] jika ia mencukur kepalanya, maka ia pun memotong jenggot dan kumisnya”
[HR. Ibnu Abi Syaibah 5/225 no. 25485].
Di shahihkan sanadnya oleh al-Albani dalam Jami’ at-Turoots al-‘Allaamah al-Albaani Fii al-Fiqhi 17/142 dan di shahihkan pula oleh Abu Umar ad-Dibyaan di footnote Mawsuu’ah Ahkaam ath-Thohaaroh 3/352.
Ke 3 : Atsar THAWUS :
Dari Ibnu Tawus dari ayahnya Thawus:
أَنَّهُ كَانَ يَأْخُذُ مِنْ لِحْيَتِهِ وَلَا يُوجِبُهُ.
“Bahwa dia memotong rambut dari jenggotnya dan tidak menganggapnya wajib”.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Musannaf (5/225) nomor 25483.
Abu Umar ad-Dibyaan berkata : “ Dan para perawinya adalah orang-orang yang dipercayai”. [Footnote Mawsuu’ah Ahkaam ath-Thohaaroh 3/352].
Di Shahihkan al-Albaani dalam Jami’ at-Turoots al-‘Allaamah al-Albaani Fii al-Fiqhi 17/142.
Ke 4 : Atsar dari Muhammad bin Ka'ab al-Quradhi :
أَنَّهُ كَانَ يَقُولُ فِي هَذِهِ الآيَةِ: (ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ) رَمْيُ الْجِمَارِ، وَذَبْحُ الذَّبِيحَةِ، وَأَخْذُ مِنَ الشَّارِبَيْنِ وَاللِّحْيَةِ وَالأَظْفَارِ، وَالطَّوَافُ بِالْبَيْتِ وَبِالصَّفَا وَالْمَرْوَةِ.
“Bahwa dia mengatakan tentang ayat ini: “Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran (yang ada di badan) mereka” : “yaitu : melempar jumrah, menyembelih hewan kurban, memotong kumis, jenggot, dan kuku, serta melakukan tawaf di Ka'bah, Sa’i Safa dan Marwah”.
[Diriwayatkan Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 18/613].
Al-Albani berkata:
رواه ابنُ جَرِيرٍ أَيْضًا، وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ، أَوْ حسَنَ عَلَى الْأَقَلِ.
"Ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, dan sanadnya sahih, atau setidaknya hasan."
Baca : Silsilah al-Ahādīts al-Da'ifah lil-'Allāmah al-Albānī raḥimahullāh: (5/377)
Ke 5 : Dari Mujahid:
(ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ) قَالَ: حَلْقُ الرَّأْسِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَقَصُّ الْأَظْفَارِ، وَقَصُّ الشَّارِبِ، وَرَمْيُ الْجِمَارِ، وَقَصُّ اللِّحْيَةِ.
Firman Allah SWT "“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran (yang ada di badan) mereka”," Dia berkata: mencukur kepala, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencukur kumis, melempar jumrah, dan memotong jenggot.
[Diriwayatkan Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 18/613]
Syeikh al-Albaani berkata :
عَنْ مُجَاهِدٍ مِثْلَهُ بِلَفْظٍ: "وَقَصَّ الشَّارِبَ ... وَقَصَّ اللِّحْيَةَ". رَوَاهُ ابْنُ جَرِيرٍ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ أَيْضًا.
Dari Mujahid, yang semisal dengannya dengan perkataan: "Dan potonglah kumis ... dan potonglah jenggot." Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dengan sanad yang sahih juga.
[Baca : Silsilah al-Ahādīts al-Da'ifah (5/377)]
Ke 6 : Atsar Ibnu Juraij :
Dari Al-Muharibi, dia berkata:
سَمِعْتُ رَجُلاً يَسْأَلُ ابْنَ جُرَيْجٍ، عَنْ قَوْلِهِ: (ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ)، قَالَ: الْأَخْذُ مِنَ اللِّحْيَةِ، وَمِنَ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيمُ الأَظْفَارِ، وَنَتْفُ الإِبْطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَرَمْيُ الْجِمَارِ.
"Saya mendengar seseorang bertanya kepada Ibnu Juraij tentang perkataannya: (ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ) Dia menjawab: Mengambil rambut dari jenggot, dari kumis, memotong kuku, mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, dan melempar jumrah."
[Diriwayatkan Ibnu Jarir dalam Tafsirnya 18/613]
Ke 7 : Imam Malik dalam "Al-Muwaththa'", menyebutkan :
أَنَّهُ بَلَغَهُ: أَنَّ سَالِمَ بِنَ عَبْدِ اللَّهِ كَانَ إِذَا أَرَادَ أَنْ يُحْرِمَ، دَعَا بِالْجَمَلَيْنِ، فَقَصَّ شَارِبَهُ وَأَخَذَ مِنْ لِحْيَتِهِ قَبْلَ أَنْ يَرْكَبَ، وَقَبْلَ أَنْ يَهِلَّ مُحْرِمًا.
“Bahwa Imam Malik menerima kabar : bahwa Salim bin Abdullah bin Umar biasa, ketika dia hendak ber-ihram, maka memanggil dua untanya, lalu mencukur kumisnya dan memotong jenggotnya sebelum naik ke atasnya, dan sebelum berniat ihram.
[Baca : Silsilah al-Ahādīts al-Da'ifah (5/377)]
Ke 8 : Atsar Hasan Al-Bashri dan Ibnu Sirin rahimahumallah :
Dari Waki’, dari Abu Hilal ia berkata :
سَأَلْتُ الْحَسَنَ وَابْنَ سِيرِينَ فَقَالَا: لَا بَأْسَ بِهِ أَنْ تَأْخُذَ مِنْ طُولِ لِحْيَتِكَ.
Aku bertanya kepada Al-Hasan (Al-Bashri) dan Ibnu Sirin (tentang hukum memotong jenggot), maka mereka menjawab : “Tidak mengapa untuk mengambil/memotong dari panjang jenggotmu”.
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushonnaf 5/226].
Atsar ini adalah dla’if karena kebersendirian Abu Hilaal Ar-Raasiby. Ia adalah seorang rawi yang diperbincangkan yang seseorang tidak boleh berhujjah dengannya jika bersendirian dalam meriwayatkan hadits.
Ibnu Hajar berkata : Ia seorang yang shaduq, tapi layyin (lemah haditsnya)” [At-Taqrib no. 5923].
Adz-Dzahabi berkata : ”Abu Dawud mentsiqahkannya; Abu Hatim berkata : Tempatnya kejujuran; tapi tidak kokoh; An-Nasa’i berkata : Tidak kuat (laisa bil-qawiy); Ibnu Ma’in : Shaduq, dituduh sebagai Qadariyyah; Al-Fallaas berkata : Yahya bin Sa’id tidak meriwayatkan hadits dari Abu Hilal, namun Abdurrahman meriwayatkan darinya” [Mizaanul-I’tidaal no. 7646]. Imam Bukhari memasukkannya sebagai perawi dla’if dalam kitab Adl-Dlu’afaa Ash-Shaghiir (no. 324).
Ke 9 : Atsar Abu Hurairah -radhiyallahu ‘anhu - :
Dari Abu Halal, dia berkata:
حَدَّثَنَا شَيْخٌ - أَظُنُّهُ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ - قَالَ: رَأَيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يَحْفَي عَارِضَيْهِ: يَأْخُذُ مِنْهُمَا. قَالَ: وَرَأَيْتُهُ أَصْفَرَ اللِّحْيَةِ.
"Telah menceritakan kepada kami seorang tua - saya perkirakan dia itu dari penduduk Madinah - dia berkata: 'Saya melihat Abu Hurairah memotong pendek dua rambut jambangnya: yakni dia mengambil sebagian darinya.' Dia berkata: 'Dan saya melihatnya jenggotnya dicelup dengan pewarna kuning.'
[Diriwayatkan oleh Ibnu Sa'ad dalam "Al-Ṭabaqāt" (4/334).
Syeikh al-Albaani berkata :
وَالشَّيْخُ الْمَدَنِيُّ هَذَا أَرَاهُ عُثْمَانَ بِنْ عُبَيْدِ اللَّهِ، فَإِنَّ ابْنَ سَعْدٍ رَوَى بَعْدَهُ أَحَادِيثَ بِسَنَدِهِ الصَّحِيحِ عَنِ ابْنِ أَبِي ذِئْبٍ عَنْ عُثْمَانَ بِنْ عُبَيْدِ اللَّهِ قَالَ: رَأَيْتُ أَبَا هُرَيْرَةَ يُصَفِّرُ لِحْيَتَهُ وَنَحْنُ فِي الْكَتَّابِ. وَقَدْ ذَكَرَهُ ابْنُ حِبَّانَ فِي «الثِّقَاتِ» «3/ 177»، فَالسَّنَدُ عِنْدِي حَسَنٌ. وَاللَّهُ أَعْلَمُ.
قُلْتُ: وَفِي هَذِهِ الْآثَارِ الصَّحِيحَةِ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ قَصَّ اللِّحْيَةِ، أَوِ الْأَخْذَ مِنْهَا كَانَ أَمْرًا مَعْرُوفًا عِنْدَ السَّلَفِ.
Dan Syeikh al-Madani ini saya kira adalah Utsman bin Ubaidillah, karena Ibnu Sa'ad meriwayatkan hadits-hadits setelahnya dengan sanad yang sahih dari Ibnu Abi Dzi’b dari Utsman bin Ubaidillah, dia berkata: 'Saya melihat Abu Hurairah mengkuningkan jenggotnya ketika kami sedang berada di tempat tukang tulis.' Dan Ibnu Hibban telah menyebutkannya dalam "Ath-Thiqāt" (3/177), maka sanadnya menurut pendapat saya adalah Hasan. Wallaahu a’lam.
Saya katakan: Dan dalam riwayat-riwayat sahih ini terdapat petunjuk bahwa mencukur jenggot, atau mengambil sebagaian darinya, adalah merupakan hal yang biasa dan sudah dikenal di kalangan para Salaf.
[Baca : Silsilah al-Ahādīts al-Da'ifah (5/377)]
Atsar ke 10 : Imam asy-Syafi’i rahimahullah:
Ar-Rabi’ bin Sulaiman bin ’Abdil-Jabbar bin Kamil (salah seorang murid besar dari Imam Asy-Syafi’i) meriwayatkan bahwa Imam Asy-Syafi’i membolehkan memotong jenggot yang panjangnya melebihi satu genggam berdasarkan riwayat Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma. Ar-Rabi’ berkata :
قَالَ الشَّافِعِيُّ: "وَأَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ نَافِعٍ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا حَلَقَ فِي حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ أَخَذَ مِنْ لِحْيَتِهِ وَشَارِبِهِ." [قَالَ الرَّبِيعُ]: قُلْتُ: "فَإِنَّا نَقُولُ: لَيْسَ عَلَى أَحَدٍ الْأَخْذُ مِنْ لِحْيَتِهِ وَشَارِبِهِ، إِنَّمَا النُّسُكُ فِي الرَّأْسِ؟" قَالَ الشَّافِعِيُّ: "وَهَذَا مِمَّا تَرَكْتُمْ عَلَيْهِ بِغَيْرِ رِوَايَةٍ عَنْ غَيْرِهِ عِنْدَكُمْ عَلِمْتُهَا."
Asy-Syafi'i berkata: "Dan kami diberitahu oleh Malik dari Nafi 'bahwa Ibnu Umar ketika mencukur di saat haji atau umrah, dia mengambil dari jenggot dan kumisnya."
Aku (yaitu Ar-Rabi’) berkata : ”Sesungguhnya kami berkata : Tidak boleh bagi seorangpun untuk memotong jenggot dan kumisnya. Bukankah dalam ibadah haji hanya disyari’atkan mencukur kepala saja ?”. Maka Asy-Syafi’i berkata : ”Ini termasuk hal yang kalian tinggalkan atasnya tanpa dasar riwayat dari selainnya di sisi kalian yang aku ketahui”
[Baca : Ikhtilaaful-Imam Malik wasy-Syafi’i 7/253].
Dalam kitab al-Umm, Imam Asy-Syafi’i berkata :
وَأَحَبُّ إلَيَّ لَوْ أَخَذَ مِنْ لِحْيَتِهِ وَشَارِبِهِ، حَتَّى يَضَعَ مِنْ شَعْرِهِ شَيْئًا لله، وَإِنْ لَمْ يَفْعَلْ فَلَا شَيْءَ عَلَيْهِ، لِأَنَّ النُّسُكَ إنْمَا هُوَ فِي الرَّأْسِ لَا فِي اللِّحْيَةِ.
”Aku menyukai jika ia memotong jenggot dan kumisnya, hingga ia meletakkan dari rambutnya sesuatu karena Allah. Jika ia tidak melakukannya, maka tidak apa-apa baginya, karena dalam ibadah haji yang wajib hanyalah (memotong) rambut kepala, tidak pada jenggot” [Al-Umm 2/2032].
----
KESIMPULAN SYEIKH AL-ALBAANI raḥimahullāh .
Beliau setelah menyebutkan banyak atsar sahabat dan tabi’in yang mencukur jenggot berkesimpulan dengan mengatakan :
وَفِي هَذِهِ الْآثَارِ الصَّحِيحَةِ مَا يَدُلُّ عَلَى أَنَّ قَصَّ اللِّحْيَةِ، أَوِ الْأَخْذَ مِنْهَا كَانَ أَمْرًا مَعْرُوفًا عِنْدَ السَّلَفِ.
Dan dalam riwayat-riwayat sahih ini terdapat petunjuk bahwa mencukur jenggot, atau mengambil sebagaian darinya, adalah merupakan hal yang biasa dan sudah dikenal di kalangan para Salaf.
[Baca : Silsilah al-Ahādīts al-Da'ifah (5/377)]
----
DALIL KEDUA :
Tidak ada nash yang qot’i (tegas) atau dzonni (indikasi) dalam Al-Quran yang mensyari’atkan membiarkan jenggot tumbuh atau mencukurnya.
DALIL KE TIGA :
Tidak ada satu pun teks dalam hadis-hadits Nabi yang tegas menunjukkan larangan mencukur jenggot.
DALIL KE EMPAT :
Masalah mencukur jenggot atau membiarkannya bukan termasuk dalam masalah-masalah akidah, melainkan masalah-masalah fiqih (far’iyyah atau cabang pokok agama).
DALIL KE LIMA :
Ya, ada hadis-hadits sahih dalam Bukhari dan Muslim yang mengajarkan kita untuk "berbeda dengan Yahudi dan Nasrani", namun berbeda tidak berarti haram hukumnya, karena kita menemukan banyak hal yang ada kesamaan dalam kehidupan sehari-hari dengan mereka, dan hal ini tidak bisa dipungkiri oleh siapapun, bahkan oleh ulama-ulama terkenal yang mengikuti manhaj salafi.
Karena ada hadis-hadits sahih lain yang mengajarkan kita untuk berbeda dengan orang lain, namun sebagian para sahabat tidak melaksanakan perintah ini dan Rasulullah ﷺ tidak menegurnya karena itu (seperti perintah Rasul untuk memangkas kumis, yang berbeda dengan kafir, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari).
DALIL KE ENAM :
Mereka berkata :
إِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ وَقَصُّ الشَّارِبِ وَسَائِرُ الْهَيْئَاتِ لَا إِثْمَ فِي تَرْكِهَا وَإِنْ كَانَتْ مِنَ الْمَأْثُورَاتِ مِنْ هَدْيِ الرَّسُولِ ﷺ؛ لِأَنَّهَا مِنْ شُؤُونِ الْعَادَاتِ الَّتِي مُرَدُّهَا إِلَى مَا تَسْتَحْسِنُهُ بِيئَةُ الشَّخْصِ وَيَأْلَفُهُ النَّاسُ وَيَعْتَادُونَهُ كَمَا يُفْهَمُ ذَلِكَ مِنْ قَوْلِ النَّبِيِّ ﷺ: «عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: -وَذُكِرَ مِنْهَا- قَصُّ الشَّارِبِ، وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ» رَوَاهُ مُسْلِمٌ، فِيُحْمَلُ الْأَمْرُ فِيهَا عَلَى الْاِسْتِحْبَابِ.
Hal-hal yang berkaitan dengan pemeliharaan jenggot, pencukuran kumis, dan penataan penampilan-penampilan fisik lainnya tidak berdosa untuk ditinggalkan, meskipun berasal dari sunnah-sunnah Rasulullah ﷺ. Karena hal-hal tersebut termasuk dalam urusan adat kebiasaan yang bergantung pada apa yang diterima oleh lingkungan individu dan diterima oleh masyarakat serta menjadi adat kebiasaan bagi mereka. Hal ini dapat dipahami dari perkataan Rasulullah ﷺ: "Diantara fitrah manusia adalah mencukur kumis dan memelihara jenggot." (HR. Muslim). Oleh karena itu, hal tersebut hanya dianggap sebagai sesuatu yang dianjurkan [mustahab]”.
Mereka menyatakan bahwa jenggot adalah termasuk dalam katagori urusan adat kebiasaan, bukan termasuk dalam katagori urusan ibadah. Maka perintah yang berkaitan dengan jenggot adalah perintah yang dianjurkan dan petunjuk.
Hal ini didukung dan diperkuat oleh apa yang telah menjadi ketetapan bahwa ketika masalahnya terkait dengan adat atau etika, maka kewajiban tersebut ditiadakan dengan indikasi tersebut.
Al-Hafiz Ibnu Hajar berkata dalam "Fathul Bari" (9/523, penerbit Dar Al-Ma'arifah) ketika menjelaskan hadits tentang “hadits Nabi Muhammad ﷺ memerintahkan Amru bin Salamah untuk makan dengan tangan kanannya”:
[وَقَالَ الْقُرْطُبِيُّ: هَذَا الْأَمْرُ عَلَى جِهَةِ النَّدْبِ؛ لِأَنَّهُ مِنْ بَابِ تَشْرِيفِ الْيَمِينِ عَلَى الشِّمَالِ؛ لِأَنَّهَا أَقْوَى فِي الْغَالِبِ، وَأَسْبَقُ لِلْأَعْمَالِ، وَأَمْكِنُ فِي الْأَشْغَالِ، وَهِيَ مُشْتَقَّةٌ مِنَ الْيَمِينِ.
وَقَدْ شَرَّفَ اللَّهُ أَصْحَابَ الْجَنَّةِ إِذْ نَسَّبَهُمْ إِلَى الْيَمِينِ، وَعَكَسَهُ فِي أَصْحَابِ الشِّمَالِ. قَالَ: وَعَلَى الْجُمْلَةِ فَالْيَمِينُ وَمَا نُسِبَ إِلَيْهَا وَمَا اشْتَقَّ مِنْهَا مَحْمُودٌ لُغَةً وَشَرْعًا وَدِينًا، وَالشِّمَالُ عَلَى نَقِيضِ ذَلِكَ، وَإِذَا تَقَرَّرَ ذَلِكَ فَمِنَ الْآدَابِ الْمُنَاسِبَةِ لِمَكَارِمِ الْأَخْلَاقِ، وَالسِّيرَةِ الْحَسَنَةِ عِنْدَ الْفُضَلَاءِ اِخْتِصَاصُ الْيَمِينِ بِالْأَعْمَالِ الشَّرِيفَةِ، وَالْأَحْوَالِ النَّظِيفَةِ. وَقَالَ أَيْضًا: كُلُّ هَذِهِ الْأَوَامِرِ مِنَ الْمَحَاسِنِ الْمُكْمِلَةِ وَالْمَكَارِمِ الْمُسْتَحْسَنَةِ، وَالْأَصْلُ فِيمَا كَانَ مِنْ هَذَا التَّرْغِيبِ وَالنَّدْبِ] اهـ.
[Al-Qurtubi berkata: Perintah ini hanyalah anjuran [sunnah], karena itu dari upaya memuliakan tangan kanan atas tangan kiri, karena tangan kanan lebih kuat secara umum, dan lebih utama untuk kegiatan, dan lebih memungkinkan dalam pekerjaan, dan itu berasal dari kata 'yamin'.
Allah telah memuliakan penghuni surga dengan mengaitkan mereka dengan tangan kanan, dan sebaliknya untuk penghuni neraka dengan tangan kiri.
Dia berkata: Secara keseluruhan, tangan kanan dan segala sesuatu yang dikaitkan dengannya dan yang berasal darinya dipuji secara bahasa, syariat, dan agama, dan tangan kiri adalah kebalikannya.
Jika hal itu telah terbukti demikian, maka dari etika yang sesuai dengan keutamaan akhlak dan perilaku yang baik di kalangan orang-orang terhormat adalah pengkhususan tangan kanan untuk tindakan mulia dan keadaan yang bersih.
Dia juga berkata: Semua perintah ini adalah termasuk dalam kebaikan yang melengkapi dan kemulian yang bagus. Dan asal dari semuanya ini adalah at-Targib (anjuran) dan an-Nadb (sunnah)].
Dan berdasarkan hal itu, maka para ulama ahlur ro’yi (ahli logika) menyimpulkan bahwa perintah-perintah yang terkait dengan kebiasaan, makanan, minuman, pakaian, duduk, penampilan, dan lain-lain, maka hukumnya diarahkan pada sunnah karena ada indikasi hubungannya dengan aspek-aspek tersebut.
Beberapa ulama terkemuka juga mengemukakan pandangan serupa; seperti yang disampaikan oleh Syeikh Mahmoud Syaltout dalam bukunya "Al-Fatawa" (hal 210, Penerbit Dar Al-Shorouk), beliau mengatakan:
"أَنَّ الْأَمْرَ كَمَا يَكُونُ لِلْوُجُوبِ يَكُونُ لِمُجَرَّدِ الْإِرْشَادِ إِلَى مَا هُوَ أَفْضَلَ، وَأَنَّ مُشَابَهَةَ الْمُخَالِفِينَ فِي الدِّينِ إِنَّمَا تُحَرَّمُ فِيمَا يُقْصَدُ فِيهِ التَّشَبُّهُ مِنْ خِصَالِهِمْ الدِّينِيَّةِ، أَمَّا مُجَرَّدُ الْمُشَابَهَةِ فِيمَا تَجْرِي بِهِ الْعَادَاتُ وَالْأَعْرَافُ الْعَامَّةُ فَإِنَّهُ لَا بَأْسَ بِهَا وَلَا كَرَاهَةَ وَلَا حُرْمَةَ".
"Perintah, sebagaimana hal wajibnya ditetapkan hanya sebagai petunjuk menuju yang terbaik, dan meniru orang-orang yang berbeda dalam agama, maka itu hanya diharamkan dalam hal meniru sifat-sifat keagamaan mereka. Namun, meniru kebiasaan dan tradisi umum, maka itu tidak masalah, tidak dikecam, dan tidak diharamkan.
Kemudian pada (hal. 229) dia berkata:
[وَالْحَقُّ أَنْ أَمْرَ اللِّبَاسِ وَالْهَيْئَاتِ الشَّخْصِيَّةِ -وَمِنْهَا حَلْقُ اللِّحْيَةِ- مِنَ الْعَادَاتِ الَّتِي يَنْبَغِي أَنْ يَنْزِلَ الْمَرْءُ فِيهَا عَلَى اسْتِحْسَانِ الْبَيْئَةِ؛ فَمَنْ دَرَجَتْ بَيْئَتُهُ عَلَى اسْتِحْسَانِ شَيْءٍ مِنْهَا كَانَ عَلَيْهِ أَنْ يُسَايِرَ بَيْئَتَهُ، وَكَانَ خُرُوجُهُ عَمَّا أَلِفَ النَّاسُ فِيهَا شُذُوذًا عَنْ الْبَيْئَةِ] ا.هـ.
[Dan yang benar adalah bahwa perkara berpakaian dan penampilan pribadi - termasuk di dalamnya adalah mencukur jenggot - merupakan bagian dari kebiasaan yang seseorang seharusnya mempertimbangkannya sesuai dengan lingkungan tempat tinggalnya; jika lingkungannya memandang baik suatu hal, maka dia harus mengikuti lingkungannya, dan jika dia keluar dari kebiasaan yang diterima di lingkungannya, maka itu dianggap sebagai sebuah anomali dari lingkungan tersebut] Selesai.
Dan sebagian para ulama mengatakan:
لَوْ قِيلَ فِي اللِّحْيَةِ مَا قِيلَ فِي الصُّبْغِ مِنْ عَدَمِ الْخُرُوجِ عَلَى الْمَأْلُوفِ مِنْ عِرْفِ أَهْلِ الْبَلَدِ لَكَانَ أَوْلَى، بَلْ لَوْ تُرِكَتْ هَذِهِ الْمَسْأَلَةَ وَمَا أَشْبَهَهَا مِمَّا لَيْسَ فِيهِ قُرْبَةٌ وَلَا يَحْصُلُ مِنْهُ ضَرَرٌ لِلشَّخْصِ وَلَا لِغَيْرِهِ –لَوْ تُرِكَتْ لِظُرُوفِ الْإِنْسَانِ وَتَقْدِيرِهِ وَنِيَّتِهِ مَا كَانَ فِي ذَلِكَ بَأْسٌ.
Jika dalam masalah jenggot dinyatakan sama seperti dalam masalah pewarnaan rambut, yaitu tidak dianggap sebagai hal yang melampaui batas kebiasaan yang dikenal oleh penduduk setempat, maka masalah jenggot juga akan lebih utama . Bahkan, jika masalah ini dan yang serupa dengannya yang tidak memiliki keutamaan agama dan tidak membahayakan diri sendiri atau orang lain, dibiarkan karena keadaan individu, penilaiannya, dan niatnya, maka tidak ada masalah dalam hal itu.
Dalam Kitab Nahjul Balaghah, 2/141, disebutkan bahwa Ali ditanya tentang perkataan Nabi ﷺ:
"غَيِّرُوا الشَّيْبَ وَلَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ" فَقَالَ: إِنَّمَا قَالَ النَّبِيُّ ذَلِكَ وَالدِّينُ قَلَّ، فَأَمَّا الْآنَ وَقَدْ اتَّسَعَ نَطَاقُهُ وَضُرِبَ بِجُرُانِهِ فَامْرُؤٌ وَمَا يَخْتَارُ.
"Warnailah uban dan jangan menyerupai orang-orang Yahudi." Dia menjawab: "Rasulullah ﷺ mengatakan itu dan agama masih sedikit, maka adapun saat ini, cakupan nya telah luas, -situasinya telah berubah dan banyak hal telah berubah- maka pilihannya diberikan pada individu dan seseorang bisa melakukan apa yang dia inginkan."
Ini adalah pendapat-pendapat para ulama , dan setiap Muslim memiliki kebebasan untuk memilih apa yang membuat hatinya yakin, tenang dan tentram. Namun, jika kita melihat dalil-dalil tuntutan (untuk memelihara jenggot) kuat dan bahwa pendapat tentang kewajiban adalah pendapat mayoritas fuqaha, maka itu lebih rajih. Oleh karena itu, bagi siapa yang memelihara jenggotnya merasa yakin akan pahalanya, dan bagi yang mencukurnya tidak dapat memastikan adzab-nya.
Kami menyarankan agar tidak fanatik terhadap perbedaan pendapat dalam masalah ini sampai pada tingkat yang mengarah pada saling hajer, boykot, pertengkaran, penghinaan, dan ketidak mauan bermakmum dalam salat. Karena hukum jenggot ini tidak disepakati oleh para fuqaha secara menyeluruh, dan juga tidak setinggi larangan atas pencurian, riba, suap, dan hal-hal lain yang harus kita perhatikan untuk membersihkan diri dan masyarakat dari mereka. Kita harus menyimpan energi intelektual, emosional, dan psikologis kita untuk waktu di mana agama kita memanggil kita untuk bangkit dan membebaskan mereka dari penindasan musuh, karena itu adalah bagian dari jihad yang tidak akan berakhir hingga hari Kiamat"
=====
PENDAPAT KE ENAM :
HARAM MENCUKUR JENGGOT WALAU HANYA SEDIKIT :
Mayoritas ulama dari berbagai madzhab, seperti Hanafi, Maliki, dan Hanbali, serta sebagian dari mazhab Syafi'i, menyatakan bahwa wajib bagi lelaki untuk membiarkan jenggotnya tumbuh dan haram hukumnya mencukur jenggot tersebut.
Al-Imam Al-Qurthubi dari Madzhab Maliki berkata :
(وَأَمَّا إِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ: فَهُوَ تَوْفِيرُهَا وَتَكْثِيرُهَا... فَلَا يَجُوزُ حَلْقُهَا، وَلَا نَتْفُهَا، وَلَا قَصُّ الْكَثِيرِ مِنْهَا).
(Adapun tentang memelihara jenggot: maka itu adalah membiarkannya tumbuh dan semakin banyak ... Oleh karena itu, tidak boleh mencukur, mencabut, atau memotong sebagian besar dari jenggot). (Al-Mufhim lima Asykala Min Takhliish Kitab Muslim) oleh Al-Qurtubi (1/512)
Ibnu al-Arabi berkata:
(فأمَّا قَصُّ الشَّاربِ وإعفاءُ اللِّحيةِ فمخالفةٌ للأعاجِمِ فإنَّهم يَقُصُّونَ لِحَاهم، ويُوَفِّرونَ شواربَهم، أو يُوفِّرونَهما معًا)
"Adapun memotong kumis dan membiarkan jenggot , maka itu untuk menyelisihi orang-orang ajam (non arab), karena mereka berkebiasaan memotong jenggot mereka dan membiarkan kumis mereka, atau keduanya." (Ahkam al-Qur'an) (1/56).
Ahmad bin Qaasim Al-’Abbaadi Asy-Syafi’i berkata :
قَالَ ابْنُ الرِّفْعَةِ فِي حَاشِيَةِ الْكِفَايَةِ: إِنَّ الْإِمَامَ الشَّافِعِيَّ قَدْ نَّصَّ فِي الْأُمِّ عَلَى تَحْرِيمِ حَلْقِ اللِّحْيَةِ، وَكَذَلِكَ نَّصَّ الزَّرْكَشِيُّ وَالْحُلَيْمِيُّ فِي شُعُوبِ الْإِيمَانِ وَأُسْتَاذُهُ الْقَفَّالُ الشَّاشِيُّ فِي مَحَاسِنِ الشَّرِيعَةِ عَلَى تَحْرِيمِ حَلْقِ اللِّحْيَةِ.
”Telah berkata Ibnur-Rif’ah dalam kitab Haasyiyah Al-Kifaayah : ’Sesungguhnya Imam Asy-Syafi’i telah menegaskan dalam kitab Al-Umm tentang keharaman mencukur jenggot. Dan begitu pula yang ditegaskan oleh Az-Zarkasyi dan Al-Hulaimi dalam kitab Syu’abul-Iman, dan gurunya (yaitu) Al-Qaffaal Asy-Syaasyi dalam kitab Mahaasinusy-Syar’iyyah atas keharaman mencukur jenggot”
[Referensi : Hukmud-Diin fil-Lihyah wat-Tadkhiin oleh ’Ali Al-Halaby hal. 31].
Abu Syaammah Al-Maqdisy Asy-Syafi’y berkata :
وَقَدْ حَدَّثَ قَوْمٌ يَحْلِقُونَ لِحَاهُمْ وَهُوَ أَشَدُّ مِمَّا نُقِلَ عَنْ الْمَجُوسِ أَنَّهُمْ كَانُوا يَقُصُّونَهَا.
”Telah muncul suatu kaum yang biasa mencukur jenggotnya (sampai habis). Hal itu lebih parah dari apa yang ternukil dari orang Majusi dimana mereka hanya memotongnya saja (tidak sampai habis)” [Fathul-Bari 10/351 no. 5553].
As-Saffarini dari Madzhab Hanbaly berkata :
المُعْتَمَدُ في المَذْهَبِ، حُرْمَةُ حَلْقِ اللِحْيَةِ.
”Pendapat yang mu’tamad (resmi/dapat dipercaya) dalam Madzhab (Hanabilah) adalah diharamkannya mencukur jenggot” [Ghadzaaul-Albaab 1/376].
Fatwa syeikh Bin Baaz :
السُّؤَالُ: يَجُوزُ قَصُّ اللِّحْيَةِ يَا شَيْخُ؟
الجَوَابُ: مَا يَجُوزُ قَصُّهَا، وَلَا حَلْقُهَا، بَلْ يُحَرَّمُ ذَلِكَ، وَلَا يَجُوزُ لِلْمُسْلِمِ أَنْ يَقْصَ لِحْيَتَهُ، وَلَا يُحَلِّقُهَا؛ لِأَنَّ هَذَا مُنْكَرٌ، وَخِلَافٌ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ، وَرَسُولُهُ
Pertanyaan: Bolehkah menggunting jenggot Syekh?
Jawabnya: Tidak boleh mengguntingnya atau mencukurnya, bahkan itu diharamkan, dan tidak boleh bagi seorang muslim menggunting atau mencukur jenggotnya; Karena hal ini adalah kemunkaran, dan bertentangan dengan apa yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya [Fataawaa al-Jami’ al-Kabiir]
Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin -semoga Allah merahmatinya- mengatakan:
الْقَصُّ مِنَ اللِّحْيَةِ خِلَافٌ مَا أَمَرَ بِهِ النَّبِيُّ ﷺ فِي قَوْلِهِ: "وَفَّرُوا اللِّحَى"، "أَعْفُوا اللِّحَى"، "أَرْخُوا اللِّحَى" فَمَنْ أَرَادَ اتِّبَاعَ أَمْرِ الرَّسُولِ ﷺ، وَاتِّبَاعَ هُدَاهُ ﷺ، فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْهَا شَيْئًا، فَإِنَّ هُدَى الرَّسُولِ، عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ، أَنْ لَا يَأْخُذَ مِنْ لِحْيَتِهِ شَيْئًا، وَكَذَلِكَ كَانَ هُدَى الْأَنْبِيَاءِ قَبْلَهُمْ.
bahwa memotong jenggot bertentangan dengan apa yang diperintahkan oleh Nabi ﷺ dalam perkataannya: 'Lebatkanlah jenggot kalian', 'Biarkan jenggot kalian', 'Biarkan jenggot kalian panjang'. Oleh karena itu, bagi siapa yang ingin mengikuti perintah Rasulullah ﷺ dan mengikuti sunnah-Nya ﷺ, maka janganlah ia memotong jenggotnya sedikit pun. Karena petunjuk Rasulullah ﷺ, serta para nabi sebelumnya, adalah untuk tidak memotong jenggotnya sama sekali. [Sumber: Fatwa-fatwa Ibnu Utsaimin (11/126)].
Dalam Fatwa Komite Tetap (5/136) Saudi Arabia disebutkan:
وَمَعْنَى إِعْفَاءِ اللِّحْيَةِ تَرْكُهَا لَا تُقَصَّ حَتَّى تَعْفُوَ أَيْ تَكْثُرَ. هَذَا هُدَىهُ ﷺ فِي الْقَوْلِ، أَمَّا هَدْيُهُ فِي الْفِعْلِ فَإِنَّهُ لَمْ يَثْبُتْ عَنْهُ ﷺ أَنَّهُ أَخَذَ مِنْ لِحْيَتِهِ، وَأَمَّا الْحَدِيثُ الَّذِي أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ عَنْ عَمْرِو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ: "أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَأْخُذُ مِنْ لِحْيَتِهِ مِنْ عَرْضِهَا وَطُولِهَا" وَقَالَ التِّرْمِذِيُّ هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ (التِّرْمِذِيُّ: 2912) وَهَذَا الْحَدِيثُ فِي سَنَدِهِ عُمَرُ بْنُ هَارُونَ وَهُوَ مَتْرُوكٌ كَمَا قَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ فِي التَّقْرِيبِ، وَبِذَلِكَ يَعْلَمُ أَنَّهُ حَدِيثٌ لَا يَصِحُّ وَلَا تَقُومُ بِهِ حُجَّةٌ فِي مُعَارَضَةِ الْأَحَادِيثِ الصَّحِيحَةِ الدَّالَّةِ عَلَى وُجُوبِ إِعْفَاءِ اللِّحَى وَتَوْفِيرِهَا وَإِرْخَائِهَا. أَمَّا مَا يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ مِنْ حَلْقِ اللِّحْيَةِ أَوْ أَخْذِ شَيْءٍ مِنْ طُولِهَا أَوْ عَرْضِهَا فَإِنَّهُ لَا يَجُوزُ لِمُخَالَفَةِ ذَلِكَ لِهُدَى الرَّسُولِ ﷺ وَأَمْرِهِ بِإِعْفَائِهَا. وَالْأَمْرُ يَقْتَضِي الْوُجُوبَ حَتَّى يُوجَدَ صَارِفٌ لِذَلِكَ عَنْ أَصْلِهِ وَلَا نَعْلَمُ مَا يُصَرِّفُهُ عَنْ ذَلِكَ. أَهـ.
"Makna membiarkan jenggot adalah membiarkannya tanpa memotongnya sampai jenggot tersebut tumbuh panjang. Ini adalah petunjuk beliau ﷺ dalam sabdanya. Adapun petunjuk beliau dalam perbuatan, maka tidak ada riwayat yang sahih dari beliau ﷺ bahwa beliau memotong jenggotnya.
Adapun hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Amr bin Syuaib dari ayahnya dari kakeknya: 'Bahwa Nabi ﷺ biasa memotong jenggotnya dari bagian samping dan bagian bawahnya.' Maka Tirmidzi berkata: 'Hadits ini adalah hadits gharib' (Tirmidzi: 2912).
Hadits ini dalam sanadnya Umar bin Harun, yang mana hadits tersebut dinilai sebagai mursal oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam al-Taqrib.
Dengan demikian, diketahui bahwa hadits ini tidak sahih dan tidak bisa dijadikan hujjah untuk menentang hadis-hadits sahih yang menunjukkan kewajiban membiarkan jenggot dan memeliharanya. Adapun apa yang dilakukan oleh sebagian orang dalam mencukur jenggot atau memotong sebagian panjang atau lebarnya, maka itu tidak boleh karena bertentangan dengan petunjuk Rasulullah ﷺ dan perintah-Nya untuk membiarkannya.
Perintah tersebut mengindikasikan kewajiban sampai ada alasan yang membolehkan melakukan sebaliknya, dan kami tidak mengetahui hal tersebut. (Selesai).
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata:
قَوْلُهُ: «خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ» فِي حَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ، عِنْدَ مُسْلِمٍ: «خَالِفُوا الْمَجُوسَ» وَهُوَ الْمَرَادُ فِي حَدِيثِ ابْنِ عُمَرَ، فَإِنَّهُمْ كَانُوا يَقْصُّونَ لِحَاهُمْ، وَمِنْهُمْ مَنْ كَانَ يَحْلِقُهَا.
"Perintahnya untuk 'berbeda dengan orang-orang musyrik' dalam hadits Abu Hurairah, dalam riwayat Muslim: 'Berbedalah kalian dengan kaum Majusi,' itulah yang dimaksud dalam hadits Ibnu Umar, karena mereka kaum Majusi biasa memendekkan jenggot mereka, bahkan di antara mereka ada yang mencukurnya habis ." ("Fathul Bari") (10/352).
Dan Al-Albani berkomentar tentang perkataan Ibnu Hajar:
(قُلْتُ: وَفِيهِ إِشَارَةٌ قَوِيَّةٌ إِلَى أَنَّ قَصَّ اللِّحْيَةِ - كَمَا تَفْعَلُ بَعْضُ الْجَمَاعَاتِ - هُوَ كَحْلِقِهَا مِنْ حَيْثُ التَّشَبُّهِ، وَأَنَّ ذَلِكَ لَا يَجُوزُ)
"Aku katakan: Di dalamnya terdapat petunjuk yang kuat bahwa memotong jenggot - sebagaimana dilakukan oleh sebagian jemaah - sama dengan mencukurnya yang mengandung unsur penyerupaan, maka itu tidak diperbolehkan." (As-Silsilah adh-Dho’ifah) (5/125).
Ath-Thabari berkata:
"وَاخْتِلَافُ السَّلَفِ فِي فِعْلِ الْأَمْرَيْنِ بِحَسَبِ اخْتِلَافِ أَحْوَالِهِمْ فِي ذَلِكَ مَعَ أَنَّ الْأَمْرَ وَالنَّهْىَ فِي ذَلِكَ لِلْوُجُوبِ بِالْإِجْمَاعِ، وَلِهَذَا لَمْ يُنْكَرْ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ"
Perbedaan pendapat para salaf dalam pengamalan dua perkara, maka itu disesuaikan dengan perbedaan kondisi mereka dalam hal itu, meskipun hukum perintah dan larangan dalam hal itu adalah wajib, ini berdasarkan Ijma’. Oleh karena itu, sebagian dari mereka tidak ada yang saling menyalahkan sebagian yang lain." (Nail al-Awtar 1/141) dan Syarh Nawawi atas Muslim (14/80).
-------
DALIL PENDAPAT KEENAM : HARAM MENCUKUR JENGGOT WALAUPUN SEDIKIT SAJA :
Para ulama yang berpendapat bahwa mencukur jenggot diharamkan walaupun hanya sedikit saja, mereka berdalil :
(1) Dengan hadits dari Rasulullah.
(2) dengan Ijma’ [kesepakatan para ulama].
(3) Mencukur jenggot itu menyerupai perempuan.
(4) Mengubah ciptaan Allah.
Namun, para ulama yang berpendapat bahwa mencukur habis jenggot itu hukumnya hanya makruh bukan haram, mereka memberikan tanggapan dan bantahan terhadap dalil-dalil mereka yang mengharamkan.
Berikut adalah rincian tanggapan terhadapnya: Perhatikan bahwa tanggapan terhadap dalil pertama dan kedua diambil dari kitab "Ittihaaf Dzawi al-Afhām" karya al-Allamah al-Ghumari.
===
MUNAQOSYAH DALIL HARAM MENCUKUR JENGGOT WALAU SEDIKIT :
====
DALIL PERTAMA: HADITS-HADITS PERINTAH MEMELIHARA JENGGOT :
Hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :
Hadits ke 1 : Dari Abu Hurairah (radhiyallahu ‘anhu) bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
اعْفُوا اللِّحَى، وَخُذُوا الشَّوَارِبَ، وَغَيِّرُوا شَيْبَكُمْ، وَلَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَالنَّصَارَى.
“Peliharalah jenggot dan potonglah kumis dan ubahlah warna uban kalian, janganlah menyerupai orang yahudi dan nashrani”.
[HR. Ahmad no. 5670, 8657]
Hadits shahih sebagaimana yang dinyatakan oleh Syu’aib Al-Arnauth dan Ahmad Syakir dalam Takhrij al-Musnad 16/274 . Dan di shahihkan pula oleh al-Albaani dalam Shahih al-Jami’ no. 1067)
Hadits ke 2 : Dari Abu Hurairah (radhiyallahu ‘anhu) dia berkata, "Rasulullah ﷺ bersabda:
«إِنَّ أَهْلَ الشِّرْكِ يُعْفُونَ شَوَارِبَهُمْ، وَيُحْفُونَ لِحَاهُمْ، فَخَالِفُوهُمْ، فَأَعْفُوا اللِّحَى، وَحُفُّوا الشَّوَارِبَ» "
”Sesungguhnya orang musyrik itu membiarkan kumis mereka lebat dan mencukur jenggot mereka. Maka selisihilah mereka ! Peliharalah jenggot kalian dan potonglah kumis kalian” [HR. Al-Bazzar no. 8123].
Al-Haitsami dalam al-Majma’ 5/166 no. 8845 berkata :
رَوَاهُ الْبَزَّارُ بِإِسْنَادَيْنِ فِي أَحَدِهِمَا عَمْرُو بْنُ أَبِي سَلَمَةَ، وَثَّقَهُ ابْنُ مَعِينٍ وَغَيْرُهُ، وَضَعَّفَهُ شُعْبَةُ وَغَيْرُهُ، وَبَقِيَّةُ رِجَالِهِ ثِقَاتٌ
“Diriwayatkan oleh al-Bazzar dengan dua sanad, salah satunya melalui 'Amr bin Abi Salamah. Ibnu Ma'in dan yang lainnya menilainya tsiqah (tepercaya), sementara Syu'bah dan yang lainnya melemahkannya. Sisa perawinya adalah orang-orang yang dipercaya”.
Hadits ke 3 : Dari Abu Hurairah (radhiyallahu ‘anhu) dia berkata, "Rasulullah ﷺ bersabda:
جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَرْخُوا اللِّحَى خَالِفُوا الْمَجُوسَ
"Kalian cukurlah kumis dan kalian panjangkanlah jenggot !. Berbedalah kalian dengan kaum Majusi!". [HR. Muslim no. 260]
Hadits Abdullah bin Umar radhiyallaahu anhuma :
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
خَالِفُوا المُشْرِكِينَ؛ وَفِّرُوا اللِّحَى، وَأَحْفُوا الشَّوَارِبَ. وَكانَ ابنُ عُمَرَ إِذَا حَجَّ أَوِ اعْتَمَرَ قَبَضَ علَى لِحْيَتِهِ، فَما فَضَلَ أَخَذَهُ.
"Berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik, maka lebatkanlah jenggot dan cukurlah kumis kalian."
Sedangkan Ibnu Umar apabila selesai berhaji atau Umrah dia menggenggam jenggotnya lalu memotong yang melebihinya." [HR. Bukhari no. 5892 dan Muslim no. 259].
Dari Anas radhiyallahu anhu , bahwa Nabi Muhammad ﷺ bersabda,
«خَالِفُوا الْمَجُوسَ جُزُّوا الشَّوَارِبَ وَأَوْفِرُوا اللِّحَى» "
"Berbedalah kalian dengan orang-orang Majusi, maka kalian potonglah kumis dan lebatkanlah jenggot."
Al-Haitsami dalam al-Majma’ no. 8846 berkata :
رَوَاهُ الْبَزَّارُ، وَفِيهِ الْحَسَنُ بْنُ أَبِي جَعْفَرٍ، وَهُوَ ضَعِيفٌ مَتْرُوكٌ.
Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bazzar. Dan di dalamnya terdapat Hasan bin Abi Ja'far, yang dianggap lemah dan ditinggalkan.)
Dari Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu :
قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَهْلَ الْكِتَابِ يَقُصُّونَ عَثَانِينَهُمْ وَيُوَفِّرُونَ سِبَالَهُمْ قَالَ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُصُّوا سِبَالَكُمْ وَوَفِّرُوا عَثَانِينَكُمْ وَخَالِفُوا أَهْلَ الْكِتَابِ
Kami (para sahabat) pun bertanya : “Wahai Rosululoh, sungguh kaum ahli kitab itu (biasa) memangkas jenggot mereka dan melebatkan kumis mereka?”.
Maka Nabi ﷺ menjawab: “Potonglah kumis kalian, dan lebatkanlah jenggot kalian, serta selisilah Kaum Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani)!”.
(HR. Ahmad: 21780, dihasankan oleh Albani, dan dishohihkan oleh Muhaqqiq Musnad Ahmad, lihat Musnad Ahmad 36/613)
Mereka berkata: "Hukum Asalnya dalam perintah itu adalah kewajiban, kecuali jika ada alasan yang memalingkannya kepada hukum selainnya . Rasulullah ﷺ telah memerintahkan untuk membiarkan jenggot tumbuh, dengan tujuan untuk membedakan diri dengan perbuatan orang-orang Yahudi, Nasrani, Majusi dan Musyrik."
------
TANGGAPAN DAN BANTAHAN TERHADAP ISTIDAL MEREKA :
Mereka yang berpendapat mencukur jenggot itu makruh bukan haram, memberikan tanggapan dan bantahan terhadap istidlaal mereka yang tersebut diatas dengan mengatakan:
Perintah untuk membiarkan jenggot selalu terkait dengan tujuan untuk menyelisihi non muslim. Sebagaimana sabda Rasulullah, "Berbedalah kalian dengan orang Yahudi dan Nasrani, maka biarkan jenggot tumbuh ."
Kami telah menemukan bahwa perintah untuk berbeda dengan orang musyrik adalah amalan yang mustahab (dianjurkan) dan bukan kewajiban. Kami juga menemukan qorinah-qarinah yang menunjukkan tidak wajib , yaitu bahwa perintah atas umat Islam untuk menyelisishi umat lainnya hanya diperintahkan dalam hal-hal yang merupakan bagian dari syiar-syiar keagamaan mereka, bukan perintah mutlak.
Dan ada banyak dalil yang menunjukkan bahwa hukum perintah kadang berpaling dari kewajiban menjadi mustahab dalam hal perintah untuk menyelisihi orang-orang non muslim.
Contoh ke 1 :
Adalah perintah untuk mewarnai rambut uban agar berbeda dengan orang Yahudi dan Nasrani, namun pada realitanya tidak dilakukan oleh sejumlah para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Rasulullah ﷺ bersabda : “ Bahwa orang Yahudi dan Nasrani tidak mewarnai rambut ubannya , maka berbedalah kalian dengan mereka” [HR. al-Bukhari dalam kitab Shahih-nya].
Tidak semua sahabat melakukannya dan mereka sepakat bahwa mewarnai rambut uban adalah Mustahab.
Imam an-Nawawi berkata :
وَقَالَ الْقَاضِي اخْتَلَفَ السَّلَفُ مِنَ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ فِي الْخِضَابِ ... فَقَالَ بَعْضُهُمْ تَرْكُ الْخِضَابِ أَفْضَلُ ... وَقَالَ آخَرُونَ الْخِضَابُ أَفْضَلُ وَخَضَّبَ
Qadhi mengatakan bahwa para Salaf, termasuk para Sahabat dan Tabi'in, berbeda pendapat tentang pewarnaan rambut ... Sebagian dari mereka mengatakan bahwa meninggalkan pewarnaan rambut lebih baik ... Dan yang lain mengatakan bahwa pewarnaan rambut lebih baik dan mewarnai. [ Syarah Shahih Muslim oleh an-Nawawi 14/80]
Lalu Imam an-Nawawi berkata :
وَاخْتِلَافُ السَّلَفِ فِي فِعْلِ الْأَمْرَيْنِ بِحَسَبِ اخْتِلَافِ أَحْوَالِهِمْ فِي ذَلِكَ مَعَ أَنَّ الْأَمْرَ وَالنَّهْيَ فِي ذَلِكَ لَيْسَ لِلْوُجُوبِ بِالْإِجْمَاعِ وَلِهَذَا لَمْ يُنْكِرْ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ خِلَافَهُ فِي ذَلِكَ
Perbedaan di antara Salaf dalam melakukan dua perkara ini sesuai dengan perbedaan keadaan mereka dalam hal tersebut. Dengan menetapkan pula bahwa perintah dan larangan dalam hal itu bukanlah suatu kewajiban, ini berdasarkan kesepakatan antar mereka. Oleh karena itu, tidak ada yang menyalahkan yang lain atas perbedaan pendapat mereka dalam hal itu. [ Syarah Shahih Muslim oleh an-Nawawi 14/80].
Qadhi 'Iyadh berkata:
وَقَالَ غَيْرُهُ هُوَ عَلَى حَالَيْنِ فَمَنْ كَانَ فى موضع عادة أهل الصَّبْغُ أَوْ تَرْكُهُ فَخُرُوجُهُ عَنِ الْعَادَةِ شُهْرَةٌ وَمَكْرُوهٌ وَالثَّانِي أَنَّهُ يَخْتَلِفُ بِاخْتِلَافِ نَظَافَةِ الشَّيْبِ فمن كان شَيْبَتُهُ تَكُونُ نَقِيَّةً أَحْسَنَ مِنْهَا مَصْبُوغَةً فَالتَّرْكُ أَوْلَى وَمَنْ كَانَتْ شَيْبَتُهُ تُسْتَبْشَعُ فَالصَّبْغُ أَوْلَى
Dan orang lain - yakni selain al-Tabari dari para ulama - mengatakan - ada dua kondisi :
Pertama : bagi siapa yang dalam adat kebiasaan umumnya adalah melakukan pewarnaan rambut atau meninggalkannya, maka jika keluar dari kebiasaan itu adalah termasuk perbuatan syuhroh dan keterpaksaan.
Yang kedua adalah bahwa hal itu bersifat kondisionla tergantung pada kebersihan uban seseorang, maka bagi yang ubannya bersih, dan nampak lebih baik daripada diwarnai, maka meninggalkannya adalah yang lebih baik. Dan bagi yang ubannya tampak tidak enak dipandang, maka pewarnaan adalah yang lebih baik. [ Di kutip dari Syarah Shahih Muslim oleh an-Nawawi 14/80].
Contoh ke 2 :
Adalah perintah Rasulullah untuk memotong kumis agar berbeda dengan orang kafir. Namun Umar bin Khattab biasa membiarkan kumisnya panjang sampai pada tingkat bahwa ia senantiasa memilin kumisnya ketika marah.
Dari Amir bin Abdullah bin Zubair :
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ إِذَا غَضِبَ فَتَلَ شَارِبَهُ وَنَفَخَ
“Bahwa Umar bin Khattab ketika marah, dia memilin [memelintir] kumisnya dan menghembuskan napas.
[HR. Thabarani dalam al-Kabiir 1/66 no. 54]
Al-Haitsami dalam al-Majma’ 5/166 no. 8840 berkata :
رَوَاهُ الطَّبَرَانِيُّ، وَرِجَالُهُ رِجَالُ الصَّحِيحِ خَلَا عَبْدَ اللَّهِ بْنَ أَحْمَدَ، وَهُوَ ثِقَةٌ مَأْمُونٌ إِلَّا أَنَّ عَامِرَ بْنَ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الزُّبَيْرِ لَمْ يُدْرِكْ عُمَرَ.
“Diriwayatkan oleh At-Tabarani, dan para perawinya adalah perawi yang terpercaya, kecuali Abdullah bin Ahmad, dia adalah seorang yang terpercaya, namun Aamir bin Abdullah bin Zubair tidak pernah bertemu dengan Umar”.
Namun diketemukan riwayat yang sanadnya mawshul dengan menyebutkan Abdullah bin Zubair -radhiyallahu anhu-. [Lihat : Al-'Ilal wa Ma'rifat al-Rijal 2 /73]
Diriwayatkan secara Mawshul oleh Ibnu Abi 'Ashim dalam al-Aahaad wak Matsaanii1/100 no. 78 :
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail, dia mengatakan kepada kami Ma'an, dari Malik, dari Zaid bin Aslam, dari 'Amr bin 'Abdullah bin Az-Zubair, dari ayahnya (Abdullah bin Zubair -radhiyallahu anhuma-) dia berkata:
كَانَ عُمَرُ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ إِذَا غَضِبَ فَتَل شَارِبَهُ.
"Umar, radhiyallahu anhu, jika marah, maka ia memilin kumisnya."
Di Shahihkan oleh al-Albaani dalam Aadab az-Zafaaf hal. 137.
Dan al-Hafizh mengatakan dalam al-Fath (10/335):
الْمَعْرُوْفُ عَنْ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يُوَفِّرُ شَارِبَهُ
"Yang populer dari Umar bahwa ia membiarkan kumisnya lebat (tidak memotong)".
Bahkan hadits tentang jenggot itu sendiri, tergabung dengan kumis dalam satu hadits "Potonglah kumis dan biarkanlah jenggot." Diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Abu Hurairah "Berbedalah kalian dengan orang musyrik, maka biarkanlah jenggot tumbuh dan potonglah kumis." Muttarqun ‘alaihi dari Ibnu Umar.
Namun, para ulama berselisih pendapat dalam menerapkan hal ini. Banyak dari Salaf dan Kufiyin seperti Abu Hanifah, Zafar, Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan, juga Ahmad dan para pengikut al-Shafi'i seperti al-Muzani dan al-Rabi 'al-Muradi semuanya berpendapat : menghilangkan kumis dan mencukurnya habis berdsarkan hadits
احْفَوْا وَانْهَكُوْ.
“ Perpendeklah dan cukur habislah”.
Namun, Malik dan yang lainnya memilih untuk melarang mencukur habis dan mencabutnya, Malik berpendapat bahwa bagi orang yang mencukurnya habis harus dihukum.
Diriwayatkan dari Ibnu al-Qasim, murid Malik, bahwa dia berkata "Mencukur kumis adalah mutslah [perusakan bentuk penampilan]."
Sebagian dari mereka berpendapat untuk memotong kumis yang melebihi bibir. Ini yang dipilih oleh Malik dan al-Nawawi dari kalangan muta’akhirin. Dalam satu riwayat dari Ahmad, dia menyamakan hukum antara membiarkan dan memotong, dan tidak ada masalah di antara keduanya. [Ini kutip dari "Nail al-Awtar" oleh al-Shawkani (1/138)].
Contoh ke 3 :
adalah perintah Rasulullah untuk shalat dengan memakai sandal atau khuf dan jangan menyerupai orang Yahudi, [HR. Thabrani al-Mu'jam al-Kabir]. Para fuqaha sepakat bahwa shalat tanpa sandal atu khuf diperbolehkan.
Dari Syaddad bin Aus radhiyallahu ‘anhu , dia berkata; Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam bersabda:
خَالِفُوا الْيَهُودَ فَإِنَّهُمْ لَا يُصَلُّونَ فِي نِعَالِهِمْ وَلَا خِفَافِهِمْ
"Selisihilah orang-orang yahudi, sesungguhnya mereka ketika shalat tidak mengenakan sandal dan juga khuf (sepatu) mereka."
[HR. Abu Dawud (652), Al-Bazzar (3480), Ibnu Hibban (2186) dan ad-Daulaabi dalam al-Kunaa wal Asmaa no. 371. Di Hasankan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Hiayatur Ruwaah 1/354 dan di shahihkan al-Albaani dalam Shahih Abu Daud no. 652].
Contoh ke 4 :
adalah larangan Rasulullah ﷺ terhadap tindakan membiarkan baju lepas terjuntai (السَّدْل) saat shalat seperti yang dilakukan oleh orang Yahudi. Para ulama sepakat bahwa perbuatan ini adalah makruh.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ السَّدْلِ فِي الصَّلَاةِ
“Bahwasanya Nabi ﷺ melarang menjuntaikan pakaian ketika shalat”. [HR. Abu Daud no. 643 . Di hasankan oleh al-Albaani].
Dan dari Ali bin Abi Thalib, semoga Allah meridainya :
أَنَّهُ رَأَى قَوْمًا يُصَلُّونَ قَدْ سَدَلُوا ثِيَابَهُمْ فَقَالَ: كَأَنَّهُمُ الْيَهُودُ خَرَجُوا مِنْ فُهْرِهِمْ
“Bahwa dia melihat sekelompok orang yang sedang shalat sambil melepas pakaian mereka. Dia berkata: 'Seolah-olah mereka adalah orang-orang Yahudi yang keluar dari lubang-lubang (sarang) mereka.'"
[HR. Abdur Razzaaq 1/364 no. 1423, Ibnu Abi Syaibah 2/62 no. 6481, Abu ‘Ubaid dalam al-Ghoriib 3/481 dan al-Baihaqi 2/243. Di Shahihkan sanadnya oleh Syu’aib al-Arna’uth dai Hamisy al-Musnad 13/318]
Dari Nafi', dari Ibnu Umar :
أَنَّهُ كَرِهَ السَّدْلَ فِي الصَّلَاةِ مُخَالَفَةً لِلْيَهُودِ وَقَالَ: «إِنَّهُمْ يَسْدُلُونَ»
“Bahwa dia membenci melepaskan pakaian terjuntai dalam shalat ; karena untuk menyelisihi adat kebiasaan orang Yahudi, dan dia berkata: "Sesungguhnya mereka melepaskan pakaian mereka ternjuntai ."
[HR. Ibnu Abi Syaibah 2/63 no. 6484. Di Shahihkan oleh Zakariya bin Ghulam dalam Maa Shahha Min Atsaris Shohabah fil Fiqh 1/276]
Arti Sadl (السَّدْلِ):
"إسدالُ الثِّيابِ وإرسالُها إلى الأرضِ، أو عَلى الجانِبَيْنِ، أو على كَتِفَيْه وصَدرِه، وهذه كلُّها هيئاتٌ لِسَدْلِ وإرسالِ الثِّيابِ، والإرسالُ إلى الأرضِ مِن الخُيَلاءِ
وقيل: هو: إرسالُ اليدِ وبَسْطُها في الصَّلاةِ، والهيئةُ الصَّحيحةُ: أن يضَعَ المرءُ يدَه اليمنى على اليُسرى".
"As-Sadl adalah melepaskan pakaian terjuntai ke arah tanah, atau ke arah dua sisi, atau ke atas bahunya dan dadanya, ini semua adalah cara-cara melepaskan dan menjuntaikan pakaian. Namun jika terjuntainya itu hingga menyentuh tanah maka itu termasuk khuyala [kesombongan]."
Dan ada yang mengatakan : "Melepaskan tangan terjuntai dan membentangkannya dalam shalat. Dan cara yang benar adalah: seseorang meletakkan tangan kanannya di atas yang kiri."
As-Sindi berkata :
هُوَ أَنْ يَضَعَ وَسَطَ الرِّدَاءِ عَلَى رَأْسِهِ وَيُرْسِلَ طَرَفَيْهِ عَنْ يَمِينِهِ وَيَسَارِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَجْعَلَهُمَا عَلَى كَتِفَيْهِ، وَهَذَا التَّفْسِيرُ هُوَ مُخْتَارُ طَوَائِفَ مِنَ الْعُلَمَاءِ مِنْ أَهْلِ الْمَذَاهِبِ.
As-Sadl : ia adalah meletakkan tengah jubah di atas kepalanya dan membiarkan ujungnya berada di sebelah kanan dan kiri tanpa meletakkannya di atas bahunya. Penafsiran ini adalah yang dipilih oleh sebagian para ulama dari berbagai madzhab." [Haamisy Musnad Imam Ahmad 13/318. Cet. Ar-Risalah].
Contoh ke 5 :
Nabi ﷺ bersabda:
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السِّحْرِ
“Pembeda puasa kita dengan puasa ahli kitab (Yahudi dan Nashrahi) adalah makan sahur.” (HR. Muslim no. 1096 ).
Sahur tidak wajib dan meinggalkannya tidak haram .
Contoh ke 6 :
adalah adalah sabda Rasulullah ﷺ tentang cara mengubur mayat :
اللَّحْدُ لَنَا وَالشِّقُّ لَغَيْرِنَا
“Lahad (liang lahat yang bagian sisi arah qiblatnya ada cekungan untuk menempatkan mayit) adalah untuk kita dan syaq (liang lahat yang cekungannya berada di tengah) adalah untuk selain kita(selain Islam).”
[ HR. Abu Dawud (3208), at-Tirmidzi (1045), dan an-Nasa'i (2009) dan Ibnu Majah (1554). Di shahihkan al-Albani dalam shahih Abu Daud .
Para Sahabat juga tidak mengatakan bahwa membuat syaq itu haram. Oleh karena itu, ketika Rasulullah wafat, mereka berselisih apakah mereka menguburkan beliau dengan cara lahad atau Syaqq.
Urwah berkata :
كَانَ بِالْمَدِينَةِ رَجُلَانِ أَحَدُهُمَا يَلْحَدُ، وَالْآخَرُ لَا يَلْحَدُ فَقَالُوا: أَيُّهُمَا جَاءَ أَوَّلُ، عَمِلَ عَمَلَهُ. فَجَاءَ الَّذِي يَلْحَدُ فَلَحَدَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.
"Ada dua orang di Madinah, salah satunya biasa menggali kuburan dengan cara lahad (lubang yang cara membuatnya di samping bagian lubang tersebut, bukan pada tengahnya) dan yang lainnya tidak.
Mereka berkata, "Yang lebih dulu datang dan mengerjakannya itulah yang akan dipakai." Datanglah orang yang menggali dengan cara lahat, lalu dia membuat lubang lahat untuk Rasulullah ﷺ." [HR. Malik dalam al-Muwaththa no. 488].
Jika diharamkan, maka mereka tidak akan berselisih dalam apa yang mereka lakukan terhadap Rasulullah. Meskipun tidak ada dalil yang menunujukkan bahwa perintah yang berkaitan dengan alasan untuk menyelisihi orang kafir di sini bersifat sunnah. Kejadian ini sudah cukup sebagai dalil bahwa itu hanya sunnah . Dan ini karena kesepakatan para Sahabat tentang kebolehan "Lahat" dan "syaq" yang telah diberitahukan oleh Rasulullah ﷺ bahwa itu adalah amalan Ahli Kitab .
Contoh ke 7 :
Hadits larangan membuat mihrab di masjid :
نَهَى الرَّسُولُ ﷺ عَنِ اتِّخَاذِ الْمَحَارِيبِ فِي الْمَسَاجِدِ كَمَا يَفْعَلُ النَّصَارَى فِي كَنَائِسِهِمْ
Rasulullah ﷺ melarang penggunaan mihrab di masjid-masjid, seperti yang dilakukan oleh orang-orang Nasrani di gereja-gereja mereka.
Namun tidak ada ulama yang mengatakan bahwa mihrab itu makruh atau haram, bahkan ada kesepakatan di seluruh dunia , barat dan timur akan kebolehannya.
Sebagian para ulama berpendapat bahwa penggunaan mihrab seperti ini adalah bid'ah, dan dilarang. Mereka mengacu pada apa yang diriwayatkan oleh Ath-Thabarani dan Al-Baihaqi dalam sunan mereka dari Abdullah bin Amr, semoga Allah meridainya, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda:
(اتَّقُوا هَذِهِ المَذَابِح). يَعْنِي: المَحَارِيبِ.
"Waspadalah terhadap mihrab-mihrab ini." Maksudnya, mihrab-mihrab tersebut. Al-Albani mensahihkannya dalam Shahih Al-Jami '(120).
Syeikh Al-Utsaimin berkata:
اخْتَلَفَ العُلَمَاءُ رَحِمَهُمُ اللَّهُ فِي اتِّخَاذِ الْمِحْرَابِ هَلْ هُوَ سُنَّةٌ، أَوْ مُسْتَحَبٌّ، أَوْ مُبَاحٌ؟ وَالَّذِي أَرَى أَنَّ اتِّخَاذَ الْمَحَارِيبِ مُبَاحٌ، وَهَذَا هُوَ الْمَشْهُورُ مِنَ الْمَذْهَبِ، وَلَوْ قِيلَ بِاِسْتِحْبَابِهِ لِغَيْرِهِ لَمَا فِيهِ مِنَ الْمَصَالِحِ الْكَثِيرَةِ، وَمِنْهَا تَعْلِيمُ الْجَاهِلِ الْقِبْلَةَ: لَكَانَ حَسَنًا.
وَأَمَّا مَا رُوِيَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "النَّهْيُ عَنْ مُذَابِحِ كَمُذَابِحِ النَّصَارَى" أَي: المَحَارِيبِ: فَهَذَا النَّهْيُ وَارِدٌ عَلَى مَا إِذَا اتُّخِذَتْ مَحَارِيبُ كَمَحَارِيبِ النَّصَارَى، أَمَّا إِذَا اتُّخِذَتْ مَحَارِيبٌ مُتَمَيِّزَةٌ لِلْمُسْلِمِينَ فَإِنَّ هَذَا لَا يُنْهَى عَنْهُ.
"Para ulama, semoga Allah merahmati mereka, berselisih pendapat tentang penggunaan mihrab apakah itu sunnah, mustahab, atau hanya mubah [boleh]?
Pendapat yang saya pilih adalah bahwa penggunaan mihrab adalah diperbolehkan, dan ini adalah pendapat yang terkenal dari madzhab. Jika dikatakan bahwa itu disukai oleh orang lain, itu tidak akan memiliki banyak manfaat, termasuk mengajarkan yang bodoh arah kiblat: itu akan baik.
Adapun apa yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ: "Dilarang menggunakan mihrab seperti mihrab Nasrani", yaitu mihrab-mihrab tersebut: ini larangan berlaku jika mihrab diambil seperti mihrab Nasrani, tetapi jika mihrab diambil untuk orang-orang muslim, maka ini tidak dilarang."
[Baca : Majmu' Fatawa ash-Shaikh Ibn 'Utsaimin (12 / Pertanyaan no. 326)].
Dia beliau pernah ditanya juga:
"Beberapa ulama menganggap mihrab dalam masjid sebagai bid'ah dan menyerupai orang-orang kafir, apakah ini benar?"
Dia menjawab:
هَذَا الْقَوْلُ - فِيمَا أَرَى - غَيْرُ صَحِيحٍ؛ وَذَلِكَ لِأَنَّ الَّذِينَ يَتَخَذُونَهُ إِنَّمَا يَتَخَذُونَهُ عَلَامَةً عَلَى الْقِبْلَةِ، وَدَلِيلًا عَلَى جِهَتِهَا. وَمَا وَرَدَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ اتِّخَاذِ مَذَابِحَ كَمَذَابِحِ النَّصَارَى: فَإِنَّ الْمُرَادَ بِهِ أَنْ نَتَخَذَ مَحَارِيبَ كَمَحَارِيبِ النَّصَارَى، فَإِذَا تَمَيَّزَتْ عَنْهَا زَالَ الشُّبْهُ." انتهى
"Pendapat ini - menurut pandangan saya - tidak benar; karena orang-orang yang mengambilnya hanya menggunakannya sebagai tanda arah kiblat, dan bukti dari arah tersebut. Dan apa yang diriwayatkan dari Nabi ﷺ :
النَّهي عَنْ مَذَابِحِ كَمَذَابِحِ النَّصَارَى.
“Dilarang mengambil mihrab-mihrab seperti mihrab-mihrab Nasrani”.
Maksudnya adalah kita tidak boleh mengambil mihrab seperti mihrab Nasrani, dan jika itu berbeda dari nya, maka persamaan tersebut hilang."
[Baca : Majmu' Fatawa ash-Shaikh Ibn 'Utsaimin (12 / al-Su'al raqm 327)].
Contoh ke 8 :
Hadits larangan mendekor masjid :
نَهَى الرَّسُولُ عَنْ تَشِييدِ الْمَسَاجِدِ وَزَخْرَفَتِهَا كَمَا يَفْعَلُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فِي كُنَّائِسِهِمْ
Rasulullah ﷺ melarang pembangunan masjid dan penghiasannya seperti yang dilakukan oleh Yahudi dan Nasrani di gereja mereka.
Meskipun demikian, para ulama sepakat bahwa itu mustahab, dan Imam As-Subki menyatakan kebolehan menghias dengan emas dan perak dalam kitabnya "Qanadil Al-Madinah (قناديل المدينة)".
Diriwayatkan oleh Bukhari, 1/171 secara Mu’allaq (tanpa sanad) dengan Shigoh al-Jazm / بصيغة الجزم setelah no. Hadits 446 dari Ibnu Abbas RA . Yakni : Imam Bukhori berkata : Ibnu ‘Abbaas RA berkata :
" لَتُزَخْرِفُنَّهَا ، كَمَا زَخْرَفَتِ الْيَهُودُ ، وَالنَّصَارَى " .
‘Sungguh (mereka) akan menghiasanya sebagaimana orang Yahudi dan Nashrani menghiasinya.’
Atsar ini disambungkan sampai ke Nabi ﷺ oleh Ibn Abi Syaibah dalam kitab ‘Al-Mushonnaf, 1/309 dan juga ulama lain. Lihat “تغليق التعليق” karya Ibnu Hajar 2/238)
Dishahihkan oleh Al-Albany dalam kitab ‘Tahqiq Islah Al-Masajid Minal Bida’i Wal ‘Awaid, karangan Jamaluddin Al-Qasyimi, 94, dan dalam Shahih Abu Daud yang lengkap, 2/347.
Dan diriwayatkan oleh Bukhari, 1/171 secara Mu’allaq (tanpa sanad) dengan Shigoh al-Jazm / بصيغة الجزم setelah no. Hadits 446 dari Anas bin Malik.
" يَتَبَاهَوْنَ بِهَا ، ثُمَّ لاَ يَعْمُرُونَهَا إِلاَّ قَلِيلاً . فالتَّبَاهِي بِهَا العِنَايَةُ بِزَخْرَفَتِهَا ".
“Mereka saling berbangga-banggaan dengannya, kemudian tidak ada yang memakmurkan melainkan sedikit. Makna saling berbangga-banggaan dengannya itu adalah perhatian dengan dekorasinya “.
Contoh ke 9 :
Larangan shalat saat matahari terbit dan terbenam :
Rasulullah ﷺ melarang shalat pada waktu matahari terbenam dan terbit karena kafir bersembahyang pada waktu ini.
Meskipun demikian, para ulama sepakat bahwa itu makruh, bukan haram.
Contoh ke 10 :
Larangan gerak-gerak atau bergoyang memiringkan badan saat sholat :
Rasulullah ﷺ juga melarang menggerakkan badannya miring dalam shalat karena itu adalah perbuatan Yahudi, tetapi tidak ada yang mengatakan bahwa itu haram.
Rasulullah ﷺ bersabda :
إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ فِي صَلَاتِهِ، فَلْيَسْكُنْ أَطْرَافَهُ، وَلَا يَتَمَيَّلْ مِثْلَ الْيَهُودِ.
“Ketika salah satu dari kalian berdiri dalam shalatnya, maka tenangkanlah ujung-ujung tubuhnya, dan janganlah ia berayun memiringkan badan seperti orang Yahudi”.
Oleh karena itu, bergerak memiringkan badannya saat shalat adalah makruh.
Ibnu Qudamah dalam Al-Mughni 2/397 menyatakan :
وكُرِهَ التَّمَيُّلُ في الصَّلَاةِ. لما رَوَى النَّجَّادُ، بإسْنَادِهِ، عن النَّبِيِّ -صلى اللَّه عليه وسلم- قال: "إذا قَامَ أَحَدُكُمْ في صَلَاتِه فَلْيُسَكِّنْ أَطْرَافَهُ. ولَا يَتَمَيَّلْ مِثْلَ اليَهُودِ"
Dan makruh hukumnya bergerak memiringkan badan saat shalat; karena diriwayatkan oleh An-Najjad dengan sanadnya dari Nabi ﷺ, beliau bersabda: 'Apabila salah seorang dari kalian berdiri dalam shalatnya, maka hendaklah dia menenangkan tubuhnya dan janganlah bergoyang miring seperti orang-orang Yahudi.' [Selesai]."
Contoh ke 11 :
Larangan mencukur rambut kepala bagian belakang .
Rasulullah ﷺ melarang mencukur rambut kepala belakang karena itu adalah perbuatan Majusi.
Dari Umar bin Khattab radhiyallahu 'anhu, ia berkata:
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ حَلْقِ القُفَّا إِلاَّ لِحِجَّامَةٍ.
"Rasulullah ﷺ melarang mencukur rambut bagian belakang kepala kecuali untuk dibekam."
Dalam riwayat Ibnu Asakir:
حَلَقَ الْقَفَا مِنْ غَيْرِ حِجَامَةٍ مَجُوسِيَّةٍ.
"Mencukur rambut bagian belakang kepala selain karean untuk berbekam, maka ia adalah Majusi."
Al-Albani telah menghukumi dho’if alias lemah kedua riwayat ini dalam Shahih dan Shahih al-Jami' al-Shaghir, juga dalam Silsilah al-Dha'ifah.
Meskipun hadits-hadits ini lemah, namun Madzhab Hanbali menganggap mencukur rambut bagian belakang kepala secara mutlak hukumnya makruh, dan sebagian dari mereka mengatakan bahwa kemakruhannya ini dibatasi jika dilakukan secara terpisah dari seluruh kepala atau jika dilakukan bukan karena ada kebutuhan seperti bekam (hijamah). [ Fataawa Syabakah Islamiyyah 20/1452 no. 30018].
Namun anehnya hari ini, orang-orang yang melaknat dan mengharamkan cukur jenggot, juga melakukan cukur rambut bagian belakang kepala.
Contoh ke 12 :
Model penataan rambut seperti kaum musyrikin dan kaum Yahudi :
Dari Ibnu Abbas RA ;
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يَسْدِلُ شَعْرَهُ وَكَانَ الْمُشْرِكُونَ يَفْرُقُونَ رُءُوسَهُمْ وَكَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ يَسْدِلُونَ شُعُورَهُمْ وَكَانَ يُحِبُّ مُوَافَقَةَ أَهْلِ الْكِتَابِ فِيمَا لَمْ يُؤْمَرْ فِيهِ بِشَيْءٍ ثُمَّ فَرَقَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ رَأْسَهُ
“ Bahwa Rasulullah ﷺ mengurai rambutnya sedangkan orang-orang Musyrik membelah rambut kepala mereka, sementara orang-orang Ahlu Kitab menguraikan rambut mereka. Dulu beliau suka menyamai Ahlu Kitab dalam hal-hal yang tidak diperintahkan, kemudian Rasulullah ﷺ membelah rambut kepalanya." ( HR. al-Bukhari (3558) dan Muslim (2336)).
----
DALIL KEDUA : TASYABBUH DENGAN WANITA :
Mereka mengatakan bahwa mencukur jenggot itu haram berdalil bahwa perbuatan tersebut menyerupai perempuan, dan itu dilaknat, dan itu perbuatan mutslah (merubah-rubah ciptaan Allah), dan termasuk dalam an-Namesh [pencabutan bulu alis] yang di haramkan, dan itu termasuk dosa besar.
Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma, dia berkata:
«لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ، وَالمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ»
“Rasûlullâh ﷺ melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang menyerupai laki-laki” [HR. Al-Bukhâri, no. 5885; Abu Dawud, no. 4097; Tirmidzi, no. 2991
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu :
” لَعَنَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لُبْسَةَ الْمَرْأَةِ، وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لُبْسَةَ الرَّجُلِ
bahwa Rasûlullâh ﷺ melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita, begitu pula wanita yang memakai pakaian laki-laki” [HR. Ahmad, no. 8309; Abu Dawud, no. 4098; Nasai dalam Sunan al-Kubra, no. 9253. Dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al-Arnauth]
Dari Ibnu Abbas, dia berkata:
لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ، وَالمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ، وَقَالَ: «أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ» قَالَ: فَأَخْرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلاَنًا، وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلاَنًا
“Rasûlullâh ﷺ melaknat laki-laki yang bergaya wanita dan wanita yang bergaya laki-laki”. Dan beliau memerintahkan, “Keluarkan mereka dari rumah-rumah kamu”. Ibnu Abbas berkata: Nabi ﷺ telah mengeluarkan Si Fulan, Umar telah mengeluarkan Si Fulan. [HR. Al-Bukhâri, no. 5886; Abu Dawud, no. 4930; Tirmidzi, no. 2992]
Dari Andullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu bahwa Nabi ﷺ bersbada :
لعنَ اللهُ الواشماتِ ، والمسْتَوْشِماتِ ، والنامِصاتِ ، و الْمُتَنَمِّصاتِ ، والْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ ، الْمُغَيِّراتِ خلْقَ اللهِ تَعَالَى مَالِي لَا أَلْعَنُ مَنْ لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَ فِي كِتَابِ اللَّهِ { وَمَا آتَاكُمْ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ }
"Allah melaknat orang yang mentato dan orang yang meminta ditato, orang yang mencukur habis bulu alis dan merenggangkan gigi untuk kecantikan dengan merubah ciptaan Allah Ta'ala.
Bagaimana mungkin saya tidak melaknat orang yang dilaknat Nabi ﷺ sementara dalam kitabullah telah termaktub {Dan sesuatu yang datang dari rasul, maka ambillah} (QS Al Hasyr; 7)." (HR. Bukhori no. 4486 dan Muslim no. 2125)
An Nawawi rahimahullah ketika menerangkan an namsh, beliau katakan :
وَأَمَّا النَّامِصَةُ بِالصَّادِ الْمُهْمَلَةِ فَهِيَ الَّتِي تُزِيلُ الشَّعْرَ مِنَ الْوَجْهِ وَالْمُتَنَمِّصَةُ الَّتِي تَطْلُبُ فِعْلَ ذَلِكَ بِهَا وَهَذَا الْفِعْلُ حَرَامٌ إِلاَّ إِذَا نَبَتَتْ لِلْمَرْأَةِ لِحْيَةً أَوْ شَوَارِبَ فَلاَ تُحَرَّمُ إِزَالَتُهَا بَلْ يُسْتَحَبُّ عِنْدَنَا.
“An naamishoh adalah orang yang menghilangkan rambut wajah, sedangkan al mutanammishoh adalah orang yang meminta dicabutkan. Perbuatan namsh itu haram kecuali jika pada wanita yang terdapat jenggot atau kumis, maka tidak mengapa untuk dihilangkan, bahkan menurut kami hal itu disunnahkan.” (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 14/106).
------
TANGGAPAN DAN BANTAHAN TERHADAP ISTIDLAL MEREKA :
Para ulama yang berpendapat makruh mencukur jenggot, bukan haram, memberikan tanggapan dan bantahan terhadap istidlal haram dari hadits-hadits diatas, dengan bantahan-bantahan sbb :
BANTAHAN PERTAMA :
Ini adalah kelalaian dari mereka terhadap qa’idah :
أَنَّ الْحُكْمَ الْوَاحِدَ لَا يَجُوزُ أَنْ يُعَلَّلَ بِعِلَّتَيْنِ.
“Bahwa hukum satu masalah tidak boleh diberi alasan dengan dua illat”
Ini berdasarkan kesepakatan mayoritas ulama ushuliyin yang menetapkan bahwa illat harus mencerminkan hukum.
Sementara perbedaan dalam "bolehnya memberi alasan dengan dua illat" berlaku hanya untuk "illat-illat yang diambil dari hasil istinbaath (العِلَلُ المُسْتَنْبَطَةُ)" bukan dari "illat-illat yang terdapat nash syar’i (العِلَلُ المُنْصُوصَةُ لِلشَّارِعِ)".
Satu-satunya illat yang disebutkan oleh Nabi (ﷺ) adalah menyerupai Majusi. Oleh karena itu, tidak boleh kita menambahkan illat lebih dari itu.
Mengenai merubah-rubah ciptaan Allah, lalu bagaimana dengan perintah pewarnaan rambut uban, mencukur kepala, mencabut bulu ketiak, memotong kuku, dan sejenisnya?
Mengenai menyerupai perempuan, maka itu tidaklah berlaku jika seseorang tidak mencukur kumisnya.
Sedangkan klaim bahwa itu termasuk dosa besar dengan mengacu pada perbuatan an-Namesh (mengkerok atau mencabut bulu alis), maka ini adalah kelalaian terhadap apa yang telah disepakati dalam kitab-kitab ushul bahwa analogi harus berlaku untuk penetapan hukum-hukum, bukan untuk adzab atau hukuman maknawi seperti laknat dan murka Allah serta tidak masuk surga. Hal ini karena hanya Allah yang mengetahui siapa yang pantas mendapatkan hukuman dan adzab tersebut, dan tidak boleh mengeneralisasikannya dengan analogi.
BANTAHAN KEDUA :
Adapun pernyataan mereka bahwa mencukur jenggot menyerupai perempuan, maka biasa dijawab dari enam sudut pandang.
Pertama : tidak ada kesamaan dengan perempuan karena persamaan antara dua hal memerlukan kesepakatan secara bahasa dan budaya bahwa ada kesamaan di antara keduanya.
Kami menyadari melalui pengalaman dan pengamatan bahwa perempuan tidak memiliki jenggot yang bisa dicukur, sehingga tidak tepat dikatakan bahwa jika seorang pria mencukur jenggotnya, dia menyerupai perempuan.
Bahkan, kami menyadari perbedaan antara wajah perempuan dan wajah pria yang dicukur, yang pertama halus tanpa rambut sama sekali, sementara yang kedua sebaliknya, dan efek rambut pada wajahnya jelas terlihat, bahkan jika cukurannya dibuat sangat rapi. Ketika adanya perbedaan ini terbukti, maka analogi menjadi tidak sah.
Kedua : secara bahasa dan budaya, tidak tepat menganggap wajah perempuan yang dicukur itu sama dengan wajah pria.
Ketiga : mengaitkan hadits tentang menyerupai perempuan pada konteks ini tidaklah tepat, bahkan jika kita mengasumsikan bahwa menggugurkan hukum dengan dua illat itu diperbolehkan. Hal ini karena hadits yang melarang menyerupai perempuan harus dihubungkan dengan hadits tentang jenggot, yang menunjukkan bahwa illat untuk melarang mencukur jenggot adalah karena untuk menyelisihi orang-orang kafir, bukan untuk menyerupai perempuan. Karena megarahkan yang umum kepada yang khusus adalah wajib seperti yang telah ditetapkan dalam ilmu ushul fiqh.
Keempat : dari pernyataan mereka bahwa mencukur jenggot menyerupai perempuan, maka jika demikian diwajibkan mencukur rambut kepala karena wanita membiarkan rambut kepala mereka tanpa menggundulnya . Dan ini tidak dinyatakan oleh siapapun.
Kelima : larangan menyerupai perempuan hanya disebutkan dalam konteks berpakaian, seperti ucapan Rasulullah tentang melaknat wanita yang berpakaian seperti pria, dan pria yang berpakaian seperti wanita. Oleh karena itu, hadits ini memperjelas makna larangan menyerupai perempuan secara umum.
Keenam : jika kita mengakui bahwa hadits tentang menyerupai perempuan mencakup orang yang mencukur jenggotnya, maka kita harus menghubungkannya dengan hadits yang memerintahkan untuk memelihara jenggot, yang menunjukkan bahwa alasan di balik larangan mencukur jenggot adalah karena untuk menyelisihi orang-orang kafir, bukan karena menyerupai perempuan. Dengan demikian, orang yang mencukur jenggotnya dikecualikan dari larangan umum menyerupai perempuan.
Adapun pernyataan mereka bahwa mencukur jenggot itu haram karena termasuk perbuatan Tanmiish (mengerok bulu alis pada wanita), maka ini dapat dijawab dengan empat sudut pandang:
Pertama : Halq dan Tanmiish adalah dua hakikat yang berbeda dalam bahasa. Halq adalah menghilangkan rambut yang terlihat di kulit dengan pisau cukur sementara akar rambutnya tetap ada, sedangkan Tanmish adalah mencabut rambut beserta akarnya dengan pinset, sehingga rambut tidak akan tumbuh kembali kecuali jika tumbuh akar rambut yang baru. Bagaimana mungkin kedua hal ini dianalogikan satu sama lain sedangkan keduanya merupakan dua hakikat yang berbeda?
Kedua : tidak dibenarkan analogi mencukur jenggot kepada mencabut bulu alis ; karena salah satu syarat analogi adalah bahwa cabang masalah yang dianalogikan harus tidak ada nash lain dalam hukum, sedangkan jenggot sudah dijelaskan dalam syariat. Bagaimana bisa sesuatu yang sudah ada nashnya (dalilnya) dianalogikan kepada sesuatu yang juga sudah ada nashnya (dalilnya)?
Ketiga : telah disepakati dalam ushul :
أَنَّ تَأْخِيرَ الْبَيَانِ عَنْ وَقْتِ الْحَاجَةِ لَا يَجُوزُ.
“Bahwa menunda penjelasan saat dibutuhkan tidak diperbolehkan”.
Sudah terbukti dalam hadits yang sahih tentang hadits an-Namishoh (wanita yang mencabut bulu alisnya) sebagai jawaban terhadap pertanyaan seorang wanita tentang hukun menyambung rambut (وَصْلُ الشَّعْرِ), di dalamnya disebutkan hukum menyambung rambut dan apa yang menyerupai menyambung rambut, namun tidak disebutkan mencukur jenggot. Hal ini menunjukkan bahwa mencukur jenggot tidak termasuk dalam tindakan Tanmish (mencabut bulu alis), atau jika itu termasuk, maka hal itu pasti akan disebutkan di sana.
Keempat : telah disepakati dalam ilmu ushul bahwa analogi hanya berlaku dalam hukum-hukum, seperti analogi antara anggur dan khamr dalam hukum haramnya. Sedangkan untuk adzab dan hukuman maknawi seperti laknat, murka Allah, dan haram masuk surga, tidak diperbolehkan untuk melakukan analogi. Karena hanya Allah yang mengetahui siapa yang pantas mendapatkan hukuman tersebut, kita tidak berani menggeneralisasikannya dengan analogi.
Kita melihat bahwa syariat melaknat pencabut alis, namun tidak melaknat pezina, meskipun perbuatan zina lebih buruk dan lebih keras. Jadi, melakukan analogi antara orang yang mencukur jenggot dan orang yang mencabut alis dalam konteks laknat adalah analogi yang tidak tepat, seperti yang disepakati oleh para ahli ushul (karena mencabut alis telah dilaknat oleh Allah, yang berarti ada hukuman moral khusus untuknya, yaitu laknat).
-----
MAKNA “PERINTAH” DALAM AL-QURAN DAN HADITS TIDAK SEMUANYA SAMA DALAM SATU MAKNA DAN TUJUAN !
Makna Dan Tujuan Pertama :
Ada perintah yang menunjukkan kewajiban.
( وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاة )
(Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat) [QS. Al-Baqarah : 43]. Shalat dan zakat di sini adalah kewajiban.
Makna Dan Tujuan kedua :
Ada perintah yang menunjukkan kebolehan:
(وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا )
(Dan apabila kamu telah selesai dari ihrammu, maka berburulah).
( فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانْتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِنْ فَضْلِ اللَّه )
(Maka apabila telah selesai shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah).
Apakah berburu setelah bertahallul (melepaskan ihram) adalah wajib karena kita diperintahkan? Dan apakah berdagang setelah shalat Jumat adalah wajib karena kita diperintahkan? Atau apakah perintah di sini menunjukkan kebolehan dan tanpa dosa?
Makna Dan Tujuan ke 3 :
Ada perintah yang menunjukkan petunjuk:
( يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْل ) .
(Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan transaksi hutang piutang untuk waktu yang ditentukan, maka tulislah).
Apakah menulis hutang itu wajib karena kita diperintahkan? Jawabannya tentu tidak, karena Allah SWT menyatakan setelahnya:
( فَإِنْ أَمِنَ بَعْضُكُمْ بَعْضًا فَلْيُؤَدِّ الَّذِي اؤْتُمِنَ أَمَانَتَه )
(Maka jika sebahagian kamu mempercayai sebahagian yang lain, maka hendaklah orang yang dipercayai itu menunaikan amanatnya).
Di sini perintah menunjukkan petunjuk.
Makna Dan Tujuan ke 4 :
Ada perintah yang bertujuan untuk kedisiplinan dan etika . Contohnya : Rasulullah ﷺ bersabda:
«يَا غُلاَمُ، سَمِّ اللَّهَ، وَكُلْ بِيَمِينِكَ، وَكُلْ مِمَّا يَلِيكَ»
"Wahai anak muda, sebutlah nama Allah, makanlah dengan tangan kananmu, dan makanlah mulai dari apa yang terdekat denganmu!"
Mengapa perintah ini tidak menunjukkan kewajiban? Jawabannya: Karena anak muda tersebut belum mukallaf atau belum baligh.
Makna dan Tujuan ke 5 :
Ada perintah yang menunjukkan pilihan, namun dalam waktu yang sama juga merupakan ancaman dan intimidasi, yaitu perintah memilih di antara dua hal yang tidak dapat digabungkan di antara keduanya!
(وَقُلِ الْحَقُّ مِنْ رَبِّكُمْ فَمَنْ شَاءَ فَلْيُؤْمِنْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيَكْفُر )
(Dan katakanlah: "Kebenaran itu datang dari Tuhanmu, maka barangsiapa yang menghendaki, hendaklah dia beriman, dan barangsiapa yang menghendaki, hendaklah dia kafir").
Apakah kafir di sini wajib karena Allah SWT memerintahkan? Ataukah ini merupakan ancaman dan intimidasi?
Makna dan Tujuan ke 6 :
Ada perintah yang menunjukkan keber-angan - anganan (التَّمَنِّيُ), di mana ucapan tersebut mencakup perintah yang disukai, namun tidak mungkin terjadi, atau masuk ke dalam wilayah yang mustahil. Karena ber-angan - angan (التَّمَنِّيُ) adalah salah satu konsekuensi dari tidak mungkin terjadi!
( وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا رَبَّنَا أَرِنَا اللَّذَيْنِ أَضَلَّانَا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ نَجْعَلْهُمَا تَحْتَ أَقْدَامِنَا لِيَكُونَا مِنَ الْأَسْفَلِين ) .
(Dan orang-orang kafir berkata: "Ya Tuhan kami, perlihatkanlah kepada kami kedua golongan yang telah menyesatkan kami, baik dari jin maupun manusia, agar kami dapat menempatkan mereka di bawah kedudukan kami untuk menjadi orang-orang yang paling rendah").
Apakah orang-orang kafir bisa memerintahkan Allah SWT dan memaksa-Nya untuk menunjukkan kepada mereka orang-orang yang menyesatkannya dan memenuhi keinginan mereka? Ataukah perintah mereka di sini hanya menunjukkan angan-angan semata?
Makna dan Tujuan ke 7 :
Perintah yang menunjukkan penghinaan. Yaitu perintah kepada yang diajak bicara untuk mempersedikit urusannya. Seperti yang dikatakan oleh penyair:
دَعْ الْمَكَارِمَ لَا تَرْحَلْ لِبَغْيَتِهَا *** وَاقْعُدْ فَإِنَّكَ أَنْتَ الطَّاعِمُ الْكَاسِيْ.
Tinggalkanlah hal-hal yang mulia, jangan kau pergi mencarinya **** Dan duduklah ! Karena sesungguhnya engkau telah memiliki makanan dan pakaian.
Apakah sang penyair memerintahkan kepada orang yang diajak bicara untuk meninggalkan kemulian, dan duduk tanpa mencarinya, serta menggambarkan bahwa dirinya adalah orang kaya dan banyak pakaian?
Ataukah dia bermaksud merendahkannya dan menghinanya, serta mengatakan padanya:
لا تَتَعَبْ نَفْسَكَ، فَأَنْتَ لَسْتَ مِنْ أَهْلِ الْمَكَارِمِ، بَلْ أَنْتَ مَشْغُولٌ فَقَطْ بِالْأَكْلِ وَالثِّيَابِ الْجَمِيلَةِ، حَالُكَ حَالُ الْمَرْأَةِ؟!
"Janganlah kau susahkan dirimu, karena kamu bukanlah orang yang berbudi luhur, melainkan kamu adalah orang yang hidupnya selalu disibukkan dengan makanan dan pakaian yang bagus, maka keadaanmu mirip seperti perempuan?"
Makna dan Tujuan ke 8 :
Adalah perintah yang menunjukkan pensejajaran dan kesamaan. Jika orang yang diajak bicaranya itu adalah orang yang tidak peduli apakah tindakan tersebut terjadi atau tidak:
( ﴿اصْلَوْهَا فَاصْبِرُوا أَوْ لَا تَصْبِرُوا سَوَاءٌ عَلَيْكُمْ ۖ إِنَّمَا تُجْزَوْنَ مَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ﴾
Masukklah kamu ke dalamnya ( yakni Neraka. Dan rasakanlah panas apinya); maka baik kamu bersabar atau tidak, sama saja bagimu; kamu diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan. [Tur: 16] (QS. At-Tur: 48).
Di sini mereka tidak diperintahkan untuk bersabar, tetapi dikatakan kepada mereka: tidak ada perbedaan antara kesabaranmu dan ketidak sabaranmu dalam merasakan adzab api neraka, karena dalam kedua keadaan tersebut, kamu tetap akan disiksa?
Jadi perintah di sini tidak menunjukkan kewajiban.
Makna dan Tujuan ke 9 :
Adalah perintah-perintah yang berfugnsi mengancam:
﴿ذَرْهُمْ يَأْكُلُوا وَيَتَمَتَّعُوا وَيُلْهِهِمُ الْأَمَلُ ۖ فَسَوْفَ يَعْلَمُونَ﴾
“Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka)”. (QS. Al-Hijr: 3)
﴿لِيَكْفُرُوا بِمَا آتَيْنَاهُمْ ۚ فَتَمَتَّعُوا فَسَوْفَ تَعْلَمُونَ﴾
“Sehingga mereka mengingkari akan rahmat yang telah Kami berikan kepada mereka. Maka bersenang-senanglah kamu sekalian, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu). [QS. Rum: 34]
﴿إِنَّ الَّذِينَ يُلْحِدُونَ فِي آيَاتِنَا لَا يَخْفَوْنَ عَلَيْنَا ۗ أَفَمَن يُلْقَىٰ فِي النَّارِ خَيْرٌ أَم مَّن يَأْتِي آمِنًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ ۚ اعْمَلُوا مَا شِئْتُمْ ۖ إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ﴾
“Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat Kami, mereka tidak tersembunyi dari Kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik, ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari Kiamat? Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. [QS. Fussilat: 40]
Setelah Nabi Muhmmad ﷺ mengerahkan segala kemampuannya untuk mendakwahi orang-orang kafir dan beliau menghadapi berbagai macam penentangan , lalu dalam ayat diatas apakah Allah SWT memerintahkan Nabi Muhammad ﷺ untuk meninggalkan seruan kepada orang kafir untuk masuk Islam, dengan membiarkan mereka makan dan bersenang-senang, serta teralihkan oleh angan-angan, dari memikirkan akibat perbuatan mereka kelak di akhirat?
Atau apakah ini merupakan ancaman bagi mereka; bahwa keadaan mereka seperti ini, maka kelak mereka akan menghadapi hukuman yang pedih, karena kekafiran mereka ini, dan karena mereka mengabaikan nasib mereka?
Dan apakah Allah SWT memerintahkan orang-orang yang kafir - di sini - untuk melakukan apa yang mereka kehendaki, sesuai dengan hawa nafsu mereka, tanpa ada tanggung jawab atas mereka, ataukah ini merupakan ancaman yang keras bagi mereka?
Makna dan Tujuan ke 10 :
Adalah perintah-perintah yang tujuannya untuk berdoa:
﴿وَمِنْهُم مَّن يَقُولُ رَبَّنَا آتِنَا فِي الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِي الْآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ﴾
"Ya Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan peliharalah kami dari siksa api neraka." [QS. Al-Baqarah : 201]
﴿ رَبَّنَا فَاغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا وَكَفِّرْ عَنَّا سَيِّئَاتِنَا وَتَوَفَّنَا مَعَ الْأَبْرَارِ﴾
“ Ya Tuhan kami, ampunilah bagi kami dosa-dosa kami dan hapuskanlah dari kami kesalahan-kesalahan kami, dan wafatkanlah kami beserta orang-orang yang banyak berbakti. [QS. Al Imran: 193]
Apakah hamba-hamba yang saleh memerintahkan Allah SWT, di sini, dan menetapkan atas-Nya, Yang Maha Suci, untuk memberikan mereka kebaikan, baik di dunia maupun di akhirat, dan melindungi mereka dari siksa api neraka, ataukah mereka memohon dan meminta kepada-Nya, Yang Maha Tinggi, agar Dia merahmati mereka, dengan kelembutan dan kemurahan-Nya? Tidak, yang benar perintah di sini adalah doa dan permohonan .
Makna dan Tujuan ke 11 :
Adalah perintah-perintah yang mengandung saran, nasihat dan petunjuk, ketika ucapan itu datang dari seseorang yang lebih tinggi kedudukannya dan mengandung makna maw’idzoh dan petunjuk, seperti ucapan para rasul kepada pengikut-pengikut mereka:
﴿وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَعَلَ فِيكُمْ أَنبِيَاءَ وَجَعَلَكُم مُّلُوكًا وَآتَاكُم مَّا لَمْ يُؤْتِ أَحَدًا مِّنَ الْعَالَمِينَ﴾
“Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada kaumnya: "Hai kaumku, ingatlah nikmat Allah atasmu ketika Dia mengangkat nabi nabi diantaramu, dan dijadikan-Nya kamu orang-orang merdeka, dan diberikan-Nya kepadamu apa yang belum pernah diberikan-Nya kepada seorangpun diantara umat-umat yang lain". [QS. Maidah: 20]
Makna dan Tujuan ke 12 :
Adalah perintah-perintah yang mengandung permintaan, ketika ucapan itu berisi perintah kepada lawan bicara yang setara, dan yang memiliki kedudukan dan kepentingan yang sama:
﴿فَابْعَثُوا أَحَدَكُم بِوَرِقِكُمْ هَٰذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنظُرْ أَيُّهَا أَزْكَىٰ طَعَامًا فَلْيَأْتِكُم بِرِزْقٍ مِّنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلَا يُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا﴾
“Maka suruhlah salah seorang di antara kamu untuk pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah ia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah-lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun”. [QS. Kahf: 19]
Apakah di sini sebagian dari mereka saling mewajibkan sebagian yang lain ? Tentu saja tidak.
TANGGAPAN DAN BANTAHAN KE TIGA :
Adapun dalil mereka dengan menyatakan bahwa mencukur jenggot adalah mengubah ciptaan Allah, maka dapat ditanggapi dengan menyatakan :
Bahwa dalam prinsip-prinsip dasar (kaidah ushul) disebutkan :
إنَّ السُّكُوتَ فِي مَقَامِ الْبَيَانِ يُفِيدُ الْحَصْرَ.
“Diam dalam konteks penjelasan menunjukkan pengecualian”.
Nabi ﷺ menyebut dalam hadits orang yang disifati dengan mengubah ciptaan Allah dan menghukumnya dengan laknat, seperti :
“Perempuan yang mencabut bulu alis, perempuan yang minta dicabut bulu alisnya, perempuan yang menyambung rambutnya dan minta disambungkan rambutnya .... sampai akhir hadis, beliau ﷺ bersabda, "Laknat Allah bagi yang mengubah ciptaan Allah."
Namun, tidak ada penyebutan dalam hadits tentang mencukur jenggot, maka kami berkesimpulan bahwa mencukur jenggot bukan termasuk dalam hal ini secara asal, yaitu bukan termasuk mengubah ciptaan Allah.
Syeikh Abu al-Bara' al-Qushaimiy mengatakan :
"يَغْلِبُ عَلَى ظَنِّي أَنَّ (إِزَالَةَ الشَّعَرِ) (مَا عَدَا مَا وَرَدَ فِيهِ النَّهْيُ) لَا يَدْخُلُ مِن بَابِ التَّغْيِيرِ لِأَنَّ هُنَاكَ شُعُورٌ أَمَرَ الشَّارِعُ بِإِزَالَتِهَا، فَدَلَّ ذَلِكَ عَلَى أَنَّ مَنْ جَعَلَ إِزَالَةَ الشَّعْرِ مِن بَابِ التَّغْيِيرِ فَفِي كَلَامِهِ نَظَرٌ بِاِسْتِثْنَاءِ مَا وَرَدَ فِيهِ النَّهْيُ بِدَلِيلٍ أَنَّ الشَّرِعَ أَمَرَ بِإِزَالَةِ شَعْرِ الرَّأْسِ لِلْحَاجِّ وَالْمُعْتَمِرِ وَحَفِّ الشَّارِبِ وَنَتْفِ الْإِبْطِ وَحَلْقِ الْعَانَةِ فَدَلَّ عَلَى أَنَّ إِزَالَةَ الشَّعْرِ لَيْسَ تَغْيِيرًا (إِلَّا مَا نَهَى عَنْهُ الشَّارِعُ الْحَكِيمُ) فَكَيْفَ يَكُونُ تَغْيِيرًا وَالشَّارِعُ الْحَكِيمُ شَرَّعَ إِزَالَةَ بَعْضِ الشَّعُورِ؟".
"Saya lebih cenderung bahwa mencukur rambut (kecuali yang dinyatakan haram oleh dalil) tidak termasuk dalam kategori perubahan ciptaan Allah, karena di sana adapula rambut-rambut yang diperintahkan untuk menghilangkannya. Maka hal ini menunjukkan bahwa siapa yang menganggap mencukur rambut termasuk dalam kategori perubahan ciptaan , maka ucapannya itu perlu ditinjau kembali, kecuali yang terdapat dalil yang melarangnya, contohnya dalil dari Syari’ yang memerintahkan untuk mencukur rambut kepala bagi orang yang melakukan haji dan umrah, merapikan kumis, mencabut bulu ketiak, dan mencukur rambut kemaluan. Hal ini menunjukkan bahwa mencukur rambut bukanlah perubahan (kecuali apa yang dilarang oleh Allah al-Hakiim). Jadi, bagaimana bisa disebut sebagai perubahan ciptaan, sedangkan Allah Yang Maha Bijak saja memerintahkan untuk mencukur sebagian rambut?"
Jika kita memperhatikan ayat yang berbicara tentang celaan, kita akan menemukan bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan hal ini dalam konteks memotong teling-telinga binatang ternak serta merubah bentuk ciptaan sebagai persembahan kepada Syaithan .
Allah SWT berfirman :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَالًا بَعِيدًا (116) إِنْ يَدْعُونَ مِنْ دُونِهِ إِلَّا إِنَاثًا وَإِنْ يَدْعُونَ إِلَّا شَيْطَانًا مَرِيدًا (117) لَعَنَهُ اللَّهُ وَقَالَ لَأَتَّخِذَنَّ مِنْ عِبَادِكَ نَصِيبًا مَفْرُوضًا (118) وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا (119) يَعِدُهُمْ وَيُمَنِّيهِمْ وَمَا يَعِدُهُمُ الشَّيْطَانُ إِلَّا غُرُورًا (120)
Sesungguhnya Allah tidak mengampuni dosa mempersekutukan (sesuatu) dengan Dia, dan Dia mengampuni' dosa yang selain dari syirik itu bagi siapa yang dikehendaki-Nya.
Barang siapa yang mempersekutukan (sesuatu) dengan Allah, maka sesungguhnya ia telah tersesat sejauh-jauhnya.
Yang mereka sembah selain Allah itu tidak lain hanyalah berhala, dan (dengan menyembah berhala itu) mereka tidak lain hanyalah menyembah setan yang durhaka, yang dilaknati Allah, dan setan itu mengatakan, "Saya benar-benar akan mengambil dari hamba-hamba Engkau bagian yang sudah ditentukan (untuk saya).
Dan saya benar-benar akan menyesatkan, dan akan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka dan akan menyuruh-mereka (memotong telinga-telinga binatang ternak), lalu mereka benar-benar memotongnya, dan akan saya suruh mereka (mengubah ciptaan Allah), lalu benar-benar mereka mengubahnya.”
Barang siapa yang menjadikan setan menjadi pelindung selain Allah, maka sesungguhnya ia menderita kerugian yang nyata.
Setan itu memberikan janji-janji kepada mereka dan membangkitkan angan-angan kosong pada mereka, padahal setan itu tidak menjanjikan kepada mereka selain dari tipuan belaka.
[QS. An-Nisaa : 112 – 120].
Al-Imam Asy-Syawkani berkata:
قَوْلُهُ: وَلَآمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ أَيْ: وَلَآمُرَنَّهُمْ بِتَغْيِيرِ خَلْقِ اللَّهِ، فَلَيُغَيِّرُنَّهُ بِمُوجِبِ أَمْرِي لَهُمْ. وَاخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِي هَذَا التَّغْيِيرِ مَا هُوَ؟ فَقَالَتْ طَائِفَةٌ: هُوَ الْخِصَاءُ، وَفَقْءُ الْأَعْيُنِ، وَقَطْعُ الْآذَانِ.
وَقَالَ آخَرُونَ: إِنَّ الْمُرَادَ بِهَذَا التَّغْيِيرِ: هُوَ أَنَّ اللَّهَ سُبْحَانَهُ خَلَقَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ وَالْأَحْجَارَ وَالنَّارَ وَنَحْوَهَا مِنَ الْمَخْلُوقَاتِ لِمَا خَلَقَهَا لَهُ، فَغَيَّرَهَا الْكُفَّارُ بِأَنْ جَعَلُوهَا آلِهَةً مَعْبُودَةً، وَبِهِ قَالَ الزَّجَّاجُ. وَقِيلَ: الْمُرَادُ بِهَذَا التَّغْيِيرِ:
تَغْيِيرُ الْفِطْرَةِ الَّتِي فَطَرَ اللَّهُ الناس عليها، ولا مانع من حملى الْآيَةِ عَلَى جَمِيعِ هَذِهِ الْأُمُورِ حَمْلًا شُمُولِيًّا أَوْ بَدَلِيًّا
"Dalam ayat ini, Allah berfirman: 'Dan Sungguh Aku akan memerintahkan mereka, maka mereka akan mengubah ciptaan Allah.'
Artinya: Aku akan memerintahkan mereka untuk mengubah ciptaan Allah, maka mereka akan mengubahnya berdasarkan perintah-Ku kepada mereka.
Para ulama berbeda pendapat mengenai perubahan ini, apa yang dimaksud dengan perubahan ini?
Sebagian mengatakan: Ini merujuk pada sterilisasi hewan jantan (mengkebirinya), memotong telinga, dan memotong kuping.
Dan yang lain mengatakan: Yang dimaksud dengan perubahan ciptaan di sini adalah bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala menciptakan matahari, bulan, batu, api, dan makhluk-makhluk lainnya untuk dijadikan sebagai tuhan-tuhan yang disembah oleh orang-orang kafir.
Al-Zajjaj berkata: Yang dimaksud dengan perubahan ini adalah perubahan fitrah yang Allah ciptakan manusia berdasarkan fitrah-Nya.
Tidak ada halangan untuk menafsirkan ayat ini dalam konteks semua hal ini secara menyeluruh atau secara bergantian." [Baca : Fathul Qodir 1/596 karya asy-Syawkani] .
-------
DALIL KE TIGA : IJMA’ PARA ULAMA AKAN HARAM NYA MENCUKUR JENGGOT .
Mereka yang mengharamkan cukur jenggot walau sedikit berdalil dengan Ijma’ para ulama, sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Hazm.
Ibnu Hazm berkata dalam Maraatib al-Ijma' (halaman 182):
«وَاتَّفَقُوا أَنَّ حَلْقَ جَمِيعِ اللِّحَى مُثْلَةً لَا تَجُوزُ»
"Mereka sepakat bahwa mencukur seluruh jenggot adalah mutslah (merusak bentuk penampilan), yang tidak dibolehkan."
TANGGAPAN DAN BANTAHAN:
Tidak ada yang menyampaikan Ijma’ sebelum Ibnu Hazm. Dan bermula dari Ibnu Hazm inilah kemudian sebagian para ulama mengutipnya, seperti Ibnu al-Qaththan, namun dengan ketidakjelasan dan keterbatasan yang sangat besar nash-nash yang dikutip dari generasi salaf dahulu dalam hal ini.
Lagi pula : Jika mencukur jenggot memang tidak dibolehkan, maka itu hukumnya bisa jadi makruh dan bisa pula haram. Dan ini bukanlah nash yang memastikan .
Memang benar bahwa mutslah [merusak bentuk penampilan] itu tidak dibolehkan, tetapi menganggap mencukur jenggot sebagai mutslah adalah masalah yang perlu ditinjau ulang. Ibnu Hazm menyebutkan alasan larangan mencukur jenggot adalah karena mutslah, dan ini secara konsensus menuju ke tidak bolehnya. Dan mutslah itu berbeda-beda tergantung pada waktu dan tempat. Misalnya, Umar pernah menganggap menggundul rambut kepala sebagai mutslah.
Sebagaimana halnya , argumen bahwa tidak dibolehkannya mencukur jenggot itu karena mutslah, maka itu tidaklah bisa diterima, karena Rasulullah (ﷺ) menjelaskan illat (alasan) larangan itu, yaitu untuk tidak menyamai kaum musyrik. Oleh karena itu, tidaklah benar mengatakan hal lain selain apa yang disebutkan dalam nash hadits, seperti yang kita maklumi bersama.
Karena itu, mengatakan bahwa illat (alasan) nya itu adalah mutslah, tidak sesuai dengan zaman ini. Karena sekarang tidak mencukur jenggotlah yang menjadi mutslah!
Jika kita telah tahu dan mengikuti pendapat berdasrkan illat ini, maka tidak akan ada larangan absolut terhadap mencukur jenggot.
Salah satu yang melemahkan dan meruntuhkan klaim IJMA’ adalah : bahwa pendapat yang Mu’tamad (jadi pegangan) dalam mazhab Syafi'i adalah makruh bukan haram.
Imam Syafi'i sendiri tidak memiliki nash dalam masalah ini, begitu juga para pengikutnya, namun ini adalah penjelasan yang dibuat oleh ulama kemudian berdasarkan prinsip-prinsip dasar mazhab.
Klaim Ibnu ar-Rif'ah (yang hidup semasa dengan Ibnu Taymiyyah) bahwa Imam Syafi'i memiliki nash dalam kitab "Al-Umm" tentang hukum haramnya, ini adalah kesalahpahaman dalam pemahamannya.
Karena perkataan Syafi'i (6/88) dalam "Jarah al-'Amd ("جُرَاحُ الْعُمَدِ")" tentang mencukur jenggot:
«وَهُوَ وَإِنْ كَانَ فِي اللِّحْيَةِ لَا يَجُوزُ...»
"Dan itu meskipun dalam konteks jenggot, itu tidak dibolehkan...".
Dan kata "tidak dibolehkan" di sini juga dapat berarti makruh, oleh karena itu para peneliti dari mazhab Syafi'i tidak menemukan nash tentang hukum haramnya.
Al-Hulaimi (wafat 403 H) yang mungkin menjadi salah satu yang pertama menyatakan hukum haramnya dari kalangan Syafi'i, sebelumnya diungkapkan oleh al-Khathib al-Baghdadi (wafat 388 H) yang menyatakan bahwa mencukur jenggot adalah makruh dan Mustahab untuk mempertebalnya dalam kitab "Ma'alim as-Sunan".
Fatwa dalam mazhab Syafi'i dari kalangan muta’akhirin mengikuti apa yang diputuskan oleh Imam al-Rafi'i, an-Nawawi, Ibnu Hajar al-Haitami, dan al-Ramli.
Al-Ghazali (w. 505 H) telah menyebutkan dalam "Ihya Ulumuddin" (1/142) sifat-sifat yang makruh terkait dengan jenggot, di antaranya:
«نَتْفُهَا أَوْ بَعْضُهَا بِحُكْمِ الْعَبَثِ وَالْهَوْسِ، وَذَلِكَ مَكْرُوهٌ»
"Mencabut semuanya atau sebagiannya dihukumi dengan abats (sia-sia) dan haws (kepandiran, kurang akal dan kegilaan), dan itu adalah perbuatan yang makruh".
Dan melenyapkan semuan jenggot itu lebih buruk daripada mencukur.
Imam Nawawi (w. 676 H) juga mengutip dalam Syarah Muslim (3/149) dari para ulama, di mana ia menyebutkan dua belas sifat yang makruh terkait jenggot, di antaranya: "Mencukurnya ("حَلْقُهَا")". Dan ia secara jelas menyatakan dalam kitabnya "at-Tahqiq" yang ditulisnya setelah "Al-Majmu' dan Raudhah ath-Tholibin", sebagaimana yang terdapat di “muqoddimah”nya.
Begitu pula pemahaman para ulama Syafi'i Muta’akhkhiriin terhadap perkataan Nawawi tentang memakruhkannya.
Cukuplah untuk membuktikan itu al-Faqiih Ibnu Hajar al-Haitami, karena ia adalah ‘umdah (otoritas) bagi para ulama mutaakhkhirin dari madzhab Syafi’i. Lihatlah perkataannya dalam "Tuhfat al-Muhtaj" dan catatan kaki nya (9/376). Dan dalam catatan kaki tersebut disebutkan bahwa al-Rafi'i dan al-Nawawi menyatakan makruhnya.
Imam al-Ramli asy-Syafi’i, dalam fatwanya (4/69), berkata:
«حَلْقُ لِحْيَةِ الرَّجُلِ وَنَتْفُهَا مَكْرُوهٌ لَا حَرَامٌ. وَقَوْلُ الْحَلِيمِيِّ فِي مَنْهَاجِهِ: "لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَحْلِقَ لِحْيَتَهُ وَلَا حَاجِبَيْهِ"، ضَعِيفٌ»
"Mencukur jenggot seorang pria dan mencabutnya adalah perbuatan makruh, bukan haram. Sedangkan ucapan al-Halimi dalam "Minhajnya": "Tidak boleh bagi seseorang mencukur jenggotnya atau alisnya", adalah lemah."
Dalam catatan kaki al-Bajuri pada kitab "Syahadat", juga menyebutkan tentang makruhnya. Dan Zakariya dalam "Asnā al-Mathālib" menyatakan:
"قَوْلُهُ "وَيُكْرَهُ نَتْفُهَا" أَيِ اللِّحْيَةِ إلخ، وَمِثْلُهُ حَلْقُهَا. فَقَوْلُ الْحَلِيمِيِّ فِي مَنْهَاجِهِ "لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَحْلِقَ لِحْيَتَهُ وَلَا حَاجِبَيْهِ" ضَعِيفٌ"
"Ucapan 'dan disunnahkan untuk tidak mencabutnya' berlaku untuk jenggot, dan hal yang sama berlaku untuk mencukurnya. Maka ucapan al-Hulaimi dalam 'Minhajnya' bahwa 'tidak boleh bagi seseorang mencukur jenggotnya atau alisnya' adalah lemah."
Demikian pula, al-Dimyathi dalam "I'anat al-Thalibin" (2/240), ketika menjelaskan tentang larangan mencukur jenggot, mengatakan:
"المُعْتَمَدُ عِنْدَ الْغَزَالِيِّ، وَشَيْخِ الْإِسْلَامِ (زَكَرِيَّا الْأَنْصَارِيِّ) وَابْنِ حَجَرٍ فِي "التحفة"، وَالرَّمْلِيُّ، وَالْخَطِيبِ (الشَّرْبِينِيُّ)، وَغَيْرُهُمْ: الْكَرَاهَةُ"
"Yang Mu’tamad (yang dipegang) adalah makruh, menurut al-Ghazali, Syaikh al-Islam (Zakariya al-Anshari), Ibn Hajar dalam 'Tuhfat al-Muhtaj', al-Ramli, al-Khatib (al-Syarbini), dan yang lainnya: makruh,"
Kemudian ia melemahkan pendapat penulis syarah kitab tsb, dengan menjelaskan bahwa yang mu’tamad (yang dipegang) adalah makruh.
Juga, tidak ada nash dari Imam Malik atau murid-muridnya, tetapi mayoritas ulama yang kemudian menetapkan bahwa mencukur jenggot adalah haram, dan beberapa di antara mereka menyatakan bahwa itu makruh.
Al-Qadhi al-Maliki, 'Iyadh (w. 544 H), dalam "Ikmal al-Mu'allim bi Fawa'id Muslim" (dan kutipan dari yang lain) (2/63), tentang hukum-hukum jenggot menyatakan:
"يُكْرَهُ حَلْقُهَا وَقَصُّهَا وَتَحْذِيفُهَا. وَأَمَّا الْأَخْذُ مِنْ طُولِهَا وَعُرْضِهَا فَحَسَنٌ. وَتُكْرَهُ الشُّهْرَةُ فِي تَعْظِيمِهَا وَتَحْلِيتِهَا، كَمَا تُكْرَهُ فِي قَصِّهَا وَجَزِّهَا. وَقَدْ اخْتَلَفَ السَّلَفُ: هَلْ فِي ذَلِكَ حَدٌّ؟ فَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ يُحَدِّدْ إلَّا أَنَّهُ لَمْ يَتْرُكْهَا لِحَدِّ الشُّهْرَةِ، وَيَأْخُذُ مِنْهَا، وَكَرِهَ مَالِكٌ طُولَهَا جِدًّا. وَمِنْهُمْ مَنْ حَدَّدَ بِمَا زَادَ عَلَى الْقَبْضَةِ فَيُزَالُ. وَمِنْهُمْ مَنْ كَرِهَ الْأَخْذَ مِنْهَا إلَّا فِي حَجٍّ أَوْ عُمْرَةٍ."
"Makruh untuk mencukur, memotong, atau merapikan jenggot. Sedangkan mengambilnya karena panjang dan lebar maka itu bagus. Dan dimakruhkan jenggot untuk kemasyhuran di dalam memuliakannya dan memperindahnya, seperti halnya dimakruhkan pula untuk mencukurnya dan memotongnya.
Para salaf berselisih: Apakah ada batasan dalam hal ini? Di antara mereka ada yang tidak menetapkan kecuali bahwa dia tidak boleh membiarkannya hingga menjadi pusat perhatian [masyhur], maka dia boleh mengambil darinya.
Imam Malik sangat tidak menyukai panjangnya jenggot yang berlebihan. Dan di antara mereka ada yang menetapkan apa yang melebihi satu genggaman, maka itu harus dipotong.
Dan di antara mereka ada yang tidak menyukai memotong darinya kecuali dalam haji atau umrah".
Dan yang dimaksdud dengan makruh di sini adalah makruh tanziih, sebagaimana yang nampak jelas, karena semua hal yang ia tidak menyuakainya, maka itu tidak diharamkan.
Dan hukum makruh (terhadap hal itu) adalah pendapat yang diriwayatkan dari Ahmad. Ketika ditanya oleh Muhanna (sebagaimana dalam Al-Mughni 1|66) tentang mencukur rambut wajah, dia berkata:
«لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ لِلنِّسَاءِ، وَأَكْرَهُهُ لِلرِّجَالِ».
"Tidak ada masalah bagi wanita, dan saya menganggap makruh untuk pria."
Dan kata al-Haff adalah menghilangkan bulu dari wajah. Dan makruh tanziih adalah hukum asal, seperti yang dijelaskan oleh Syaikh Bakr dalam "Al-Madkhal".
Al-Marwazi mengatakan:
قِيلَ لأَبِي عَبْدِ اللهِ: تَكْرَهُ لِلرَّجُلِ أَنْ يَحْلِقَ قَفَّاهُ أَوْ وَجْهَهُ؟ فَقَالَ: «أَمَّا أَنَا فَلَا أُحَلِّقُ قَفَايِ».
"Dikatakan kepada Abu Abdullah: Apakah Anda memakruhkan bagi pria untuk mencukur qofaa (bagian belakang kepala) nya atau wajahnya?" Dia berkata: "Adapun saya, maka saya tidak mencukur bagian qofaa saya."
Dan Saleh bin Ahmad dalam "Al-Masa'il" berkata:
وَسَأَلْتُهُ عَنْ رَجُلٍ قَدْ بُلِيَ بِنْتِفِ لِحْيَتِهِ، وَقَطَعَ ظُفْرَهُ بِيَدِهِ، لَيْسَ يَصْبُرُ عَنْهُمَا؟ قَالَ: «إِنْ صَبَرَ عَلَى ذَلِكَ، فَهُوَ أَحَبُّ إِلَيْ».
"Dan saya bertanya kepadanya tentang seorang pria yang mencukur jenggotnya, dan memotong kuku tangannya dengan tangannya sendiri, apakah dia tidak sabar terhadap keduanya?" Dia berkata: "Jika dia bisa bersabar terhadap itu, maka itu lebih saya disukai untuknya."
Dan yang pertama kali menyatakan haram dari kalangan ulama Mazhab Hanbali adalah Ibnu Taimiyah (wafat 728 H) dan kemudian murid-muridnya. Sedangkan yang sebelumnya hanyalah nash-nash yang menyatakan mandub, mustahab dan sunnah .
Sebagai contoh, Al-Syams (murid Ahmad bin Hanbal, wafat 682 H) dalam Syarh al-Kabir (1|255) mengatakan:
"وَيُسْتَحَبُّ إِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ."
"Disunnahkan memelihara jenggot."
Ibnu Tamim al-Harani (wafat 675 H) dalam Mukhtasharnya (1/132) menyatakan:
"وَيُسْتَحَبُّ تَوْفِيرُ اللِّحْيَةِ."
"Disunnahkan menjaga jenggot lebat."
Ibnu Umar adh-Dhoriir (wafat 684 H) dalam al-Hawi ash-Shoghir (halaman 26) mengatakan:
وَيَسُنُّ أَنْ يَكْتَحِلَ وَتَرَا بِإِثْمَدٍ، وَيُدْهِنَ غَبًّا، وَيُغْسِلَ شَعْرَهُ وَيُسَرِّحَهُ وَيُفَرِّقَهُ، وَيَقْصُ شَارِبَهُ، وَيُعَفِّيَ لِحْيَتَهُ
“Disunnahkan seseorang bercelak pada mata dengan istmid (batu celak), meminyaki rambut, mencuci dan menyisir rambut, memotong kumis, dan memelihara jenggot."
Ibnu Abdul Qawi (wafat 699 H) dalam "Mundzuumat al-Adab" (halaman 40) menyatakan:
وَإِعْفَاءُ اللِّحْى نَدْبٌ.
"Memelihara jenggot adalah mandub (dianjurkan)."
Tidak berpengaruh kewajiban membayar denda dalam mencukur jenggot jika itu tidak tumbuh kembali, karena hal yang sama berlaku untuk mencukur rambut kepala. Dan telah maklum bahwa mencukur rambut kepala tidak diharamkan dalam mazhab ini.
-----
DALIL KE EMPAT :
Hadits :
( لَكِنَّ رَبِّي أَمَرَنِي أَنْ أُحْفِيَ شَارِبِي وَأُعْفِيَ لِحْيَتِي )
"Tetapi Tuhanku telah memerintahkan aku untuk memotong kumisku dan membiarkan jenggotku."
-----
TANGGAPAN DAN BANTAHAN :
Hadits ini memiliki beberapa sanad, semuanya tidak ada yang shahih.
Berikut ini rinciannya:
SANAD KE 1:
Ibnu Bashran dalam "Amalinya" (128) meriwayatkan:
Telah menceritakan kepada kami Abu Abdullah Muhammad bin Yazid bin Ali bin Marwan al-Anshari al-Abzari di Kufah, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Abdullah al-Anshari al-Ubaisi, telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad al-Anshari, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahya, telah menceritakan kepada kami 'Ismah bin Muhammad, dari Yahya bin Sa'id, dari Sa'id bin Al-Musayyib, dari Abu Hurairah, dia berkata:
" دَخَلَ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ مَجُوسِيُّ قَدْ حَلَقَ لِحْيَتَهُ وَأَعْفَى شَارِبَهُ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: ( وَيْحَكَ ، مَنْ أَمَرَكَ بِهَذَا ؟ ) ، قَالَ: أَمَرَنِي بِهِ كِسْرَى ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ : ( لَكِنِّي أَمَرَنِي رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ أَنْ أُعْفِيَ لِحْيَتِي، وَأَنْ أُحْفِيَ شَارِبِي ) .
"Datang kepada Rasulullah ﷺ seorang Majusi yang telah mencukur jenggotnya dan membiarkan kumisnya tumbuh , maka Rasulullah ﷺ bersabda: (Kamu celaka! Siapakah yang memerintahkanmu melakukan ini?) Dia menjawab: Aku diperintah oleh Kaisar. Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: (Tetapi Tuhanku Yang Maha Mulia telah memerintahkan kepadaku untuk membiarkan jenggotku tumbuh dan mencukur kumisku)."
Dirasah Sanad :
Di dalam sanadnya terdapat Isma'ah bin Muhammad , dia terkena tuduhan, Yahya berkata: Dia adalah pendusta, dia pemalsu hadis. Al-'Uqaili berkata: Dia meriwayatkan dari orang-orang yang tidak dapat dipercaya. Ad-Daraquthni dan lainnya berkata: Dia adalah perawi yang ditinggalkan. [Baca :"Mizan Al-I'tidal" (3/68)].
SANAD KE 2 :
Al-Harits bin Abi Usamah dalam "Musnadnya" (592) berkata:
Telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Aban, telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Yahya bin Abi Katsir, dia berkata:
" أَتَى رَجُلٌ مِنَ الْعَجَمِ الْمَسْجِدَ وَقَدْ وَفَّرَ شَارِبَهُ وَجَزِّ لِحْيَتَهُ ، فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللهِ ﷺ : (مَا حَمَلَكَ عَلَى هَذَا ؟)، قَالَ : إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ أَمَرَنَا بِهَذَا . فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ : (إِنَّ اللَّهَ أَمَرَنِي أَنْ أُوَفِّرَ لِحْيَتِي وَأُحْفِيَ شَارِبِي).
"Datang seorang lelaki dari bangsa Ajam (non Arab) ke masjid, telah membiarkan kumisnya tumbuh lebat dan mencukur jenggotnya.
Rasulullah ﷺ bertanya kepadanya: (Apa yang mendorongmu melakukan ini?) Dia menjawab: Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan kami untuk melakukan ini. Maka Rasulullah ﷺ bersabda: (Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadaku untuk melebatkan jenggotku dan mencukur kumisku)."
Dirosah Sanad :
1] Sanadnya mursal, yakni seorang Tabi’i meriwayatkannya dari Nabi ﷺ . [ Lihat : Zawaa’id al-Haitsami 2/620]
2] Di dalam sanadnya terdapat Abdul Aziz bin Aban, dia tertuduh, Yahya berkata: Pendusta yang busuk, dia senantiasa meriwayatkan hadits palsu.
Dan Ahmad berkata: Hadisnya tidak boleh ditulis, dan Al-Bukhari berkata: Orang-orang meninggalkan riwayat dari dia. [Baca : "Mizan al-I'tidal" (2/622)].
SANAD KE 3 :
Ibnu Saad dalam "Ats-Tabaqat al-Kubra" (1/347) mengatakan:
Telah mengabarkan kepada kami Sa'id bin Mansur, telah mengabarkan kepada kami Sufyan dari Abdul Majid bin Sahl dari Ubaidillah bin Abdullah, dia berkata:
" جَاءَ مَجُوسِيٌّ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ قَدْ أَعْفَى شَارِبَهُ وَأَحْفَى لِحْيَتَهُ فَقَالَ : ( مَنْ أَمَرَكَ بِهَذَا ؟ ) ، قَالَ: رَبِّي ، قَالَ : ( لَكِنَّ رَبِّي أَمَرَنِي أَنْ أُحْفِيَ شَارِبِي وَأُعْفِيَ لِحْيَتِي ) .
"Seorang Majusi datang kepada Rasulullah ﷺ dengan mencukur kumisnya dan menyimpan jenggotnya. Rasulullah ﷺ bertanya: (Siapakah yang memerintahkanmu melakukan ini?)
Dia menjawab: Tuhanku. Rasulullah ﷺ bersabda: (Tetapi Tuhanku telah memerintahkan kepadaku untuk membiarkan kumisku tumbuh dan mencukur jenggotku)."
Dan sanad ini adalah sanad mursal.
SANAD KE 4 :
Al-Tabari dalam "Tarikhnya" (2/654) mengatakan:
Telah menceritakan kepada kami Ibnu Hamid, dia berkata: Telah menceritakan kepada kami Salamah, dari Muhammad bin Ishaq, dari Yazid bin Abi Habib... Kemudian ia meriwayatkan hadits tersebut, di dalamnya terdapat:
" ودخلا على رسول الله ﷺ وَقَدْ حَلَقَا لِحَاهُمَا، وَأَعْفَيَا شَوَارِبَهُمَا، فَكَرِهَ النَّظَرَ إليهما، ثم أَقْبَلَ عَلَيْهِمَا فَقَالَ : ( وَيْلَكُمَا! مَنْ أَمَرَكُمَا بِهَذَا ؟ ) ، قَالا: أَمَرَنَا بِهَذَا رَبُّنَا- يَعْنِيَانِ كِسْرَى- ، فَقَالَ رسول الله : ( لَكِنَّ رَبِّي قَدْ أَمَرَنِي بِإِعْفَاءِ لِحْيَتِي وَقَصِّ شَارِبِي).
"Mereka berdua masuk menemui Rasulullah ﷺ, mereka berdua mencukur jenggot mereka dan memelihara kumis mereka berdua. Maka Rasulullah ﷺ merasa tidak suka melihatnya.
Kemudian beliau menghadap kepada mereka berdua dan berkata: (Aduhai kalian berdua! Siapakah yang memerintahkan kalian berdua untuk melakukan ini?)
Mereka berdua menjawab: Tuhan kami yang memerintahkan kepada kami - mereka bermaksud Kisra -.
Maka Rasulullah ﷺ bersabda: (Namun, Tuhan saya telah memerintahkan saya untuk memelihara jenggot saya dan memendekkan kumis saya)."
Dirosah sanad :
Dan ini juga merupakan sanad yang mursal, namun isnadnya lemah. Perawi yang bernama Ibnu Hamid telah dinyatakan sebagai pendusta oleh Ibnu Kharaash dan Abu Zar'ah al-Razi, dan Al-Nasa'i berkata: Dia tidak dipercaya. ["Mizan al-I'tidal" (3/530)].
Dan Abu Nu'aim meriwayatkan dalam "Dala'il al-Nubuwwah" (halaman 350) dari Ibnu Ishaq, ia berkata: ... Lalu dia meriwayatkan hadits tersebut di atas, di dalamnya:
وَقَدْ دَخَلَا عَلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَقَدْ حَلَقَا لِحَاهُمَا وَأَعْفَيَا شَوَارِبَهُمَا ، فَكَرِهَ النَّظَرَ إِلَيْهِمَا ، وَقَالَ: وَيْلَكُمَا مَنْ أَمْرَكُمَا بِهَذَا؟ قَالَا: أَمَرَنَا بِهَذَا رَبُّنَا يَعْنِيَانِ كِسْرَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: ( لَكِنَّ رَبِّي قَدْ أَمَرَنِي بِإِعْفَاءِ لِحْيَتِي وَقَصِّ شَارِبِي )
"Keduanya memasuki Rasulullah ﷺ, mereka telah mencukur jenggot mereka dan memendekkan kumis mereka, lalu Rasulullah ﷺ merasa tidak suka melihatnya, dan beliau berkata: "Aduhai kalian berdua! Siapakah yang memerintahkan kalian berdua untuk melakukan ini?" Keduanya menjawab: "Tuhan kami yang memerintahkan kepada kami - mereka bermaksud Kisra."
Lalu Rasulullah ﷺ bersabda: (Namun, Tuhan saya telah memerintahkan saya untuk memelihara jenggot saya dan memendekkan kumis saya).
SANAD KE 5 :
Ibnu Abi Syaibah dalam "Al-Musannaf" (7/346) berkata:
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail, dari Hushain, dari Abdullah bin Syaddad, dia berkata:
" كَتَبَ كِسْرَى إِلَى بَاذَامَ : أَنِّي نُبِّئْتُ أَنَّ رَجُلًا يَقُولُ شَيْئًا لَا أَدْرِي مَا هُوَ , فَأَرْسِلْ إِلَيْهِ فَلْيَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ ، وَلَا يَكُنْ مِنَ النَّاسِ فِي شَيْءٍ ، وَإِلَّا فَلْيُوَاعِدْنِي مَوْعِدًا أَلْقَاهُ بِهِ , قَالَ: فَأَرْسَلَ بَاذَامُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ ﷺ رَجُلَيْنِ حَالِقِي لِحَاهُمَا ، مُرْسِلِي شَوَارِبِهِمَا , فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: ( مَا يَحْمِلُكُمَا عَلَى هَذَا ؟ ) ، قَالَ: فَقَالَا لَهُ: يَأْمُرُنَا بِهِ الَّذِي يَزْعُمُونَ أَنَّهُ رَبُّهُمْ , قَالَ : فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ : ( لَكِنَّا نُخَالِفُ سُنَّتَكُمْ , نَجُزُّ هَذَا وَنُرْسِلُ هَذَا ) .
"Kisra menulis kepada Badzam: Aku diberitahu bahwa ada seorang yang mengucapkan sesuatu yang aku tidak tahu apa itu. Kirimkan utusan pada dia untuk duduk di rumahnya dan tidak ikut campur dengan orang lain.
Jika tidak, maka tentukan waktu pertemuan dan aku akan menemuinya."
Badzam pun mengirimkan kepada Rasulullah ﷺ dua orang yang mencukur jenggotnya dan membiarkan kumisnya panjang.
Rasulullah ﷺ bertanya kepada mereka: (Apa yang mendorong kalian melakukan ini?) Mereka menjawab: Kami diperintahkan oleh Tuhan kami, menurut klaim mereka.
Rasulullah ﷺ berkata: (Namun kami tidak mengikuti sunnah kalian, kami memotong yang satu ini dan membiarkan yang satu ini terurai)."
Dirosah sanad :
Dan ini juga merupakan sanad yang mursal, dan Abdullah bin Syaddad adalah seorang Tabi'in senior.
SANAD KE 6 :
Dalam "Al-Tamhid" karya Ibnu Abdil Barr 20/55, dijelaskan:
Abdullah bin Muhammad mengatakan, dia memberitahu kami Muhammad bin Yahya, dia mengatakan, dia memberitahu kami Muhammad bin Umar bin Ali, dia mengatakan, dia memberitahu kami Ali bin Harb, dia mengatakan, dia memberitahu kami Sufyan dari Abdul Majid bin Suhail bin Abdul Rahman dari Ubaidullah bin Abdullah bin Utbah :
أَنَّ مَجُوسِيًّا دَخَلَ عَلَى النَّبِيِّ ﷺ وَقَدْ أَعْفَى شَارِبَهُ وَأَحْفَى لِحْيَتَهُ فَقَالَ مَنْ أَمَرَكَ بِهَذَا؟ قَالَ أَمَرَنِي رَبِّي قَالَ لَكِنْ رَبِّي أَمَرَنِي أَنْ أُحْفِيَ شَارِبِي وَأُعْفِيَ لِحْيَتِي
“Bahwa seorang Majusi memasuki Nabi ﷺ dan telah memelihara kumisnya dan memendekkan jenggotnya.
Rasulullah ﷺ bertanya, “Siapa yang memerintahkanmu melakukan ini?” Dia menjawab, “Tuhan saya yang memerintahkan saya.” Rasulullah ﷺ berkata, “Namun Tuhan saya memerintahkan saya untuk memelihara kumis saya dan memendekkan jenggot saya.”
Dirosah Sanad :
Demikianlah kata Ali bin Harb dari Sufyan bin ‘Uyaynah tentang Abdul Majid, dan ini adalah yang benar dalam menyebut nama orang ini, dan juga demikianlah yang disebutkan oleh Bukhari dan Al-‘Uqaili dalam bab tentang Abdul Majid. Siapa pun yang menyebutnya sebagai Abdul Hamid , dia telah keliru. Wallaahu a’lam.
Dan ini juga adalah riwayat yang disebutkan secara mursal.
Kesimpulannya :
Sanad Hadits ini hanya sahih dalam bentuk mursal. Mursal adalah hadits yang tidak disebutkan perawi dari golongan sahabat. Ciri hadits mursal adalah sebuah hadits yang disampaikan oleh tabi’in (baik tabi’in kecil maupun besar) tanpa menyebutkan nama sahabat, dan langsung menyebut nama Rasulullah ﷺ.
Mayoritas ulama pakar hadits, serta kebanyakan ulama ushul dan fiqh menyatakan : bahwa Hukum hadits mursal adalah hadits mardud (hadits yang tertolak) dikarenakan tidak terpenuhinya salah satu syarat hadits maqbul (yang diterima) yaitu terputusnya sanad. Akibat terputusnya sanad ini, akhirnya perowi yang terhapus tidak diketahui keadaannya, boleh jadi yang dihapus adalah selain sahabat. Dari sisi ini, maka dikatakan bahwa asal hadits mursal adalah dhoi’f (lemah).
Namun hadits diatas oleh Syeikh Al-Albani dihukumi hasan dalam "Takhrij Fiqh As-Sirah" (halaman 359), mungkin karena adanya beberapa jalur yang ada. Akan tetapi al-Albani sendiri tidak mengharamkan mencukur jenggot, bahkan mewajibkan mencukur jenggot yang panjangnya melebihi genggaman tangan sebagaimana yang telah disebutkan pembahasannya di atas.
----
DALIL KE LIMA :
Mereka yang mengharamkan cukur jenggot walau hanya sedikit berdalil dengan mengatakan bahwa : JENGGOT ADALAH SALAH SATU FITRAH LELAKI :
Dari Aisyah (radhiyallahu 'anha) bahwa Rasulullah ﷺ bersabda :
عَشْرٌ مِنَ الفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ، وإعْفاءُ اللِّحْيَةِ، والسِّواكُ، واسْتِنْشاقُ الماءِ، وقَصُّ الأظْفارِ، وغَسْلُ البَراجِمِ، ونَتْفُ الإبِطِ، وحَلْقُ العانَةِ، وانْتِقاصُ الماءِ. قالَ زَكَرِيّا: قالَ مُصْعَبٌ: ونَسِيتُ العاشِرَةَ إلَّا أنْ تَكُونَ المَضْمَضَةَ. زادَ قُتَيْبَةُ، قالَ وكِيعٌ: انْتِقاصُ الماءِ: يَعْنِي الاسْتِنْجاءَ.
"Ada sepuluh perbuatan fitrah: memotong kumis, membiarkan jenggot tumbuh, bersiwak, beristinsyaq (menghirup air ke dalam hidung), memotong kuku, mencuci persendian jari (Baraajim : yaitu, persendian jari telapak tangan bagian atas)), mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan (pubis) dan beristinja (cebok) dengan air.
Mus'ab berkata: "Saya lupa yang kesepuluh, kemungkinan berkumur-kumur."
[HR. Muslim no. 261 ]
------
TANGGAPAN DAN BANTAHAN :
Bantahan ke 1 :
Sepuluh Fitrah yang tersebut dalam hadits adalah sunnah bukan wajib, termasuk di dalamnya adalah memelihara jenggot .
Begitu pula perintah Nabi ﷺ dalam hadits Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berikut ini :
«وُقِّتَ لَنَا فِي قَصِّ الشَّارِبِ، وَتَقْلِيمِ الْأَظْفَارِ، وَنَتْفِ الْإِبِطِ، وَحَلْقِ الْعَانَةِ، أَنْ لَا نَتْرُكَ أَكْثَرَ مِنْ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً»
“Rasulullah ﷺ memberikan batasan waktu kepada kami untuk memotong kumis, memotong kuku, mencabuti bulu ketiak, dan mencukur bulu kemaluan, agar tidak dibiarkan lebih dari empat puluh hari.” (HR. Muslim no. 258).
Bantahan ke 2 :
Hadits ini lemah, dan bahkan jika kita menganggapnya sahih, maka tidak menunjukkan kewajiban karena mencakup masalah-masalah yang disebutkan dalam hadits itu adalah perkara yang disunnahkan, sama seperti khitan.
Adapun pembahasan mengenai sanad hadis, kita mendapati bahwa ia lemah dan ini adalah termasuk salah satu hadis-hadits Muslim yang perlu dikoreksi keshahihannya. Hadits ini telah dinilai lemah oleh sejumlah ulama yang menelitinya, baik para ulama klasik maupun kontemporer
Berikut adalah penjelasannya secara rinci.
Perlu diingat bahwa terdapat jalur lain hadits tentang fitrah ini yang shahih menurut Imam Bukhari dan yang lainnya, namun tidak menyertakan kata "Jenggot (اللِحْيَة)".
Oleh karena itu, penulis di sini hanya menelusuri sanad hadits yang memuat kata "Jenggot (اللِحْيَة)" saja.
Hadits ini memiliki beberapa sanad , semuanya sangat lemah.
Sanad pertama : dari Aisyah radhiyallahu ‘anha :
Diriwayatkan oleh Muslim, Ahmad, An-Nasa'i, dan lainnya, dari jalur yang berasal dari Zakariya bin Abi Zaidah, dari Mus'ab bin Syibah, dari Talaq bin Habib, dari Abdullah bin Az-Zubair, dari Aisyah, dari Nabi ﷺ, bahwa beliau bersabda :
"Ada sepuluh perkara yang termasuk fitrah, di antaranya adalah membiarkan jenggot (lihyah) tumbuh."
Membiarkan dalam konteks ini berarti tidak mencukurnya dan membiarkannya tumbuh tanpa dicukur.
Sanad ini dinyatakan munkar dan tertolak dengan dua alasan.
Pertama, adalah kelemahan Mus'ab bin Syaibah yang dinyatakan oleh Abu Hatim, An-Nasa'i, Ad-Daraquthni, dan yang lainnya.
Alasan kedua, yang lebih penting, adalah bahwa Mus'ab bin Syaibah berbeda pendapat dengan dua ulama terpercaya yang meriwayatkan hadits ini dari Talaq bin Habib dari ucapannya sendiri secara terputus (مقطوع) , bukan dari ucapan Nabi secara langsung (مرفوع).
Mereka berdua adalah Sulaiman At-Taimi dan Ja'far bin Ayyas, keduanya meriwayatkan hadits yang sama dari perawi yang sama, yaitu Talaq bin Habib, dia tanpa merujuk ke ucapan Nabi. Ini menegaskan bahwa riwayat Mus'ab bin Syaibah ini cacat tanpa keraguan, dan tidak layak diperkuat dengan berbagai sanad-sanad mutab’ah dan syahid-syahid sebagai bukti tambahan.
Karena itu, Ad-Daraquthni menyoroti Imam Muslim dalam riwayatnya tentang hadits ini. Dia berkata dalam kitabnya At-Tatabbu' (halaman 507) :
(خَالَفَهُ رَجُلَانِ حَافِظَانِ سُلَيْمَانَ وَأَبُو بَشْرٍ رَوَاهُ عَنْ طَلْقٍ مِنْ قَوْلِهِ)
"Dua orang hafidz yang menyalahi riwayat ini, yaitu Sulaiman dan Abu Bashar, mereka berdua meriwayatkannya dari Talaq dari perkataannya, bukan dari ucapan Nabi."
Untuk diketahui, Ibn Hajar telah mencoba untuk memperkuat sanad ini namun tidak berhasil, dan komentarnya menunjukkan jelas bahwa itu adalah hanya upaya untuk berbaik sangka. Lihatlah kitab "Al-Lihyah: Studi Fiqhiyah" oleh al-Judai di halaman 85.
Sanad kedua : dari 'Atho' bin Abi Rabah, adalah sanad yang disampaikan secara mursal (seorang tabi’i meriwayatkan dari Nabi ﷺ).
Diriwayatkan oleh Abu 'Ubaid dalam al-khuthoob wa al-Mawaa’idz. Namun, ada dua kelemahan dalam sanad ini:
Pertama, terdapat Hajjaaj bin Arta’ah yang lemah dalam hafalan serta dia seorang mudallis dan tidak berterus terang bertahdits.
Kedua, hadits ini disampaikan secara mursal, karena 'Atha' adalah tabi'i yang tidak bisa menriwayatkan langsung dari Rasulullah ﷺ . Oleh karena itu, sanad ini sangat lemah dan tidak dapat diperkuat dengan mutaba’ah.
Sanad ketiga : dari Abu Hurairah, diriwayatkan oleh Abu Umayyah ath-Tharsuusi dalam "Musnad Abu Hurairah". Di dalamnya, terdapat Muhammad bin 'Abd al-Mu'min yang majhul (tidak dikenal) dan tidak diketemukan biografinya.
Sanad keempat : juga dari Abu Hurairah, diriwayatkan oleh al-Mahamili dalam "Al-Amali", di dalamnya terdapat Abdullah bin Syaib yang dituduh melakukan kebohongan. Oleh karena itu, sanad ini sangat tidak sah dan tidak bisa diperkuat dengan mutaba’ah.
Al-Judai dalam bukunya "Al-Lihyah: Studi Fiqhiyah" setelah menyebutkan riwayat Abu Hurairah yang diriwayatkan oleh Muhammad bin 'Abd al-Mu'min, kemudian menemukan bahwa riwayat Muhammad bin 'Abd al-Mu'min terdapat mutaba’ah, akan tetapi itu tidak menggembirakan riwayat tersebut. Yaitu yang diriwayatkan oleh al-Mahamili, di mana Abdullah bin Shayb ini dituduh telah melakukan pencurian hadis.
-------
DALIL KE ENAM :
Hadits Nabi ﷺ lebih diutamakan dari pada atsar dan amalan para sahabat radhiyallahu ‘anhum. Karena ada kaidah umum yang menyatakan :
أَنَّ قَوْلَ الصَّحَابِيِّ، أَوْ قَوْلَ الْعَالِمِ إِذَا خَالَفَ السُّنَّةَ؛ تُقَدِّمُ السُّنَّةُ عَلَيْهِ، وَلَا يَتَلَفَّتُ إِلَى قَوْلِ الصَّحَابِيِّ، وَلَا إِلَى غَيْرِهِ.
“Bahwa jika perkataan seorang sahabat atau seorang ulama bertentangan dengan Sunnah, maka Sunnah harus diutamakan atasnya, dan jangan menoleh pada perkataan sahabat atau orang lainnya”.
Amalan sahabat , seperti Abu Hurairah, Abdullah bin Umar dan lainnnya yang mencukur jenggotnya tidak bisa di jadikan hujjah, karena berlawanan dengan hadits Nabi ﷺ yang shahih yang melarang mencukur jenggot secara mutlak .
Dalam hal ini Syekh Ibn Baz menjelaskan:
مَنِ احْتَجَّ بِفِعْلِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ كَانَ يَأْخُذُ مِنْ لِحْيَتِهِ فِي الْحَجِّ مَا زَادَ عَلَى الْقَبْضَةِ. فَهَذَا لَا حُجَّةَ فِيهِ، لِأَنَّهُ اجْتِهَادٌ مِنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، وَالْحُجَّةُ فِي رِوَايَتِهِ لَا فِي اجْتِهَادِهِ. وَقَدْ صَرَّحَ الْعُلَمَاءُ رَحِمَهُمُ اللَّهُ: أَنَّ رِوَايَةَ الرَّاوِي مِنَ الصَّحَابَةِ وَمَنْ بَعْدَهُمْ الثَّابِتَةَ عَنْ النَّبِيِّ ﷺ هِيَ الْحُجَّةُ، وَهِيَ مُقَدَّمَةٌ عَلَى رَأْيِهِ إذَا خَالَفَ السُّنَّةَ.
"Barang siapa yang berhujjah dengan perbuatan Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma bahwa dia selama ibadah haji mengambil sebagian dari jenggotnya yang melebihi genggaman, maka ini tidak bisa dijadikan hujjah, karena itu merupakan ijtihad dari Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, dan otoritasnya terletak pada riwayatnya dari Nabi SAW, bukan pada ijtihadnya. Para ulama telah menyatakan, semoga Allah merahmati mereka, bahwa riwayat yang shahih dari seorang sahabat dan mereka yang datang setelahnya adalah hujjah, dan ia lebih diutamakan dari pendapatnya jika bertentangan dengan sunnah."
Sumber: Fatwa dan Artikel Syekh Ibn Baz (8/370).
Dan Fatwa Syeikh bin Baaz pada kesempatan lain disebutkan :
مَا صِحَّةُ أَثَرِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّهُ كَانَ يَأْخُذُ مِنْ لِحْيَتِهِ؟
الجَوَابُ:
هَذَا مَشْهُورٌ عَنْ ابْنِ عُمَرَ، وَمَعْرُوفٌ كَانَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا إِذَا كَانَ فِي حَجٍّ، أَوْ فِي عُمْرَةٍ يَتَأَوَّلُ قَوْلَهُ تَعَالَى: "ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ" [الحج:29] فَكَانَ يَأْخُذُ مَا زَادَ عَلَى الْقَبْضَةِ فِي حَجَّتِهِ، وَعُمْرَتِهِ عِنْدَمَا يَقْصُرُ يَأْخُذُ مَا زَادَ عَلَى الْقَبْضَةِ، يَعْنِي يَقْبِضُ لِحْيَتَهُ بِيَدِهِ، فَمَا نَزَلَ عَنْهُ... أَخَذَهُ بَعْدَ ذَلِكَ، فَهَذَا مِمَّا يُرَوَى عَنْهُ، وَقَدْ ثَبَتَ عَنْهُ، وَلَكِنَّهُ رَأْيُهُ، وَاجْتِهَادُهُ.
وَالصَّوَابُ: أَنَّهُ لَا يَأْخُذُ شَيْئًا، وَقَوْلُ النَّبِيِّ مُقَدَّمٌ عَلَى ابْنِ عُمَرَ، وَعَلَى غَيْرِهِ. النَّبِيِّ -عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ- يَقُولُ: "قَصُّوا الشَّوَارِبَ، وَأَعْفُوا اللِّحَى" مَا قَالَ: إِلَّا مَا زَادَ عَنِ الْقَبْضَةِ، قَالَ: "جَزُّوا الشَّوَارِبَ، وَأَرْخُوا اللِّحَى"، خَالِفُوا الْمَجُوسَ وَقَالَ: "وَفِّرُوا اللِّحَى" وَلَمْ يَقُلْ: إِلَّا مَا زَادَ عَنِ الْقَبْضَةِ -عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ- لَكِنْ ابْنُ عُمَرَ خَفِيَ عَلَيْهِ هَذَا، وَاجْتِهَادُهُ، وَظَنَّ أَنَّهُ دَاخِلٌ فِي قَوْلِهِ: "ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ" [الحج:29] هَذَا قَوْلٌ مَرْجُوحٌ، وَلَوْ فَعَلَهُ ابْنُ عُمَرَ؛ لِأَنَّ الْقَاعِدَةَ كُلِّيَّةٌ: أَنَّ قَوْلَ الصَّحَابِيِّ، أَوْ قَوْلَ الْعَالِمِ إِذَا خَالَفَ السُّنَّةَ؛ تُقَدَّمُ السُّنَّةُ عَلَيْهِ، وَلَا يَلْتَفِتُ إِلَى قَوْلِ الصَّحَابِيِّ، وَلَا إِلَى غَيْرِهِ؛ لِأَنَّ اللَّهَ يَقُولُ: "فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ" [النِّسَاء:59].
وَيَقُولُ سُبْحَانَهُ: "وَمَا اخْتَلَفْتُمْ فِيهِ مِنْ شَيْءٍ فَحُكْمُهُ إِلَى اللَّهِ" [الشُّورَى:10] فَإِذَا جَاءَ الْخِلَافُ بَيْنَ الصَّحَابَةِ أَوْ بَيْنَ الْعُلَمَاءِ فِي شَيْءٍ فَالْوَاجِبُ أَنْ يُرَدَّ إِلَى اللَّهِ، وَإِلَى الْقُرْآنِ، وَإِلَى الرَّسُولِ فِي حَيَاتِهِ، وَإِلَى السُّنَّةِ بَعْدَ وَفَاتِهِ ﷺ فَمَا وَجَدَ مِنَ الْقُرْآنِ، وَالسُّنَّةِ فِي الْمَوْضُوعِ هُوَ الْحَاكِمُ، هُوَ الْمُقَدَّمُ.
Apakah benar bahwa Ibnu Umar mencukur sebagian dari jenggotnya?
Jawaban Syeikh bin Baaz :
Ini adalah hal yang populer dari Ibnu Umar, dan terkenal ketika dia berada dalam ibadah haji atau umrah. Dia menafsirkan firman Allah Ta'ala: " Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran (yang ada di badan) mereka, " [Surah Al-Hajj: 29]. Maka dia mengambil rambut jenggot yang melebihi genggaman (tangan) dalam ibadah haji dan umrahnya.
Ketika dia mencukur rambut kepala, maka dia juga mengambil dari jenggotnya apa yang melebihi genggaman tangan, yaitu dia menggenggam jenggotnya dengan tangannya.
Maka apa yang turun tentang ... diambilnya setelah itu.
Ini adalah apa yang diriwayatkan darinya dan itu terbukti shahih darinya, namun ini adalah hanya pendapat dan ijtihadnya.
Yang benar adalah tidak boleh [alias haram] mengambil apa pun [dari rambut jenggot]. Dan sabda Nabi lebih diutamakan daripada pendapat Ibnu Umar dan orang lainnya.
Nabi ﷺ bersabda: "Potonglah kumis dan lebatkanlah jenggot." Beliau ﷺ tidak mengatakan kecuali yang melebihi genggaman tangan.
Dan beliau ﷺ juga bersabda : "Pendekkan kumis dan biarkanlah jenggot, berbeda lah dengan Majusi." Dan beliau ﷺ tidak mengatakan kecuali yang melebihi genggaman.
Tetapi Ibn Umar tidak mengetahui tentang hadits ini dan dia berijtihad serta menduga bahwa ini termasuk dalam firman Allah Ta'ala: " Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran (yang ada di badan) mereka, " [Surah Al-Hajj: 29].
Ini adalah pendapat yang meragukan [marjuuh].
Dan jika Ibnu Umar melakukan ini, maka itu tertolak, karena ada kaidah umum :
أَنَّ قَوْلَ الصَّحَابِيِّ، أَوْ قَوْلَ الْعَالِمِ إِذَا خَالَفَ السُّنَّةَ؛ تُقَدِّمُ السُّنَّةُ عَلَيْهِ، وَلَا يَتَلَفَّتُ إِلَى قَوْلِ الصَّحَابِيِّ، وَلَا إِلَى غَيْرِهِ.
“Bahwa jika perkataan seorang sahabat atau seorang ulama bertentangan dengan Sunnah, maka Sunnah harus diutamakan atasnya, dan jangan menoleh pada perkataan sahabat atau orang lain”.
Karena Allah Ta'ala berfirman: “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya” [Surah An-Nisa: 59].
Dan Allah Ta'ala juga berfirman: “Dan apa pun yang kamu perselisihkan padanya tentang sesuatu, keputusannya (terserah) kepada Allah” [Surah Ash-Shura: 10].
Jadi jika ada perselisihan antara para sahabat atau ulama tentang suatu masalah, maka yang wajib adalah kembali kepada Allah, Al-Qur'an, dan Rasul-Nya selama hidupnya, dan kepada Sunnah setelah kematiannya. Yang ditemukan dalam Al-Qur'an dan Sunnah tentang masalah itu adalah yang menentukan, itu yang lebih diutamakan.
Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin -semoga Allah merahmatinya- mengatakan:
الْقَصُّ مِنَ اللِّحْيَةِ خِلَافٌ مَا أَمَرَ بِهِ النَّبِيُّ ﷺ فِي قَوْلِهِ: "وَفَّرُوا اللِّحَى"، "أَعْفُوا اللِّحَى"، "أَرْخُوا اللِّحَى" فَمَنْ أَرَادَ اتِّبَاعَ أَمْرِ الرَّسُولِ ﷺ، وَاتِّبَاعَ هُدَاهُ ﷺ، فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْهَا شَيْئًا، فَإِنَّ هُدَى الرَّسُولِ، عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ، أَنْ لَا يَأْخُذَ مِنْ لِحْيَتِهِ شَيْئًا، وَكَذَلِكَ كَانَ هُدَى الْأَنْبِيَاءِ قَبْلَهُمْ.
“Bahwa memotong jenggot bertentangan dengan apa yang diperintahkan oleh Nabi ﷺ dalam perkataannya: 'Biarkan jenggot kalian tumbuh', 'Biarkan jenggot kalian', 'Lebatkanlah jenggot kalian'. Oleh karena itu, bagi siapa yang ingin mengikuti perintah Rasulullah ﷺ dan mengikuti sunnah-Nya ﷺ, maka janganlah ia memotong jenggotnya sedikit pun. Karena petunjuk Rasulullah ﷺ, serta para nabi sebelumnya, adalah untuk tidak memotong jenggotnya sama sekali. [Sumber: Fatwa-fatwa Ibnu Utsaimin (11/126)].
-----
TANGGAPAN DAN BANTAHAN:
Al-Ustadz Muhammad Tajuddin dalam unggahan FaceBook صَرْمَانُ الْخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ berkata :
فَائِدَةٌ مِنْ لِحْيَةِ الْحَاخَامِ:
هَلْ تَرَى كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَأْمَرُ بِمِثْلِ هَذِهِ اللِّحْيَةِ الْحَاخَامِيَّةِ وَهُوَ الْمُطَالِبُ الْآمِرُ بِمُخَالَفَةِ الْيَهُودِ؟
إِنَّ الَّذِي رَوَى حَدِيثًا "(أَعْفُوا اللِّحَى)" هُوَ ابْنُ عُمَرَ، وَهُوَ نَفْسُهُ الَّذِي كَانَ يَأْخُذُ مَا زَادَ فِي لِحْيَتِهِ عَنِ الْقَبْضَةِ، فَدَلَّ عَلَى أَنَّهُ فَهِمَ مِنَ الْحَدِيثِ أَنَّ الْهَمْزَةَ فِي "(أَعْفُوا)" هَمْزَةُ الْإِزَالَةِ، وَابْنُ عُمَرَ كَانَ أَشَدَّ اتِّبَاعًا لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ، وَلَهُ فِي ذَلِكَ قِصَّصٌ شَهِيرَةٌ، غَيْرَ أَنَّ ابْنَ بازٍ وَابْنَ عُثَيْمِينَ مَثَلًا لَا يَرَيَانِ : ابْنَ عُمَرَ مُوَافِقًا لِلسُّنَّةِ، فَيَقُولُ ابْنُ بازٍ:
"(مَنْ احْتَجَّ بِفِعْلِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ كَانَ يَأْخُذُ مِنْ لِحْيَتِهِ فِي الْحَجِّ مَا زَادَ عَلَى الْقَبْضَةِ فَهَذَا لَا حُجَّةَ فِيهِ، لِأَنَّهُ اجْتِهَادٌ مِنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ...)،
وَالْعَجَبُ كَيْفَ يَتَّهِمُ ابْنُ بازٍ ابْنَ عُمَرَ بِالْاِجْتِهَادِ فِي مَوْضِعِ النَّصِّ وَيُلْغِي حُجِيَّةَ فِعْلِهِ وَيَقُولُ: "(لَا حُجَّةَ فِيهِ)"، وَهُوَ رَاوِي النَّصِّ، وَلَا أَحَدَ يُعَلِّقُ عَلَى هَذَا لِأَنَّ سَمَاحَةَ الْإِمَامِ الْوَالِدِ لَا مُعَقِّبَ لِحُكْمِهِ، وَلَهُ هُوَ الْحَقُّ فِي التَّعْقِيبِ عَلَى ابْنِ عُمَرَ وَاتِّهَامِهِ بِالْاِجْتِهَادِ مَعَ النَّصِّ، وَلَوْ قُلْتُ لِأَحَدِهِمْ: "(كَلَامُ ابْنِ بازٍ لَا حُجَّةَ فِيهِ)" لَنَظَرَ إِلَيْكَ شُزْرًا، بَيْنَمَا يَقُولُهَا ابْنُ بازٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا، وَلَا أَحَدَ يَسْتَنْكِرُ قِلَّةَ الْأَدَبِ هَذِهِ، وَلَا الْاِدَّعَاءَ بِأَنَّهُ أَعْلَمُ مِنْ ابْنِ عُمَرَ وَأَشَدَّ اتِّبَاعًا.
وَيَقُولُ ابْنُ عُثَيْمِينَ فِي فَتَاوَاهُ:
"الْقَصُّ مِنْ اللِّحْيَةِ خِلَافُ مَا أَمَرَ بِهِ النَّبِيُّ ﷺ فِي قَوْلِهِ: (وَفِّروا اللِّحَى)، (أَعْفُوا اللِّحَى) (أَرْخُوا اللِّحَى) فَمَنْ أَرَادَ اِتِّبَاعَ أَمْرِ الرَّسُولِ ﷺ وَاِتِّبَاعَ هُدَاهُ ﷺ فَلَا يَأْخُذَنَّ مِنْهَا شَيْئًا، فَإِنَّ هُدَايَةَ الرَّسُولِ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ أَنْ لَا يَأْخُذَ مِنْ لِحْيَتِهِ شَيْئًا)".
وَالْحَاصِلُ أَنَّكَ لَوِ اتَّبَعْتَ اِبْنَ بَازٍ وَابْنَ عُثَيْمِينَ وَتَرَكْتَ اِبْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا لَكَانَتْ لِحْيَتُكَ كَهَذِهِ اللِّحْيَةِ الْحَاخَامِيَّةِ، وَيَسْتَحِيلُ أَنْ تَكُونَ لِحْيَةُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ كَهَذِهِ اللِّحْيَةِ فِي الشَّكْلِ وَالْإِعَفَاءِ، وَيَسْتَشْهَدُ لَهُ بِمَا أَخْرَجَهُ التِّرْمِذِيُّ عَنْ عَمْرُو بْنُ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَأْخُذُ مِنْ لِحْيَتِهِ مِنْ عُرْضِهَا وَطُولِهَا، عَلَى أَنَّ رَوَايَاتٍ: خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ، وَخَالِفُوا الْمَجُوسَ وَ(خَالِفُوا الْيَهُودَ) تَطْرَحُ أَكْثَرَ مِنْ سُؤَالٍ، فَقَدْ كَانَ ﷺ يُحِبُّ مُخَالَفَةَ الْمُشْرِكِينَ أَوَّلاً، وَمُوَافَقَةَ أَهْلِ الْكِتَابِ، ثُمَّ أَمَرَ بِمُخَالَفَةِ أَهْلِ الْكِتَابِ بَعْدَ ذَلِكَ، بِمَعْنَى أَنَّ التَّصَرُّفَ فِي تَهَذِيبِ وَتَشْذِيبِ اللِّحْيَةِ مِنْ عَيْنِ الْمُخَالَفَةِ لِلْيَهُودِ... فَكَيْفَ تُخَالِفُ هَذِهِ اللِّحْيَةِ الْحَاخَامِيَّةِ؟
Faidah dari Jenggot seorang rabbi Yahudi :
Apakah Anda melihat bahwa Nabi Muhammad ﷺ memerintahkan sesuatu seperti jenggot rabbi ini, padahal beliau memerintahkannya agar bertentangan dengan praktik amalan Yahudi?
Orang yang meriwayatkan hadits "Biarkanlah jenggot-jenggot tumbuh" adalah Ibnu Umar, namun dalam praktiknya dia memotong jenggotnya yang panjangnya melebihi genggaman tangannya. Hal ini menunjukkan bahwa ia memahami dari hadits bahwa huruf hamzah dalam kata "Biarkanlah" adalah hamzah penghilangan.
Dan Ibnu Umar adalah salah satu yang paling taat kepada Rasulullah ﷺ dan dia memiliki riwayat yang terkenal, namun syeikh Bin Baz dan Ibnu Utsaimin, misalnya, menganggap amalan Ibnu Umar dalam hal ini tidak sesuai dengan sunnah. Bahkan Syeikh Bin Baz mengatakan:
"Siapa pun yang menggunakan amalan Ibnu Umar sebagai dalil bahwa dia mengambil sesuatu dari jenggotnya selama haji yang lebih dari genggaman tangannya, ini tidak memiliki dalil, karena itu merupakan ijtihad Ibnu Umar..."
Yang menarik adalah bagaimana Ibnu Baz menuduh Ibnu Umar melakukan ijtihad di tempat nash dan menghapuskan otoritas tindakannya serta mengatakan: "Tidak ada hujjah dalam amalan Ibnu Umar ini", padahal dia adalah perawi hadits tersebut. Anehnya tidak ada seorang pun yang mengomentari pernyataan syeikh bin Baaz ini karena orang-orang merasa hormat terhadap kemuliaan al-Imam al-Waalid Bin Baz ini, tidak ada yang berhak untuk menegur putusannya, bahkan dia sendiri memiliki hak untuk mengkritik Ibnu Umar dan menuduhnya berijtihad dengan cara menentang nash hadits.
Dan jika Anda mengatakan kepada salah satu dari para pengusungnya : (Pernyataan Bin Baz tidak bisa di jadikan hujjah ) maka dia akan memandang Anda dengan pandangan buruk penuh cemoohan, sedangkan ketika Bin Baz mengatakannya tentang Ibnu Umar – radhiyallahu ‘anhuma- maka tidak ada seorang pun yang berani mengingkari pernyataan Bin Baz yang kurang adab ini atau tidak ada yang mengingkari klaiman Bin Baz yang mendakwakan dirinya lebih alim daripada Ibnu Umar dan lebih taat.
Dan begitu juga Ibnu Utsaimin dalam fatwanya mengatakan:
"Memotong bagian dari jenggot bertentangan dengan apa yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad ﷺ dalam perkataannya: 'Biarkanlah jenggot kalian tumbuh', 'Biarkanlah jenggot kalian panjang', 'Perpanjanglah jenggot kalian'. Oleh karena itu, bagi siapa yang ingin mengikuti perintah Rasulullah ﷺ dan mengikuti sunnah beliau ﷺ, maka janganlah ia memotong jenggotnya sedikitpun, karena sunnah Rasulullah ﷺ adalah untuk tidak memotong sedikitpun dari jenggotnya."
Kesimpulannya : adalah jika anda mengikuti Bin Baz dan Ibnu Utsaimin dan meninggalkan Ibnu Umar, maka sungguh jenggotmu akan seperti jenggot rabbi, dan mustahil jenggot Rasulullah ﷺ menjadi seperti jenggot tersebut dalam bentuk dan panjangnya.
Alasan ini diperkuat oleh apa yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dari Amru bin Syu'aib dari ayahnya dari kakeknya :
أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يَأْخُذُ مِنْ لِحْيَتِهِ مِنْ عُرْضِهَا وَطُولِهَا.
bahwa Nabi ﷺ biasa memotong bagian jenggotnya yang terlalu lebar dan panjang.
Namun, riwayat yang menyatakan 'Berbedalah kalian dengan orang musyrik, Berbedalah kalian dengan orang Majusi. Namun hadits “Berbedalah kalian dengan orang Yahudi' itu lebih banyak di lontarkan. Karena Nabi Muhammad ﷺ pada awlanya lebih suka berbeda dengan orang musyrik, serta menyamakan diri dengan Ahli Kitab. Kemudian beliau memerintahkan untuk berbeda dengan Ahli Kitab setelah itu. Ini berarti bahwa perilaku dalam merapihkan dan merapikan jenggot adalah salah satu amalan yang membedakan diri dengan orang Yahudi... Lalu bagaimana mungkin jenggot seperti jenggot rabbi ini bisa dikatakan berbeda dengan Yahudi?
*****
TAMBAHAN :
KUMPULAN FATWA PARA ULAMA KONTEMPORER :
===
FATWA SYEIKH JADUL HAQ ALI JADUL HAQ:
Syeikh Jaadul Haqq Ali Jaadul Haqq, mantan Syeikh Al-Azhar - rahimaullah - mengatakan:
من المسائل الفقهية الفرعيَّة: موضوع اللحية، حيث تَكاثر الخلاف حولها بين الإعْفاء والحلْق، حتى اتَّخذ بعض الناس إعفاء اللحية شعارًا يُعرف به المؤمن من غيره.
والحق أن الفقهاء اتفقوا على أن إعفاء اللحية، وعدم حلْقها مأثور عن النبي ـ ﷺ ـ فقد كانت له لِحيةٌ يُعنَى بتنظيفها وتخليلها، وتمشيطها، وتهذيبها لتكون متناسبة مع تقاسيم الوجه والهيئة العامة.
وقد تابع الصحابة ـ رضوان الله عليهم ـ الرسول ـ ﷺ ـ فيما كان يفعله وما يختاره.
وقد وردت أحاديثُ نبوية شريفة تُرغِّب في الإبقاء على اللحية، والعناية بنظافتها، وعدم حلْقها، كالأحاديث المُرغِّبة في السواك، وقصِّ الأظافر، واستنشاق الماء..
وممَّا اتفق الفقهاء عليه ـ أيضًاـ أن إعْفاء اللحية مَطلوب، لكنهم اختلفوا في تكييف هذا الإعفاء، هل يكون من الواجبات أو مِن المندوبات، وقد اختار فريق منهم الوجوب، وأقوى ما تمسَّكوا به ما رواه البخاري في صحيحه عن ابن عمر عن النبي ـ ﷺ ـ قال: "خالِفُوا المُشركينَ، ووَفِّرُوا اللِّحى، واحْفُوا الشوارب".
وما رواه مسلم في صحيحه عن ابن عمر عن النبي ـ ﷺ ـ قال: "احْفُوا الشوارِبَ واعْفُو اللِّحَى". حيث قالوا: إن توفيرها مأمور به، والأصل في الأمر أن يكون للوجوب إلا لصارفٍ يَصْرِفُهُ عنه، ولا يُوجد هذا الصارف، كما أن مُخالفة المشركين واجبةٌ، والنتيجة أن توفير اللحْية، أيْ: إعفاءها واجبٌ.
قال الإمام النووي في شرحه حديث: "احْفُوا الشوارب واعْفوا اللِّحَى": إنه وردت رواياتٌ خمسٌ في ترْك اللحْية، وكلها على اختلافها في ألفاظها تدلُّ على ترْكها على حالها...
وممَّا رَتَّبُوه على القول بوُجوب إعفاء اللحية: ما نقله ابن قدامة الحنبلي في المُغني: أن الدية تجب في شَعْر اللحية عند أحمد، وأبي حنيفة والثوري، وقال الشافعي ومالك: فيه حكومة عدْلٍ، وهذا يُشير إلى أن الفقهاء قد اعتبروا إتلاف شَعر اللحية حتى لا يَنبت جِنايةٌ من الجنايات التي تَستوجب المُساءلة: إما الدية الكاملة كما قال الأئمة أبو حنيفة وأحمد والثوري، أو دِية يُقدرها الخبراء كما قال الإمامان: مالك والشافعي.
وذهب فريقٌ آخر إلى القول بأن إعفاء اللحية سُنَّة يُثاب فاعلها ولا يُعاقب تاركها، وحلْقها مَكروه، وليس بحرام، ولا يُعَدُّ مِن الكبائر، وقد استندوا في ذلك إلى ما رواه مسلم في صحيحه عن عائشة عن النبي ـ ﷺ ـ قال: "عشْرٌ مِن الفطرة: قصُّ الشارب، وإعفاء اللحْية، والسواك، واستنشاق الماء، وقصُّ الأظفار، وغسْل البراجِم (البراجم: مَفاصل الأصابع من ظهر الكف ". ونَتْفُ الإبِط، وحلْق العانَة، وانتقاص الماء (أي الاستنجاء). قال مصعب: ونسيتُ العاشرة إلا أن تكون المَضمضة.
حيث أفاد الحديث أن إعفاء اللحية من السُنَن والمَندوبات المَرغوب فيها إذ كل ما نصَّ عليه من السُنَن العادية.
وقد عقَّب القائلون بوُجوب إعفاء اللحية ـ على القائلين بأنه مِن سُنَنِ الإسلام ومَندوباته ـ بأن إعفاء اللحية جاء فيه نصٌّ خاصٌّ أخرجها عن الندْب إلى الوُجوب، وهو الحديث المذكور سابقًا "خالِفوا المُشركين..".
وردَّ أصحاب الرأي القائل بالسُنَّة والندْب بأن الأمر بمُخالفة المُشركين لا يتعيَّن أن يكون للوُجوب، فلو كانت كلُّ مُخالفةٍ لهم مُحتَّمة لتحتَّم صبْغ الشعر الذي وَرَدَ فيه حديث الجماعة: "إن اليهود والنصارى لا يَصبغون فخَالِفُوهم". (رواه البخاري ومسلم وأبو داود والترمذي والنسائي) مع إجماع السلف على عدم وُجوب صبْغ الشعر، فقد صبَغ بعض الصحابة، ولم يصبغ البعض الآخر كما قال ابن حجر في فتح الباري، وعزَّزوا رأيهم بما جاء في كتاب نهج البلاغة : سُئل عليٌّ ـ كرَّم الله وجهه ـ عن قول الرسول ـ ﷺ: "غيِّروا الشَّيْبَ ولا تَشَبَّهُوا باليهود". فقال: إنما قال النبي ذلك والدِّينُ قُلٌّ، فأما الآن وقد اتَّسع نطاقه، وضرب بجرانه فامرؤٌ وما يَختار..
مِن أجل هذا قال بعض العلماء: لو قيل في اللحْية ما قيل في الصبْغ مِن عدم الخُروج على عرف أهل البلد لكان أولَى، بل لو تركت هذه المسألة وما أشبهها لظُروف الشخص وتقديره لمَا كان في ذلك بأس.
وقد قيل لأبي يوسف صاحب أبي حنيفة ـ وقد رُؤي لابسًا نَعْلَيْنِ مَخْصُوفيْن بمَسامير ـ إن فلانًا وفلانًا من العلماء كرِهَا ذلك؛ لأن فيه تَشَبُّهًا بالرهبان فقال: كان رسول الله ـ ﷺ ـ يلبسُ النعال التي لها شعْر، وإنها مِن لبس الرهبان...
وقد جرَى على لسان العلماء القول: بأن كثيرًا ممَّا ورَد عن الرسول ـ ﷺ ـ في مثل هذه الخِصال يُفيد أن الأمر كما يكون للوُجوب يكون لمُجرد الإرشاد إلى ما هو الأفضل، وأن مُشابهة المُخالفين في الدِّين إنما تَحرُم فيما يُقصد فيه الشبه بشيء مِن خصائصهم الدينية، أمَّا مُجرَّد المشابهة فيما تجري به العادات والأعراف العامة فإنه لا بأْس بها ولا كَراهة فيها ولا حُرمة.
لمَّا كان ذلك كان القول بأن إعفاء اللحية أمر مَرغوب فيه، وأنه من سُنَن الإسلام التي ينبغي المحافظة عليها مقبولاً، وكان مَن أعفَى لحْيته مُثابًا، ويُؤجَر على ذلك، ومَن حلَقها، فقد فعل مَكروهًا، لا يأثَمُ بفِعله هذا اعتبارًا لأدلة هذا الفريق.
والله أعلم.
Salah satu masalah fikih yang bersifat cabang agama adalah tentang jenggot, di mana terjadi perbedaan pendapat antara membiarkan tumbuh atau mencukur jenggot. Bahkan, sebagian orang mengatakan bahwa membiarkan jenggot itu sebagai tanda pengenal seorang mukmin dari yang lain.
Kenyataannya, para fuqaha sepakat bahwa membiarkan jenggot dan tidak mencukurnya adalah bersumber dari Nabi Muhammad ﷺ. Beliau memiliki jenggot yang dirawat dengan membersihkannya, melumurinya dengan minyak wangi, menyisirkannya, dan merapikannya agar sesuai dengan struktur wajah dan penampilan secara umum.
Para Sahabat – radhiyallahu ‘anhum - mengikuti Rasulullah ﷺ dalam amalannya dan pilihannya. Telah ada hadis-hadits Nabi yang menyarankan untuk memelihara jenggot, menjaganya tetap bersih, dan tidak mencukurnya, seperti hadis-hadits yang mendorong menggunakan miswak, memotong kuku, dan beristinja’.
Salah satu hal yang disepakati oleh para fuqaha - juga - adalah bahwa membiarkan jenggot tumbuh adalah dianjurkan, namun mereka berbeda pendapat dalam menyesuaikan masalah ini, apakah termasuk dalam kewajiban atau disunahkan?.
Sebagian dari mereka memilih kewajiban, dan dalil yang paling kuat dari yang mereka pegang adalah apa yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dalam kitab Shahihnya dari Ibnu Umar dari Nabi ﷺ yang bersabda:
"خالِفُوا المُشركينَ، ووَفِّرُوا اللِّحى، واحْفُوا الشوارب"
"Berbeda lah kalian dari orang-orang musyrik, maka lebatkanlah jenggot, dan pendekkanlah kumis".
Dan yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya dari Ibnu Umar dari Nabi ﷺ yang bersabda:
"احْفُوا الشوارِبَ واعْفُو اللِّحَى"
"Pendekkanlah kumis dan biarkanlah tumbuh jenggot."
Mereka mengatakan bahwa membiarkan jenggot tumbuh adalah perintah, dan hukum asal dalam perintah adalah kewajiban kecuali ada hal yang memalingkannya. Hal ini tidak ditemukan dalam konteks ini, sebagaimana berbeda dengan orang-orang musyrik adalah kewajiban, sehingga hasilnya adalah membiarkan jenggot, yaitu membiarkannya tumbuh, adalah kewajiban.
Imam Nawawi dalam penjelasannya terhadap hadits "Pendekkanlah kumis dan biarkanlah tumbuh jenggot" berkata: "Terdapat lima riwayat tentang meninggalkan jenggot, dan semua riwayat tersebut, meskipun berbeda dalam kata-katanya, menunjukkan untuk membiarkannya dalam keadaan alaminya...".
Salah satu yang mendorong untuk menganggap wajib membiarkan jenggot adalah apa yang disampaikan oleh Ibnu Qudamah Al-Hanbali dalam Al-Mughni:
Bahwa bayar diyat (tebusan) wajib dikenakan atas rambut jenggot menurut pendapat Ahmad, Abu Hanifah, dan Ats-Tsawri.
Sementara Imam Asy-Syafi'i dan Malik mengatakan bahwa ada hukum yang adil terkait hal ini.
Hal ini menunjukkan bahwa para fuqaha menganggap memusnahkan rambut jenggot orang lain hingga tidak bisa tumbuh lagi termasuk perbuatan kriminal yang menuntut pertanggung jwaban hukum dengan membayar diat : entah itu diyat penuh seperti yang dikatakan oleh Imam Abu Hanifah, Ahmad, dan Ats-Tsawri, atau diyat yang ditentukan oleh pakar hukum peradilan sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Malik dan Asy-Syafi'i.
Ada kelompok lain berpendapat bahwa membiarkan jenggot tumbuh adalah sunnah yang mendapat pahala bagi yang melakukannya dan tidak ada hukuman bagi yang meninggalkannya. Maka menurut kelompok ini bahwa mencukur jenggot adalah makruh, bukan haram, dan tidak dianggap sebagai dosa besar. Mereka merujuk pada apa yang diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Shahihnya dari Aisyah dari Nabi ﷺ yang bersabda:
"عَشْرٌ مِنَ الْفِطْرَةِ: قَصُّ الشَّارِبِ، وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ، وَالسِّوَاكُ، وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ، وَقَصُّ الْأَظْفَارِ، وَغَسْلُ الْبَرَاجِمِ (الْبَرَاجِمِ: مَفَاصِلُ الْأَصَابِعِ مِنْ ظَهْرِ الكَفّ ". وَنَتْفُ الإِبْطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ (أَيِ الْاِسْتِنْجَاءِ). قَالَ مُصْعَبٌ: وَنَسِيتُ الْعَاشِرَةَ إِلَّا أَنْ تَكُونَ الْمَضْمِضَةَ."
"Ada sepuluh perbuatan fitrah: memotong kumis, membiarkan tumbuh jenggot, menggunakan miswak, beristinsyaq (menghirup air ke dalam hidung), memotong kuku, mencuci persendian jari (Baraajim : yaitu, persendian jari telapak tangan bagian atas)), mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, dan beristinja (cebok) dengan air,."
Mus'ab berkata: "Saya lupa yang kesepuluh kemungkinan berkumur-kumur."
Hadits ini menunjukkan bahwa membiarkan jenggot tumbuh adalah bagian dari sunnah dan amalan yang dianjurkan, karena semua yang disebutkan dalam hadits tersebut merupakan bagian dari sunnah yang menjadi kebiasaan.
Para pendukung pendapat yang menyatakan bahwa membiarkan jenggot adalah wajib, sebagai lawan dari pendapat yang menganggapnya sebagai salah satu sunnah dan anjuran Islam, dengan menyebutkan bahwa membiarkan jenggot memiliki nash khusus yang mengubahnya dari sunnah menjadi kewajiban. Yaitu hadits yang disebutkan sebelumnya "Berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik...".
Pendukung pendapat yang menyatakan bahwa membiarkan jenggot adalah sunnah dan hanya anjuran, menanggapi dengan menyatakan bahwa perintah untuk “berbeda dengan orang musyrik” tidak harus berarti kewajiban. Karena jika setiap perintah agar berbeda dengan mereka itu dianggap wajib, maka pewarnaan rambut uban juga harus dianggap wajib, karena hadits tentang hal ini menyatakan :
"إِنَّ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لَا يَصْبَغُونَ فَخَالِفُوهُمْ"
"Sesungguhnya Yahudi dan Nasrani tidak mencelup rambut ubannya dengan pewarna, maka berbedalah kalian dengan mereka" (HR. Al-Bukhari no. 3462, Muslim no. 2103, Abu Daud, At-Tirmidzi, dan An-Nasa'i).
Kesepakatan para salaf bahwa pewarnaan rambut uban tidak diwajibkan. Ada sebagian dari para Sahabat mewarnai rambut mereka, sementara yang lain tidak, seperti yang dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.
Mereka juga menguatkan pendapat mereka dengan apa yang terdapat dalam Kitab Nahjul Balaghah 4/5 :
"سُئِلَ عَلِيٌّ - كَرَّمَ اللَّهُ وَجْهَهُ - عَنْ قَوْلِ الرَّسُولِ - ﷺ: "غَيِّرُوا الشَّيْبَ وَلَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ". فَقَالَ: إِنَّمَا قَالَ النَّبِيُّ ذَلِكَ وَالدِّينُ قُلٌّ، فَأَمَّا الْآنَ وَقَدْ اتَّسَعَ نِطَاقُهُ، وَضَرَبَ بِجَرَانِهِ فَأَمْرٌ؛ وَمَا يَخْتَارُ".
Ali ditanya tentang ucapan Rasulullah ﷺ:
"غَيِّروا الشَّيْبَ وَلَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ"
"Rubahlah warna uban kalian dan janganlah menyerupai orang Yahudi".
Ali menjawab: "Nabi menyampaikan hal itu berdasarkan kondisi pada saat itu, sedangkan agama itu fleksibel.
Ketika sekarang telah ada perubahan dan kondisi yang berbeda, maka hal itu menjadi pilihan bagi seseorang."
Oleh karena itu sebagian para ulama mengatakan: Jika dalam masalah jenggot itu sama seperti yang dikatakan dalam pewarnaan rambut uban, yaitu tidak keluar dari tradisi penduduk setempat, maka masalah jenggot lebih utama untuk tidak dihukumi wajib . Bahkan, jika masalah seperti ini dan yang sejenisnya ditinggalkan karena adanya sebab kondisi individu . Dan penilaiannya : maka apa yang ada dalam hal itu tidaklah mengapa.
Telah dikatakan kepada Abu Yusuf, murid Abu Hanifah - yang pernah terlihat mengenakan dua sandal yang disematkan padanya dengan paku-paku - bahwa beberapa ulama mengecam tindakan tersebut karena menyerupai rahib.
Abu Yusuf menjawab: Rasulullah ﷺ pernah mengenakan sandal yang memiliki bulu, padahal itu adalah pakaian para rahib...
Banyak dari apa yang disampaikan tentang Rasulullah ﷺ dalam hal-hal seperti ini menunjukkan bahwa perkara yang diwajibkan adalah sekadar sebagai arahan dan anjuran untuk yang lebih baik.
Dan menyerupai orang yang berlainan agama dalam hal-hal tersebut hanya diharamkan jika dimaksudkan menyerupai mereka dalam karakteristik keagamaan mereka. Sedangkan menyerupai mereka dalam hal-hal yang berlaku dalam adat dan kebiasaan umum tidaklah masalah, tidak ada kemakruhan atau keharaman dalam hal tersebut.
Ketika permasalahannya seperti itu, maka pendapat yang mengatakan bahwa membiarkan jenggot adalah hal yang anjurkan, dan bahwa itu adalah bagian dari sunnah Islam yang layak dijaga, diterima dengan baik. Dan orang yang membiarkan jenggotnya akan mendapat pahala, dan akan mendapatkan ajr karena itu. Sedangkan yang mencukur jenggotnya, maka ia telah melakukan sesuatu yang makruh, meskipun dia tidak berdosa karena perbuatannya tersebut, mengingat dalil-dalil dari kelompok tersebut. Wallahu a’lam. [SELESAI]
=====
FATWA SYEIKH ‘ATHIYYAH SHOQR :
Dalam tanya Jawab pada Syeikh ‘Athiyyah Shoqr, mantan Ketua Komite Fatwa di Al-Azhar al-Sharif dan salah satu dari Kibaar al--Ulama terkemuka di sana, disebutkan:
سؤال: تتمسك بعض الجماعات بإعفاء اللحية، وترمي من يخالف ذلك بالفسق وعدم الإئتمام به في الصلاة، فما رأي الدين في ذلك؟
الجواب: اللحية هي الشعر النابت على الذقن خاصة، وهي مجمع اللحيين، وهما العظمان اللذان تنيت عليهما الأسنان السفلي. والعارضان هما صفحتا الخد.
وإعفاء اللحية –أي تركها بدون حلق- فرط فيه جماعة وأفرطوا في عيب الآخرين، كما أفرط في التمسك بإعفائها جماعة وفرطوا في احترام الآخرين. والدين لا يقر مسلك الطرفين، ذلك أن القدر المتفق عليه بين الفقهاء أن إعفاءها مطلوب، لكنهم اختلفوا في درجة الطلب مع مراعاة علة الحكم وهي مخالفة المشركين، فقال جماعة بوجوب إعفائها، وقال جماعة بالندب، ومعلوم أن الواجب ما يثاب المرء على فعله ويعاقب على تركه، والمندوب ما يثاب المرء على فعله ولا يعاقب على تركه.
فالقائلون بوجوب إعفائها استدلوا بحديث الصحيحين "خالفوا المشركين، وفروا اللحى، واحفوا الشوارب" واللحى بكسر اللام –وقد تضم- جمع لحية. فحملوا الأمر هنا على الوجوب. والقائلون بندب إعفائها استندوا إلى حديث مسلم "عشرة من الفطرة:، قص الشارب وإعفاء اللحية، والسواك، واستنشاق الماء، وقص الأظافر، وغسل البراجم –جم برجمة بضم الباء والجيم وهي عقد الأصابع ومفاصلها- ونتف الإبط، وحلق العانة، وانتقاص الماء" يعني الاستنجاء، قال مصعب: ونسيت العاشرة، إلا أن تكون المضمضة. فقالوا: إن إعفاء اللحية شأنه شأن الأمور المذكورة في الحديث، وليست كلها واجبة، كالسواك والاستنشاق وقص الأظافر، فلماذا لا يكون إعفاؤها مندوبًا؟ ولا يحتج عليهم بأن إعفاء اللحية ورد فيه أمر مخصوص معلل بمخالفة المشركين، وهذه المخالفة تصرف الأمر للوجوب ولا يحتج عليهم بذلك لأن الأمر عندهم في الحديث هو للندب لا للوجوب، ومخالفة المشركين لا تصرف الأمر للوجوب، لأنه لو كانت كل مخالفة للمشركين واجبة لوجب صبغ الشعر الذي ورد فيه الحديث الذي رواه الجماعة "إن اليهود لا يصبغون فخالفوهم"
وقد أجمع السلف على عدم وجوب صبغ الشعر، فقد صبغ بعض ولم يصبغ بعض آخر كما قاله ابن حجر في فتح الباري. فالأمر هو للإرشاد فقط، وهو لا يفيد الوجوب في كل حال، وفي شرح النووي لصحيح مسلم "ج14 ص80" ما نصه: قال القاضي –عياض- قال الطبراني: الصواب أن الآثار المروية عن النبي ﷺ بتغيير الشيب وبالنهي عنه كلها صحيحة وليس فيها تناقض، بل الأمر بالتغيير لمن شيبه كشيب أبي قحافة، والنهي لمن له شمط فقط. قال: واختلاف السلف في فصل الأمرين بحسب اختلاف أحوالهم في ذلك، مع أن الأمر والنهي في ذلك ليس للوجوب بالإجماع، ولهذا لم ينكر بعضهم على بعض خلافه في ذلك. ا هـ.
Pertanyaan: Ada sebagian kelompok yang berpegang teguh pada pendapat wajibnya pemeliharaan jenggot, mereka menganggap orang yang tidak mengamalkannya sebagai orang fasik dan tidak sempurna dalam shalatnya . Apa pendapat agama tentang hal itu?
Jawaban: Jenggot adalah rambut yang tumbuh di dagu khususnya, dan ia erupakan tempat bertemunya dua jenggot, yaitu dua tulang besar yang ditutupi oleh gigi bawah. Sedangkan "al-‘aaridhan" adalah kedua sisi pipi.
Membiarkan jenggot, artinya tidak mencukurnya : ada kelompok orang yang melalaikan hal ini lalu mereka berlebihan dalam mencela orang lain. Sebagaimana halnya ada juga kelompok yang terlalu keras dalam hal pemeliharaan jenggot, dan mereka melampaui batas pada kehormatan orang lain.
Agama tidak membenarkan cara pendekatan dari kedua kelompok ini , karena kesepakatan para ahli fikih adalah bahwa membiarkan jenggot itu hal yang dianjurkan, namun mereka berbeda pendapat dalam tingkat hukum perintahnya dengan memperhatikan dalil hukumnya, yaitu memebedakan diri dari orang kafir.
Sebagian mereka berpendapat wajib hukumnya untuk membiarkannya, sementara yang lain menyatakan sunnah.
Namun, yang jelas, sebagaimana yang kita ketehui bahwa makna wajib adalah apa yang memberikan pahala bagi seseorang yang melakukannya dan memberikan adzab bagi meninggalkannya, sementara sunnah adalah apa yang memberikan pahala bagi seseorang yang melakukannya tetapi tidak diazdab jika meninggalkannya.
Mereka yang berpendapat bahwa membiarkan jenggot itu wajib, berpegang pada hadits dari kedua kitab Shahih :
"خَالِفُوا الْمُشْرِكِينَ، وَفِّرُوا اللِّحَى، وَاحْفُوا الشَّوَارِبَ"
"Berbedalah kalian dengan orang-orang musyrik, maka lebatkanlah jenggot, dan pendekkanlah kumis."
Kata "jenggot" di sini diucapkan dengan huruf LAM yang di baca kasrah [لِحَى], dan boleh juga dibaca dhommah [لُحَى] , jamak dari lihyah [لِحْيَةٌ].
Mereka mengambil kesimpulan bahwa dalam konteks ini, amalan tersebut diwajibkan. Sedangkan mereka yang berpendapat bahwa membiarkan jenggot itu hanya sebatasa dianjurkan, merujuk pada hadits dalam Sahih Muslim :
"عَشْرَةٌ مِنَ الْفِطْرَةِ:، قَصُّ الشَّارِبِ وَإِعْفَاءُ اللِّحْيَةِ، وَالسِّوَاكُ، وَاسْتِنْشَاقُ الْمَاءِ، وَقَصُّ الْأَظَافِرِ، وَغَسْلُ الْبُرَاجِمِ –جَمُّ بُرَجِمَةٍ بِضَمِّ الْبَاءِ وَالْجِيمِ وَهِيَ عُقُدُ الْأَصَابِعِ وَمَفَاصِلِهَا- وَنَتْفُ الإِبْطِ، وَحَلْقُ الْعَانَةِ، وَانْتِقَاصُ الْمَاءِ" يَعْنِي الِاِسْتِنْجَاءَ، قَالَ مُصْعَبٌ: وَنَسِيتُ الْعَاشِرَةَ، إِلَّا أَنْ تَكُونَ الْمَضْمَضَةَ.
"Sepuluh hal yang termasuk fitrah, mencukur kumis, memelihara jenggot, menggunakan siwak, memasukkan air ke hidung, memotong kuku, mencuci bagian-bagian tubuh yang berlipat (misalnya sela-sela jari dan sendi-sendi), mencabut bulu ketiak, mencukur bulu kemaluan, dan berwudhu" yang berarti bersuci. Mus'ab berkata, "Aku lupa yang kesepuluh, kemungkinan itu adalah berkumur-kumur."
Mereka berpendapat bahwa membiarkan jenggot adalah sama seperti hal-hal yang disebutkan dalam hadits tersebut, dan tidak semuanya wajib dilakukan, seperti menggunakan siwak, memasukkan air ke hidung, dan memotong kuku. Jika demikian, mengapa membiarkan jenggot tidak bisa dianggap sebagai anjuran [mandub]?
Tidak dapat dijadikan dalil atas mereka dengan mengatakan bahwa dalam membiarkan jenggot terdapat illat larangan khusus yaitu perintah untuk berbeda dengan orang-orang musyrik. Larangan ini menjadikan amalan ini diwajibkan. Tidak ada hujjah bagi mereka untuk berpendapat demikian ; karena perintah untuk berbeda dengan orang kafir itu , adalah hanya sebatas disarankan, bukan diwajibkan.
Perintah untuk berbeda dengan orang musyrik tidak menjadikan amalam itu menjadi wajib, karena jika setiap perintah agar berbeda dengan orang musyrik itu dianggap wajib, maka dengan demikian perintah untuk merubah warna rambut uban juga dianggap wajib pula sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh para sahabat :
"إِنَّ الْيَهُودَ لَا يَصْبِغُونَ فَخَالِفُوهُمْ"
"Sesungguhnya orang-orang Yahudi tidak mewarnai rambut mereka”.
Berdasarkan pendapat yang mewajibkan jenggot maka hukum merubah warna rambut uban juga menjadi wajib hukumnya.
Para ulama Salaf sepakat secara ijma’ bahwa tidak wajib mewarnai rambut uban , karena sebgaian dari mereka ada yang melakukan pewarnaan dan sebgian yang lain tidak, sebagaimna yang disebutkan oleh al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.
Perintah ini hanya untuk memberikan petunjuk saja, dan tidak menunjukkan kewajiban dalam semua keadaan. Dalam penjelasan Nawawi tentang Sahih Muslim "Jilid 14 Halaman 80" menyatakan:
قَالَ الْقَاضِي -عِيَّاضٌ- قَالَ الطَّبَرَانِيُّ الصَّوَابُ أَنَّ الْآثَارَ الْمَرْوِيَّةَ عَنِ النَّبِيَّ ﷺ بِتَغْيِيرِ الشَّيْبِ وَبِالنَّهْيِ عَنْهُ كُلُّهَا صَحِيحَةٌ وَلَيْسَ فِيهَا تَنَاقُضٌ بَلِ الْأَمْرُ بِالتَّغْيِيرِ لِمَنْ شَيْبُهُ كَشَيْبِ أَبِي قُحَافَةَ وَالنَّهْيُ لِمَنْ لَهُ شَمَطٌ فَقَطْ قَالَ وَاخْتِلَافُ السَّلَفِ فِي فِعْلِ الْأَمْرَيْنِ بِحَسَبِ اخْتِلَافِ أَحْوَالِهِمْ فِي ذَلِكَ مَعَ أَنَّ الْأَمْرَ وَالنَّهْيَ فِي ذَلِكَ لَيْسَ لِلْوُجُوبِ بِالْإِجْمَاعِ وَلِهَذَا لَمْ يُنْكِرْ بَعْضُهُمْ عَلَى بَعْضٍ خِلَافَهُ فِي ذَلِكَ
Al-Qadhi -Iyad- berkata bahwa At-Tabrani berkata: Yang benar adalah bahwa semua riwayat yang menyebutkan tentang Nabi ﷺ mengenai mengubah rambut putih dan melarangnya, maka semuanya sahih, dan tidak ada pertentangan di dalamnya. Perintah untuk mengubah bagi orang yang rambutnya telah memutih seperti rambut Abu Quhafah, dan larangan untuk orang yang hanya memiliki sebagain rambut uban.
Dia berkata: Ketidaksepakatan Salaf dalam membedakan kedua perintah tersebut disesuaikan dengan keadaan mereka dalam masalah itu, meskipun perintah dan larangan dalam hal itu tidaklah menjadi wajib hukumnya secara ijma', dan oleh karena itu tidak ada seorang pun yang saling menyalahkan satu sama lain karena perbedaan pendapat dalam hal itu.
-----
PENULIS KATAKAN TENTANG PENATAAN RAMBUT :
Begitu pula hanya dengan perintah agar berbeda dengan non muslim dalam hal berkaitan dengan penataan rambut kepala :
Dari Ibnu Abbas RA ;
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يَسْدِلُ شَعْرَهُ وَكَانَ الْمُشْرِكُونَ يَفْرُقُونَ رُءُوسَهُمْ وَكَانَ أَهْلُ الْكِتَابِ يَسْدِلُونَ شُعُورَهُمْ وَكَانَ يُحِبُّ مُوَافَقَةَ أَهْلِ الْكِتَابِ فِيمَا لَمْ يُؤْمَرْ فِيهِ بِشَيْءٍ ثُمَّ فَرَقَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ رَأْسَهُ
“ Bahwa Rasulullah ﷺ mengurai rambutnya sedangkan orang-orang Musyrik membelah rambut kepala mereka, sementara orang-orang Ahlu Kitab menguraikan rambut mereka. Dulu beliau suka menyamai Ahlu Kitab dalam hal-hal yang tidak diperintahkan, kemudian Rasulullah ﷺ membelah rambut kepalanya." ( HR. al-Bukhari (3558) dan Muslim (2336)).
Syeikh Muhammad Shaleh al-Munajjid berkata :
وقوله في الحديث : (ثُمَّ فَرَقَ بَعْدُ) أي ألقى شعر رأسه إلى جانبي رأسه .
“Dan mengenai perkataannya dalam hadis: "(Tsumma faraqa ba'du)" artinya membelah rambut kepalanya dan melandaikankannya ke dua sisi kanan kiri kepalanya”.
Dari [Ibnu Syihab] ia mendengarnya berkata;
سَدَلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ نَاصِيَتَهُ مَا شَاءَ اللَّهُ ثُمَّ فَرَقَ بَعْدَ ذَلِكَ قَالَ مَالِك لَيْسَ عَلَى الرَّجُلِ يَنْظُرُ إِلَى شَعَرِ امْرَأَةِ ابْنِهِ أَوْ شَعَرِ أُمِّ امْرَأَتِهِ بَأْسٌ
"Rasulullah ﷺ melepas uraian rambutnya hingga ke dahi, atas kehendak Allah kemudian beliau membelah dua rambutnya."
Malik berkata; "Tidaklah mengapa seorang laki-laki melihat rambut menantu wanitanya atau rambut ibu mertuanya." [ HR. Malik dalam al-Muwaththa no. 1490]
Dari [Aisyah] dia berkata :
كُنْتُ أَفْرِقُ خَلْفَ يَافُوخِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ ثُمَّ أَسْدِلُ نَاصِيَتَهُ
"Aku membelah (rambut) di belakang ubun-ubun Rasulullah ﷺ, kemudian aku menguraikannya hingga ke dahi."
[HR. Ibnu Majah no. 2944 . Di Shahihkan oleh al-Albaani dalam Shahih Ibnu Majah].
Mufrodaat :
وَمَعْنىَ الْيَافُوخُ – كَمَا قَالَ شُرَاحُ الْحَدِيثِ- هُوَ الَّذِي يَتَحَرَّكُ فِي وَسَطِ رَأْسِ الصَّبِيِّ. تُرِيدُ أَنَّهَا تُفَرِّقُ شَعْرَ الْقَفَا، وَتُسَدِّلُ النَّاصِيَةَ.
Makna "al-Yafuukh" - seperti yang dikatakan oleh para pensyarah hadits - adalah sesuatu yang bergerak di tengah-tengah kepala bayi. Ini berarti bahwa rambut tersebut memisahkan bagian atas kepala dan menggantung ke sisi.
Syeikh al-Munajjid berkata :
“ Pada awalnya Nabi ﷺ sangat menyukai untuk mengikuti gaya penampilan Ahlul Kitab dalam hal-hal yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, dalam rangka untuk menarik perhatian mereka, mengambil hati mereka dan meluluhkannya ; karena mereka lebih dekat dengan iman dibandingkan dengan para penyembah berhala. Namun ketika para penyembah berhala banyak yang masuk Islam, maka Nabi ﷺ lebih suka menyelisihi dan berbeda dengan Ahlul Kitab”. [Fatwa Islamqa no. 148945]
Al-Hafiz Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
وَكَأَنَّ السِّرّ فِي ذَلِكَ أَنَّ أَهْل الْأَوْثَان أَبْعَد عَنْ الْإِيمَان مِنْ أَهْل الْكِتَاب , وَلِأَنَّ أَهْل الْكِتَاب يَتَمَسَّكُونَ بِشَرِيعَةٍ فِي الْجُمْلَة فَكَانَ يُحِبّ مُوَافَقَتهمْ لِيَتَأَلَّفهُمْ وَلَوْ أَدَّتْ مُوَافَقَتهمْ إِلَى مُخَالَفَة أَهْل الْأَوْثَان , فَلَمَّا أَسْلَمَ أَهْل الْأَوْثَان الَّذِينَ مَعَهُ وَاَلَّذِينَ حَوْله وَاسْتَمَرَّ أَهْل الْكِتَاب عَلَى كُفْرهمْ ، تَمَحَّضَت الْمُخَالَفَة لِأَهْلِ الْكِتَاب"
"Sepertinya rahasia di balik hal ini adalah bahwa penyembah berhala lebih jauh dari iman dibandingkan dengan Ahlul Kitab. Dan karena Ahlul Kitab secara umum berpegang teguh pada syariat Allah , maka Nabi ﷺ suka untuk menyesuaikan diri dengan mereka agar dapat mendekatkan hati mereka. Meskipun dalam menyesuaikan diri itu bisa menyebabkan pertentangan dengan penyembah berhala.
Namun, ketika kaum penyembah berhala masuk Islam, baik yang bersama Nabi ﷺ atau yang di sekitarnya, sementara Ahlul Kitab tetap pada kekufuran mereka, maka pertentangan dengan Ahlul Kitab menjadi jelas." [Fathul Bari (10/36)]
Dan Ibnu Hajar rahimahullah berkata :
"وَالْفَرْق سُنَّة لِأَنَّهُ الَّذِي اِسْتَقَرَّ عَلَيْهِ الْحَال ، وَاَلَّذِي يَظْهَر أَنَّ ذَلِكَ وَقَعَ بِوَحْيٍ , لِقَوْلِ الرَّاوِي فِي أَوَّل الْحَدِيث إِنَّهُ كَانَ يُحِبّ مُوَافَقَة أَهْل الْكِتَاب فِيمَا لَمْ يُؤْمَر فِيهِ بِشَيْءٍ , فَالظَّاهِر أَنَّهُ فَرَقَ بِأَمْرٍ مِنْ اللَّه "
"Membelah rambut serta menguraikannya ke samping adalah sunnah, karena itulah yang menjadi kebiasaan beliau. Dan tampaknya hal tersebut didasarkan pada wahyu, karena pernyataan perawi dalam awal hadits menyebutkan :
bahwa Nabi ﷺ senang untuk mencocokkan diri dengan Ahlul Kitab dalam hal-hal yang sama sekali tidak ada perintah dari Allah. Oleh karena itu, yang nampak adalah : membelah rambutnya dan melandaikannya ke samping itu terjadi atas perintah Allah." [Fathul Bari (10/362)]
Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata :
الفَرْقُ في الشعر سنَّةٌ ، وأولى من السدل ؛ لأنَّه آخر ما كان عليه رسول الله ﷺ ، وهذا الفَرْقُ لا يكون إلا مع كثرة الشعر وطوله"
"Membelah rambut ke dua sisi samping kepala adalah sunnah, dan lebih utama daripada menguraikannya ke semua sisi kepala , karena itu adalah hal terakhir yang diterapkan oleh Rasulullah ﷺ. Cara ini hanya mungkin dilakukan jika rambutnya lebat dan panjang." [At-Tamhid (6/74)]
Ketika Nabi ﷺ meninggalkan SADL [ menguraikan rambut ke semua sisi kepala ] , itu tidak menunjukkan larangan atau haramnya SADL, melainkan hal tersebut hukumnya adalah boleh (ja'iz). Ini diperkuat oleh fakta bahwa para Sahabat melakukan keduanya.
Abu al-Abbas al-Qurtubi rahimahullah berkata :
"وَغَايَةُ مَا رُوِيَ عَنْهُمْ: أَنَّهُ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ فَرَقَ، وَمِنْهُمْ مَنْ سَدَلَ، فَلَمْ يُعِبَ السَّادِلَ عَلَى الْفَارِقِ، وَلَا الْفَارِقَ عَلَى السَّادِلِ... فَالصَّحِيحُ: أَنَّ الْفَرْقَ مُسْتَحَبٌّ لَا وَاجِبٌ، وَهَذَا الَّذِي اخْتَارَهُ مَالِكٌ، وَهُوَ قَوْلُ جُلِّ أَهْلِ الْمَذَاهِبِ."
"Secara keseluruhan, apa yang diriwayatkan dari mereka (para Sahabat) adalah bahwa di antara mereka ada yang membelah dua (faraqa) rambutnya, dan di antara mereka ada yang menguraikannya ke semua sisi (sadel). Maka tidak ada celaan bagi yang membelah dua terhadap yang menguraikan ke sekelilingnya , dan juag sebaliknya...
Jadi, yang benar adalah bahwa membelah rambut itu dianjurkan (mustahabb), bukan wajib, dan ini adalah pendapat yang diambil oleh Malik dan sebagian besar ulama dari berbagai macam mazhab."
[Al-Mufhim lima Asykala min Talkhis Kitab Muslim (6/125), dan serupa di Fathul Bari (10/362)]
Imam Nawawi berkata :
" والحَاصِلُ الصَّحِيح الْمُخْتَار : جَوَاز السَّدْل وَالْفَرْق ، وَأَنَّ الْفَرْق أَفْضَل ".
Kesimpulannya : bahwa Yang shahih dan yang dipilih dalah boleh mengurai rambutnya dan boleh membelah rambut kepala . Dan membelah rambut kepala itu lebih afdlol “ [ Syarah Shahih Muslim 19/50]
Imam Malik berkata :
فَرْقُ الرَّجُلِ أَحَبُّ إِلَيَّ
“Membelah rambut kepala itu lebih aku sukai “. [[ Syarah Shahih Muslim 19/50]
Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam ( فتح الباري ) 10/362 :
وَالصَّحِيحُ أَنَّ الْفَرَقَ مُسْتَحَبٌّ لَا وَاجِبٌ. اهـ.
“ Yang Shahih adalah Membelah rambut kepala itu Mustahabb , bukan wajib “.
------
FATWA DR. MUHAMMAD SAYYID AL-MASIIR
DR. Muhammad Sayyid Ahmad Al-Masiir - Profesor Akidah dan Filsafat di Universitas Al-Azhar – berkata :
اختلف العلماء في حكم إطلاق اللحية، والذي نراه ونطمئن إليه أنها سنة تُفعل عند المقدرة وعدم الموانع، ويستطيع كل إنسان أن ينوي إطلاقها إذا كان غير مطلقٍ لها، ويتخير الوقت المناسب لإطلاقها إذا كان يجد في مجتمعه أو بيئته بعض الموانع والمضار، وليس الأمر يتوقف على المظهر وحده إنما نحن في حاجة إلى مخبر ومظهر، وإلى عقيدة وسلوك ولا ينبغي أن تكون مثل هذه الموضوعات المتعلقة باللحية أو الثوب القصير أو الإسبال مصادر خلافات ومنازعات، فإن قضايا الإسلام أعمق من ذلك كله، وهناك أولويات في فقه الدعوة يجب أن نراعيها حتى لا تتبدد الجهود ونستهلك الوقت والعقل فيما لا طائلة من ورائه، والله أعلم .
"Para ulama berbeda pendapat tentang hukum membiarkan jenggot tumbuh. Menurut kami, apa yang kami yakini adalah bahwa itu adalah sunnah yang dikerjakan jika dimungkinkan dan tidak ada halangan.
Setiap orang dapat berniat untuk membiarkannya tumbuh jika sebelumnya tidak pernah mencukur jenggotnya, dan dia bisa memilih waktu yang tepat untuk membiarkannya tumbuh jika menemukan beberapa hambatan dan mudhorot di masyarakat atau lingkungannya.
Hal ini tidak hanya berhenti pada penampilan saja, akan tetapi kita membutuhkan substansi dan penampilan, aqidah dan perilaku.
Dan masalah-masalah seperti ini yang terkait dengan jenggot, pakaian pendek, atau celana cingkrang, seharusnya jangan dijadikan sebagai sumber perselisihan dan konflik. Karena masalah-masalah Islam jauh lebih dalam dari itu semua.
Ada prioritas dalam fikih dakwah yang harus kita perhatikan agar upaya tidak terbuang sia-sia dan kita tidak menghabiskan waktu dan pikiran pada hal-hal yang tidak bermanfaat, dan Allah-lah yang lebih mengetahui."
-----
FATWA DR. AHMAD UMAR HASYIM :
DR. Ahmad Umar Hasyim, mantan Rektor Universitas Al-Azhar, mengatakan:
حالق اللحية ليس مرتكبا لذنب؛ لأن اللحية سنة، من سنن العادات، فهناك سنة عبادة وسنة عادة فسنة العبادة أن تصلي نفلا، أو تتصدق تتطوعا أو تصوم صيام نفل… وهكذا.
وأما سنة العادة، والمراد بها الذي تعودها الناس فمنها إعفاء اللحية، ومنها قص الشارب، وتقليم الأظافر، وقد قال الرسول ﷺ: "خمس من الفطرة" وفي رواية أخرى عشر من الفطرة فذكرها، وجميع المذكور في الحديث من الأمور التي هي سنة وليس فيها شيء واجب، لكني أقول لك مع أن حلق اللحية ليس إثما: الأفضل إعفاؤها.
Memangkas jenggot bukanlah dosa; karena jenggot adalah sunnah, dari kebiasaan yang baik. Ada sunnah ibadah dan sunnah adat kebiasaan, seperti melakukan shalat sunnah, bersedekah secara sukarela, atau berpuasa sunnah... Begitu pula.
Sedangkan sunnah adat kebiasaan, yang dimaksud adalah kebiasaan yang umum dilakukan orang, seperti membiarkan jenggot tumbuh, mencukur kumis, atau memotong kuku.
Rasulullah ﷺ bersabda: "Ada lima hal dari fitrah,"
Dan dalam riwayat lainnya, “sepuluh hal dari fitrah”, lalu beliau menyebutkannya.
Semua yang disebutkan dalam hadits tersebut termasuk dalam hal-hal yang merupakan sunnah dan tidak ada yang wajib dalam hal tersebut, tetapi saya katakan kepada anda bahwa mencukur jenggot itu bukanlah dosa, namun yang lebih baik dan afdhol adalah memeliharanya."
------
FATWA SYEIKH ABDUR RAZZAQ AL-QATHTHAN :
"Dan Syeikh Abdul Razzaq Al-Qaththan, Ketua Komite Fatwa dan Pengawasan Syariah di Kuwait Finance House, mengatakan:
اللحية معدودة في السنن المؤكدة عند جمهور العلماء، على خلاف في ذلك بين موجب وغير موجب، مع أنه لم ير بعض الفقهاء شيئاً في حلقها لغير عذر.
وأما حلقها لعذر؛ سواء كان بدنياً من مرض حساسية مثلاً، أو غيره، أو كان عذراً عاماً: كمتطلبات مهنة، أو متطلبات أمن، فإن حالقها معذور.
وأما طولها؛ فليس فيه نص يوجب حدًّا معيناً؛ لأن التوجيه في الحديث إلي مطلق الترك. ومعلوم أن من ترك لحيته، ولو شيئا يسيراً؛ فهو يقع في مفهوم مطلقي اللحية، إلا أنه ثبت أن لحية رسول الله (ﷺ) كانت على عادة أهل زمانه عظيمة وافرة، وكذلك كانت لحى أصحابه (رضوان الله عليهم).
وقد ورد أن عبد الله بن عمر (رضي الله عنهما) كان إذا فرغ من موسم الحج قبض بيده على لحيته، ثم أخذ ما زاد عن ذلك.
على أنه ينبغي التنبه إلي قضية هامة، وهي أنه لا يمكن إلزام جميع المسلمين بقول واحد في المسائل الخلافية، كما أنه لا يجوز أن يشنع المسلم على الآخرين إذا خالفوه في مسائل الخلاف.
ولا يليق أن يضيع المسلم جهده وجهد غيره في مسائل خلافية، بينما لا تفرق قذائف اليهود الغاصبين بين صاحب لحية أو حالقها، ولا تخاطب البرامج الهدامة أصحاب اللحى أو حالقي اللحية. فعلينا أن نجعل همنا في التقريب والتأليف بين المسلمين، والتصدي صفًّا واحداً أمام مكائد الأعداء. والله تعالى أعلم
Jenggot terhitung dalam katagori sunnah muakkadah menurut mayoritas ulama, meskipun ada perbedaan pendapat di antara mereka mengenai wajib dan tidaknya, meskipun ada sebagian para fuqaha berpendapat tidak boleh mencukurnya sama sekali walaupun sedikit tanpa adanya udzur.
Adapun mencukurnya karena alasan; baik itu karena alasan fisik seperti penyakit alergi misalnya, atau alasan lain, atau karena alasan umum seperti tuntutan pekerjaan, atau keamanan, maka mencukurnya adalah dibenarkan.
Adapun panjangnya, tidak ada nash yang memerintahkan panjangnya sampai pada batas tertentu; karena arahan dalam hadits mengarahkan kepada peliharaan tanpa batasan. Dan diketahui bahwa siapa pun yang membiarkan jenggotnya, meskipun hanya sedikit, dianggap dalam pengertian memelihara jenggot secara umum, meskipun telah terbukti bahwa jenggot Rasulullah ﷺ sesuai dengan tradisi kebiasaan pada zamannya adalah besar dan lebat, begitu juga dengan jenggot para sahabat (radhiyallaahu ‘anhum)."
"Telah ada riwayat bahwa Abdullah bin Umar (semoga Allah meridhainya) ketika selesai dari musim haji, dia mengenggam jenggotnya dengan tangannya, kemudian dia memotong bagian yang lebih dari itu.
Namun, perlu diperhatikan sebuah isu penting, yaitu bahwa tidak mungkin untuk memaksa semua muslim untuk memegang satu pendapat dalam masalah yang diperselisihkan. Dan juga tidak boleh bagi seorang muslim untuk merendahkan dan melecehkan orang lain jika mereka berbeda pendapat dalam masalah yang dikhilafkan.
Tidak pantas bagi seorang muslim untuk menyia-nyiakan ijtihadnya dan ijtihad orang lain dalam masalah yang diperselisihkan, sementara peluru-peluru penjajah Yahudi tidak membedakan antara orang yang berjenggot dan yang tidak, dan program-program mereka yang merusak tidak membedakan antara pemilik jenggot dan yang mencukurnya.
Kita harus memprioritaskan dalam mendekatkan dan merangkul kesatuan di antara umat Islam, dan bersatu melawan tipu daya musuh. Wallaaahu a’lam."
*****
0 Komentar